Bian semakin kalut saat Najwa tak merespon panggilannya sama sekali. Belum lagi, suara sang Ibu yang berteriak tak sabaran juga semakin kencang terdengar. Terpaksa, Bian menemui Ibunya kembali.
"Najwa kayaknya tidur, Bu. Aku teriakin dari tadi, tapi nggak ada jawaban," ucap Bian sambil mendesah samar."Terus, ini gimana? Ibu udah kebelet, Bian!" Wajah Bu Jannah tampak sudah memerah karena menahan panggilan alam terlalu lama.Bian jadi panik. Dia tak pernah membersihkan kotoran sang Ibu selama ini. Semua hal menjijikkan itu sudah menjadi tugas Najwa sedari dulu.Dia dan adiknya? Tentu hanya pandai menyuruh ini-itu serta memprotes beberapa tindakan yang Najwa lakukan selama merawat Ibu mereka."Salma, kamu bisa bantu Ibu dulu?" tanya Bian pada istri keduanya.Mata Salma langsung membulat lebar. Dia yang masih anteng menikmati sop buntutnya bahkan nyaris tersedak."Ba-bantu? Bantu apa?" lirih Salma."Kelamaan. Nggak usah ditanyain. Sini, kamu cepat dorong kursi roda Ibu! Ibu udah nggak tahan, Salma!" kata Bu Jannah sambil meringis, menahan mulas di area perutnya."Ta-tapi...,""Jangan kebanyakan tapi. Buruannn!!!" teriak Bu Jannah dengan nada ketus.Salma berjingkat kaget mendengar teriakan sang Ibu mertua. Sesaat, dia menatap Bian penuh tanya.Bukankah, kata Bian, Ibu kandungnya sangat baik? Tapi, kenapa belum apa-apa, sudah segalak ini?"I-iya, Bu!" angguk Salma patuh. Andai tak ada Bian, mungkin sudah dia tampar mulut perempuan tua itu.Bian hanya menghela napas panjang. Sesaat kemudian, dia kembali melanjutkan makan siangnya yang sempat tertunda.Belum lima menit, tiba-tiba teriakan dari Salma terdengar. Diikuti, dengan suara muntah dari arah kamar mandi."Huweeeekkkk!!" Salma berlari keluar. Dia bahkan belum sempat membersihkan kotoran Ibu mertuanya."Salma, mau kemana, kamu? Ibu belum dicebokin ini!" teriak Bu Salma kesal.Namun, Salma seolah tak peduli. Dia tetap berlari keluar demi menyelamatkan diri sendiri."Loh, sayang? Ada apa?" tanya Bian khawatir. Takut, andai Ibunya atau Salma kenapa-kenapa."Aku nggak tahan, Mas! Kotoran Ibu kamu bau banget!" jawab Salma dengan wajah pucat karena mual."Jadi, Ibu gimana? Belum kamu bersihin?" tanya Bian yang malah ikutan panik. Dia tentu tak mau jika tugas menjijikkan itu malah berpindah padanya."Aku nggak kuat. Mas aja! Kan, itu Ibu kamu!" sahut Salma sambil berlalu meninggalkan Bian begitu saja.Bian menyugar rambutnya frustasi. Dia tak tahu harus bagaimana untuk sekarang ini. Membersihkan kotoran Ibu? Benar-benar tak pernah terlintas dalam benaknya."Bian!! Najwa! Salma! Tolongin Ibu. Benar-benar ya kalian! Dasar anak dan menantu tak becus," teriak Bu Jannah dari dalam kamar mandi.Mau tak mau, Bian yang harus membersihkan bekas kotoran Ibunya sendiri. Tak ada yang bisa diharapkan karena Najwa sedang tidur sementara Salma sudah menyerah.*Malam harinya, barulah Najwa keluar dari dalam kamar. Perutnya mulai terasa lapar. Najwa butuh mengisi perut agar tetap sehat dan kuat. Kini, Kakek sudah tidak ada. Tak akan ada lagi, yang mengingatkan dirinya perihal makan dan kesehatan."Kok baru keluar kamar jam segini? Sengaja?" tanya Bian dengan ekspresi terlihat marah."Memangnya, kenapa?" balas Najwa tak acuh."Kamu tanya kenapa? Kamu nggak lihat, meja makan kosong begitu?" tunjuk Bian pada meja makan mereka yang hanya ada tudung saji diatasnya."Terus?""Mana tanggungjawab kamu sebagai istri? Mas ini lapar. Butuh makan! Tapi, kenapa kamu belum masak juga, hah?""Lah, istri kamu yang itu, mau kamu apakan, Mas?" tunjuk Najwa pada Salma dengan dagunya. "Cuma kamu jadikan pelayan diatas ranjang aja, begitu? Suruhlah, dia yang masak!"Jawaban sarkas Najwa langsung menyulut emosi Salma. "Apa maksud kamu, Mbak? Aku tamu disini. Wajar, kalau Mbak yang melakukan segala pekerjaan rumah. Ini kan, rumah Mbak sendiri.""Tamu itu, biasanya cuma nginep satu sampai dua hari aja. Kalau rencana nginap selamanya, itu namanya bukan tamu. Tapi, numpang. Ngerti? Dan, orang numpang mestinya tahu diri, dong!""Aku nggak numpang, ya, Mbak! Ini rumah suamiku juga!"Najwa tertawa sinis. Sepertinya, Bian belum jujur sepenuhnya tentang siapa yang sebenarnya menjadi pemilik dari rumah besar yang sekarang mereka tempati pada istri keduanya itu."Kalian tak usah bertengkar! Najwa, lebih baik sekarang kamu masak! Setelah itu, kamu suapi Ibu sekalian ganti bajunya!"Enteng sekali Bian memerintah. Jika itu dulu, sebelum Najwa tahu pengkhianatan Bian, mungkin Najwa akan menurut begitu saja.Tapi, sekarang tentu sudah berbeda. Dia tak mau lagi menuruti perintah Bian yang baru Najwa sadari hanya memperlakukan dia layaknya babu."Ogah! Suruh saja istri barumu, Mas!""Najwa, jangan keras kepala!" hardik Bian."Dan kamu, jangan sok-sokan memerintah!""Aku suamimu!""Aku sudah bilang, talak aku!""Nggak akan!""Kenapa?" balas Najwa sambil tersenyum sinis.Bian menatap Najwa nyalang. Baru kali ini, dia melihat sang istri membangkang sedemikian hebat. Apa Najwa benar-benar marah hanya karena Bian mendua?Katanya cinta. Tapi, kenapa melihat Bian bahagia, Najwa seolah tak rela?"Kamu serius mau ditalak?" tanya Bian dengan senyum menyeringai."Ya, aku serius.""Sadar, Najwa! Kamu ini nggak punya siapapun sekarang. Kamu pikir, kamu bisa bertahan tanpa aku? Hah! Jangan sok kuat! Kalau sampai aku benar-benar pergi, kamu bisa mati sekarat karena tak punya uang!""Oh ya?" Najwa membalas tak kalah sinis. "Kamu bilang, aku tak bisa tanpamu, Mas? Baiklah! Nanti kita buktikan! Aku yang tak bisa tanpamu, atau justru kamu yang tak bisa tanpaku?""Mimpi kamu, Najwa!""Lihat saja nanti!" Najwa memutar kembali tubuhnya dan memutuskan kembali masuk ke dalam kamar. Rasa lapar yang tadi menggerogoti perut, mendadak sirna begitu saja.Sementara itu, Bian masih terpaku sambil menatap punggung Najwa yang semakin menjauh. Ada perasaan berat, takut dan gugup yang bercampur menjadi satu. Mata Najwa tak pernah seyakin itu kala berbicara dengannya."Mas, jadi kita gimana?" tanya Salma bingung. Dia tak pandai memasak. Selama ini, dia memanjakan perut Bian hanya dengan membeli makanan di luar. Toh, tak sering juga Bian mampir ke kontrakannya. Itu pun, sehabis pulang kerja dan jarang sekali menginap."Pesan makan diluar saja!" jawab Bian tak mau pusing."Najwa! Najwa! Mana makanan Ibu? Ibu lapar ini! Jadi mantu kenapa lelet amat, sih?" teriak Bu Jannah dari arah kamar yang memang berdekatan dengan dapur."Tuh, Mas! Ibu kamu teriak lagi! Urusin, gih! Aku malas," ujar Salma kesal.Bian menghela napas kasar. Dia pun segera menghampiri sang Ibu untuk menanyakan apa maunya."Apa sih, Bu?""Makanan Ibu mana? Ibu sudah kelaparan ini!" ketus Bu Jannah."Sabar, Bu! Salma baru pesan makanan," kata Bian."Pesan? Najwa nggak masak, memangnya?"Bian menggeleng lemah."Benar-benar anak itu!" Bu Jannah menggeram. "Dasar mantu nggak tahu diuntung!! Antar Ibu ke kamarnya! Biar Ibu labrak mantu tak tahu diri itu!" ujarnya dengan tampang yang terlihat sangat marah."Kalau Najwa sudah tak mau menurut lagi, lebih baik kamu ceraikan dia saja, Bian! Toh, sudah ada Salma, kan? Usir dia dari rumah ini supaya dia jadi gelandangan sekalian!" lanjut Bu Jannah yang seketika membuat Bian gugup."Sialan!! Kenapa jadi begini? Kenapa Najwa malah bahagia dengan lelaki lain? Seharusnya, dia itu kembali sama aku. Bukan malah melupakan aku dan menikah dengan pria lain!!"Bian berteriak kesal yang membuat teman-teman satu selnya menjadi ikut-ikutan kesal."Hei, bisa diam, nggak lu?" hardik seorang pria berbadan besar."Apa?" tantang Bian. "Kalau gue nggak mau diem, lu mau apa, hah?" Ia berkacak pinggang dengan begitu angkuh."Oh, lu berani sama gua?" Pria berbadan besar itu berdiri dari duduknya.Sontak, tahanan lain langsung mendadak riuh. Mereka memanas-manasi keadaan supaya terjadi pertengkaran seru."Emangnya, kenapa gua mesti takut sama lu, hah? Modal badan gede doang, udah sombong lu!""Sialan!"Bugh!Satu pukulan keras menghantam dagu Bian. Lelaki itu langsung mundur ke belakang dengan sedikit kehilangan keseimbangan."Lu berani mukul gua?" Bian mulai naik pitam.Disiapkannya tinju, lalu ia layangkan dengan cepat ke arah pria berbadan besar itu. Sayangnya, tangan Bian justru
Satu tahun kemudian... "Hoekkk!! Hoek!!" "Wa, kamu masih mual?" tanya Halimah seraya menghampiri sang sekretaris yang sedang muntah di toilet yang ada di ruangannya. "Iya, Kak," jawab Najwa. Dia menekan tombol flush pada closet kemudian berbalik menatap Halimah. "Ini sudah lebih seminggu loh, Wa." Halimah mengingatkan. "Paling cuma masuk angin aja, Mbak. Beberapa hari lagi pasti sembuh, kok. Atau, mungkin magh-ku kambuh. Soalnya, akhir-akhir ini aku malas banget buat makan. Kayak nggak nafsu gitu tiap kali lihat makanan." "Bulan ini, kamu sudah haid?" selidik Halimah. "Belum, Kak," geleng Najwa. "Bulan kemarin juga belum. Kenapa, ya?" Plak! Halimah menampar bahu Najwa saking gemasnya. "Kamu nggak nyadar sesuatu, Wa?" tanya Halimah. "Maksud Kak Halimah, apa?" "Jangan-jangan, kamu hamil, Wa?" tebak Halimah.
"Urusan apa lagi, Tante Sephia? Apa Tante masih belum jera juga, mencari masalah dengan kami?" Deva menatap wajah wanita tua itu dengan tajam. Geliginya bergemelatuk dengan keras. Ia sudah sangat siap andai Bu Sephia ingin kembali memulai masalah baru dengannya dan keluarganya. Bruk! Namun, dugaan Deva rupanya salah. Bukan hendak mencari masalah, tetap wanita tua itu justru malah menjatuhkan diri dihadapan Najwa dan Deva. Kedua tangannya saling menyatu didepan dada. Ia meneteskan air mata seraya mendongak menatap Deva dan Najwa seraya bergantian. "Maafkan saya dan keluarga saya! Saya mohon..." pinta Bu Sephia mengiba. "Tante, jangan begini! Ayo, bangun!" Najwa berusaha membuat wanita tua itu berdiri. Akan tetapi, Bu Sephia menolak dan tetap bersikukuh untuk berlutut dihadapan Najwa dan juga Deva. "Suami dan putri saya sudah meninggal karena kesalahan kami sendiri. Saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Indra. Dan, saya tidak ingin terkena karma lagi. Saya tidak mau keh
Deva menghentikan langkahnya. Ia menengok kebelakang untuk sesaat kemudian kembali melangkah. "Tidak usah. Apapun yang terjadi pada mereka, sama sekali bukan tanggung jawab kita." Teddy mengangguk tanda mengerti. Raungan Bu Sephia adalah hal terakhir yang Deva dengar sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. "Mas..," sambut Najwa saat Deva telah kembali. "Tangan kamu, gimana?" tanya Deva seraya menghampiri sang istri. "Alhamdulillah, sudah agak mendingan." "Maaf, karena aku baru sempat menanyakan keadaan kamu, Sayang!" "Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong, gimana kondisi keluarga Mbak Intan?" "Mereka semua baik-baik aja. Cuma... Tante Sephia sepertinya belum menerima kenyataan bahwa putrinya sudah berpulang." Najwa meneguk ludahnya. Dia turut prihatin akan kepergian Intan yang begitu tragis. Namun, bukankah Intan sendiri yang menentukan akhirnya hidupnya? Wanita itu sendiri yang telah nekat menghancurkan dirinya. "Nak Deva...," panggil Bi Tin. Deva tersenyum hanga
"Galih... kamu dimana, Nak?"Teriakan seorang Ibu yang mengkhawatirkan putranya terdengar begitu menyayat hati. Najwa langsung menyambut wanita tua yang datang bersama beberapa tetangga lain dari kampung dengan langkah tergesa."Bi Tin," sapa Najwa.Bi Tin dengan wajah sembap, langsung menggenggam kedua telapak tangan Najwa."Galih dimana? Bagaimana kondisinya? Dia selamat, kan?" cecar Bi Tin dengan suara bergetar."Masih ditangani dokter, Bi. Galih kekurangan banyak darah.""Ya Allah...," Bi Tin merasakan persendiannya terasa lemas.Dia hampir jatuh bersimpuh. Namun, Najwa dan yang lain berusaha menahan tubuhnya agar tetap berdiri tegak."Duduk dulu, Bi!" ucap Najwa sambil membantu wanita tua itu untuk duduk di kursi besi."Galih...," racau Bi Tin sambil terus menangis."Maafkan Najwa, Bi! Semuanya karena Najwa," lirih Najwa yang ikut duduk disebelah Bi Tin.Bi Tin menghela napas panjang. Dia berusaha mengusir sesak yang menghimpit dadanya.Pasalnya, putra satu-satunya yang ia miliki
"Lepas!!!" teriak Intan membabi-buta. Dia ingin terbebas dari kuncian dua orang tim keamanan yang memeganginya."Aku akan bunuh kamu, Najwa!!!" teriaknya saat melihat kehadiran Najwa diantara banyaknya tamu di pesta ulangtahun Iqbal.Tak Intan hiraukan tatapan-tatapan takut sekaligus geram yang diberikan oleh para hadirin. Wanita itu hanya terus fokus pada Najwa yang saat ini sedang dipeluk oleh Halimah. "Aku akan bunuh perempuan itu! Lepas, Pak! Lepaskan saya!""Tunggu, Pak!" teriak Deva dari belakang.Para tim keamanan itu pun berhenti. Mereka memberi hormat kepada Deva sebelum membuka jalan untuk pria itu agar bisa mendekati Intan.Plak!Semua orang tercengang melihat kejadian barusan. Seorang Deva, yang selama ini pantang memukul wanita... dengan penuh kesadaran justru menampar Intan dengan sangat keras."Deva...," lirih Intan serak. Air matanya jatuh membasahi pipinya."Apa?" tanya Deva dingin. "Apa kamu sudah puas?""Aku begini karena kamu...," timpal Intan."Karena aku?" Deva