Share

Bab 3

Gadis kecil berambut kuncir itu mengikuti ajakanku tanpa menolak. Usianya hampir sama dengan Naya. Ingin sekali kutanyakan Papanya kerja apa, tetapi kuurungkan karena anak seperti ini tak mungkin mengerti apa yang orang dewasa lakukan. Aku terus berjalan sambil menuntunnya.

"Tante, Dita lupain boneka di lumah Yani." Dita menoleh padaku diikuti dengan langkah kakiku untuk berhenti.

"Biar Tante aja yang ambilin. Kamu masuklah dulu!" Aku membukakan pintu pagar rumah dan menutupnya kembali.

Setelah mendapatkan boneka tersebut, aku beranjak pulang, tak sabar ingin menanyakan perihal suamiku. Boneka ini akan membuat mereka mengatakan di mana Mas Adnan berada. Aku harap mereka tidak menyembunyikan sesuatu dariku.

Sebuah mobil melintas di depan kedai Bu Sumi. Seketika, wajah seorang wanita tertangkap oleh kedua netraku tepat di depan rumah Bu Sari saat aku keluar.

"Sepertinya, tadi wajah mama. Ke mana dia pergi? Dan wanita di sampingnya, bukankah Lisa? Padahal seharian tadi aku menunggunya di rumah untuk diajak berbicara," bisikku.

Benar, tak ada seorang pun di rumah. Ruang tamu dan teras belakang sudah kudatangi dan tidak menemukan seorang pun. Boneka ini masih di genggaman kemudian kuletakkan saja di atas sofa karena tak mendapatkan seorang pun. Anak kecil tadi juga sudah tak terlihat. Aku mencoba menerka mungkin dia sedang istirahat di kamar.

Tak terasa, hari sudah sore. Awan pun memantulkan cahaya jingga seakan memberi isyarat waktu akan berganti.

Setelah memanggil-manggil sekian detik, aku memutuskan ke kamar mengecek Naya, khawatir kalau ia sedang mencariku sejak tadi. Saat pintu kubuka, kudapati Naya masih tertidur pulas. Kurang lebih hampir tiga jam, ia masih tertidur. Aku meletakkan punggung tangan ini ke atas dahinya. Panasnya belum juga reda.

***

Semua makanan telah terhidang di atas meja. Sengaja malam ini, kumasak untuk mereka agar saat pulang nanti mereka tidak kerepotan memasak lagi dan aku punya waktu untuk menanyakan perihal gadis kecil tadi.

Aku masih penasaran di mana gadis kecil itu. Padahal tadi sore saya mengantarnya sampai ke rumah ini dan saya melihat sendiri ia masuk ke rumah. Sampai saat ini, aku tidak melihatnya lagi. Mungkin saja, dia sedang tidur, tapi dengan siapa.

Aku berhenti memikirkan anak kecil itu dan melanjutkan menyuapi Naya di sampingku.

"Makan yang banyak, ya, agar Naya sehat dan cepat sembuh," ucapku.

"Iya, Mah. Papa gimana, Ma. Kok belum ada dali tadi?"

Segera aku mengusap kepalanya, ada nyeri di dada ini mendengar pertanyaan itu lagi. Ia memang berharap bisa bertemu papanya saat mendengar akan ke sini. Ia mau mengikutiku berkunjung meskipun sedang kurang sehat.

"Insya Allah kita akan mendapat kabar Papa, ya, Nak. Makanlah dulu!"

"Kakek, nenek, dan Tante Lica, kok tidak ada, Ma?"

"Lagi keluar, ntar lagi pulang, kok."

Tiba-tiba, aku terpikir Bapak. Dia di mana, ya, apakah pergi bersama mereka juga? Dari tadi, aku belum bertemunya.

"Assalamualaikum ...."

"Nah, itu mereka sudah datang!"

Aku beranjak dan membukakan pintu, "Waalaikumsalam. Eh, Ma, ... Lis, baru pulang."

"Iya, dari rumah tetangga sebelah."

Dari tetangga sebelah? Terus, tadi sore yang kulihat di dalam mobil? Ah, sudahlah. Kenapa mereka menyembunyikan sesuatu dariku?

"Tapi ...."

"Tapi, kenapa?" Wajah mereka berdua terlihat serius padaku.

"Tidak ada apa-apa, Ma. Oh, ya, mari makan Ma ... Lis! Kebetulan Jihan sudah masak."

Sebaiknya, aku tak usah menyebut bahwa aku melihat mereka berdua di dalam mobil. Alangkah baiknya aku mengikuti permainan mereka agar mengetahui kebohongan lain yang disembunyikan. Atau mungkin Dita, gadis kecil itu bersama mereka juga.

"Ma, boneka di sofa itu milik siapa, ya? Tadi, siang tidak ada."

"Oh -- itu ...."

"Punya Tante mau kuberikan untuk Naya," sambung Lisa yang semenjak tadi menikmati makanannya, kemudian menoleh ke gadis mungil di sampingku.

"Untuk Naya, Tante?"

"Iya. Sana ambil!"

"Maaf. Tapi, kayaknya, Naya gak suka boneka beruang. Naya sukanya boneka hello Kitty."

Kok, bisanya dia mendapat ide untuk memberi putriku. Padahal boneka itu aku sendiri yang bawa ke sini tadi.

"Yaa, mana aku tau Naya suka boneka itu? Harusnya berterima kasih kalau itu pemberian. Kalau gak mau, gak usah." Wajah Lisa terlihat cemberut. Sifat aslinya yang ditutupi sejak tadi, akhirnya terlihat juga.

"Maaf Lis, aku tidak bermaksud ...."

"Sudah ... Tak usah berdebat. Ayo, makan!"

"Lisa sudah kenyang! mau ke kamar dulu, permisi."

Ia berjalan sambil menghentakkan kakinya. Sepertinya, dia tersinggung dengan ucapanku tadi. Seharusnya aku yang marah karena dari tadi mereka tidak jujur padaku tentang keberadaan Mas Adnan.

"Abisin dulu dong makanannya, Lis! Gak baik, mubazir. Sini duduk!" titah Mama.

"Eh, Ma. Sore tadi, Jihan lihat anak kecil di depan rumah. Anak siapa, ya?"

"Uhuk ...."

"Minum dulu, Ma." Aku menyodorkan minuman saat mendengar ia terbatuk.

"Mungkin anak tetangga."

"Tapi, dia masuk ke rumah ini."

"Mba Jihan gak salah lihat? Mungkin Naya!" Lisa menyahut.

"Mmm ... Naya dari tadi tidur, kok."

"Yakin? Bisa saja dia bangun nyariin mamanya atau mungkin dia ngigau dengan berjalan, ckckck ...." Sambil tertawa.

"Iya, Naya bobo," sahut Naya.

"Selama ini Alhamdulillah Naya gak seperti itu."

"Yaa, mungkin saja. Siapa yang tahu kan."

Aku tidak melanjutkan dan menggubris perkataannya, tak ingin berlarut-larut berdebat. Lagi pula, ia tidak akan menyerah. Sebaiknya, aku yang diam.

"Nak Jihan besok belum mau pulang?"

Apa maksudnya pertanyaan ini. Apa ia ingin kami cepat pulang?

"Mama tidak bermaksud mengusir, tapi kasihan pekerjaan Nak Jihan di sana bakal terbengkalai."

"Kedaiku ada karyawan yang jaga. Insya Allah, besok Jihan dan Naya akan pulang kok, Ma. Lagi pula Jihan gak dapat kabar apapun juga tentang Papa Naya."

Mereka terdiam mendengar ucapan sarkasku. Aku pun tahu mereka pasti merasa bersalah padaku.

Kedai milik kami, menjual berbagai macam jenis kue kering dan basah. Modal awal diberikan oleh kedua orang tuaku saat pernikahan kami. Alhamdulillah saat ini sangat ramai pembeli. Sebelum ke rumah ini, aku sudah menitipkannya ke Mba Sarah, salah satu karyawan yang sangat kupercayai.

"Emang Papa di mana sih, Ma?" sahut Naya.

"Naya masuk ke kamar, ya, istirahat dulu. Ntar mama jelaskan!"

"Iya, Ma."

Kalau bukan karena putriku, aku tidak mungkin menanyakan terus kabar suamiku ke mereka. Namun, aku tidak bisa diam saja melihat fotonya bersama seorang wanita yang juga teman kuliahku dulu.

Penghiatannya pada pernikahan kami membuatku harus mengambil sikap. Aku tak bisa diam saja. Harus kutemukan di mana mereka dan kuberi perhitungan pada Mas Adnan.

Suara bapak memberi salam di luar dan membuka pintu.

"Eh, kalian sudah pada ngumpul ternyata. Ada apa, kenapa semua diam? Naya di mana?"

"Sudah balik ke kamar, Pak!" jawabku. "Silakan makan, Pak! Biar kuambilkan piring dulu."

"Terima kasih, ya!"

Saat saya ke dapur, aku sempat mendengar percakapan mereka.

"Kalian bahas apa sampai semua diam seperti tadi?" tanya Bapak.

Kupelankan langkah saat mendengar pertanyaan bapak.

"Ya, apalagi kalau bukan kabar suaminya," sahut Lisa sedikit berbisik meskipun bisa kudengar di bagian dapur.

"Ini Pak, silakan. Aku ke kamar sebentar mengecek Naya."

Aku sengaja tidak menutup pintu kamar dengan rapat, sedikit terbuka sekitar tiga centimeter agar bisa mendengar percakapan mereka. Posisi kamar kami dekat ruang makan yang juga berhadapan dengan kamar Lisa.

"Kasihan Jihan yang sampai saat ini tidak mengetahui keberadaan suaminya," kata bapak.

"Ini permintaan Adnan, Pa. Mama tak mungkin menyakiti Adnan, begitu juga Jihan jika dia tahu."

"Tapi, kalian juga menyakiti Jihan. Dia harus tahu keberadaan suaminya. Untuk apa menyembunyikan ini terus?"

"Pelankan suaramu, Pak! Pokoknya dia tidak boleh tahu. Bagaimana nasib Adnan nanti kalau Jihan dan keluarganya tahu?"

"Biarkan dia tahu sendiri dari pada tahu dari kita, Pak," sambung Lisa.

"Mama dan anak sama saja. Selalu yang jadi pertimbangannya materi. Bapak nyesal punya anak seperti dia, apalagi Lisa."

"Tak perlu capek-capek menyembunyikan dariku, aku juga sudah tahu, kok. Aku hanya ingin bersilaturahmi ke sini sekaligus menyambangi kedua mertuaku dan juga iparku," ucapku yang tanpa mereka sadari sudah berada di antara mereka.

Wajah mereka berubah menjadi pias dan terkesiap.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status