Nayla Adzkia Sanjaya tak menyangka jika wanita yang selama ini ia hormati justru mengajukan permintaan paling tak masuk akal, yaitu ia diminta Vania untuk menjadi istri kontrak bagi Adrian Mahendra, orang yang sudah dia anggap sebagai pamannya sendiri, demi memberikan keturunan untuk keluarga Mahendra yang kaya raya. Awalnya Nayla menolak dan kabur. Tapi akhirnya ditemukan oleh Adrian. Karena atas dasar balas budi, Nayla terpaksa menerimanya. Tapi siapa sangka, pernikahan yang awalnya terpaksa berubah menjadi ikatan yang penuh perasaan. Bagaimana dengan nasib Nayla? Akankah Adrian benar-benar akan menceraikannya setelah kontrak habis? Dan apa yang akan dilakukan Vania setelah tahu bahwa cinta telah mengambil alih?
View More“Menikahlah dengan suamiku.”
Hening.
Waktu seolah berhenti.
"Tunggu sebentar," Nayla tiba-tiba berdiri, "Sepertinya nyawaku masih belum terkumpul sehingga aku menjadi salah dengar. Aku masih belum bisa mendengar dengan jelas suara Tante. Izinkan aku ke kamar mandi sebentar." Pamit Nayla buru-buru, berniat beranjak dari sana.
Tapi baru selangkah, Vania segera menghentikannya. "Nayla. Apa yang kamu dengar sudah benar. Duduklah. Aku belum menyelesaikan ucapanku."
Nayla berhenti, ia akhirnya kembali duduk meski meragu. Jemarinya meremas satu sama lain, bergerak gelisah di pangkuannya. pikirannya kalut.
Vania menatap Nayla lamat-lamat. “Kamu tahu kan, Tante tidak bisa punya anak? Tante mandul, Nay. Tidak bisa memberikan Adrian keturunan. Satu-satunya cara Adrian bisa punya penerus adalah menikah dengan perempuan yang subur. Mertuaku menolak anak asuh atau adopsi. Mereka hanya menginginkan darah daging Adrian sendiri. Tapi Tante, Tante tidak sanggup melihat Adrian bersama perempuan lain. Karena itu, Tante mohon padamu, Nay. Menikahlah dengan Adrian dan berikan dia keturunan.”
Nayla menggeleng tak percaya, "Tidak, tidak, tidak. Tante jangan bercanda. Aku masih waras, aku masih normal, aku tidak bisa mendengar bercandaan seperti ini."
"Tante serius, Nay. Tante—"
"Sudah cukup Tante. " Nayla berdiri dengan marah. "Pernikahan bukan untuk permainan. Kalau Tante sungguhan mengajukan permintaan itu artinya Tante tidak waras. Aku tahu Tante mungkin sedang marah dan sakit hati karena ucapan Nenek Saras yang selalu menyakiti Tante. Tapi bukan begini caranya. Bukan melibatkan aku. Tante lupa siapa Tante dan siapa om Adrian bagi aku? Kalian adalah orang tua kedua bagiku. Jangan mengajukan permintaan konyol seperti ini. Om Adrian sudah bilang berkali-kali kalau dia tidak akan menikah lagi. Tante tahu itu. Jangan biarkan ucapan Nenek Saras mengganggu rumah tangga kalian. Sudahlah, Tante. Aku bau, aku mau mandi dulu."
Vania tidak akan membiarkannya berlalu begitu saja, "Kamu masih ingin tinggal di sini, kan?" tanyanya dingin.
Langkah Nayla terhenti. Untuk sesaat, dia mematung sejenak, lalu berbalik dan menatap Vania dengan tatapan terluka dan sedikit kemarahan. "Apa Tante akan mengusirku?"
Dan tanpa perasaan Vania menjawab dengan tegas. "Ya."
Ekspresi Nayla berubah. Dia terdiam sesaat untuk mencerna jawaban itu. Namun, Nayla belum sempat mengatakan apapun, Vania kembali melanjutkan ucapannya.
"Kamu adalah harapanku satu-satunya. Jika kamu menolak permintaanku yang belum pernah meminta apapun kepadamu, aku bisa membereskan barang-barangmu sekarang juga."
Nayla membeku. Bibirnya membuka sedikit, tapi tak satu pun kata keluar. Hatinya terasa dihantam dari berbagai arah. Ia tak pernah menyangka Vania akan sungguh-sungguh mengucapkan permintaan setega itu.
Untuk beberapa saat ruangan itu hening.
Tak lama kemudian, tanpa memberi jawaban pasti, tanpa mengatakan apapun, Nayla berbalik. Dengan langkah marah, ia berjalan menaiki anak tangga satu persatu dengan kaki yang di hentakkan, langsung masuk ke dalam kamarnya dengan bantingan pintu yang cukup keras.
Brak!
Bunyi itu menggelegar di setiap penjuru rumah.
Vania tahu, tapi hatinya sekeras batu. Dia tidak peduli akan seperti apa Nayla memaknai permintaannya. Yang jelas, Vania sudah merencanakan ini sejak lama. Sebelum makan malam dengan mertuanya. Kedatangan wanita Saraswati itu hanya mempercepat langkahnya saja.
Tapi, satu hal yang Vania tidak tahu. Keras kepala Nayla terlupakan olehnya. Hingga makan malam tiba, gadis itu tak kunjung turun bahkan setelah Vania melarang para pelayan mengantarkan makan ke kamarnya. Dia hanya berpikir, Nayla tidak mudah menahan lapar jadi sudah pasti gadis itu akan menurunkan gengsinya dan turun tangga. Tapi siapa yang akan menyangka, dari malam hingga malam lagi, gadis itu tak kunjung mengisi perutnya.
Vania mulai khawatir Nayla nekat melakukan sesuatu yang buruk. Jadi dia meminta seorang satpam untuk mendobrak pintu kamar Nayla yang di kunci dari dalam.
"Nyonya, kamarnya kosong!" teriak salah seorang pelayan begitu salah seorang satpam berhasil mendobrak pintu.
Vania yang sedang menyantap makan malamnya seorang diri, segera berdiri, menatap tak percaya ke arah asistennya. "Apa? Apa yang terjadi?"
Seorang pelayan dengan cepat turun, berlari tergesa menghampiri Vania. Nada suaranya terdengar sangat panik. "Nyonya! Jendela balkon terbuka! Ada tali yang terbuat dari pakaian Nona Nayla yang menggantung sampai bawah! Sepertinya Nona Nayla sudah menggunakannya untuk turun kelantai bawah, Nyonya! Kita harus bagaimana, Nyonya!"
Vania menatap pelayan itu dengan mata membelalak. "Apa? Jendela balkon?" tubuhnya limbung sejenak, lalu dengan suara gemetar ia berkata, "Cepat! Tunjukkan padaku!"
Pelayan itu segera berjalan mendahului, Vania dengan cepat mengikuti di belakang.
Dengan cepat mereka menaiki anak tangga, menuju kamar Nayla. Sesampainya di sana, pelayan itu menunjuk ke arah balkon.
Langkah Vania terhenti di ambang pintu. Napasnya tercekat ketika melihat Jendela terbuka lebar, tirainya berkibar tertiup angin malam. Ia mendekat perlahan. Disana, ia melihat kain-kain pakaian terikat satu sama lain menjuntai dari pagar balkon hingga ke taman belakang.
"Demi Tuhan." gumam Vania pelan, tubuhnya gemetar saat melangkah maju. Ia menggenggam erat sisi jendela, memandang ke bawah, berharap masih bisa melihat sosok Nayla.
Namun halaman belakang tampak kosong.
"Dia benar-benar pergi," bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri dari pada siapa pun. "Nayla benar-benar kabur."
Dia tidak percaya Nayla nekat melarikan diri setelah dia mengajukan permintaan padanya pagi tadi.
Vania berbalik tajam, pandangannya langsung tertuju pada Pak Satpam yang masih berdiri di dekat pintu, tengah memeriksa kunci.
"Pak Bram."
Pak Bram segera berdiri tegak. "Ya, Nyonya."
"Periksa semua kamera CCTV. Cek tiap gerbang, pagar, dan jalan keluar. Siapa pun yang melihat Nayla malam ini, aku ingin tahu!" Perintahnya dengan tegas dan tak terbantahkan.
"Siap, Nyonya." Pak Bram langsung bergegas.
Vania merogoh ponselnya, membuka kontak Nayla, dan menelepon. Tapi tak ada jawaban. Ia coba lagi, berkali-kali. Tetap nihil.
Vania menggigit kukunya dengan gelisah, berjalan mondar mandir dengan panik.
"Kemana kamu, Nayla?" bisiknya pelan.
"Sayang, ada apa ini?" tanya Adrian memecah kepanikan.
Dia baru saja pulang dari kantor, lalu melihat keributan di lantai atas. Karena takut terjadi sesuatu makanya dia buru-buru naik.
Vania menatap Adrian dengan kaget. Dia segera menurunkan tangannya dan berjalan menghampiri Adrian.
"Nayla, Mas. Nayla." Ia mengguncang lengan Adrian dengan panik.
Adrian menatap Vania dengan khawatir, takut telah terjadi sesuatu. "Nayla? Dia kenapa?"
Vania tak mampu melanjutkan kata-katanya. Ia menggigit bibirnya karena merasa tak yakin perlu mengungkapkan yang sejujurnya atau tidak untuk sekarang ini. Dia merasa belum siap. Terlalu takut. Ia hanya bisa meremas tangan Adrian.
"Vania?"
Pelayan menyadari itu, jadi dia melangkah maju dan meminta izin untuk membantu menjawab.
"Nona... Nona Kayla kabur, Tuan."
"Apa?"
Vania menatap Nayla dengan mata berkaca-kaca, memohon dengan suara bergetar, tampak sangat putus asa. "Perlukah Tante berlutut sama kamu, Nay? Apa Tante perlu cium kaki kamu? Iya? Tante akan lakukan Nay, Tante akan lakukan asal kamu bersedia."Nayla menggeleng cepat, melepaskan genggaman Vania di tangannya. "Bukan begitu, Tante! Aku ini—"“Setidaknya kamu ingat kebaikan Tante selama ini. Kebaikan Adrian juga. Siapa yang biayai kuliah kamu? Siapa yang kasih kamu makan, uang jajan, beliin semua kebutuhan kamu? Sekarang Tante minta bantuan. Apa semua kebaikan itu masih belum cukup buat bikin kamu merasa berutang budi?”Nayla terdiam. Bahunya menegang, bibirnya terkatup rapat, lidahnya kelu. Tangannya gemetar dan dadanya sesak. Perlahan, ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan gejolak di dada. Setiap kata yang diucapkan Vania menghantamnya telak, sangat menyakitkan, tapi tak bisa ia bantah. Semuanya benar. Terlalu tidak tahu diri jika ia mencoba membantahnya.Vania kembali meraih jem
Adrian menunduk perlahan, pandangannya jatuh pada wajah Nayla yang terbaring di bawahnya. Untuk sesaat, dunia terasa hening. Segalanya seolah berhenti bergerak.Wajah Nayla tampak begitu dekat, nyaris bisa ia sentuh hanya dengan sedikit gerakan. Rambutnya terurai berantakan, sebagian menempel di pipi dan keningnya yang basah oleh keringat. Kelopak matanya membiru samar karena kurang tidur dan alkohol, tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang membuat Adrian tercekat.Adrian bisa melihat jelas garis tegas di alis Nayla yang membingkai matanya, yang kini tertutup rapat dalam tidur setengah sadar. Hidung mungilnya sedikit merah, entah karena udara dingin atau efek tangisan. Bibirnya merekah sedikit, kering dan bergetar pelan, seolah masih membawa sisa gumaman dari mimpi yang belum usai.Tak biasanya ia melihat Nayla dalam keadaan seperti ini, terlalu tenang, terlalu lemah, tanpa suara nyinyiran atau keluhan sok tahu yang sering dilontarkannya. Tapi bukan itu yang membuat dada Adrian tera
"Mama.. aku mau ayam goreng." Gumam gadis itu dengan mata terpejam dan kepala tersandar di atas meja. "Tolong satu lagi ayam cihua hua."Bartender yang merupakan seorang pria awal tiga puluhan itu mengenyit bingung melihat tangan gadis itu itu terangkat. Tapi kata-katanya lebih membuat dia frustasi. Gadis itu sudah mabuk berat. Tiga botol alcohol sudah ditenggaknya sampai habis seorang diri. Entah sudah berapa banyak kalimat aneh yang di ucapkan, tak ada satupun yang bisa dimengerti."Hei, nona. Sebaiknya kamu cepat pulang. Ini sudah malam. Aku khawatir kamu diculik pria hidung belang." Dia menyenggol bahu gadis itu dan menggoyangkannya. Tapi gadis itu malah tertawa dan mengeluh pusing."Kenapa aku terbang.""Hei, nona. Cepatlah bangun. Kamu belum membayar sepeserpun. Keluarkan uangmu dan segera pergi."Gadis itu tak menggubrisnya. Masih terkekeh-kekeh sendiri.Akhirnya, pria itu mencari saku dipakaian gadis itu yang memungkin dia bisa menemukan kartu identitas, alamat rumah maupun po
"Apa?" Adrian menatap Vania tak percaya.Kini keduanya sudah berada di kamar mereka, di lantai bawah. Vania baru saja mengatakan semuanya, termasuk permintaan Vania pada Nayla sebelum gadis itu kabur.Rahang Adrian mengeras. Tangannya mengepal erat, tapi ia masih berusaha menahan diri. Andai yang berdiri di depannya bukan istrinya sendiri, mungkin tembok di sampingnya sudah menjadi pelampiasan kemarahan.Selama ini, Adrian selalu sabar. Ia jarang atau bahkan hampir tidak pernah menunjukkan amarahnya di depan Vania. Tapi kali ini, batas kesabarannya seolah runtuh. Vania telah melangkah terlalu jauh. Baginya, Vania sudah kehilangan akal."Tidak heran Nayla pergi. Kamu salah Vania. Dia saja paham bahwa permintaan kamu tidak masuk akal. Dia keponakan kamu, bisa-bisanya kamu merencanakan hal ini," ujar Adrian dingin."Nayla bukan keponakanku. Kami tidak sedarah—""Aku tahu." sela Adrian cepat. "Dia cuma anak dari saudara angkatmu. Iya, aku tahu. Aku tahu Vania. Tapi kamu tidak lupa, kan, b
“Menikahlah dengan suamiku.”Hening. Waktu seolah berhenti."Tunggu sebentar," Nayla tiba-tiba berdiri, "Sepertinya nyawaku masih belum terkumpul sehingga aku menjadi salah dengar. Aku masih belum bisa mendengar dengan jelas suara Tante. Izinkan aku ke kamar mandi sebentar." Pamit Nayla buru-buru, berniat beranjak dari sana.Tapi baru selangkah, Vania segera menghentikannya. "Nayla. Apa yang kamu dengar sudah benar. Duduklah. Aku belum menyelesaikan ucapanku."Nayla berhenti, ia akhirnya kembali duduk meski meragu. Jemarinya meremas satu sama lain, bergerak gelisah di pangkuannya. pikirannya kalut.Vania menatap Nayla lamat-lamat. “Kamu tahu kan, Tante tidak bisa punya anak? Tante mandul, Nay. Tidak bisa memberikan Adrian keturunan. Satu-satunya cara Adrian bisa punya penerus adalah menikah dengan perempuan yang subur. Mertuaku menolak anak asuh atau adopsi. Mereka hanya menginginkan darah daging Adrian sendiri. Tapi Tante, Tante tidak sanggup melihat Adrian bersama perempuan lain. K
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments