Dewasa 21+ Risa menaruh dendam yang begitu besar pada suami dan adik tirinya karena mereka sudah membunuh anaknya yang terlahir cacat. Tidak hanya itu, mereka pun mencelakai Risa, hingga membuat wajah cantiknya rusak. Dibantu oleh Dikta—Dokter bedah plastik, juga pria yang menyelamatkannya, Risa mulai menyusun rencana. Ketika balas dendam Risa hampir berhasil, Dikta mengungkapkan sesuatu yang tidak pernah dia sangka sebelumnya. Berhasilkah Risa membalaskan dendam pada suami dan adik tirinya? Follow my SNS account @aeris6104
Lihat lebih banyakRisa bergegas menghampiri pria asing itu lantas berdiri tepat di hadapannya. Sepasang matanya yang bulat sibuk memperhatikan pria itu dari atas sampai bawah.Potongan rambut, wajah, dan bentuk tubuh pria itu terlihat tidak asing di matanya. Risa merasa pernah melihat pria ini sebelumnya. Dan matanya yang sipit mengingatkan Risa dengan—Deg,Tubuh Risa tiba-tiba menegang, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak selama beberapa saat, wajahnya pun terlihat sedikit pucat. Tanpa sadar kedua tangannya mencengkeram pinggiran rok yang dipakainya dengan erat karena kejadian buruk yang dialaminya beberapa bulan yang lalu kembali melintas di ingatan.Risa masih ingat dengan jelas wajah pengemudi sedan hitam yang menabrak mobilnya hingga masuk ke dalam jurang dan meledak.Pengemudi itu ada di hadapannya sekarang.Dia ... Pratama. Kaki tangan sekaligus orang kepercayaan Rangga."Maaf."Risa tergagap ketika mendengar suara Pratama. Dia berusaha keras agar tetap terlihat tenang meskipun dia sekaran
Tidak ada yang membuka suara selama di perjalanan. Risa terlalu merasa canggung untuk mengajak Dikta bicara. Sejak tadi yang dia lakukan hanya diam sambil memandangi jalanan lewat kaca mobil yang ada di sampingnya.Risa baru pertama kali ini menaiki mobil Dikta. Mercedes Benz AMG G65 ini merupakan mobil mewah berjenis suv yang memiliki harga sekitar 4,2 miliar. Melihat rumah, kendaraan, dan barang-barang mewah yang dipakai Dikta membuat Risa sadar kalau Dikta bukanlah orang sembarang.Akan tetapi mengapa Dikta tidak bisa melawan Rangga? Apa mungkin ada seseorang yang diam-diam membantu mantan suaminya itu?Risa tanpa sadar mengembuskan napas panjang. Sepertinya dia akan mengalami sedikit kesulitan untuk melawan Rangga jika ada orang penting yang berdiri di belakang pria itu. Akan tetapi dia sudah berjanji akan memulihkan nama baik Dikta karena dokter muda itu sudah mau memperbaiki wajahnya."Sudah berjalanan sejauh mana rencanamu?""Dokter tanya apa?" Risa tersentak ketika mendengar s
Nadia kembali mematut diri di depan cermin. Sejak satu jam yang lalu wanita itu terus memperhatikan wajahnya. Entah mengapa Nadia masih merasa kurang cantik padahal dia sudah memakai make up lumayan tebal.Dia pun baru saja menjalani operasi hidung dan dagu di negeri Gajah Putih alias Thailand. Namun, Nadia masih belum puas dengan bentuk wajahnya yang sekarang. Dia selalu ingin terlihat cantik di depan Rangga agar suaminya itu tidak melirik wanita lain.Mulut Nadia sontak menganga lebar setelah melihat jam yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Pukul tujuh lebih sepuluh menit pagi. Nadia pun cepat-cepat beranjak dari tempat duduknya lalu turun ke meja makan. Tidak lupa dia membawa sebuah koper berisi pakaian yang sudah dia siapkan dari semalam tanpa sepengetahuan Rangga.Rangga yang sedang menikmati sarapan seketika mengalihkan pandang dari sepotong roti panggang yang ada di hadapannya ketika mendengar suara langkah kaki Nadia yang memasuki ruang makan. Alis pria itu menukik tajam
"Brialla!" Dikta kembali berteriak sambil mengetuk pintu yang ada di hadapannya ketika tidak mendengar sahutan Risa dari dalam kamar."Brialla!""Orangnya sudah tidur!" sahut Risa terdengar kesal membuat kedua sudut bibir Dikta naik ke atas."Kalau kamu sudah tidur, terus itu suara siapa, Brialla?""Khodam aku!"Dikta tidak mampu lagi menahan tawanya. Dia tersenyum geli setelah mendengar jawaban Risa. Di awal pertemuan mereka Dikta pikir Risa orangnya pemalu dan susah berbaur dengan orang lain. Akan tetapi semakin mengenal Risa membuat Dikta sadar kalau Risa ternyata pribadi yang cukup menyenangkan dan suka bercanda. Hanya saja Risa terkadang suka keras kepala."Ada hal penting yang ingin aku tanyakan ke kamu? Bisa kita bicara sebentar?" Suara Dikta sudah tidak sekeras tadi, bahkan sekarang terdengar begitu lembut di telinga Risa."Nggak mau. Aku ngantuk!""Sebentar saja. Tolong bukain pintunya, ya? Please ....""Ish!" Risa menyibak selimut yang menutupi tubuhnya lantas melirik pintu
Risa melirik jam yang menempel di dinding kamar setelah itu berdecak kesal. Ternyata sekarang sudah pukul sepuluh kurang lima belas menit malam. Seharusnya, Risa sekarang sudah bergelung di bawah selimutnya yang nyaman.Akan tetapi apa yang dia lakukan sekarang? Dia malah sibuk memilah-milah baju yang akan dibawa ke Labuan Bajo."Dasar bos jahanam! Ish!" Risa tidak berhenti memaki mantan suaminya sambil memasukkan bajunya ke dalam koper dengan asal, bahkan terkesan berantakan. Sumpah demi apa pun Risa sebenarnya malas sekali menemani Rangga pergi ke Labuan Bajo. Akan tetapi profesinya sebagai sekretaris mengharuskan dirinya agar selalu berada di samping lelaki itu.Risa selesai mengemas pakaiannya tepat pukul sepuluh malam. Dia segera berganti pakaian setelah itu membersihkan wajahnya sebelum tidur. Sementara itu di kamar lain Dikta terlihat gelisah di atas tempat tidurnya. Padahal Dikta biasanya sudah terlelap, akan tetapi pria itu masih terjaga sampai sekarang.Semua ini karena Ri
"Kenapa sih, dokter lihatin aku kayak gitu?"Dikta malah membuang wajahnya ke arah lain. Dikta tidak tahu mengapa dia merasa tidak suka melihat Risa mendapat telepon dari Rangga meskipun mereka pernah memiliki hubungan. Rasanya dia ingin sekali merebut ponsel Risa, dan menyuruh Rangga agar berhenti mengganggu wanita itu.Tapi tunggu ...?Mengapa dia merasa kesal dan mempunyai keinginan konyol seperti itu? Apa dia cemburu?"Sial!" Dikta mendesis pelan lalu mengambil sebotol air mineral yang ada di dalam lemari es dan meneguknya hingga tandas.Sepertinya ada yang salah dari otaknya karena dia terus dibayang-bayangi wajah mantan kekasihnya yang sudah meninggal saat melihat Risa.Ponsel Risa akhirnya berhenti bergetar, tapi tidak lama benda itu kembali bergetar. Nama Rangga terpampang jelas di layar. Pria itu akan terus menelepon Risa sampai wanita itu mau mengangkat teleponnya."Angkat!""Hah?!" Risa sontak menatap Dikta yang sedang bersandar pada lemari pendingin. Dokter muda berwajah ta
Risa senyum-senyum tidak jelas melihat seikat bunga matahari yang Dikta berikan pada dirinya. Berulang-ulang kali dia baca kalimat yang tertulis di kertas berwarna kuning tersebut."I'm sorry. Pradikta Januar." Risa terkekeh pelan. Ada perasaan bahagia yang sulit untuk dia jelaskan. Meski sederhana, Risa seolah-olah merasa kalau Dikta benar-benar tulus meminta maaf pada dirinya."Aku kenapa, sih?" Risa tanpa sadar memukul kepalanya sendiri setelah menyadari kalau tingkahnya aneh sekali. Padahal dia bukan pertama kali ini mendapat bunga dari seorang lelaki. Sebelum menikah, Rangga dulu sering sekali memberinya bunga. Akan tetapi entah mengapa sekarang rasanya sangat berbeda.Risa meletakkan bunga tersebut di atas meja, setelah itu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum otaknya memikirkan hal yang tidak-tidak tentang Dikta.Selesai mandi Risa langsung turun ke bawah untuk menyiapkan makan malam. Sepasang iris hitamnya seketika membulat ketika melihat Dikta yang sedang
Lonsdaleite, sebuah kafe bernuansa klasik yang berada di pinggir kota. Kafe tersebut berada di dalam sebuah gang yang lumayan sempit dan sulit dilalui kendaraan beroda empat. Bagi pengunjung yang ingin datang ke Lonsdaleite harus berjalan kaki sekitar lima menit agar bisa tiba di sana.Dikta menghirup aroma melati dari secangkir teh hangat yang ada di genggamannya setelah itu menyesapnya dengan perlahan. Dikta biasanya selalu memesan Iced Americno jika datang ke Lonsdaleite Cafe. Namun entah kenapa dia kali ini memesan secangkir teh hangat, mungkin karena cuacanya sekarang agak sedikit mendung."Sudah lama sekali, ya?"Dikta menatap gadis berambut cokelat yang duduk di hadapannya dengan alis terangkat sebelah. Gadis itu bernama Amora—adik kandung Aluna. Mereka tidak sengaja bertemu ketika dia mengunjungi makam kekasihnya itu."Ya, kurang lebih empat tahun mungkin," jawab Dikta.Amora adalah adik tingkat Dikta saat kuliah. Gadis itu selama empat tahun ini tinggal di luar pulau untuk me
Audy hitam itu melaju kencang membelah jalanan ibu kota. Risa mencoba fokus mengendarai mobilnya meskipun pikirannya sedang melayang ke mana-mana. Tanpa sadar Risa menggigit bibir bagian bawahnya ketika ciumannya dan Dikta semalam kembali melintas di ingatannya.Risa akui Dikta seorang pencium yang handal. Dia bahkan sempat terbuai dengan ciuman pria itu. Apa lagi bibir Dikta terasa begitu lembut."Ish! Aku mikirin apa, sih?" Risa tanpa sadar menggelengkan kepala cepat untuk mengusir pikirannya barusan.Lima belas menit kemudian, dia akhirnya tiba di kantor Rangga.Risa menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan sebelum turun dari mobilnya. Risa sebenarnya malas sekali bertemu dengan Rangga. Emosinya selalu naik setiap kali dia berada di dekat mantan suaminya itu. Namun, dia berusaha keras untuk meredam emosinya.Risa menuju lift khusus pegawai seperti biasa. Beberapa pasang mata menatapnya dengan pandangan tidak suka, terutama karyawan perempuan. Mereka pasti iri karena Rangg
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.