Brak ...Kubuka pintu ruang rawat kak Inggit, seketika mereka menoleh padaku.Kuambil sandal yang kulihat tergeletak di dekat sofa, lalu buk ....Ku lempar sebelah sandalku ke punggung gempal Bu Arum, wanita itu terkejut sampai berjingkat, matanya nyalang menatapku penuh kebencian. "Kamu itu apa tidak pernah diajari sopan santun oleh ibumu yang penyakitan itu, hah! Berani sekali kamu melemparkan sandal butut mu ini padaku, Dina!""Jangn membahas tentang sopan santun dengan saya jika kelakuan Anda saja tidak patut di contoh, Bu Arum! Ibu saya tak pernah mengajarkan anak-anaknya untuk kurang ajar terhadap orang lain, terlebih itu adalah orang tua. Berbeda dengan Anda yang melihat tingkah buruk anak saja hanya membiarkan tanpa mau menegurnya, bahkan malah mendukung perbuatan buruk yang dilakukannya!" Tunjukku penuh emosi."Dan kamu, Bang! Dimana hati nurani mu melihat ibu terluka karena dia, kamu hanya diam saja bahkan tak ada sedikitpun terlihat kekhawatiran dalam wajahmu!" Bentak ku k
Ya disana berdiri seorang lelaki dengan manik hitamnya menatap iba padaku, anak atasanku Pak Bimo. Entah sedang apa dia di rumah sakit ini, kenapa bisa kebetulan pas aku terkena musibah dia selalu datang bak seorang pahlawan, seperti saat ini dia menghampiriku lalu membantuku untuk berdiri, sebetulnya aku sangatlah malu tapi apa boleh buat biarlah sudah terlanjur basah diguyur aja sekalian.Kupakai sebelah sandalku yang dari tadi kutenteng, lalu bergegas menuju ruangan ibu dirawat tadi. "Assalamualaikum, Bu, Aish."Keduanya menoleh menatapku penuh tanya."Wa'alaikumussalam, darimana saja, Nduk kok lama sekali? ibu sudah mau pulang, tidak betah rasanya di rumah sakit terus.""Kok mau pulang, Bu? kan Ibu baru saja di operasi istirahat dulu saja di sini barang sehari atau dua hari, biar ibu bisa lebih terpantau.""Oalah operasi apa to, Nduk. Wong cuma luka kecil saja, istirahat di rumah malah bisa lebih cepat sembuhnya, kalau disini ibu tidak betah bau obat-obatan." Keluh ibu beralasan.
"Assalamualaikum, Aisyah ...!"Terdengar teriakkan salam dari luar, "Itu siapa ya, Aish? kok ucap salam sampe teriak-teriak begitu," Aisyah menggeleng, dia juga sama tidak tahunya sepertiku, aku beranjak keluar kamar diikuti Aisyah mengekor dibelakangku."Kok lama banget buka pintunya, Aish. Sedang apa kamu di dalam?"Begitu pintu dibuka, suara tanya yang terdengar kurang bersahabat dilontarkan oleh seorang lelaki paruh baya, yang kini berdiri diambang pintu kepada Aisyah."Wa'alaikumsalam, Paman, Bibi. Maaf Aish telat membukakan pintu, tadi sedang mengerjakan tugas di kamar," cicit Aisyah sedikit beralasan sambil menunduk."Lalu siapa dia, apa kamu tidak kuliah, Aish?" "Perkenalkan saya Dina, Paman. Temannya Aisyah." Jawabku kemudian mengatupkan kedua tangan di dada. Lalu ku ulurkan tangan untuk menyalami Bibinya Aisyah, seorang wanita yang kira-kira umurnya beberapa tahun dibawah ibuku itu, hanya menatap tanpa menyambut uluran tanganku yang kini masih menggantung di udara.Paman,
"Ini Bu Siti, ibunya Dina, Bi. Mereka bukan menginap tapi memang mereka tinggal di sini, bersama Aish." Sahut Aisyah, menyambut ibu lalu mengajaknya duduk di sofa sebelahnya."Apa? apa paman tidak salah dengar Aish, kamu menampung mereka, memangnya mereka tidak punya tempat tinggal sampai kamu harus mengajak mereka hidup menumpang dirumahmu?!" Berang pamannya Aisyah terdengar marah."Memangnya kenapa, Paman? Ini toh rumah Aish, rumah peninggalan ayah dan ibu Aish. Lagi pula mereka tidak menumpang di rumah ini, Aish dan Ibu membuka usaha membuat kue dan Alhamdulillah sudah banyak yang menjadi pelanggan usaha kami. Dina juga bekerja walaupun sambil kuliah, jadi tak ada yang menumpang di rumah ini, mereka tinggal di sini atas permintaan Aish sendiri. Jadi tolong Paman hargai keputusan Aish, jangan berbicara seperti itu pada mereka!" Raut wajah kedua kerabat Aisyah memerah mendengar perkataan keponakannya, sepertinya mereka benar-benar tidak menyukai jika aku dan Ibu tinggal bersama Aisy
"Aish, siapa laki-laki yang katanya mau dijodohkan denganmu itu?" tanyaku penasaran setelah kedua kerabatnya Aisyah pulang."Entahlah, Din aku juga tidak tahu. Bahkan Paman dan bibi belum menyebutkan siapa nama pria itu, mereka hanya bilang jika dia adalah anaknya sahabat Ayah dan kami memang sudah dijodohkan sejak kecil." jawab Aish tak bersemangat. "Apakah aku harus menerimanya, Din? sedangkan aku sendiri tak mengenal calon suamiku, bagaimana jika seandainya laki-laki itu tak bertanggung jawab, atau bahkan sudah mempunyai kekasih?"Aisyah menatap kosong ke balik jendela yang terbuka di belakang dapur, saat ini kami tengah berbincang di ruang makan, sedangkan Ibu sedang memasak nasi goreng seafood kesukaan aku dan Aish. Beliau bersikeras tak ingin hanya tiduran saja, katanya malah membuat kepalanya tambah pusing."Shalat istikharah, Nak. Berdoa memohon petunjuk agar diberikan pilihan yang terbaik, khusnudzan saja yakin jika apa yang Allah pilihkan, itulah jalan yang terbaik untuk Nak
"Din, maaf bolehkah aku bertanya?"Diam sejenak aku tak langsung menjawab pertanyaan Pak Bimo, aku malah menatapnya sambil memicingkan mata karena bingung, dia mau bertanya apa, kenapa harus ijin segala."Dina ...!""E-eh tentu saja boleh, Pak. Apa yang mau Bapak tanyakan kenapa harus ijin dulu, silahkan tanya saja, Pak!""Bisakah jangan panggil saya dengan sebutan, bapak! Saya juga masih muda belum terlalu tua untuk tidak disebut bapak, kan," Pak Bimo terkekeh lalu menatapku dengan tatapan yang sulit ku artikanKupalingkan pandanganku saat tak sengaja mata ini bertatapan dengannya. Rasanya menghangat dibagian dada, menatap manik hitam itu begitu bersinar saat beradu pandang dengan mataku."Jadi saya harus panggil apa dong? kan Bapak memang atasan saya, bukan karena Anda sudah bapak-bapak," kilahku."Ya yang enak di dengar lah, Din. Asal jangan bapak, emangnya saya ini bapakmu!"Aku malah jadi tertawa mendengar perkataannya barusan, siapa juga yang mau punya bapak kayak Pak Bimo, pant
Aku menatap kearah Pak Bimo yang sekarang sudah resmi ku panggil dengan sebutan Mas. Dia perlihatkan senyum lebar padaku, lalu membukakan pintu mobilnya mempersilahkan ku untuk masuk."Naiklah, kita bicarakan sambil pulang. Ini sudah mau malam, tidak enak kalau dilihat orang." Ucapnya sambil mempersilahkan aku masuk kedalam mobil lalu kembali menutupkan pintu mobilnya."Aku akan bicara dulu dengan keluargaku, lalu insyallah minggu depan akan kuajak mereka menemuimu juga ibu. Akan kuminta langsung kamu pada ibumu, Dina. Aku tak ingin menundanya, niat baik memang harus disegerakan, bukan?"Aku mengangguk mengiyakan perkataannya, masih setia menunduk menatap kedua sepatu Converse yang kupakai, benar-benar tak berani mengangkat wajahku untuk menatapnya, rasanya begitu malu, pipi ini seolah langsung memanas ketika pandanganku bertemu dengannya.Mas Bimo mengantarku sampai ujung jalan, dia tidak ingin ada suara-suara sumbang yang nantinya jadi bahan nyinyiran ibu-ibu julidh."Assalamualaiku
Hari ini perasaanku tak menentu, aku terus saja memikirkan tentang perkataan Aisyah padaku tadi pagi, apa mungkin Aisyah juga mencintai Pak Bimo, bagaimana jika sampai itu terjadi? Walaupun Aisyah akan dijodohkan bisa saja Aisyah membatalkan niatnya menerima perjodohan itu, lalu dia ingin mendekati Pak Bimo, ya Allah semoga saja semua pikiran buruk ku itu tak menjadi nyata, ya Rabb. walau bagaimanapun Aisyah bukan hanya sekedar teman juga sahabat bagiku, tapi Aisyah sudah seperti saudara kandungku sendiri.Tin ... tiiin ... tiiiiiiii ....Suara klakson memanjang itu menyadarkan lamunanku, hampir saja aku tertabrak karena berjalan dengan pikiran yang sedang tidak baik-baik saja saat ini, aku memikirkan Ibu yang entah kenapa terlihat begitu berbeda hari ini, memikirkan Aisyah juga Pak Bimo, ah rasanya saat ini otak dan hati sedang tidak sinkron."Anda tidak apa-apa, Nona?" suara bas seorang lelaki membuatku berjingkat dan langsung menoleh ke belakang.Seorang pria dengan setelan baju k