"Kenapa sih, dokter lihatin aku kayak gitu?"Dikta malah membuang wajahnya ke arah lain. Dikta tidak tahu mengapa dia merasa tidak suka melihat Risa mendapat telepon dari Rangga meskipun mereka pernah memiliki hubungan. Rasanya dia ingin sekali merebut ponsel Risa, dan menyuruh Rangga agar berhenti mengganggu wanita itu.Tapi tunggu ...?Mengapa dia merasa kesal dan mempunyai keinginan konyol seperti itu? Apa dia cemburu?"Sial!" Dikta mendesis pelan lalu mengambil sebotol air mineral yang ada di dalam lemari es dan meneguknya hingga tandas.Sepertinya ada yang salah dari otaknya karena dia terus dibayang-bayangi wajah mantan kekasihnya yang sudah meninggal saat melihat Risa.Ponsel Risa akhirnya berhenti bergetar, tapi tidak lama benda itu kembali bergetar. Nama Rangga terpampang jelas di layar. Pria itu akan terus menelepon Risa sampai wanita itu mau mengangkat teleponnya."Angkat!""Hah?!" Risa sontak menatap Dikta yang sedang bersandar pada lemari pendingin. Dokter muda berwajah ta
Risa melirik jam yang menempel di dinding kamar setelah itu berdecak kesal. Ternyata sekarang sudah pukul sepuluh kurang lima belas menit malam. Seharusnya, Risa sekarang sudah bergelung di bawah selimutnya yang nyaman.Akan tetapi apa yang dia lakukan sekarang? Dia malah sibuk memilah-milah baju yang akan dibawa ke Labuan Bajo."Dasar bos jahanam! Ish!" Risa tidak berhenti memaki mantan suaminya sambil memasukkan bajunya ke dalam koper dengan asal, bahkan terkesan berantakan. Sumpah demi apa pun Risa sebenarnya malas sekali menemani Rangga pergi ke Labuan Bajo. Akan tetapi profesinya sebagai sekretaris mengharuskan dirinya agar selalu berada di samping lelaki itu.Risa selesai mengemas pakaiannya tepat pukul sepuluh malam. Dia segera berganti pakaian setelah itu membersihkan wajahnya sebelum tidur. Sementara itu di kamar lain Dikta terlihat gelisah di atas tempat tidurnya. Padahal Dikta biasanya sudah terlelap, akan tetapi pria itu masih terjaga sampai sekarang.Semua ini karena Ri
"Brialla!" Dikta kembali berteriak sambil mengetuk pintu yang ada di hadapannya ketika tidak mendengar sahutan Risa dari dalam kamar."Brialla!""Orangnya sudah tidur!" sahut Risa terdengar kesal membuat kedua sudut bibir Dikta naik ke atas."Kalau kamu sudah tidur, terus itu suara siapa, Brialla?""Khodam aku!"Dikta tidak mampu lagi menahan tawanya. Dia tersenyum geli setelah mendengar jawaban Risa. Di awal pertemuan mereka Dikta pikir Risa orangnya pemalu dan susah berbaur dengan orang lain. Akan tetapi semakin mengenal Risa membuat Dikta sadar kalau Risa ternyata pribadi yang cukup menyenangkan dan suka bercanda. Hanya saja Risa terkadang suka keras kepala."Ada hal penting yang ingin aku tanyakan ke kamu? Bisa kita bicara sebentar?" Suara Dikta sudah tidak sekeras tadi, bahkan sekarang terdengar begitu lembut di telinga Risa."Nggak mau. Aku ngantuk!""Sebentar saja. Tolong bukain pintunya, ya? Please ....""Ish!" Risa menyibak selimut yang menutupi tubuhnya lantas melirik pintu
Nadia kembali mematut diri di depan cermin. Sejak satu jam yang lalu wanita itu terus memperhatikan wajahnya. Entah mengapa Nadia masih merasa kurang cantik padahal dia sudah memakai make up lumayan tebal.Dia pun baru saja menjalani operasi hidung dan dagu di negeri Gajah Putih alias Thailand. Namun, Nadia masih belum puas dengan bentuk wajahnya yang sekarang. Dia selalu ingin terlihat cantik di depan Rangga agar suaminya itu tidak melirik wanita lain.Mulut Nadia sontak menganga lebar setelah melihat jam yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Pukul tujuh lebih sepuluh menit pagi. Nadia pun cepat-cepat beranjak dari tempat duduknya lalu turun ke meja makan. Tidak lupa dia membawa sebuah koper berisi pakaian yang sudah dia siapkan dari semalam tanpa sepengetahuan Rangga.Rangga yang sedang menikmati sarapan seketika mengalihkan pandang dari sepotong roti panggang yang ada di hadapannya ketika mendengar suara langkah kaki Nadia yang memasuki ruang makan. Alis pria itu menukik tajam
Tidak ada yang membuka suara selama di perjalanan. Risa terlalu merasa canggung untuk mengajak Dikta bicara. Sejak tadi yang dia lakukan hanya diam sambil memandangi jalanan lewat kaca mobil yang ada di sampingnya.Risa baru pertama kali ini menaiki mobil Dikta. Mercedes Benz AMG G65 ini merupakan mobil mewah berjenis suv yang memiliki harga sekitar 4,2 miliar. Melihat rumah, kendaraan, dan barang-barang mewah yang dipakai Dikta membuat Risa sadar kalau Dikta bukanlah orang sembarang.Akan tetapi mengapa Dikta tidak bisa melawan Rangga? Apa mungkin ada seseorang yang diam-diam membantu mantan suaminya itu?Risa tanpa sadar mengembuskan napas panjang. Sepertinya dia akan mengalami sedikit kesulitan untuk melawan Rangga jika ada orang penting yang berdiri di belakang pria itu. Akan tetapi dia sudah berjanji akan memulihkan nama baik Dikta karena dokter muda itu sudah mau memperbaiki wajahnya."Sudah berjalanan sejauh mana rencanamu?""Dokter tanya apa?" Risa tersentak ketika mendengar s
Risa bergegas menghampiri pria asing itu lantas berdiri tepat di hadapannya. Sepasang matanya yang bulat sibuk memperhatikan pria itu dari atas sampai bawah.Potongan rambut, wajah, dan bentuk tubuh pria itu terlihat tidak asing di matanya. Risa merasa pernah melihat pria ini sebelumnya. Dan matanya yang sipit mengingatkan Risa dengan—Deg,Tubuh Risa tiba-tiba menegang, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak selama beberapa saat, wajahnya pun terlihat sedikit pucat. Tanpa sadar kedua tangannya mencengkeram pinggiran rok yang dipakainya dengan erat karena kejadian buruk yang dialaminya beberapa bulan yang lalu kembali melintas di ingatan.Risa masih ingat dengan jelas wajah pengemudi sedan hitam yang menabrak mobilnya hingga masuk ke dalam jurang dan meledak.Pengemudi itu ada di hadapannya sekarang.Dia ... Pratama. Kaki tangan sekaligus orang kepercayaan Rangga."Maaf."Risa tergagap ketika mendengar suara Pratama. Dia berusaha keras agar tetap terlihat tenang meskipun dia sekaran
"Di mana anakku?" Mata Risa memicing tajam ketika sadar dan hanya menemukan dokter yang membantunya melahirkan sedang menunduk dalam. Firasatnya berkata buruk. Suara Risa meninggi akibat tak mendapat jawaban, "Aku tanya, DI MANA ANAKKU?""Maaf, Bu Risa. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi putri Ibu ...." Alis Risa menukik ke atas menantikan kata selanjutnya. Sementara sang dokter mengembuskan napas panjang sebelum melanjutkan. "Putri Ibu dinyatakan meninggal karena komplikasi jantung yang diakibatkan kelahiran prematur."Risa bergeming, tubuhnya terasa seperti dipukul palu godam saat mendengar fakta tersebut. Dunianya seketika runtuh. Baru beberapa saat lalu dia mempertaruhkan nyawa untuk melahirkan buah hatinya, tapi apa yang dia dapatkan sekarang? Ia bahkan belum sempat memberikan nama untuk putrinya.Sirna sudah seluruh daftar keinginan yang dia tulis sejak mendapati dua garis biru di testpack beberapa bulan lalu. Memberi sang anak ASI, mengantar imunisasi, jalan-jalan sor
Jantung Risamencelus, air mata menggenang di kedua pelupuk matanya, rasa sesak mengimpitdadanya. Risa pikir sang anak meninggal karena mengalami gagal jantung dankomplikasi akibat lahir prematur. Namun, apa yang tadi Risa dengar barusan?"Anak itu akanmembawa sial kalau dibiarkan hidup! Aku harus cepat-cepat menghabisinya karenadia bisa menghancurkan reputasiku!"Jadi, Rangga yang …Kenapa Rangga tegamelakukan hal ini pada dirinya?Wajah Risamengeras, kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya. Amarah tergambarjelas di wajah cantiknya. Risa benar-benar marah karena Rangga tega melenyapkanbuah hati mereka hanya demi mempertahankan reputasi.Risa berbalik laluberjalan dengan cepat ke kamar. Dia membanting pintu kamarnya dengan cukupkeras hingga membuat dua sejoli yang sedang mencapai puncak kenikmatan sontakmenoleh ke arahnya."Biadabkalian!" teriak Risa sekencang-kencangnya. Wajah wanita itu merah padamdengan napas yang begitu memburu. Sekelebat Risa bisa melihat tamp