Share

Diusir

Penulis: Dwi Mei Rahayu
last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-08 21:47:48

Karma Perselingkuhan 

Bab 2

Diusir 

Ruang tamu rumah Pak Haji masih hening, suasana juga semakin tegang. Dengan ujung jari tangan, Pak Haji mengetuk-ngetuk permukaan meja. Mas Ahmad dan Nurma seperti tahanan yang sedang menunggu vonis. Sementara aku juga tak kalah gelisah menanti keputusan Pak Haji. 

"Begini, saya rasa ini keputusan yang adil untuk kita semua. Dengan terpaksa, saya meminta kalian untuk secepatnya pindah dari kontrakan saya. Silakan cari tempat lain. Dan kamu, Nurma, nanti biar saya yang jelaskan ke orang tuamu!"

Aku mengusap wajah, pasrah dengan keputusan Pak Haji yang dirasa adil untuk kami. Aku juga tak mau lagi tinggal di kamar itu. 

"Tolong, jangan bilang ama orang tua saya, Pak. Saya takut mereka marah," pinta Nurma dengan suara memelas. 

"Harusnya kamu mikirin ini sebelum berbuat salah, Nurma!"

Nurma kembali menunduk. 

"Kalo gitu, saya permisi dulu, Pak, Bu. Mau beres-beres," pamitku. 

"Maafin kami, ya, Mba Fatimah. Kami terpaksa mengambil keputusan ini," sahut Pak Haji. Sementara Bu Haji hanya menepuk lembut bahuku sambil tersenyum lembut. 

"Iya, nggak apa-apa, Pak, Bu. Saya ngerti, kok."

Aku berjalan pelan meninggalkan ruang tamu rumah Pak Haji. Mas Ahmad sengaja kubiarkan, tak kuajak serta. Terserah dia mau apa. 

***

"Gara-gara kamu, kita jadi repot, kan?" omel Mas Ahmad setibanya di kontrakan. 

"Kok, gara-gara aku?" Aku yang sedang membereskan pakaian dan memasukan ke dalam tas sedikit terkejut dengan kalimat Mas Ahmad. 

"Iya! Coba kalo kamu sedikit bersabar, ngomong baik-baik. Nggak perlu panggil orang lain buat nyelesaiin masalah. Pasti aman, nggak repot begini!"

Tidak tahu di mana letak hati dan perasaan Mas Ahmad ini. Dia yang berselingkuh, malah aku yang disalahkan. "Sabar, katamu? Kalo kamu yang mergokin aku selingkuh, apa kamu juga bisa sabar, Mas? Udah untung aku nggak teriak manggil warga biar kalian diarak keliling kampung, Mas! Udah salah, malah nyalahin orang lain!"

"Seneng kamu sekarang? Terlihat seperti istri teraniaya? Dan berhasil membuat orang berpikiran buruk tentang aku dan Nurma?"

"Terus? Kamu mau aku diam saja, iya? Silakan tanya perempuan lain! Apa mereka akan diam saja kalo dikhianati suaminya di depan mata? Mikir, Mas!"

"Ya, tapi nggak usah manggil orang lain, kan, bisa!" Mas Ahmad tak mau kalah. Bisa gila aku kalau tetap di sini dan mendengar ocehannya. 

"Terserah kamu saja, Mas!" Aku menghela napas kasar, kemudian bangun dari posisi dudukku. Cepat kuraih dompet dan hp yang tergeletak di samping televisi. 

"Mau ke mana kamu?" tanya Mas Ahmad setengah berteriak. 

"Mau pergi! Pusing menghadapi orang nggak tau malu kayak kamu!"

Tanpa menunggu jawaban Mas Ahmad aku keluar kamar, berniat datang ke toko, untuk meminta izin tak masuk kerja setengah hari. Tak mungkin aku melanjutkan masuk kerja dalam keadaan hati kacau begini. Di depan kamar, aku berpapasan dengan Nurma, sepertinya dia baru saja pulang dari rumah Pak Haji. Wajah perempuan yang bekerja sebagai karyawan pabrik itu, terlihat sembab. Penampilannya juga masih acak-acakan. Karena setelah kepergok tadi, dia dan suamiku langsung di bawa ke rumah Pak Haji tanpa diberikan kesempatan untuk merapikan penampilan. 

Saat Nurma semakin dekat, aku melengos, tak ingin melihat wajahnya. 

"Puas kamu sekarang, Mbak?"

Aku pura-pura tak mendengar pertanyaan Nurma dan cepat-cepat berjalan meninggalkan perempuan yang terlihat marah itu. 

"Mbak, aku lagi ngomong sama kamu! Dasar nggak punya sopan santun! Diajak ngomong malah ngeloyor aja!" Nurma mengejar dan berusaha mencekal tanganku. 

"Lepas!" Aku menepis tangan Nurma dengan kasar dan mendorong tubuh sintalnya, membuat wanita itu terhuyung ke samping. 

"Biasa aja, dong, Mbak! Aku cuma mau ngajak ngomong baik-baik!"

"Ngomong apa lagi? Aku nggak ada waktu buat ngeladenin wanita ular kayak kamu!" bentakku. Nurma diam, tak menjawab perkataanku. "Kalo kamu masih penasaran ama suamiku, tuh dia ada di kamar, sendirian! Puas-puasin sana, sebelum pindah!"

"Bukan itu, Mbak! Aku cuma mau …."

"Minta maaf? Atau mau minta tanggung jawab atas perbuatan Mas Ahmad? Sana minta saja!" ketusku, sebelum akhirnya meninggalkan Nurma yang masih berdiri mematung. 

***

Sepanjang perjalanan menuju toko, air mataku kembali turun tanpa bisa ditahan. Tak kuhiraukan tatapan orang-orang yang berpapasan denganku. Aku tak peduli, aku hanya ingin menangis, berharap bisa mengurangi sesak di dada. 

Walaupun ini bukan pertama kalinya Mas Ahmad bermain api, tapi tetap saja rasanya menyakitkan.

Ya, dulu, di awal pernikahan kami, Mas Ahmad juga pernah berhubungan dengan perempuan lain. Perempuan itu adalah mantan kekasihnya saat sekolah dulu. Memang, mereka hanya sebatas berkirim pesan mesra, karena perempuan itu tinggal di kota lain. Tapi tetap saja buatku itu menyakitkan. Sewaktu kutanyai, perempuan itu mengaku tidak tahu kalau Mas Ahmad sudah menikah. 

Saat itu, Mas Ahmad meminta maaf dan berjanji tak akan mengulangi lagi. Namun, janji itu tinggalah janji. Sekarang Mas Ahmad bahkan mengulangi perbuatan itu lebih parah dari sebelumnya. Entah sejak kapan mereka menjalin hubungan sedekat itu, karena selama di depanku semua terlihat wajar. Ternyata sikap wajar yang mereka tunjukkan selama ini, semuanya palsu.

Setibanya di toko, keadaan belum terlalu ramai. Hanya ada tiga pembeli yang terlihat antri di kasir. Aku dan Mas Ahmad sama-sama kerja di toko ini, tapi beda shift. Selain aku dan Mas Ahmad, ada tujuh karyawan lain termasuk supir dan satpam. Kami semua bekerja dengan sistem dua shift. 

Akan tetapi, sejak dinyatakan positif hamil, Pak Burhan, sang pemilik toko dan istrinya, memintaku masuk pagi terus sampai cuti melahirkan nanti. Sementara Mas Ahmad tetap dua shift seperti biasa, dan kebetulan minggu ini, suamiku itu shift siang. 

Tiba-tiba aku berpikir, apa mungkin karena selama ini kami beda shift, jadi Mas Ahmad bebas melakukan pendekatan pada Nurma tanpa takut ketahuan? 

"Fatimah? Ada apa? Datang-datang, kok, bengong?" sapa Bu Rani, istrinya Pak Burhan yang duduk di balik meja kasir. Kalau siang, memang Bu Rani yang menjadi kasir. Sedangkan malam hari biasanya anak sulungnya atau kadang Pak Burhan yang menjadi kasir. 

"Ditanya kok diam aja? Loh, malah nangis." Bu Rani berjalan ke arahku yang sibuk mengusap air mata. "Ada apa?"

"Mm, maaf, Bu. Saya, istirahatnya kelebihan. Dan kalo boleh, saya mau minta izin nggak lanjut kerja hari ini."

Kening Bu Rani berkerut, "cuma telat sejam sama mau minta izin nggak masuk kerja, kok ampe nangis, segala, Fat. Nggak apa-apa, kok."

"Iya, Bu. Terima kasih." Aku kembali mengusap air mata yang anehnya tidak mau berhenti.

"Terus, kamu kenapa masih nangis?"

Entah kenapa, pertanyaan bosku itu malah semakin membuatku semakin terisak. Kalau tadi di depan Mas Ahmad dan Nurma aku bisa menahannya, entah kenapa sekarang aku tidak lagi bisa membendung tangisan ini. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Karma Perselingkuhan    Mimpiku ( END)

    Karma Bab 26MimpikuBeberapa ibu-ibu yang merupakan para tetangga dan kerabat, terlihat sibuk. Ada yang memasak di dapur, ada juga yang menata kue-kue di ruang tengah. Sementara suami-suami mereka terlihat membantu Bapak. Para pria itu, mengeluarkan meja dan kursi dari ruang tamu. Kemudian menggelar karpet, yang sebagian meminjam dari tetangga sekitar. Sedangkan aku, hanya diam mengawasi Zea yang asyik bermain barbie di depan televisi. Ada juga Mbak Nurul di dekatku. Wanita kalem itu sedang menata dus snack untuk para tamu.Hari ini, rumah orang tuaku sedikit sibuk. Tiga hari sudah aku berada di rumah. Rencananya, malam ini, orang tuaku akan mengadakan syukuran atas kepulanganku. Hanya acara kecil, mengundang tetangga sekitar saja. Akan tetapi, karena jiwa gotong royong masih melekat kuat, para tetangga dan kerabat, datang membantu dengan sukarela. Aku terharu dengan keikhlasan mereka semua. Mereka mengerjakan tugas masing-masing dengan riang, diiringi celoteh khas ibu-ibu. Aku dan

  • Karma Perselingkuhan    Pulang

    Karma Bab 25PulangHari ini akhirnya tiba juga. Dengan hati berdebar tak karuan, aku mengecek sekali lagi barang-barang yang akan dibawa, takut ada yang tertinggal. Nyonya Thai Thai dan suaminya mengingatkan tentang dokumen perjalanan dan tiket pesawat, takut tertinggal. Sementara Oma, menatapku sendu. Wanita tua itu berkali-kali memintaku untuk cepat kembali. Katanya, dia pasti akan merindukanku. Ah, Oma, bikin aku terharu saja. Setelah semuanya selesai, dibantu sopir keluarga majikan, aku memasukkan semua barang bawaan ke bagasi. Seperti anak kecil yang akan ditinggal pengasuhnya, Oma merajuk. Dia bersikeras ikut ke Bandara, untuk mengantarku. Akhirnya, anak dan menantu Oma menyerah. Mereka membawa serta Oma ke Bandara. Aku tersenyum kecil saat melihat Oma tersenyum senang. Sepanjang perjalanan, Oma terus-terusan menasehatiku. Selain memintaku cepat kembali dan selalu menghubunginya, dia juga memintaku untuk tidak buru-buru menikah lagi. Katanya, fokus saja membesarkan anak dan

  • Karma Perselingkuhan    Dia Pergi

    Karma Perselingkuhan Bab 24Dia Pergi Kabar tentang kecelakaan Mas Ahmad terus mengganggu pikiran. Apalagi sejak musibah itu, Fitri jadi lebih sering menghubungiku. Tanpa kuminta, dia mengabarkan bagaimana keadaan Mas Ahmad. Katanya, luka yang diderita mantan suamiku itu cukup parah. Tangan dan kaki kanannya mengalami patah pada tulang. Fitri tidak menjelaskan detailnya. Dia hanya mengatakan bahwa kemungkinan untuk pulih itu memakan waktu cukup lama. Setelah hampir dua minggu dirawat, akhirnya Mas Ahmad diperbolehkan pulang. Menurut cerita Fitri, mereka pulang ke kampung, karena kalau di Jakarta tidak ada yang membantu merawat Mas Ahmad.Aku memberitahu Ibu, kabar soal kecelakaan yang menimpa mantan menantunya itu. Reaksi ibu biasa saja. Akan tetapi, wanita berhati lembut itu tak menolak saat diminta menjenguk Mas Ahmad yang sudah dibawa pulang kampung. Menurut cerita ibu, Mas Ahmad berkali-kali minta maaf padanya. Aku meminta ibu untuk memaafkan semua kesalahan Mas Ahmad di masa l

  • Karma Perselingkuhan    Ahmad Kecelakaan

    Karma Bab 23Ahmad Kecelakaan Seperti biasa, saat hari minggu tiba, aku berkumpul bersama Anisa dan teman-teman TKW yang lain di Taipei Main Station. Sebenarnya bukan cuma TKW dan TKI saja yang berkumpul di sini. Mahasiswa dan pekerja imigran dengan profesi lain juga banyak yang berkumpul di sini. Apalagi, kalau pengajian rutin sedang berlangsung, seperti pagi ini. Pasti jumlah pengunjung semakin banyak. Kebetulan pagi ini, penceramahnya seorang Ustadzah terkenal yang diundang langsung dari Indonesia. Dengan tekun, aku menyimak semua yang disampaikan oleh Ustadzah yang selama ini hanya bisa dilihat melalui layar televisi. Entah kebetulan atau tidak, tema kajian pagi ini, adalah 'Jangan Mendendam' sesuai dengan apa yang sedang kualami. Dalam hidup ini, tentu kita tidak selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Ada saja kejadian yang membuat kita kecewa dan berujung sakit hati. Ketika sakit hati, kita dapat merasa sangat merana. Apalagi bila yang menyakiti hati kita adalah orang terd

  • Karma Perselingkuhan    Kabar Duka 2

    Karma Bab 22Kabar Duka 2Cerita ibu soal permintaan maaf mantan ibu mertua mengganggu pikiranku selama berhari-hari. Hal itu mau tak mau membuatku bertanya pada diri sendiri, apakah aku sudah benar-benar memaafkan mereka? Atau mungkin masih ada sedikit dendam di hatiku untuk mereka? Setiap kali sholat, aku berdoa, memohon ampun untuk diriku sendiri dan untuk mantan ibu mertua. Tak henti-hentinya aku memohon pada Yang Maha Kuasa agar penyakit mantan ibu mertua diangkat dan disembuhkan seperti sedia kala. Sebuah nomor tak dikenal terpampang di layar. Aku yang sedang melipat mukena, seusai sholat Isya, segera menekan tombol hijau. Takutnya penting. "Assalamualaikum," sapaku. Terdengar sahutan salam dari seberang sana. Suara pria yang masih kuingat dengan baik. Suara Mas Ahmad. "Fat. Maaf mengganggu malam-malam begini.""Iya, Mas. Ada apa? Gimana keadaan ibu?""Fat, keadaan ibu semakin memburuk.""Ya Allah, terus sekarang gimana?""Ibu bilang, pengen ngomong sama kamu. Kalo kamu berk

  • Karma Perselingkuhan    Mantan Ibu Mertua

    KarmaBab 21Mantan Ibu MertuaTiba-tiba panggilan terputus. Mungkin mantan ibu mertua tidak nyaman dengan kata-kataku. Takut terjadi apa-apa pada Zea dan keluargaku, segera kutekan nomor telepon ibu. Tersambung dan langsung diangkat. Terdengar suara ibu menyapaku dari seberang sana. "Bu, pokoknya jangan berikan Zea sama mereka. Fatimah nggak rela kalo Zea diasuh sama mereka. Kalo memang mereka peduli sama Zea, kenapa selama ini tidak memperhatikan keadaan Zea?" cerocosku dengan napas tersengal menahan amarah. Dari seberang telepon, ibu meyakinkanku bahwa mantan ibu mertua tidak akan bisa membawa Zea."Pantesan anakku cari perempuan lain buat dijadikan istri. Dia bosan punya istri keras kepala sepertimu. Dan, lihat! Setelah cerai dari Ahmad, nggak ada laki-laki yang mau menikah denganmu! Perempuan keras kepala! Untung udah nggak jadi mantuku. Bisa stres lama-lama punya mantu sepertimu!" Tiba-tiba terdengar omelan mantan ibu mertua. Mungkin dia merebut hape di tangan ibuku. Aku mend

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status