Nata meraih kaca mata hitam dan topi hitam di atas kopernya lalu memakainya. Di liriknya Kanya yang tengah mengikat rambutnya. Begitu cantik.
"Ga usah di iket! Mau aku serang saat di sana nanti?" alis Nata bertaut serius.
Kanya menarik lagi ikatannya dengan kesal, mendelik ke arah Nata dengan sebal lalu meraih kasar topi dan kaca mata hitamnya.
"Udah puas?" tanya Kanya sewot nan jutek.
Nata membuka pintu, mempersilahkan Kanya agar segera keluar."Awas aja kalo jelalatan liat bule - bule, aku ga ak—"
"Ga usah banyak ngomong! Ayo, aku ga sabar liat pulau yang KATANYA punya aku itu." jengkel Kanya, di tambah perutnya sedang sakit karena PMS.
Lagian, siapa Nata? Kenapa harus mengaturnya seperti ayahnya saja. Kanya semakin sebal.
Nata menutup pintu hotel lalu meraih lengan Kanya."Kamu kalo lagi datang bulan ngomel mulu." keluh Nata tanpa menatap Kanya yang kini melempar tatapan membunuh.
"Tapi suka, seksi." Nata melirik Kanya dengan senyuman manis, terlihat tidak takut oleh tatapan Kanya.
Nata bahkan terlihat siap jika Kanya akan melahapnya.
***
"Pengen gue gigit rasanya." gumam Nata gemas.
Nata melirik ponselnya, ada pesan masuk dari grup yang berisi Fajar dan Qiano.
Nata membukanya, melihat foto - foto yang mereka kirim. Terlihat sekali mereka bahagia bermain dengan beberapa bule cantik di pantai.
•Fajar
Seru di sini, lo di mana? Gosip banyak banget bilang soal lo yang liburan berdua sama Kanya. Kita ga di ajak!•Qiani
Nyimak...Nata tersenyum tipis lalu mulai mengetik.
•Me
Kita jalan bentar, nanti nyusul ke sana kalau masih ada waktu. Gue masih mau sana Kanya. Gue mau jinakin dia.Nata mematikan ponselnya, menatap lagi pada Kanya.
"Nata! Sini indah banget di sini, serius ini punya aku?" tanya Kanya dengan menunjuk dirinya sendiri penuh haru. Begitu lucu.
Nata tak bisa lagi menolak pesona Kanya, gaun pantai yang transparan membuat Kanya semakin tak bisa dirinya abaikan. cantik, seksi dan menggemaskan. Sungguh perpaduan yang memabukan.
Nata berjalan santai menghampiri Kanya lalu meraih kepala gadis itu, mendekatkan wajahnya kemudian menempelkan keningnya di kening Kanya.
"Semua punya kamu, kamu kok gemesin sih." gumam Nata setelahnya Nata memeluk Kanya dengan gemas.
"Ahk! Sesek Nata! Lepas! Uhuk!" Kanya terus memukul punggung Nata dengan gemas. Nafasnya tersendat - sendat."kamu mau bunuh aku?!" lanjut Kanya dengan nada sedikit meninggi.
Nata terkekeh geli lalu melonggarkan pelukannya.
"Bunuh kamu? Mana berani, kalo manjain kamu aku berani, aku bisa." godanya lalu mencolek hidung Kanya sekilas.
Kanya melongo tak percaya dengan perubahan Nata yang kini mirip dengan anak alay. Nata turun harga dari yang cool kini lebay!
Namun Kanya tidak bisa mengelak soal jantungnya yang tiba - tiba menggila.
***
Masalahnya mereka sudah hampir 3 jam keliling mencari oleh - oleh yang ada di sebelah pulau milik Kanya.
Nata mencekal lengan Kanya, membuat gadis itu menghentikan langkah dan celotehannya tentang keindahan barang - barang yang ada di sana.
"Liat kaki kamu merah, lecet - lecet gitu."
Kanya menunduk mengamati kakinya yang benar saja lecet, pantas saja terasa perih.
Nata meraih pinggang Kanya untuk dirinya tuntun menuju kursi yang di sediakan di sekitaran trotoar.
"Duduk di sini, aku beli obat dulu." pamit Nata tanpa menunggu jawaban dari Kanya.
Kanya menunduk untuk melepas sandal lilit itu lalu mengamati lagi kakinya, lumayan banyak lecetnya bahkan ada yang memar.
Kanya mengamati sekitar yang begitu banyak orang berlalu lalang, banyak turis juga.
"Woah, lumayan cuci mata, pesona bule emang sulit di tolak.." Kanya cekikikan sendiri seperti orang gila.
Kanya sesekali melambaikan tangan pada bule yang lewat, tanpa tahu malu. Setelahnya cekikikan sendiri.
Kanya terlihat takjub dengan tinggi para bule itu. Membuatnya minder.
Beberapa kali Kanya tersenyum, berhai ria lalu cekikikan lagi. Sungguh menghibur.
Tak lama Nata datang dari arah belakang Kanya."Bagus ya! Natap bule sambil cekikikan." sindir Nata lalu duduk di samping Kanya dengan beberapa obat yang kini tengah Nata buka.
Kanya menekuk bibirnya sebal, Nata mengganggu suasana yang tengah di buatnya.
Kanya melirik bule - bule yang masih berada di tempatnya. Mencuri - curi pandang ke arah pria putih berhidung mancung itu.
"Ahk!" pekik Kanya saat merasakan tekanan kuat di kakinya yang lecet.
Kanya menatap Nata marah, sedangkan Nata menatap Kanya penuh peringatan.
Pada akhirnya Kanya hanya bisa diam dengan menekuk wajahnya bete.
"Jangan macem - macem, aku bisa suruh orang buat bikin bule itu babak belur." acuh Nata tanpa menatap Kanya seraya membalut luka di kaki Kanya.
Setelah selesai Nata menatap Kanya."Kamu tahukan aku gimana? Aku ga main - main." senyum miring tercipta di bibir Nata membuat Kanya merinding seketika.
"Kalau aku suka sama sesuatu, aku bakalan jaga sesuatu itu sebaik mungkin, aku tipe orang eum bisa di bilang posesif." sambung Nata lalu berdiri dengan mengulurkan tangan ke arah Kanya. Mengajak gadis itu untuk berdiri lalu menuju mobil untuk pulang.
"Kamu sebenernya siapa aku? Kita ga ada hubungan apapun kalau kamu lup—"
"Kamu punya aku, apa itu masih belum jelas?" Nata terlihat tidak santai, di tambah dia cemburu soal kejadian tadi.
Kanya menatap para bule itu dengan tertarik, sedangkan padanya selalu menatap dengan dingin, benci dan penuh amarah.
Nata tahu, semua memang salahnya. Tapi, tetap saja dia tidak ingin di beda - bedakan.
"Apa sih, Nat! Kita—"
"Ga usah di bahas." Nata menyeret pelan Kanya agar berjalan di sampingnya.
"Pelan, perih." Kanya meringis pelan.
Nata membenarkan plester di kaki Kanya yang terbuka lalu kembali menuntunnya.
***
Sepertinya mengenal Nata akan mempersulit dirinya untuk banyak memiliki teman, khususnya laki - laki.
Kanya menghela nafas berat. Di sekolah pun tak ada yang mau berteman dengannya karena Nata.
Mereka terlalu takut mengusik yang katanya milik Nata itu.
Nata mengecup pelipis Kanya."Ayo udah sampai di hotel." bisik Nata lalu turun dari mobil di susul Kanya.
Nata menggandeng Kanya menuju lift, mengabaikan beberapa bule yang memandang terang - terangan ke arah Kanya.
Tak mungkin bagi Nata untuk meninju para bule itu, dia tidak ingin menghancurkan waktu singkatnya dengan Kanya.
Setelah naik beberapa lantai, di dalam lift menjadi banyak penghuninya, Nata berdiri di belakang Kanya, memeluk posesif gadis itu.
Kanya tentu saja tidak nyaman tapi tak bisa berbuat apa - apa. Kanya menghela nafas lega saat lift sudah terbuka di lantai yang di tuju.
"Nata lepas." risih Kanya dengan jalan yang sedikit sulit akibat pelukan Nata di setiap langkahnya.
Nata tetaplah Nata, dengan segala keegoisan dan keinginannya yang tak bisa di ganggu gugat.
Nata mengangkat tubuh ringan Kanya membuat Kanya meronta - ronta."Ih lepas! Aku bisa jalan sendiri." amuknya.
"St.. Sebentar lagi nyampe tanggung." bisik Nata yang sontak membuat Kanya kegelian.
***
"Nata, makan malem mau di mana?" tanya Kanya dengan sedikit ragu dan canggung.
"Kamu mau di mana?" tanya Nata acuh, fokusnya masih pada ponsel.
"Mau di hotel aja aku cape, mau istirahat supaya besok seger, masa pulang liburan layu." gerutu Kanya yang masih di abaikan Nata walau Nata mendengar ucapan Kanya.
Nata tampak kesal, seseorang itu berhasil mengganggu ketenangannya.
Nata melempar ponselnya dengan kuat membuat Kanya yang duduk di sebrang Nata terlonjat kaget.
"Ih kenapa sih! Kaget tahu." semprot Kanya.
Dengan wajah di tekuk muram Nata melambaikan tangannya, menyuruh Kanya menghampirinya.
"Cepet sini!" geram Nata saat melihat Kanya mengangkat bahunya tanda tidak mau.
Kanya berdiri dengan kesal lalu menghentakkan langkahnya menuju Nata.
"Apa sih!" ketus Kanya setelah berdiri di depan Nata.
Nata menarik lengan Kanya membuat Kanya duduk di sampingnya. Nata memeluk Kanya lalu mengendus lehernya, tempat ternyaman bagi Nata.
Dia butuh menenangkan emosinya yang meletup - letup.
"Nata! Stop jangan kayak gini ih geli.." Kanya menggeliat seraya berusaha mendorong Nata.
Nata malah mendorong Kanya hingga gadis itu berada di bawah kuasa Nata, di usapnya leher Kanya.
Kanya meronta - ronta membuat Nata mendongkak menatap Kanya."Diem! Kaki kamu kena anu aku." terang Nata yang sontak membuat Kanya membatu.
Nata mengulas senyum tipis lalu kembali menjelajahi leher Kanya yang selalu membuatnya mabuk. Jemarinya perlahan merambat hingga di pipi Kanya.
"Kamu milik aku Kanya." gumam Nata dengan sorot mata menatap lurus kedua mata Kanya.
Kanya tidak bisa menahan kedua pipinya yang memanas.
"Udah." cicit Kanya dengan menatap Nata memohon.
Nata mengecup kening Kanya lalu menjauhkan tubuhnya dari Kanya.
***
Kanya tampak acuh dengan Nata, dia sudah tidak peduli dengan apa yang di lakukan Nata karena percuma menolak pun tak mungkin bisa.
Kanya menghela nafas berat. Nata dengan segala kekuasaannya tak bisa Kanya lawan.
Kanya cape hati.
"Nata kalo aku ajak ayah aku liburan ke pulau kamu boleh?" tanya Kanya terdengar antusias.
Nata mengangguk."Boleh dong, itu punya kamu, sayang." cuek Nata.
Kanya menahan nafas, panggilan sayang dari Nata membuatnya merinding.
"Apaan sih! Sayang - sayang!" dumel Kanya dengan mata menatap makanan yang sedang di aduk olehnya.
Nata hanya tersenyum samar di sela - sela kunyahannya. Kanya selalu menggemaskan pikir Nata.
"Aku mau ambil puding dulu di sana ya!" pamit Kanya dengan begitu riang.
Nata hanya menatap kepergian Kanya lalu dengan cepat Nata memasukan serbuk obat ke dalam minuman Kanya.
Revan duduk dengan tenang, justru perasaannya kini senang. Sedangkan Bella menunduk dalam, dia terlihat malu."Kan! Mereka udah dewasa, ketakutan aku terjadikan!" Dewi menatap Dewa dengan emosi dan berkaca - kaca."Iyah, kalau tahu gini aku dari awal engga kasih izin.." Dewa meraih bahu Dewi, mengusapnya agar tenang."Kalau hamil gimana? Rieta pasti kecewa!" Dewi menyeka air matanya, perasaan Rieta pasti hancur kalau sampai itu terjadi.Revan terhenyak, rasa senangnya lenyap. Benar juga, Rieta kalau tahu pasti kecewa dan akan merasa bersalah. Revan harusnya menjaga Bella."Kalian keluarnya di dalam atau luar?" Dewi menatap Revan dengan masih marah.Bella semakin tidak berani mengangkat kepalanya.Revan menjilat bibirnya yang tiba - tiba kering, jakunnya mulai bergerak saat menelan ludah."Da-dalem ma.." Revan menunduk,
Bella tersenyum dengan tersipu, tangannya yang dingin kini di genggam erat oleh Revan. Rasanya Bella kembali pada masa ABG labil, berdebar dan malu - malu."Di sini kalo pagi emang gini, dingin.." Revan menatap Bella dengan senyum tipis.Revan masih tidak percaya kalau Bella ada di rumahnya, bahkan saat membuka mata Bella ada di sampingnya.Revan ingin menyinggung pernikahan tapi rasanya Revan ragu, dia tidak mau melukai Bella yang belum sembuh dari gagal nikahnya dengan Fadil."Iyah, parah dinginnya.." Bella mengamati sekitarnya, padahal matahari sudah menyapa cukup tinggi.Revan mengubah posisi, di peluknya Bella dari belakang."Biar anget.." katanya di atas kepala Bella, Revan menyandarkan kepalanya di kepala Bella.Bella menggigit bibirnya, menahan senyum yang takutnya terlalu lebar."Bell.." panggil Revan lembut.
Revan membantu Dewi untuk duduk, kini mereka sudah kembali ke rumah. Satu bulan lebih berlalu, operasi kecil pun dengan lancar Dewi laksanakan.Revan dan Bella pun mulai terlihat seperti semula, tanpa canggung atau berusaha menghindar. Hubungannya bisa di bilang membaik namun tidak sedekat dulu, Bella pun tidak seagresif dulu.Bella di sibukan dengan bisnis barunya yang baru buka, Bella membuka toko kecil namun berisi bunga dan peralatan lain untuk kado."Bella kok jadi jarang jenguk bunda?" tanya Dewi setelah meraih gelas air yang di berikan Revan.Dewa melirik sang istri."Mungkin sibuk, ayah denger Bella buka bisnis ya?" tanya Dewa.Revan mengangguk."Baru buka minggu kemarin.." jawab Revan."Kamu kenapa ga bantu Bella?" tanya Dewi dengan penasaran."Katanya Bella ga mau di ganggu dulu." balas Revan lesu, seminggu lebih tidak bertemu
Revan menghentikan mobilnya di depan pintu gerbang rumah Bella, sepertinya untuk bertemu Rieta tak bisa sekarang."Bunda di dalem?" tanya Revan setelah membantu Bella membuka sabuk pengaman.Bella menggeleng."Lagi di rumah tante, acara syukuran anaknya.." balasnya dengan suara parau dan mata sembab.Revan mengangguk samar, syukurlah. Jika pun ada Revan tak bisa bertemu sekarang. Revan harus bergiliran menjaga sang bunda dengan ayahnya yang harus lembur."Kapan pulang?" tanya Bella."Nunggu mama sembuh.." balas Revan dengan memperhatikan Bella yang ternyata gemukan.Revan merasa lega, itu artinya Fadil menjaga Bella dengan baik."Mau jenguk, tapi nunggu matanya sembuh.." jelas Bella dengan bibir di tekuk. Moodnya masih belum baik."Hm, gih masuk. Istirahat.."Bella mengangguk."Makasih untuk
Bella mendial nomor Fadil, tumben selama dua hari ini Fadil tidak segesit biasanya."Kak Bell.."Bella menoleh lalu tersenyum ramah."Eh ada Ratu.." sapanya seraya memeluknya sekilas."Kakak lagi belanja juga?" tanyanya dengan riang."Hm, kamu ke sini sama siapa?" tanya Bella seraya mengusap anak gadis yang kini sudah masuk ke kelas dua SMA itu."Loh?"Bella menoleh, sama kagetnya dengan Fadil kini. Orang yang sulit di hubungi olehnya ternyata sedang belanja."Kalian saling kenal?" tanya Ratu senang."aku sepupu kak Fadil kak dan aku kenal sama kak Bell karena waktu itu kak Bell bantu tolongin anjing Ratu yang kejebak ikatannya di besi pinggir jalan.." terangnya riang.Bella yang berpikiran negatif sontak tertawa pelan."Kirain dia selingkuh.." gemas Bella pada Fadil.Fadil tersenyum, meraih pinggan
Bella terus berceloteh di samping Revan yang kini tengah makan bersama Fadil, Dewa dan Dewi."Iyah Bell, udah makan dulu.." Revan menyimpan udang yang sudah di kupas ke nasi Bella."Makasih.." kata Bella seraya menyudahi celotehannya lalu melirik Fadil di samping kirinya.Fadil menyeka keringat di poni Bella dengan tissue lalu membantu Bella mengupas udang. Fadil harus menghentikan Revan, biar soal mengurus Bella kini menjadi urusannya.Revan melirik keduanya dengan mood down. Revan salah berpikir Bella akan terus menunggunya. Mungkin Revan terlalu percaya diri kalau Bella tidak akan berpaling."Makasih.." kata Bella saat Fadil memberikan udang yang sudah di kupas cangkangnya.Dewi mengamati gerak - gerik anaknya. Sebagai ibu dia sangat paham dengan perasaan Revan.Sudah berapa kali dirinya menasihati Revan tapi tetap saja tidak
Fadil menggeleng samar, Bella sudah makan langsung tidur siang. Pantas saja pipinya gembul, menggemaskan.Fadil memperhatikan posisi Bella yang tidur dengan posisi duduk dan kepala bersandar di kepala sofa.Nyaman namun nanti akan membuatnya sakit. Fadil memutuskan untuk memandang wajah Bella.Damai, bulu mata lentik, alis tebal dan hampir menyatu dengan bulu - bulu halus di keningnya."Monyet, kamu banyak bulu di wajah ternyata.." gumamnya seraya mengusap bulu halus itu lalu turun ke hidungnya yang mungil namun mancung.Hingga jempolnya berakhir di bibir tipis yang merona alami. Ada kumis tipis yang menghiasi.Hubungannya setelah berstatus masih bisa di bilang mingguan belum bulanan, apa boleh mengecupnya sekilas? Pikir Fadil."Mau cium Bella?"Fadil tersentak sangat kaget di duduknya bahkan membuat Bella terja
"Aduh! Dosennya semoga belum dateng" heboh Bella dengan kedua kakinya yang pendek terus berlari melewati lorong yang akan membawanya semakin masuk ke dalam kampus.Fadil menaikan satu alisnya saat melihat Bella berlari begitu saja tanpa meliriknya.Fadil menyusulnya lalu menarik jaket Bella yang sontak membuat gadis itu berhenti dengan memekik kaget."Kemana? Kelas kita di sana kali" tunjuk Fadil kearah sebrang Bella."Ha! Belum ada dosen?" tanya Bella dengan nafas terengah."Hm, makanya kalo lagi ngomong teleponnya jangan di matiin! Tahu rasakan!" cemoohnya seraya melepaskan jaket Bella.Bella menggeram, bukan salahnya tapi justru salah Fadil yang selalu berbicara setengah - setengah dan kadang tak jelas. Membuatnya salah paham terus."Au ah! Males gue sama lo!" amuk Bella lalu berlari pelan menuju kelas di ikuti Fadil yang berjalan santai.
Bella gelisah, Bella tengah berdiri di balik pilar. Mencoba bersembunyi dan mengintip Revan yang kini tengah berbicara dengan Melia, kakak kelas mereka."Bella hanya temankan? Terus kenapa kamu ga bisa terima aku?" tanyanya seraya meraih tangan Revan.Revan menatap Melia, gadis di depannya memang menarik tapi Revan tidak ingin terganggu oleh hubungan rumit di masa SMA.Revan hanya ingin lulus lalu terbang ke negara yang akan mendidiknya menjadi atlit."Sorry.." setelah mengucapkan itu Revan berlalu.Bella menghela nafas lega, namun juga prihatin atas penolakan Revan. Bella kembali menarik nafasnya, kali ini dengan berat.Orang terdekat saja di abaikan, apalagi orang luar. Bella semakin tidak bisa menjangkau Revan rasanya.Bella membawa langkahnya untuk kembali masuk ke dalam gedung sekolah yang semakin r