MasukBagi Ghaidan Ravindra, perempuan adalah sumber kegelapan. Sebuah sumpah telah terucap di tengah reruntuhan masa kecilnya: tak akan pernah ada ruang untuk cinta di hatinya yang beku. Namun, takdir menuntut sebuah pernikahan. Seorang ahli waris. Hyra Danurdara tidak punya pilihan. Di antara tumpukan utang dan tanggung jawab untuk satu-satunya keluarga yang ia miliki, tawaran pernikahan dari Ghaidan adalah jalan keluar—sekaligus jalan buntu. Ia setuju menjadi istri di atas kertas, menukar kebebasannya demi sebuah janji pelunasan. Pernikahan mereka seharusnya hanya transaksi dingin, sebuah perjanjian yang terikat waktu dan syarat. Namun, di balik dinding es yang dibangun Ghaidan, sebuah percikan mulai menyala. Di dalam keputusasaan Hyra, secercah harapan mulai tumbuh. Ketika masa lalu yang kelam kembali datang mengetuk pintu, membawa rahasia yang mampu menghancurkan segalanya, ikatan rapuh mereka diuji hingga ke titik terlemahnya. Di persimpangan antara dendam masa kecil dan masa depan yang tak pernah ia bayangkan, Ghaidan harus memilih. Akankah ia membiarkan trauma menenggelamkannya selamanya, atau berani meraih tangan wanita yang tanpa sadar telah menyembuhkan lukanya?
Lihat lebih banyak“Keluar! Aku bilang keluar!”
Teriak seorang perempuan yang mengenakan seragam seorang dokter—jas putih—sambil berdiri di depan sebuah ruang praktek, beberapa pasang mata yang berada di sana segera mengalihkan mata mereka melihat insiden seru yang akan terjadi kemudian.
“Apa Anda tuli? Sekarang keluar! Atau saya panggilkan security rumah sakit!” teriaknya lagi lebih lantang dan keras hingga beberapa perawat datang mendekat, menghampiri dokter tersebut.
“Oke, kami akan keluar, tapi beri kami kepastian, kapan Anda akan melunasi hutang-hutang Anda!”
Suara laki-laki itu juga tidak kalah keras, berat dan menggelegar. Dilihat dari penampilannya yang hanya mengenakan celana jeans belel dengan setelan kaos oblong dan jaket jeans yang warna birunya juga sudah memudar, ditambah gambar tattoo yang ada di lengan kirinya, jelas sudah kalau pria ini adalah seorang debt collector alias penagih hutang, laki-laki lain yang bersamanya pun mengenakan dandanan yang serupa, dandanan seorang preman.
“Kami datang ke sini butuh kepastian!”
“Dengar ya! Seperti yang aku bilang tadi, aku pasti akan membayar, tapi tidak dalam waktu dekat ini. Anda mengerti, ‘kan? Saya butuh waktu!” sahut sang dokter lantang hingga kedua bola matanya melotot, nyaris melompat keluar dengan kedua tangannya menekan pinggang.
“Anda kira uang itu tinggal dipetik dari pohon?”
“Anda kan seorang dokter specialis anak, Dokter Hyra Danurdara!” bentaknya lantang dengan menekankan kata ‘dokter’ dalam ucapannya.
“Memangnya kalau dokter, lalu harus punya uang banyak gitu?”
“Dokter Hyra, ini ada apa?” sela salah seorang security yang berjalan menghampiri mereka bersama beberapa security yang lain, rupanya ada pegawai rumah sakit yang melaporkan insiden ini. “Apa mereka mengganggu Dokter?”
“Nah, ini dia Pak Rudy! Antar kedua orang ini ke luar! Kedua bapak ini sangat mengganggu saya dari tadi!” sahut Dokter Hyra sambil menunjuk ke arah kedua preman tersebut tanpa ragu. Sorot matanya yang tajam, seolah-olah menunjukkan kalau sang dokter tidak takut dengan kedua preman yang berada di depannya.
“Baik, Dok! Mari, Pak! Ikut dengan saya, kami harap kalian berdua tidak membuat gaduh di rumah sakit ini,” tukas Pak Rudy sambil mengajak kedua preman tersebut.
“Kami tidak membuat gaduh! Kami hanya ingin menagih hutang Dokter Hyra!”
“Iya, saya tahu. Dokter Hyra pasti juga sudah menjelaskan saya yakin Dokter Hyra pasti akan membayarnya--”
“Iya, tapi kapan? Kami butuh kepastian!” Preman tersebut kembali menyela ucapan Pak Rudy dengan suara yang semakin lantang, semua orang yang berada di sana menatap heran ke arah mereka sambil berbisik-bisik.
“Kalian dengar nggak sih? Apa yang aku bilang tadi?” sela Dokter Hyra dengan ekspresi wajah yang kesal, tanpa mempedulikan orang-orang yang menatap heran ke arahnya.
“Saat ini aku nggak bisa kasih kepastian! Tapi sedang aku usahakan, aku pasti bayar! Tapi tolong jangan tagih hutang di sini!”
“Lalu di mana kami harus nagih? Kalau bukan di sini! Anda tidak bisa kami temui di rumah.”
“Anda punya nomer telfon saya, ‘kan? Anda bisa telfon di situ!”
“Sudah, Pak! Jangan membuat kegaduhan lagi, ini rumah sakit!” sela Pak Rudy yang tampak mulai kesal dengan tingkah kedua preman ini. “Kami mohon lebih baik Bapak turuti peraturan rumah sakit ini, jadi silakan pergi!”
Belum juga preman itu mengatakan sesuatu, security rumah sakit yang memiliki tubuh tidak kalah kekar dengan kedua preman itu langsung memberikan kode ke anggotanya seraya berkata, “Tidak usah berbelit-belit, Pak! Anda kami geret keluar atau Anda keluar sendiri?” bentaknya lantang dengan kedua bola matanya yang melotot hingga nyaris keluar.
“Iya, iya! Kami keluar!” sahut salah satu preman yang tidak suka dengan cara Pak Rudy menggeretnya keluar dengan mencengkram kerah jaket jeansnya ke atas.
“Tapi awas ya, kami pasti akan menagih lagi!” lanjutnya sambil merapikan jaket jeansnya dengan ekspresi wajah yang kesal dan pergi berlalu meninggalkan rumah sakit dikawal oleh beberapa security yang lain.
“Terima kasih, Pak Rudy! Untung ada Pak Rudy, kalau tidak para preman itu bisa berbuat yang tidak-tidak--”
“Itu sudah menjadi tugas saya, Dokter Hyra,” sela Pak Rudy cemas, “tapi Dokter Hyra tidak kenapa-kenapa, ‘kan?”
Dokter muda itu menggeleng tegas sambil tersenyum manis, tanpa dia duga di kejauhan ada sepasang mata elang yang menatapnya tajam, setajam mata pisau seorang ninja yang dilesatkan langsung mengenai target.
Sosok berjenis kromosom Y itu mengikuti semua insiden pertengkaran Dokter Hyra dengan kedua preman tersebut dari awal sampai akhir dengan seksama.
“Jadi namanya Dokter Hyra Danurdara, dokter specialis anak, cantik dan cerdas,” gumamnya lirih sambil tersenyum tipis dan berbalik ke tempatnya lagi menunggu giliran panggilan dokter psikiater pribadinya.
“Rasanya Dokter Hyra bisa menyelesaikan masalahku. Thanks God, you always hear my pray,” lanjutnya sambil mengambil benda pipih warna hitam berbentuk persegi panjang dari balik saku jasnya. Laki-laki itu tampak menghubungi seseorang melalui ponsel.
Penampilan laki-laki ini begitu formal dan tampak sangat memesona dengan setelan jas dan kemeja, dasi plus celana kain yang menghadirkan nuansa warna yang sama, biru.
Rambutnya yang hitam legam dan lurus nyaris menyentuh kerah kemeja membuatnya semakin menawan, dengan sorot mata yang tajam, bibir tipis merah merekah alami dan hidung mancung yang mampu menopang kacamata hitam yang dikenakannya tidak melorot ke bawah, mampu membuat para wanita dan perawat menengok ke arahnya untuk sekedar tersenyum atau menikmati pahatan Tuhan yang begitu indah.
“Tuan Ghaidan Ravindra!” Pria itu mendongak, menatap sang perawat yang memanggil namanya. Bergegas dia berdiri dan masuk ke dalam ruang praktek sang dokter.
Hari ini Ghaidan Ravindra harus menemui dokter psikiater pribadinya yang dijadwalkan bertemu sebulan sekali. Profesor Zamar Abidin, seorang pria lanjut usia tampak sibuk menulis-nulis sesuatu di buku jurnalnya saat Ghaidan memasuki ruangan yang sudah sangat familiar bagi laki-laki itu, tempat menumpahkan semua keluh kesah dan menjadi dirinya sendiri. Ruangan bernuansa monocrom ini telah merekam dan menyimpan semua rahasia yang disimpannya selama ini.
“Selamat siang, Prof!”
Laki-laki tua itu mendongak dan melambaikan tangan sambil memberikan kode ke Ghaidan untuk duduk di kursi yang ada di depan meja kerjanya, lalu berkata “Just wait a minute! I have to write it down, kalau nggak nanti lupa.”
“With my pleasure, Sir. Go head,” balas Ghaidan sambil duduk di kursi yang ditunjuk sang Profesor lalu menyilangkan kaki kanannya ke atas kaki kiri.
Tak berapa lama kemudian lelaki tua dihadapannya mendongak dan menatap ke arah Ghaidan sambil memicingkan matanya yang mulai mengecil di balik kacamata persegi empat.
“Apa kabar, Ge? Hari ini kamu terlihat sangat berseri-seri. Ada apa?”
Ghaidan tersenyum kecil seraya berkata, “Profesor tahu aja,” ujarnya malu. “Yang pasti hari ini aku sudah mendapatkan apa yang aku mau.”
“Oh ya, apa itu?”
Sore itu, jalanan Jakarta yang padat terasa bergerak sangat lambat seperti siput. Hyra menyewa mobil dengan sopir, meminta sang sopir untuk berkendara secepat mungkin menuju ke Bogor, dan terus masuk ke daerah pegunungan yang terpencil. Selama perjalanan, Hyra terus membolak-balik laporan investigasi tersebut, mencoba memahami psikologi wanita yang disebut Ibu kandung Ghaidan.Wanita itu, bernama asli Widiyana lalu berganti nama menjadi Adriana Wibisana. Dia adalah korban kemiskinan yang brutal dan melihat Ghaidan kecil sebagai penghalang untuk melarikan diri. Rasa bencinya terhadap kemiskinan lebih besar daripada ikatan biologisnya, itulah mengapa ia mengubah identitas dirinya.Hyra lalu menatap keluar jendela, saat itu pemandangan kota sudah berganti menjadi hutan pinus dan kabut. Jantungnya berdebar, bukan karena takut pada Ghaidan, tetapi takut pada apa yang akan ia temukan di sana. Pertemuan antara Ghaidan dan Adriana Wibisana bisa meledak kapan saja.Setelah lebih dari enam ja
Dengan tangan gemetar, Hyra menarik dokumen itu keluar. Itu adalah laporan investigasi. Di halaman pertama, tertera sebuah foto berwarna, foto seorang wanita paruh baya yang tampak elegan. Namun, tatapan matanya kosong. Di bawah foto itu, tertera sebuah nama Adriana Wibisana dan alamat di luar kota yang sangat jauh.Hyra membaca keseluruhan ringkasan laporan itu dengan seksama. Napasnya tercekat, dokumen itu merinci bagaimana wanita di foto itu telah membangun kehidupan baru, didukung oleh seorang pria kaya. Semua itu dilakukan demi mencapai kemewahan dan menghindari trauma kemiskinan masa lalunya.Di bagian judul laporan, dengan huruf kapital yang tebal, tertulis “Laporan Penemuan Subjek : Ibu Kandung Ghaidan Ravindra Sumitra, Pelaku Pengkhianatan Ekonomi.”Hyra tersentak mundur hingga menjatuhkan dokumen tersebut ke lantai. Ia memegang dadanya, merasakan detak jantungnya yang berpacu dengan kencang. Jadi ini alasan kepergian Ghaidan. Dia tidak pergi karena urusan bisnis, tapi untu
Ghaidan berjalan pelan ke tepi balkon, ponsel masih tertempel erat di telinga. Malam itu angin Jakarta terasa dingin, seolah ikut membekukan atmosfer di sekitarnya. Kata-kata Lukman yang baru saja ia dengar berputar-putar, merobek lapisan ketenangan palsu yang baru saja ia rasakan berkat Hyra. “Ulangi, Lukman, bicara yang jelas,” desis Ghaidan, suaranya kembali ke intonasi CEO yang kaku dan tanpa emosi. Luka yang tadi sempat ia perlihatkan di depan Hyra, kini terbungkus kembali oleh baja yang lebih tebal. “Kami berhasil mendapatkan informasi lagi, Boss. Data-data yang kemarin aku kirimkan dari hasil investigasi detektif yang kita sewa ternyata valid, semuanya benar.” Ghaidan terdiam, menyimak setiap ucapan Lukman. “Kami sudah mengeceknya, alamat itu juga benar, bahkan nama palsu yang dia gunakan juga benar, dia memang mengubah total identitasnya, Boss,” jawab Lukman dari seberang. “Sekarang dia menggunakan nama panggilan baru dan tinggal di lingkungan yang sangat eksklusif.” Gha
“Maaf, mas..... aku... nggak sengaja menemukannya,” jawab Hyra pelan. “Aku tadi cuma ingin membereskan koper kamu,” ujar Hyra bohong, karena sesungguhnya ia benar-benar penasaran dengan barang-barang milik sang suami. Sejak pulang dari panti asuhan dan ngobrol panjang lebar tentang masa lalu Ghaidan bareng Bu Rahayu, Hyra jadi semakin bersemangat ingin tahu segalanya tentang Ghaidan, bahkan ia ingin tahu barang apa saja yang dimiliki oleh sang suami yang mungkin bisa digunakan untuk mendekatkan dirinya dengan laki-laki itu. Namun, keheningan menggantung di antara mereka. Ghaidan tampak tidak suka saat melihat Hyra memegang gambar itu. Bergegas perempuan itu berdiri dan meletakkan gambar coretan Ghaidan saat masih kecil di atas tempat tidur dengan hati-hati, seolah-olah takut merusak sesuatu yang rapuh. Ibarat menjaga guci porselen yang harganya ratusan juta rupiah agar tidak jatuh dan pecah berkeping-keping. “Tadi siang, aku... aku ke panti asuhan Harapan Mulia,” ujar Nadine
Hyra segera menunduk dengan sopan dan berkata, “Saya Hyra, istri Mas Ghaidan Sumitra. Dulu suami saya pernah tinggal di sini waktu dia masih kecil dan diadopsi oleh keluarga Sumitra.” Wajah Bu Rahayu langsung berubah terlihat begitu bersemangat, saat Hyra menyebut nama Ghaidan. “Oh, Ghaidan… sudah lama dia nggak ke sini, biasanya dia main ke sini. Ternyata sudah punya istri sekarang.” “Iya, Bu. Mungkin Mas Ghaidan terlalu sibuk, jadi belum sempat mampir. Bu Sumitra juga cerita kalau mas Ghaidan sering ke sini, bahkan keluarga mereka adalah donatur tetap panti ini.” “Iya betul! Ayoo.. ayo duduk! Ternyata ini istrinya Ghaidan... anak yang tidak pernah saya lupa,” ujar Bu Rahayu sambil mempersilakan Hyra duduk di ruang tamu panti yang sederhana, dengan aroma kayu tua dan lukisan anak-anak di dinding. “Terima kasih,” balas Hyra sambil menghempaskan tubuhnya di sofa seraya berkata, “Oh iya, ini ada sedikit hadiah untuk anak-anak dari kami sekeluarga dan Bu Sumitra juga titip pes
Malam itu, Hyra tidak langsung tidur, pikirannya masih melayang memikirkan Ghaidan. Saat itu ia sedang duduk termenung di balkon kamar sendirian. Ghaidan tidak ada di sana, mungkin sedang sibuk menyelesaikan pekerjaannya di ruang kerja yang menjadi tempat favouritenya ahir-akhir ini. Angin malam menyapu rambut Hyra yang panjang, dipandanginya halaman belakang rumah keluarga Sumitra yang sunyi, hanya suara hewan malam yang terdengar, sementara suara lalu lalang kendaraan terdengar jauh di sana. “Aku masih punya waktu seminggu, sebelum terbang ke Singapura,” gumam Hyra sambil berpikir serius “aku harus mencari tahu, apa yang sebenarnya membuat Mas Ghaidan seperti itu? Kalau ini berkaitan dengan masa lalunya, aku harus mencari tahu dari Bu Sumitra, aku juga harus mencari tahu di panti asuhan mana dia tinggal saat itu?” Hyra sudah bertekad untuk mencari tahu tentang masa lalu Ghaidan, juga tentang luka yang disembunyikan suaminya selama ini.” *** Keesokan pagi, Setela






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen