Share

Bab 2

Saat aku membuka gawai di saku karena bingung mau buat apa, sebuah notifikasi beberapa kali berbunyi. Pesan masuk ke messenger.

Aku tak sabar membukanya. Mata ini membulat hampir sempurna dengan apa yang kulihat. Beberapa foto mereka sedang asyik bermain di depan rumah, dan juga foto di mana mereka sedang menikmati kuliner di sebuah resto yang cukup mewah menurutku.

Wanita ini, bagaimana dia bisa setega itu merebut suamiku tanpa merasa bersalah. Dia kan sangat tahu Mas Adnan, suamiku. Kami juga dulu sangat berteman baik.

Hati ini begitu sakit, dikhianati oleh dua orang yang tidak asing bagiku. Dua tahun menunggunya ternyata hanyalah sia-sia belaka. Sepertinya, ia memang sengaja meninggalkan aku dan Naya.

"Nak Jihan! Sudah lama datang?" Aku sedikit terkejut dengan sapaan bapak yang baru saja keluar dari kamar. Gawai kuletakkan kembali ke dalam tas.

"Iya, Pak, lumayan!" Sambil menyalaminya.

"Loh, belum ada apa-apa di atas meja? Tadi siapa yang bukain pintu? Kok gak sediain minuman atau kudapan di atas meja!"

"Mungkin tadi lagi ke kamar, Pak."

"Lisa? Duh, emang kebiasaan tuh anak. Sebentar, ya, biar bapak siapin."

"Gak usah, Pak. Jihan gak haus kok, Pak."

"Beneran?" Bapak berhenti dan berbalik ke arah kami.

"Iya, Pak. Biar Jihan buat sendiri, sekaligus kubuatkan dengan bapak juga."

"Duh, kasihan cucu kakek pasti kelelahan. Dibawa ke kamar aja!" Ternyata, Naya sudah lama tertidur di sampingku sampai saya pun tidak menyadarinya.

"Iya, Pak."

"Siapa, Pak, yang dateng?" Suara Mama yang menghampiri kami.

"Nak Jihan, Ma! Dari tadi datangnya. Kasian loh, buatkan dulu minuman dan juga makanan sekalian bawa ke sini!" sahut bapak.

"Oh ... Jihan bukan orang lain, dia bisa nyiapin sendiri kok, Pak. Iyakan Nak Jihan?" tanya Mama padaku sambil tersenyum.

"Iya, Ma. Assalamualaikum." Aku pun menyalaminya.

"Waalaikumsalam. Sudah lama datang? Gimana, ada keperluan apa ke rumah? Tumben-tumbenan ke rumah. Tidak biasanya."

"Ma, kasihan loh, Naya udah ngantuk! Anterin dulu mereka ke kamar. Ntar dilanjutkan percakapannya!"

Aku bingung bagaimana mau menyampaikan maksud kedatanganku. Untungnya bapak menyuruh kami istirahat dulu. Mungkin bisa malam atau esok baru kusampaikan maksudku. Sebaiknya, aku istirahat dulu. Lagi pula, Naya sudah sangat lelah dan tertidur.

"Oh, iya. Istirahat dulu!"

Aku tak mengerti kenapa raut wajah ibu mertuaku itu tidak begitu antusias melihatku. Apalagi pertanyaannya tadi cukup menusuk telinga meskipun diucapkan dengan senyuman.

Sesampai di kamar, aku merebahkan Naya di atas kasur tidur. Aku belum mengantuk. Mataku mengelilingi seisi ruangan. Kamar ini dulu tempat kami biasa bermalam bersama Mas Adnan. Yah, ini kamar Mas Adnan. Ruangan yang sangat terawat, tetapi banyak yang diubah. Dindingnya lebih banyak dihiasi gambar kupu-kupu dan bercat merah muda.

"Apa aku salah kamar?" gumamku.

Tapi, aku yakin ini kamar Mas Adnan karena posisinya di ujung, dekat dengan ruang tamu. Aku bangkit dan memeriksa kembali sekeliling. Aku khawatir kalau salah masuk kamar. Jangan sampai mengganggu Lisa.

Mataku tertuju ke sebuah foto dengan bingkai cantik yang terpajang di atas nakas kemudian memicing. Aku mendekat dan meraih foto tersebut.

"Foto siapa?" Aku pikir foto Naya, tapi tidak mirip.

Tiba-tiba, bunyi gagang pintu diputar.

"Maaf, Mama melupakan sesuatu." Ia meraih foto yang terletak di atas nakas tadi kemudian mengambil sebuah tas di dalam lemari.

Keningku mengerut. Aku tak berani bertanya, itu milik siapa, tak enak menyinggungnya. Mama juga tidak menjelaskan milik siapa. Ia hanya mengambil benda tadi, berlalu di hadapanku dan pergi.

"Istirahatlah, agar badan kalian fit!" ucapnya sebelum menutup pintu.

"Iya, Ma."

Mataku tak bisa terpejam dan juga pikiran ini masih mengingat-ingat foto tadi. Siapa gadis kecil di foto itu, juga tas yang diambil Mama?

Aku bangkit dari dudukku dan keluar dari kamar, hendak menikmati udara segar di luar saja. Isi pikiran ini makin berat; suami yang tidak kunjung ada kabar dan ditambah lagi foto dan tas tadi yang diambil Mama.

"Nak Jihan! Tidak istirahat?"

"Lagi gak ngantuk, Pak. Jihan ingin keliling komplek rumah ini saja. Sudah lama Jihan tidak ke sini dan sudah banyak yang berubah ya, Pak?"

"Iya. Ini semua kan hasil dari bantuan Mas Adnan."

"Oh, gitu. Pantas saja waktu tiba, saya ragu ingin masuk ke dalam. Untung aja ketemu Lisa di sini sedang istirahat."

"Nak Jihan, belum diberitahu? Maafkan keluarga bapak, ya!"

"Tidak usah minta maaf, Pak. Mungkin pernah diberitahu, hanya saja Jihan kurang mendengarkan dengan seksama," jawabku mencoba menenangkan bapak walaupun aku sedikit terkejut mendengar ucapan bapak tadi.

Ternyata, mereka masih sering berhubungan dengan Mas Adnan, tapi kenapa Mama bilang tidak tahu bagaimana kabar dan di mana anaknya tersebut. Sebenarnya, siapa yang berbohong di sini. Aku ingin sekali menanyakan lebih lanjut ke bapak, tapi sungkan.

Aku bisa melihat tatapan bapak seakan kasihan terhadapku, tetapi kenapa dia tidak memberitahuku.

"Pak, aku mau keluar dulu sebentar. Ingin jalan-jalan."

"Oh, iya. Kebetulan Bapak mau nitip beliin rokok di warung depan sana."

"Baik, Pak."

***

"Mba Jihan!"

"Eh, Bu Sumi!"

Bu Sumi merupakan tetangga mertuaku. Dulu, ia yang selalu mengajakku bercerita saat masih tinggal di sini. Aku tak punya teman cerita selain dia

"Sudah lama ya, gak ketemu. Pasti sibuk banget ngurusin toko."

"Gak juga sih, Bu. Kan ada karyawan."

"Wah, hebat dong! Pasti laris manis kalau sudah punya karyawan."

"Ya Alhamdulillah disyukuri aja, Bu," jawabku. "Ngomong-ngomong kedai Bu Sumi juga udah mulai besar, sudah banyak direnovasi di sana sini," sambungku.

"Iya, Alhamdulillah," sahutnya. "Eh, tadi aku dengar anak Mba Jihan bertengkar lagi tuh dengan anaknya Mba Sari. Pasti bertengkar mainan!"

"Anak saya?"

"Iya, anak Mba Jihan. Coba lihat di sana!"

"Tapi, anak saya kan lagi tidur, Bu." Aku sedikit bingung bagaimana mungkin Naya bermain di rumah tetangga, sedangkan Naya belum terlalu akrab dengan anak tetangga di sini.

"Maksudnya gimana sih, Bu. Barusan aja, aku dengar lagi suaranya. Coba deh lihat di sana, di rumah ijo."

"Tapi, barusan kutinggalkan anak saya di kamar. Mungkin Bu Sumi salah lihat."

"Gak mungkin salah lihat. Lagian tiap hari aku lihat dia ke rumah Bu Sari."

"Tiap hari?" Kepala ini makin pening.

"Gimana sih Mba Jihan? Mba gak sakit kan? Aku lihat sendiri kok Mas Adnan tiap hari ke sini nitipin Nak Dita. Emang Mba Jihan gak tau?"

Mataku membulat hingga dahi ini mengerut. Seketika aku menenangkan diri agar tidak terlihat bingung lagi.

"Eh ... Tadi itu, aku kaget aja. Soalnya kan putri saya masih tidur. Tiba-tiba dengarnya sudah di rumah tetangga. Kalau begitu aku permisi dulu ya, Bu, mau jemput dia sekalian."

Aku khawatir Bu Sumi akan mencium reaksiku yang mulai membuatnya sedikit curiga. Kuputuskan untuk pergi saja, sekalian mau melihat anak itu untuk menjawab penasaranku.

"Assalamualaikum. Permisi!"

"Eh, Mba Jihan! Mari masuk Mba! Nyari anaknya ya?"

"I-ya, Bu."

"Di sana, Mba. Di kamar anak saya. Biasanya dia main di kamar itu." Sambil menunjukkan ke arah yang dia maksud.

Aku pun berjalan menuju kamar yang dimaksud. Setelah memberi salam, aku pun masuk. Mata ini berhenti ke salah satu anak kecil dengan rambut dikucir sedang bermain boneka. Aku mengernyitkan dahi dan tertegun sesaat.

Kali ini penasaranku sedikit terjawab. "Jadi, gadis kecil di foto tadi, anak ini?" Batinku.

"Dita, ya!" sapaku pada anak itu saat mendekat.

"Iya, Tante."

Aku menoleh ke belakang. Tak ada seorang pun di belakang. Bu Sari sepertinya masih di depan melanjutkan pekerjaannya. Baguslah, aku bisa leluasa bertanya ke anak ini.

"Ayahnya, di mana?"

"Papa lagi kelja."

"Emangnya, papanya siapa?"

"Papa Adnan, Tante." Dadaku seketika berdegup keras.

"Sudah sering ke sini?"

"Tiap hali, Tante."

"Oh gitu. Ih, pintar banget! Nenek mintain Tante untuk menjemputmu pulang ke rumah. Ayuk!"

Ia pun bangkit dari tempatnya bermain dan mengikutiku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status