Nadira Arum dulunya adalah gadis yang hangat dan bercahaya—senyumnya mampu meluluhkan suasana paling suram sekalipun. Tapi kebahagiaan itu runtuh dalam sekejap, saat sebuah kecelakaan tragis merenggut nyawa kedua orang tuanya. Duka yang belum sempat mereda, dilanjutkan dengan pengkhianatan yang jauh lebih menyakitkan. Sepupunya sendiri, dibutakan oleh ambisi dan harta, bersekongkol dengan mantan kekasih Nadira—yang ternyata sama liciknya. Mereka merancang jebakan licik di lereng Gunung Prau, dan dengan dingin mendorongnya jatuh dari tebing. Namun maut tak datang seperti yang mereka harapkan. Nadira selamat, meski tubuhnya luka dan jiwanya hancur. Ia memilih untuk menghilang, menanggalkan siapa dirinya, dan terlahir kembali sebagai Nadira Wulandaru—sosok baru yang membawa beban masa lalu namun juga kekuatan yang tak pernah ia sadari sebelumnya. Dalam pelariannya, takdir mempertemukannya dengan Mahesa Pradana—seorang pemuda tampan, pewaris keluarga terpandang dari Surakarta, yang tengah merangkak bangkit dari keterpurukan. Kecelakaan tiga tahun lalu membuat Mahesa lumpuh, dan perlahan-lahan hidupnya berubah, termasuk kisah cintanya yang karam di tengah luka. Ibunya ingin mencarikan pendamping yang bisa merawatnya dengan setia. Tapi dari semua pilihan, Mahesa justru menjatuhkan hati pada Nadira—perawat pendiam yang tampak sederhana, nyaris tak terlihat di antara gemerlap dunia sosialnya. Ada kedamaian dalam tatapan Nadira, dan itu cukup. Tiga tahun mereka jalani bersama. Ketika Mahesa akhirnya pulih secara ajaib, hatinya justru limbung. Ia memilih meninggalkan Nadira, kembali mengejar bayang-bayang masa lalu. Nadira, tanpa protes atau air mata, memilih pergi. Namun hidup punya caranya sendiri untuk menuntaskan cerita. Nadira kembali—bukan sebagai istri yang disia-siakan, tapi sebagai mitra bisnis cemerlang yang kini berdiri sejajar, bahkan mungkin lebih tinggi. Elegan, percaya diri, dan tak lagi terikat masa lalu. Saat itulah Mahesa mulai melihat siapa Nadira sebenarnya: bukan hanya perempuan dengan masa lalu kelam, tapi sosok yang telah menjelma menjadi kekuatan baru—sebuah enigma yang belum sepenuhnya ia pahami.
Lihat lebih banyak"Cerai saja," suara Mahesa Pradana mengiris udara pagi seperti pisau dingin yang menggores tanpa ampun.
Kalimat itu jatuh begitu saja dari bibir tipisnya, tanpa jeda, tanpa perasaan. Lelaki tinggi tegap itu berdiri tegak membelakangi Nadira, menatap keluar jendela besar apartemen mereka di bilangan Sudirman.
Di balik kaca, Jakarta bergerak tanpa peduli, seperti denyut nadi yang tak pernah lelah, sementara dunia kecil mereka perlahan runtuh.
Di balik punggung Mahesa yang kokoh seperti dinding beton, Nadira Wulandaru berdiri kaku. Nafasnya pendek, seperti tersangkut di tenggorokan.
Matanya menatap bayangan Mahesa yang dipantulkan kaca, siluet yang dingin, nyaris beku. Jantungnya berdebar tak karuan, seakan tangan-tangan tak kasat mata meremasnya dengan paksa.
Jemarinya mengepal, bergetar menahan guncangan yang mulai menjalar ke sekujur tubuh.
Suara detik jam di dinding bergema, memecah keheningan di ruangan luas berlantai marmer putih, dihiasi lukisan-lukisan modern yang nyaris terlalu mahal untuk disentuh.
Udara pagi menyusup dari celah tirai krem yang setengah tertutup, membawa aroma samar kopi hangat yang tersisa dari sarapan mereka yang tak terselesaikan.
Mahesa perlahan berbalik. Sorot matanya tetap dingin, namun ketampanan klasik di wajahnya seperti tetap bersinar tanpa usaha.
Rahangnya yang tegas, hidung mancung sempurna, dan bibir tipis itu masih mampu membuat siapa pun terpukau, termasuk Nadira, bahkan dalam kehancuran hatinya sendiri.
“Tidak bisakah... tidak sekarang?” suara Nadira pecah, lirih, nyaris seperti bisikan doa yang sudah lama kehilangan keyakinan.
Matanya, bening dan besar, berkilat menahan genangan air yang mulai mengaburkan pandangannya. Ada harap yang bertahan, sekaligus putus asa yang merayap di sudut-sudut matanya.
Mahesa hanya mengerutkan kening. Sorot matanya menukik tajam, menusuk pupil Nadira. Sekilas, Nadira melihat kerutan halus di antara alis suaminya bertambah dalam.
Namun, bukan karena ragu. Lebih kepada... kesal.
Nadira memang cantik, dengan cara yang lembut dan tak mencolok. Wajahnya bersih tanpa cela, dihiasi tahi lalat mungil di sudut mata kiri yang selalu tampak manis ketika ia tersenyum.
Rambut hitam lurusnya mengalir sampai ke punggung, seperti sungai tenang di bawah rembulan. Sejak awal, itulah yang membuat Mahesa memilihnya.
Tenang, patuh, tidak menuntut. Bukan cinta, hanya kenyamanan.
Tiga tahun lalu, hidup Mahesa berubah. Kecelakaan mobil menghancurkan kakinya, membuatnya lumpuh dari pinggang ke bawah.
Kekasihnya, Naura, pergi meninggalkannya di tengah luka itu. Ibunya yang keras memaksanya menikahi perempuan yang bisa merawat sekaligus menenangkan pikirannya.
Nadira, seorang perawat muda tanpa banyak beban keluarga, masuk ke dalam hidup Mahesa seperti obat penenang yang manjur.
“Aku akan berikan dua miliar rupiah untuk semua yang telah kau lakukan selama ini,” ucap Mahesa datar, seolah sedang membicarakan jual beli properti.
“Atau kalau kau mau kompensasi lain...”
Nadira mengangkat wajahnya. Untuk pertama kalinya, suaranya memotong dinginnya kalimat Mahesa.
“Kenapa?” bibirnya bergetar, tapi di matanya muncul semburat perlawanan yang baru lahir. “Kenapa harus sekarang?”
Lusa adalah ulang tahun pernikahan mereka yang ketiga. Nadira sudah menyiapkan makan malam, memesan bunga favorit Mahesa, bahkan membeli dasi sutra baru yang sudah ia bungkus rapi.
Ia menggantungkan harapan di tiap persiapan itu, berharap mungkin kali ini Mahesa melihat dirinya.
Jawaban Mahesa menamparnya seperti embusan angin dingin yang kejam. “Kau tahu aku tak pernah mencintaimu. Naura sudah kembali. Aku akan menikahinya.”
Kata-kata itu meluruhkan sisa kekuatan di kaki Nadira. Ia hampir roboh. Dunia di sekelilingnya terasa menyusut, seakan ruangan megah itu kini hanya kotak sempit yang mencekiknya.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Seorang pelayan muda berdiri di ambang pintu, sedikit membungkuk dengan wajah cemas.
“Tuan Pradana, Nona Levana muntah lagi... bahkan batuk berdarah.”
Untuk pertama kalinya, ada gerakan emosi di wajah Mahesa. Ia langsung melangkah cepat melewati Nadira, tak sempat menoleh.
Suara sepatunya beradu dengan lantai marmer, menggema seperti irama langkah yang hendak menjauhkan diri.
“Siapkan mobil. Kita ke rumah sakit.”
Beberapa menit kemudian, Mahesa muncul dari kamar tamu sambil menggendong Naura Levana.
Perempuan itu tampak rapuh dalam balutan selimut rajut buatan tangan Nadira sendiri. Wajah Naura pucat, bibirnya bergetar ketika berbisik lirih, “Mahesa... Nona Arum...”
Mahesa menoleh sebentar ke arah Nadira, seperti mengingat sesuatu yang baru saja ia tinggalkan.
“Pengacara akan mengurus perceraian kita. Kau punya tiga hari untuk pergi dari sini.”
Langkah mereka berdua menghilang melewati lorong panjang apartemen, meninggalkan Nadira berdiri sendirian di tangga marmer putih, seperti patung yang kehilangan makna.
Sebelum pintu lift menutup, Naura sempat menoleh. Di wajah pucatnya, terselip senyum tipis, angkuh, dan penuh kemenangan.
Seakan bisikan satu jam sebelumnya masih bergaung di telinga Nadira, “Aku sudah pindah ke sini. Ada baiknya kau serahkan dia kembali padaku.”
Di ruang hening itu, jam dinding berdetik pelan. Jakarta di luar sana tetap sibuk, seolah tak ada yang terjadi.
Sorot lampu gantung kristal memantul di permukaan lantai marmer, menciptakan efek kilauan yang tak kalah glamor dari pesta bertema hitam-emas malam itu.Tapi bagi Susilo, semua cahaya itu terasa dingin dan jauh. Senyum-senyum basa-basi dari kolega bisnis tak mampu menutupi kekecewaannya.Di sudut ruangan, ia berdiri bersama Ratu, mencoba menjajakan pesona selebritas itu seperti kartu truf terakhir.Namun saat matanya menangkap sosok Mahesa berdiri berdampingan dengan Nadira, raut wajahnya mengeras, seperti barisan huruf di kontrak yang baru saja dibatalkan.Di tengah riuh tawa dan denting gelas wine, Mahesa tampak seperti pusat gravitasi sendiri. Dunia luar mengecil, bergetar samar, saat pandangannya terkunci pada Nadira.Ia tak melihat panggung. Tak mendengar musik. Tak peduli bahwa Nadira kini tertawa ringan sambil menyentuhkan lengannya ke bahu Gilang.Dan batas kesabarannya pecah.Dengan langkah panjang dan mantap, Mahesa menghamp
Tatapan tiga saudara laki-laki Nadira menusuk tajam, seperti belati yang siap melayang ke dada Mahesa.Diam-diam mereka saling bertanya dalam hati, apa selera pria ini memang secacat itu? Di balik kerah bajunya yang licin dan rambut yang disisir nyaris sempurna, ada sesuatu yang janggal.Sesuatu yang membuat mereka gelisah.Di sudut ruangan, wajah Tuan Pradana menegang seperti batu karang diterpa gelombang. Sorot matanya menggelap, rahangnya mengatup kencang.Ia meneguk amarahnya bulat-bulat, meski tenggorokannya tercekat. Gengsi dan harga diri yang ia bangun selama bertahun-tahun retak dalam sekejap, hanya karena ulah satu pria dan satu ejekan dari putrinya sendiri.Tapi... mungkinkah itu tanda Nadira masih peduli? Di dalam dadanya, emosi-emosi saling berdesakan, tak sabar untuk meledak tapi juga ragu untuk keluar.“Aku juga nggak nyangka Naura akan muncul,” suara Mahesa nyaris tenggelam di antara ketegangan yang menggumpal di udara.
Nadira tersenyum tipis, seperti sedang mencoba menambal retakan halus yang merambat di balik wajahnya.Senyuman itu bukan untuk meyakinkan orang lain, melainkan dirinya sendiri. “Nggak seburuk itu, kok. Waktu bisa menyembuhkan, kan?” ucapnya, pelan tapi mantap.Suaranya seperti mengalir dari mulut seseorang yang ingin meyakini kata-katanya sendiri. “Kadang cuma fisik aja yang bereaksi, bukan karena aku takut beneran.”Ia mengangkat gelasnya tinggi, kilauan lampu menggantung memantul di permukaannya yang bening.“Gilang sudah balik, dan itu yang penting. Jangan bahas yang berat-berat. Ayo, bersulang!” katanya, lebih lantang kali ini, mencoba menarik semua kembali ke permukaan yang ringan.Gilang, Tama, dan Tara tertawa kecil, mengikuti semangat yang Nadira coba bangun. Gelas beradu, dan malam kembali terasa hangat.Suara tawa menggema, bercampur dengan alunan musik latar yang mengalun pelan, seperti soundtrack yang mengisi kekosongan antara s
Udara malam di Club Zest terasa lembut, hangatnya cahaya lampu gantung berpadu dengan aroma manis dari cocktail citrus yang terbang samar di antara denting gelas dan suara tawa.Interior klub itu, dengan dinding bata ekspos dan furnitur kayu gelap, memberi kesan hangat namun tetap eksklusif, menciptakan semacam ruang di mana waktu melambat, seolah tak ada hiruk-pikuk Jakarta di luar sana.Di salah satu sudut ruang VIP yang menghadap langsung ke taman kecil berlampu redup, empat orang duduk mengelilingi meja bundar dengan tawa yang belum benar-benar reda sejak tadi.Tara tampak anggun dalam balutan jumpsuit satin biru dongker, menyambut malam dengan energi hangat.Di sebelahnya, Tama, seperti biasa, jadi sumber candaan dan sorotan. Sementara itu, Gilang, sang tamu kehormatan malam ini, baru saja kembali dari lokasi syuting di pelosok hutan — kulitnya lebih gelap dari terakhir kali mereka bertemu, dan matanya menyimpan kilatan tenang yang hanya dimiliki ora
Tawa kecil akhirnya pecah dari bibir Nadira, tipis, nyaris seperti desahan lega. Rasa sesak yang tadi mengimpit dadanya perlahan mencair, menyisakan kehangatan yang sulit dijelaskan.“Kenapa kamu jadi kayak Tara, sih?” ujarnya, mata setengah menyipit, suara setengah menggoda. “Selalu aja muncul ide-ide aneh…”Gilang ikut terkekeh, lalu tanpa peringatan mengacak rambut Nadira dengan tangan hangatnya. Gerakan spontan itu membuat Nadira menatapnya, separuh jengkel, separuh gemas.Wajahnya memerah, bukan karena marah, tapi karena detak jantungnya tiba-tiba kacau.Beberapa langkah dari mereka, seorang asisten berpakaian serba hitam berdiri canggung. Ia terus melirik ke kanan dan kiri, waspada seperti seekor rusa yang mencium bau pemangsa.“Gilang, tempat ini terlalu ramai,” bisiknya tergesa. “Kalau sampai ada yang foto, bisa jadi gosip panas. Yuk, langsung masuk mobil.”Seketika, Nadira seperti baru tersadar dari mimpi singkat. Tubuh Gilang masih
Langit senja menurunkan cahayanya perlahan di sela jendela kaca rumah sakit, memantulkan rona jingga yang merayap seperti bara pelan-pelan ke dinding putih.Di tengah ruangan yang kini nyaris sunyi, meski penuh orang, Naura berdiri seperti tokoh yang keliru masuk panggung.Belum pernah ia merasa sehancur ini. Tapi di hadapan Mahesa, ia menahan segalanya, menelan air mata yang siap meledak.Senyumnya, kaku dan nyaris seperti topeng porselen. “Nadira Wulandaru,” ucapnya, nada suaranya ringan tapi mengandung racun yang coba disembunyikan, “kita sudah selesai bercandanya, kan?”Nadira berdiri anggun, siluetnya terpahat oleh cahaya lampu dari langit-langit. Ia memiringkan kepala sedikit, ekspresinya datar namun sorot matanya mengiris.“Siapa yang bercanda?” jawabnya. Suaranya tenang, nyaris santai, tapi tajam seperti mata pisau yang baru diasah.“Kamu, perempuan yang ngerebut suami orang, berani-beraninya sebut aku pihak ketiga? Gila, ya?”
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen