Aisyah Sofiana, seorang gadis yang di jadikan penebus hutang oleh pamannya sendiri pada juragan tanah yang sudah memiliki istri tiga. Itu artinya, jika Aisyah menyetujui, ia harus menjadi istri ke empat juragan tanah itu. Aisyah menolak mentah-mentah permintaan pamannya itu, dan preman suruhan juragan menawarkan diri agar dirinya saja yang menikahi Aisyah. “Kalau kamu tidak mau jadi istri juragan Bram, lebih baik kamu jadi istriku saja!” Ucap seorang preman yang bernama Galih Pratama. Akankah Aisyah menerima tawaran preman itu??
view more“Nah... Ini dia keponakan yang saya ceritakan kemarin, Tuan.” Ucap Herman, saat Aisyah baru saja melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang tamu tersebut.
Dua lelaki dengan penampilan seperti preman, duduk di ruang tamu sembari menatap Aisyah dari atas sampai bawah dengan intens. Merasa risih dengan tatapan dua pria itu, Aisyah bergegas melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kamar. Namun, suara teriakan Herman membuat gadis itu mengurungkan niatnya. “Jangan kemana-mana, Aisyah! Duduk di sini!” Titah Herman sembari menunjuk kursi di sampingnya. “Maaf, Paman. Badan Aisyah terasa lengket, Aku mau bersih-bersih dulu.” Tolak Aisyah dengan lembut. “Duduk, Aisyah! Atau_” Ucapan Herman tertahan sesaat. Tampak seorang wanita berjalan dari arah dapur dengan membawa nampan berisi tiga cangkir teh hangat. “Duduklah dulu, Aisyah. Ada hal penting yang harus kami bicarakan sama kamu!” Ucap Rina, istri Herman. Aisyah pun pasrah. Ia duduk dengan rasa penasaran menyelimuti jiwanya. Apa yang akan di sampaikan oleh Paman dan Tantenya itu? “Jadi ini... Gadis yang ingin kau gunakan untuk menebus semua hutangmu pada Bos kami??” Tanya salah satu preman itu, menatap lekat wajah Aisyah. Hah? Aisyah terperanjat. Mata gadis itu sontak mengerjab, ia terkejut mendengar penuturan pria dengan penampilan seperti preman itu. “Penebus hutang??” Tanyanya dengan sorot mata penuh kekecewaan. “Iya, Syah. Anggap saja semua ini balas budi kamu terhadap Paman, karena selama ini Paman sudah mau menampung kamu dan adikmu di rumah ini. Jadi, kamu harus bersedia menikah dengan juragan Bram untuk melunasi hutang Paman!” Ucap Herman dengan entengnya. Himpitan ekonomi membuat Herman dan istrinya gelap mata. Sehingga rela mengorbankan keponakannya sendiri sebagai alat penebus hutang. Aisyah menahan rasa perih di dadanya saat Herman mengatakan hal seperti itu. “Menikah? Pak Bram juragan tanah itu, yang istrinya udah tiga??” Tanyanya dengan suara bergetar. “Ya! Dan kamu akan menjadi istri ke empatnya!” Ungkap Herman lagi. Dada Aisyah semakin terasa sesak. Ia harus menjadi istri ke empat juragan tanah itu? Aisyah menggeleng cepat, “Enggak Paman! Aisyah gak mau!” Tolaknya dengan tegas. Menjadi istri kedua saja sama sekali belum pernah terbayangkan, apalagi harus menjadi istri ke empat. Meskipun Bram itu juragan tanah terkaya di kampung itu, tapi tetap saja, ia tidak akan mau melakukan hal gila itu. “Ini bukan penawaran, Aisyah! Ini perintah!! Mau tidak mau, kamu harus terima. Kecuali... Kamu bisa membayar hutang Paman senilai seratus juta itu!” Ungkap Herman. Hati Aisyah begitu sakit. Herman memaksanya untuk menikah dengan Bram, juragan tanah itu. Jika tidak, ia harus melunasi hutang sebanyak itu. Uang dari mana? “Paman sudah gila! Uang dari mana sebanyak itu?? Lagi pula Paman berhutang sebanyak itu untuk apa??” Tanya Aisyah, ia tatap Herman dengan penuh rasa kecewa. “Kamu turutin saja permintaan Paman kamu, Aisyah. Jangan membantah! Kalau kamu tidak ingin hidup kita penuh penderitaan!! Lagi pula juragan Bram itu kan hartanya banyak, kamu gak perlu lagi capek-capek kerja setelah menikah nanti...” Ujar Rina. Aisyah terperangah. Ia tatap Rina, wanita itu juga sama dengan Herman. Memaksakan kehendak mereka. Tak menyangka dengan perkataannya. “Nggak, Tante! Bagaimana mungkin Tante tega menyuruhku menjadi istri ke empat juragan Bram?” Air mata Aisyah seketika keluar. Sebenarnya Rina memiliki anak kandung seorang gadis, yaitu Syahnaz. Namun, ia memilih Aisyah sebagai penebus hutang walaupun Syahnaz memiliki wajah yang jauh lebih cantik. Alasan utamanya karena Aisyah hanya keponakannya. Selain itu, Aisyah tidak memiliki masa depan cerah, ia hanya bekerja di sebuah konveksi dan juga cafe yang gajinya tak seberapa. Sedangkan Syahnaz, saat ini sedang merintis karier di perusahaan luar kota. Dengan semua pertimbangan itu, tentu saja Rina tidak akan rela mengorbankan Syahnaz yang merupakan anak kandungnya sendiri. Apalagi kepada seorang pria tua beristri tiga seperti juragan Bram. “CUKUP!!” Sentak salah satu dari anak buah juragan Bram. Pria itu menatap Aisyah, “Aku tak suka melihat wanita menangis! Kalau kamu tidak mau menikah dengan juragan Bram, maka menikah saja denganku!” Ucap pria bertato dengan pakaian lusuh, serta celana yang sobek di bagian lututnya. Pria itu adalah Galih Pratama, anak buah juragan Bram. Semua yang ada di ruangan itu, sontak terkejut setelah mendengar apa yang di lontarkan Galih barusan. “Galih?” Ucap Rais, teman Galih. Mengernyitkan kening. “Apa maksud kamu, Galih?” Tanya Rais lagi, “Bisa di pecat juragan kamu, kalau sampai kamu menikahi gadis itu!” Sambungnya. Sementara itu, Galih hanya tertawa sumbang, meremehkan Rais di hadapannya. Herman tertawa miris mendengar ucapan pria itu, “Kamu ini gimana? Orang keponakan saya mau saya jadikan penebus hutang, kok malah kamu yang minta dia menikah denganmu? Memangnya kamu sanggup membayar semua hutangku pada juragan Bram?” Tantang Herman dengan nada mengejek. “Gampang! Itu bisa di atur!!” Jawab Galih dengan tenang. “Galih?” Rais masih bingung. “Kamu diam saja, Rais! Ayo kita pulang...” Kata Galih, ia bangkit dari duduknya. Pria itu melirik sekilas pada Aisyah yang masih terpaku dengan ucapannya. “Tunggu! Aku juga gak mau menikah denganmu!!” Seru Aisyah, membuat Galih menatap gadis itu sekejap. “Pilihan ada di tangan kamu! Kamu rela menjadi istri ke empat juragan Bram? Atau menjadi istriku??” setelah mengatakan hal itu, Galih langsung beranjak keluar meninggalkan kediaman Herman. Rina menatap suaminya. Wanita itu ketar ketir terhadap penawaran Galih barusan pada keponakannya. “Pak, gimana ini? Kok malah jadi preman itu yang mau nikahin Aisyah? Nggak jadi kaya dong kita!” Tanya Rina. Herman tertawa kecil, “Kamu ini, Ma. Mana mungkin dia beneran mau nikahin Aisyah. Punya uang dari mana dia untuk melunasi hutangku? Gaji dia di juragan Bram aja, paling cuma cukup untuk untuk makan dan minum sehari!” Kata Herman. “Iya juga sih, Pak. Pokoknya Aisyah harus menikah dengan Juragan Bram! Biar hidup kita gak susah lagi!” Ucap Rina seraya menatap Aisyah dengan sinis. “Astaghfirullah... Tante kenapa setega itu sama aku? Apa tante rela melihat aku di jadikan istri ke empat dari lelaki yang seusia dengan Paman?” Tanya Aisyah, kecewa. “Ingat ya, Aisyah! Selagi ada uang, hidup kita bisa tenang! Pokoknya kamu gak ada hak untuk menolak!” Tegas Rina. Hati Aisyah mencelos mendengar ucapan wanita itu. Sungguh, ini sama sekali tak pernah terbayangkan oleh gadis itu sebelumnya. Aisyah berdiri dari duduknya. Ia melangkah pergi dari hadapan Herman dan Rina. Meninggalkan mereka dengan perasaan penuh kekecewaan. Berjalan menuju kamarnya. Gadis itu membaringkan tubuhnya ke kasur lapuk yang sudah berpuluh tahun tak pernah di ganti. Uang hasil jerih payahnya selama ini, ia berikan untuk Rina. Namun, semua itu seolah tak ternilai di mata mereka. Bahkan Herman dan Rina, tega menjual dirinya hanya terobsesi ingin menjadi kaya.“Apa kurang jelas perkataan saya tadi? Rumah ini bukan lagi milik Pak Wijaya!! Rumah ini adalah milik Mama saya. Jadi, Silakan Tante bawa aja ini laki-laki, urus Pak Wijaya dengan baik ya!!” ucap Galih mempertegas kemudian memanggil asisten rumah tangga yang sudah ia suruh untuk membereskan semua pakaian Wijaya. “Bi, tolong berikan koper itu pada wanita itu!” Titah Galih pelan, membuat Bi Nun mengangguk pelan. “Apa apaan ini, Galih?! Kenapa kamu usir Papa kamu sendiri?!” Tanya Indri heran. “Loh? Katanya Tante mau sama Papa? Ya sana bawa aja Papa pergi, kurang baik apa coba? Mama udah gak mau sama Papa. Itu kan yang Tante inginkan?” Jelas Galih seraya tersenyum sinis ke arah Indri. Indri menatap Wijaya serius untuk meminta penjelasan lebih lanjut. Namun, pria itu hanya diam, Wijaya benar-benar seperti orang bodoh yang tak bisa bersuara membela dirinya lagi. “Udah, cepetan! Sana bawa Papa! Semua milik Papa buat Tante deh.” Ucap Galih lagi kemudian mendorong koper itu ke arah Indri.
{Mas, kamu di mana Mas! Gawat, kita harus ketemu, Mas!} Indri mengirim pesan pada Wijaya.Namun sampai sepuluh menit belum ada tanda-tanda balasan dari lelaki itu.Gigi Indri gemeretak kesal, bagaimana kalau dia viral di sosial media?“Pak, lebih cepat lagi ya, Pak!” Titah Indri pada supir taksi.Tujuan Indri saat ini adalah ke rumah Wijaya. Mau tak mau ia harus mencari pria itu di sana. Tak peduli jika nantinya bertemu dengan Renita. Yang penting sudah bertemu dengan Wijaya.Sampai di depan gerbang rumah yang besar itu, Indri akhirnya menghela napas lega.“Rumah masa depan... Huhh, gak sabar banget jadi nyonya di sini,” Gumam Indri kemudian berjalan ke depan gerbang usai membayar taksi.“Permisi...” Teriak Indri sambil mengetuk pintu pagar.Namun, beberapa menit belum ada tanda-tanda satpam menghampirinya. la pun mencari bel yang ternyata ada di pojok pintu gerbang.Dua, bahkan sampai lima kali Indri memencet bel, tapi tak kunjung ada seseorang yang datang membukakan gerbang.“Satpam
“Ya maaf, Ma. Mila kan hanya nanya saja.” Ucap Mila merasa tak enak hati. la pun segera masuk ke dalam rumah dan menuju kamar.Di dalam kamar, ternyata Rian baru saja selesai mandi. Sampai saat ini, laki-laki itu belum mau membuka hati untuk istrinya.“Mas, mobil Mama mogok katanya,” ucap Mila memberitahu suaminya.Mata Rian memicing. “Biarin aja, gak usah ikut campur urusan Mama!” Jawabnya ketus.Deg!Mila terperanjat. Hatinya seketika terasa perih mendengar perkataan sang suami.“Ikut campur? Aku cuma kasih tau Mas, aku gak ada ikut campur apa pun,” Balas Mila denga ketus.“lya. Pokoknya jangan pernah ikut campur urusan Mama. Aku kasih tau dari sekarang!” Ujar Rian kemudian segera keluar dari dalam kamar, meninggalkan Mila yang tertegun.Mila menatap pintu kamar yang sudah di tutup Rian itu dengan helaan napas kasar.“Sampai kapan begini sih? Lama-lama aku gak tahan menjalani rumah tangga ini!” Gumam Mila.Sebagai wanita, ia tentu juga ingin di perlakukan dengan baik oleh suaminya.
“Usir Papamu dari sini, Nak. Mama gak rela rumah penuh perjuangan ini di injak oleh lelaki yang sudah menodai hati Mama dengan wanita lain, Mama gak ikhlas Galih, Mama gak relaaaa...” Titah Renita, tangisan yang sejak tadi ia tahan akhirnya tumpah di dada putranya. Mata Galih seketika menyorot tajam ke arah Wijaya. Satu tangannya mengusap lembut punggung Renita, tetapi satu tangannya lagi mengepal dengan erat. la sungguh geram dengan perbuatan Wijaya. Demi apa pun Galih tak pernah melihat Renita serapuh seperti sekarang. Dari getar suara Ibunya saja sudah bisa terbaca bagaimana rasa sakit yang saat ini di alami oleh Renita. “Papa gak tuli kan? Cepat pergi sebelum aku yang bertindak kasar, Pa!” ucap Galih dengan tajam. Wijaya langsung berlutut di hadapan Galih dan Renita, “Maa... Maafkan, Papa, Ma. Papa sadar Papa sudah menyakiti Mama. Tolong kasih kesempatan Papa satu kali lagi, Ma.” Suara Wijaya begitu sendu membuat Galih mencebik kesal. “Harusnya dari awal Papa mikir kalau deng
“Pergi dari rumahku sekarang juga! Aku sudah sangat muak lihat wajah kamu, Mas!” seru Renita lagi karena Wijaya masih saja berdiam di tempat. “Renita... Kita bisa bicara dulu baik-baik, Sayang. Anak-anak kita sudah besar, janganlah seperti ini...” Ucap Wijaya bermohon. Mata Renita memicing, kemudian menatap tajam pada lelaki yang baru saja mengeluarkan suara itu. “Bicara baik-baik? Maksudnya kamu mau bohongin aku lagi? Itu kan yang di maksud bicara baik-baikmu itu?” Ujar Renita lagi dengan sinis. “Siapa yang bohong si, Ma? Papa itu gak bohong!!” Jawab Wijaya beralasan, berusaha membela diri. “Bajingan! Kamu tuh bener-bener ya! Kamu pikir aku ini bodoh apa? Aku udah denger semua percakapan kamu dengan jalang itu tadi! Kamu pikir aku wanita bodoh yang mau mendengarkan alasan palsu kamu itu?” Umpat Renita, merasa emosinya benar-benar di permainkan. “Udah ketangkep basah masih aja ngelak terus, gimana kalau gak ketahuan, bisa-bisa sampe punya anak dua belas aku di bohongin terus!!”
Renita sudah tiba di rumahnya. la segera masuk, terdapat Dio sedang bersantai di depan televisi. “Mana Papa kamu, Dio?” Tanya Renita dengan suara keras. Dio yang tengah bersantai seketika terlonjak kaget dan langsung bangkit dari duduknya. “Mama? Kenapa galak banget Sih, Ma. Santailah, Papa ada di atas tadi. Mama udah mau baikan sama Papa?” Jawab Dio. “Baikan? Jadi kamu mau Mama baikan sama bajingan menjijikan itu, Dio?” Tanya Renita lagi, menatap penuh tanya pada putranya. Dio terlihat salah tingkah. “Ma, Papa kan udah minta maaf. Dia juga udah janji bakal berubah, setiap orang pasti punya kesalahan, Ma. Masa sih Mama mau berpisah cuma gara-gara satu kesalahan saja?” Jelas Dio pelan, tetapi berhasil membuat amarah Renita langsung membuncah. “Satu kesalahan kamu bilang? Otak kamu memang persis seperti Papa kamu ya! Percuma Mama jelasin sama kamu, yang ada di pikiran kamu itu sama saja seperti bajingan itu!” Ujar Renita, menatap penuh kekecewaan pada putranya. “Ma... Bukan begit
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments