Share

Bab 7 - Sekarat

"Tapi ..." Kata-kata Risky tergantung di udara, wajahnya penuh dengan kerutan pertanyaan dan keraguan.

Iqbal menangkap keraguan itu, senyum tipisnya berkedut di ujung bibirnya. Ia merespon dengan suara yang lembut namun penuh keyakinan, "Jangan khawatir, Bu. Saya yang akan menanggung semua ini." Iqbal berhenti sejenak, menatap Risky dengan tatapan yang meyakinkan. "Saya bahkan akan menambah imbalannya menjadi 500 juta, bagaimana?"

Penawaran Iqbal, dengan jumlah yang begitu besar, membuat hati Risky bergetar. Dia datang hari ini dengan niat untuk mengintimidasi Ian, bukan untuk berkelahi. Tapi, tawaran Iqbal, dengan janji uang dan jaminan tanggung jawab, membuatnya merasa seolah-olah dia sedang berdiri di tepi jurang, tergoda untuk melangkah maju.

Setelah berpikir sejenak, Risky tersenyum lebar, matanya berkilauan dengan keserakahan yang tak tersembunyikan. "Anak-anak," katanya, suaranya penuh dengan janji. "Hajar pria tampan itu! Aku akan memberi kalian masing-masing 100 juta!"

Dua pria berbadan kekar dan berkulit gelap itu merespon dengan senyum yang sama serakahnya. Mereka meregangkan otot-otot mereka, siap untuk beraksi, dan melangkah maju mendekati Ian.

"Jangan dendam pada kami ya," kata salah satu dari mereka, suaranya penuh dengan nada mengejek.

"Salahkan saja pada nasib burukmu," timpal yang lain, suaranya bergema dengan nada sinis. Mereka berdua berbagi senyum jahat, siap untuk melaksanakan perintah Risky.

Dengan gerakan cepat dan tanpa ragu, Ian melemparkan tas plastik yang ia genggam. Berbagai bahan makanan yang baru saja dibelinya, terbang bebas dan mendarat dengan keras di wajah dan pakaian kedua anak buah Risky. Beberapa butir telur yang ada di dalam tas pecah, meninggalkan jejak kotor di wajah dan pakaian mereka.

Kedua pria itu, yang tingginya melebihi 180 centimeter, merasa marah dan malu. Mereka menggeram, siap untuk membalas. Tapi, saat mereka berbalik, Ian sudah menghilang. Dia telah melarikan diri ke dalam kedai dan mengunci pintu kaca di belakangnya, meninggalkan kedua pria itu di luar, tercengang dan berlumuran telur.

"Brengsek!" umpat kedua pria itu, suara mereka bergema di udara. Kemarahan mereka terasa begitu nyata, seolah-olah mereka bisa merobek Ian menjadi dua.

"Buka pintunya! Jika tidak, kami akan memecahkannya!" ancam salah satu dari mereka, suaranya keras dan penuh ancaman.

Di dalam kedai, Ian berdiri dengan tenang. Ia mengangkat sebuah kursi kayu, siap untuk bertahan. "Kalian pikir aku bodoh?" katanya, suaranya lantang dan penuh tantangan. "Kalian pasti akan menghajarku jika aku membukanya. Maaf ya, aku ini seorang sarjana, jadi pasti lebih cerdas dibanding kalian berdua!" Ian berdiri tegak, menantang mereka dengan tatapan tajam dan penuh keberanian.

Salah satu dari pria berbadan kekar itu tertawa dengan keras, suaranya bergema masuk ke dalam kedai. "Maaf mengecewakanmu, bocah tampan," katanya dengan nada mengejek. "Tapi kami berdua adalah lulusan Universitas Sura & Baya dengan predikat Summa Cumlaude!"

Ian terkejut mendengarnya. "Apa?!" ucapnya dengan rasa tak percaya. "Itu artinya kalian adalah seniorku? Bahkan aku hanya lulus dengan predikat Cumlaude. Ini benar-benar tidak adil!"

Salah satu dari pria berkulit gelap mengerutkan dahinya, sedikit bingung. "Kau juga lulusan Universitas Sura & Baya?" tanyanya, suaranya penuh keraguan. "Bukankah jika kau menghina kami, itu sama saja menghina dirimu juga?"

Menyadari hal itu, dari luar kedai, tawa vulgar terdengar dari kedua anak buah Risky, membuat Ian merasa malu. Ia menyadari betapa salah dia dalam menilai orang hanya dari penampilan mereka. "Sial," batinnya, "Siapa sangka kedua pria itu adalah satu alumni dan memiliki prestasi yang tinggi. Sepertinya aku tidak bisa menilai orang hanya dari penampilan mereka saja!"

Tak lama kemudian, mereka berdua menghentikan tawa mereka dan kembali fokus pada tugas masing-masing. Salah seorang dari mereka dengan kasar mengatakan, "Karena kamu tidak membuka pintunya, maka kami terpaksa merusaknya!"

Tanpa ragu, dia membuka pakaiannya dan membuntalkannya pada tangan kanannya. Dengan kekuatan penuh, pria itu memukul pintu kaca hingga akhirnya pecah. Suara gemerincing pecahan kaca yang jatuh ke lantai mengisi kedai dengan keheningan yang tegang.

Dengan langkah perlahan, kedua anak buah Risky memasuki ruangan. Salah seorang pria berpostur kekar menjilat bibirnya dengan penuh keganasan, lalu berkata, "Kau tidak akan bisa melarikan diri lagi, pria tampan!"

Sementara itu, pria lainnya mengancam dengan nada tegas, "Aku akan memastikan kau mati, sebagai pembayaran atas pakaianku yang kotor ini!"

Berbekal kursi kayu, Ian tidak ragu untuk melawan. Dengan cepat, dia berlari ke depan dan menghantam salah satu anak buah Risky dengan kursi kayu tersebut. Suara keras terdengar saat kursi kayu itu menghantam tangan kiri anak buah Risky, membuatnya hancur. Ian tercengang melihat kejadian ini, tidak menyangka akan sekuat itu.

"Sekarang giliran kami!" kedua pria itu berkata sambil tersenyum penuh ejekan. Tanpa ampun, mereka langsung melancarkan serangan kejam mereka ke tubuh Ian. Pukulan demi pukulan menghantam tubuhnya, mengirimkan rasa sakit yang tak terperi ke setiap seratnya. Ian berusaha bertahan, mencoba menghindari pukulan-pukulan itu, tetapi kedua pria tersebut terlalu kuat dan terlatih.

Darah mulai bercucuran dari pelipis kepala Ian, mengalir deras ke wajahnya yang semakin luka. Setiap pukulan yang mengenai hidungnya membuat darah segar membanjiri hidungnya, menghalangi pernapasannya. Bibirnya yang pecah mengeluarkan darah, menciptakan jejak merah di sepanjang dagunya. Namun, meskipun terluka dan babak belur, Ian tetap bertahan, menunjukkan tekadnya yang kuat.

Dalam keadaan yang semakin terdesak, Ian mencoba memanfaatkan setiap celah yang ada untuk memberikan balasan. Ia mengangkat tangannya, berusaha memblokir beberapa pukulan, namun kekuatannya tidak sebanding dengan kedua pria itu. Pukulan demi pukulan terus menghujani tubuhnya, membuatnya terhuyung dan terjatuh ke lantai yang dingin.

Saat tubuh Ian terkapar di lantai, Ia merasakan nyeri yang tak tertahankan. Setiap gerakan, setiap napas yang diambilnya, terasa seperti menyiksa. Di saat yang sama, ingatan mengenai kedua orang tuanya yang selama ini selalu menyayanginha menyeruak. ‘Ibu … Ayah …’

Detik berikutnya, wajah seorang gadis cantik mengenakan bando bertelinga kucing muncul. Senyuman gadis itu yang sangat menawan, membuat Ian tidak pernah menyerah dalam melanjutkan usaha kedainya. ‘Lisa …’

Mata Ian yang awalnya mulai kehilangan cahaya, kini perlahan api semangat mulai terpancar dari matanya. ‘Aku tidak boleh menyerah … aku tidak boleh menyerah!’ teriaknya dalam hati seraya menahan sakit.

Dalam keadaan yang lemah dan terluka, Ian masih mencoba bangkit kembali. Dengan kekuatan terakhir yang tersisa, Ian mengangkat tubuhnya dan berdiri dengan perlahan. “Sistem, apakah kamu tidak bisa membantuku?”

Sistem hanya diam, tidak memberi Ian jawaban sedikitpun. Hal ini membuat Ian emosi. “Sistem! Bukankah kamu ada untuk membuat hidupku lebih nyaman?! Jika aku mati, itu sama saja kamu mengingkari eksistensimu!” ucapnya dengan keras seraya menatap kedua pria itu dengan mata yang penuh tekad.

“Hei, sepertinya dia sudah gila,” tawa salah seorang pria berbadan kekar.

“Mungkin kita terlalu keras memukul kepalanya,” timpal pria berbadan kekar lainnya dengan wajah menyindir.

Di luar kedai, Iqbal tampak sangat resah. Ia tahu bahwa Ian juga memiliki sistem, berkat misi darurat yang diberikan sistem padanya. Maka dari itu, saat Ian berteriak pada sistemnya, Iqbal takut sistem milik Ian akan memberinya kekuatan ajaib.

“Kalian berdua, cepat bunuh dia! Orang pertama yang berhasil membunuhnya, akan aku berikan bonus tambahan 100 juta!” ujar Iqbal dengan lantang dan tergesa-gesa.

“Beres Bos!” jawab kedua pria kekar itu bersama-sama.

Detik berikutnya, mereka kembali menghajar Ian yang tengah berdiri terhuyung. Dengan penuh kekejaman, mereka melanjutkan pukulan mereka, menghancurkan tubuh Ian yang sudah terluka parah.

Dalam keadaan yang semakin suram, Ian merasakan kekuatannya yang semakin memudar. Ia tahu bahwa dirinya tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi. Akhirnya, tubuh Ian terkulai lemas di lantai. Darahnya mengalir, menciptakan pola merah yang kontras dengan lantai yang putih. Di saat yang sama, sistem milik Ian mulai berperilaku aneh.

[Ding!]

[Mendeteksi nyawa Host berada dalam bahaya]

[Mencari solusi terbaik]

[...]

[Error]

[Terus mencari solusi]

[Er###$@_+@]

[Sistem ##@$1#$@$]

[Menginisiasi pengambilalihan tubuh]

[1%]

[20%]

[90%]

[100%]

[Override]

Dalam sekejap, mata Ian yang sebelumnya tertutup tiba-tiba terbuka lebar. Sinar biru terang memenuhi matanya yang sebelumnya gelap.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status