Share

Diusir

Karma Perselingkuhan 

Bab 2

Diusir 

Ruang tamu rumah Pak Haji masih hening, suasana juga semakin tegang. Dengan ujung jari tangan, Pak Haji mengetuk-ngetuk permukaan meja. Mas Ahmad dan Nurma seperti tahanan yang sedang menunggu vonis. Sementara aku juga tak kalah gelisah menanti keputusan Pak Haji. 

"Begini, saya rasa ini keputusan yang adil untuk kita semua. Dengan terpaksa, saya meminta kalian untuk secepatnya pindah dari kontrakan saya. Silakan cari tempat lain. Dan kamu, Nurma, nanti biar saya yang jelaskan ke orang tuamu!"

Aku mengusap wajah, pasrah dengan keputusan Pak Haji yang dirasa adil untuk kami. Aku juga tak mau lagi tinggal di kamar itu. 

"Tolong, jangan bilang ama orang tua saya, Pak. Saya takut mereka marah," pinta Nurma dengan suara memelas. 

"Harusnya kamu mikirin ini sebelum berbuat salah, Nurma!"

Nurma kembali menunduk. 

"Kalo gitu, saya permisi dulu, Pak, Bu. Mau beres-beres," pamitku. 

"Maafin kami, ya, Mba Fatimah. Kami terpaksa mengambil keputusan ini," sahut Pak Haji. Sementara Bu Haji hanya menepuk lembut bahuku sambil tersenyum lembut. 

"Iya, nggak apa-apa, Pak, Bu. Saya ngerti, kok."

Aku berjalan pelan meninggalkan ruang tamu rumah Pak Haji. Mas Ahmad sengaja kubiarkan, tak kuajak serta. Terserah dia mau apa. 

***

"Gara-gara kamu, kita jadi repot, kan?" omel Mas Ahmad setibanya di kontrakan. 

"Kok, gara-gara aku?" Aku yang sedang membereskan pakaian dan memasukan ke dalam tas sedikit terkejut dengan kalimat Mas Ahmad. 

"Iya! Coba kalo kamu sedikit bersabar, ngomong baik-baik. Nggak perlu panggil orang lain buat nyelesaiin masalah. Pasti aman, nggak repot begini!"

Tidak tahu di mana letak hati dan perasaan Mas Ahmad ini. Dia yang berselingkuh, malah aku yang disalahkan. "Sabar, katamu? Kalo kamu yang mergokin aku selingkuh, apa kamu juga bisa sabar, Mas? Udah untung aku nggak teriak manggil warga biar kalian diarak keliling kampung, Mas! Udah salah, malah nyalahin orang lain!"

"Seneng kamu sekarang? Terlihat seperti istri teraniaya? Dan berhasil membuat orang berpikiran buruk tentang aku dan Nurma?"

"Terus? Kamu mau aku diam saja, iya? Silakan tanya perempuan lain! Apa mereka akan diam saja kalo dikhianati suaminya di depan mata? Mikir, Mas!"

"Ya, tapi nggak usah manggil orang lain, kan, bisa!" Mas Ahmad tak mau kalah. Bisa gila aku kalau tetap di sini dan mendengar ocehannya. 

"Terserah kamu saja, Mas!" Aku menghela napas kasar, kemudian bangun dari posisi dudukku. Cepat kuraih dompet dan hp yang tergeletak di samping televisi. 

"Mau ke mana kamu?" tanya Mas Ahmad setengah berteriak. 

"Mau pergi! Pusing menghadapi orang nggak tau malu kayak kamu!"

Tanpa menunggu jawaban Mas Ahmad aku keluar kamar, berniat datang ke toko, untuk meminta izin tak masuk kerja setengah hari. Tak mungkin aku melanjutkan masuk kerja dalam keadaan hati kacau begini. Di depan kamar, aku berpapasan dengan Nurma, sepertinya dia baru saja pulang dari rumah Pak Haji. Wajah perempuan yang bekerja sebagai karyawan pabrik itu, terlihat sembab. Penampilannya juga masih acak-acakan. Karena setelah kepergok tadi, dia dan suamiku langsung di bawa ke rumah Pak Haji tanpa diberikan kesempatan untuk merapikan penampilan. 

Saat Nurma semakin dekat, aku melengos, tak ingin melihat wajahnya. 

"Puas kamu sekarang, Mbak?"

Aku pura-pura tak mendengar pertanyaan Nurma dan cepat-cepat berjalan meninggalkan perempuan yang terlihat marah itu. 

"Mbak, aku lagi ngomong sama kamu! Dasar nggak punya sopan santun! Diajak ngomong malah ngeloyor aja!" Nurma mengejar dan berusaha mencekal tanganku. 

"Lepas!" Aku menepis tangan Nurma dengan kasar dan mendorong tubuh sintalnya, membuat wanita itu terhuyung ke samping. 

"Biasa aja, dong, Mbak! Aku cuma mau ngajak ngomong baik-baik!"

"Ngomong apa lagi? Aku nggak ada waktu buat ngeladenin wanita ular kayak kamu!" bentakku. Nurma diam, tak menjawab perkataanku. "Kalo kamu masih penasaran ama suamiku, tuh dia ada di kamar, sendirian! Puas-puasin sana, sebelum pindah!"

"Bukan itu, Mbak! Aku cuma mau …."

"Minta maaf? Atau mau minta tanggung jawab atas perbuatan Mas Ahmad? Sana minta saja!" ketusku, sebelum akhirnya meninggalkan Nurma yang masih berdiri mematung. 

***

Sepanjang perjalanan menuju toko, air mataku kembali turun tanpa bisa ditahan. Tak kuhiraukan tatapan orang-orang yang berpapasan denganku. Aku tak peduli, aku hanya ingin menangis, berharap bisa mengurangi sesak di dada. 

Walaupun ini bukan pertama kalinya Mas Ahmad bermain api, tapi tetap saja rasanya menyakitkan.

Ya, dulu, di awal pernikahan kami, Mas Ahmad juga pernah berhubungan dengan perempuan lain. Perempuan itu adalah mantan kekasihnya saat sekolah dulu. Memang, mereka hanya sebatas berkirim pesan mesra, karena perempuan itu tinggal di kota lain. Tapi tetap saja buatku itu menyakitkan. Sewaktu kutanyai, perempuan itu mengaku tidak tahu kalau Mas Ahmad sudah menikah. 

Saat itu, Mas Ahmad meminta maaf dan berjanji tak akan mengulangi lagi. Namun, janji itu tinggalah janji. Sekarang Mas Ahmad bahkan mengulangi perbuatan itu lebih parah dari sebelumnya. Entah sejak kapan mereka menjalin hubungan sedekat itu, karena selama di depanku semua terlihat wajar. Ternyata sikap wajar yang mereka tunjukkan selama ini, semuanya palsu.

Setibanya di toko, keadaan belum terlalu ramai. Hanya ada tiga pembeli yang terlihat antri di kasir. Aku dan Mas Ahmad sama-sama kerja di toko ini, tapi beda shift. Selain aku dan Mas Ahmad, ada tujuh karyawan lain termasuk supir dan satpam. Kami semua bekerja dengan sistem dua shift. 

Akan tetapi, sejak dinyatakan positif hamil, Pak Burhan, sang pemilik toko dan istrinya, memintaku masuk pagi terus sampai cuti melahirkan nanti. Sementara Mas Ahmad tetap dua shift seperti biasa, dan kebetulan minggu ini, suamiku itu shift siang. 

Tiba-tiba aku berpikir, apa mungkin karena selama ini kami beda shift, jadi Mas Ahmad bebas melakukan pendekatan pada Nurma tanpa takut ketahuan? 

"Fatimah? Ada apa? Datang-datang, kok, bengong?" sapa Bu Rani, istrinya Pak Burhan yang duduk di balik meja kasir. Kalau siang, memang Bu Rani yang menjadi kasir. Sedangkan malam hari biasanya anak sulungnya atau kadang Pak Burhan yang menjadi kasir. 

"Ditanya kok diam aja? Loh, malah nangis." Bu Rani berjalan ke arahku yang sibuk mengusap air mata. "Ada apa?"

"Mm, maaf, Bu. Saya, istirahatnya kelebihan. Dan kalo boleh, saya mau minta izin nggak lanjut kerja hari ini."

Kening Bu Rani berkerut, "cuma telat sejam sama mau minta izin nggak masuk kerja, kok ampe nangis, segala, Fat. Nggak apa-apa, kok."

"Iya, Bu. Terima kasih." Aku kembali mengusap air mata yang anehnya tidak mau berhenti.

"Terus, kamu kenapa masih nangis?"

Entah kenapa, pertanyaan bosku itu malah semakin membuatku semakin terisak. Kalau tadi di depan Mas Ahmad dan Nurma aku bisa menahannya, entah kenapa sekarang aku tidak lagi bisa membendung tangisan ini. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status