"Hmm, apakah kita pernah bertemu, Nona Lean?" tatapan pria yang berada di balik meja itu sangat tajam pada Lean. Namun Lean mencoba untuk tidak mengacuhkannya dan membalas tatapan itu dengan berani. "Silakan, duduk!" ujar pria itu, menunjuk pada kursi yang terdapat di hadapan Lean.
‘Dia … tidak mengenaliku?’Lean mengernyit, merasa bingung atas reaksi pria itu terhadap dirinya. Namun hal itu tidak berlangsung lama, sebab ia kembali teringat pada kalimat Edward yang menyebutnya sebagai Rosi.Suara bariton Edward kemudian kembali terdengar, memutus pikiran sibuk Lean. "Nona Lean, duduklah!"Perintah bernada dingin berbarengan dengan raut serius pada wajah Edward kala ia menatap pria itu.Lean yakin, dilihat dari ekspresi tersebut, pria yang telah dijodohkan padanya ini kemungkinan benar-benar tidak tahu jika mereka pernah melewati malam bersama. "Baik, Tuan Edward." Lean menganggukkan kepalanya, menarik kursi yang ada di hadapannya lalu menjatuhkan bokong rampingnya di atas kursi tersebut. "Oh ya, maafkan sikap saya tadi, Tuan. Tadi saya pikir Tuan adalah seseorang yang saya kenal, tapi sepertinya saya salah." "Oh? Apakah wajahku ini terlihat pasaran?" Edward menatap Lean dengan menumpukan kedua sikunya di atas meja serta jemari kedua tangannya yang saling bertaut, tanpa mengubah raut datar yang ia tampilkan di wajahnya. "Tidak, Tuan Edward." Lean menggelengkan kepalanya. "Mana mungkin wajah Anda yang tampan itu terlihat sangat pasaran di luar sana? Ini semua karena ingatan saya yang salah," tambah Lean lagi.Tanpa ia duga, Edward justru menyunggingkan seraut senyum tipis di sudut bibirnya. Senyum itu membuat ia berpikir, apakah pria ini adalah seorang pria narsis yang sangat menyadari tentang pesona yang dimilikinya. Pesona yang mampu meruntuhkan iman para wanita yang ada di luar sana, kecuali dirinya tentunya. "Kau sudah bertemu dengan Kakekku, Nona Lean?" lontar Edward. Lean mengangguk pelan, "Sudah, Tuan Edward." "Apakah itu artinya kau sudah tahu apa yang harus kau lakukan di Perusahaan ini?" "Seperti yang saya katakan tadi, Tuan. Mulai hari ini saya akan bertugas sebagai Sekretaris Anda," sahut Lean, mengacuhkan rasa sebal yang ia rasakan di dalam hatinya terhadap Edward.Tidak ada wanita waras yang langsung bisa bersikap suka pada pria yang telah merenggut mahkotanya. Namun, hal ini pengecualian untuk Edward. Sebab, selain karena pria itu mencoba untuk membantunya, pria itu juga sedang dalam keadaan mabuk berat.Jadi, wajar saja jika Edward tidak mengenalinya saat pria itu dalam keadaan sadar. Hanya saja, hal yang terus-terusan mengusiknya kala ia berhadapan dengan pria itu adalah … ia tidak terima dianggap sebagai wanita lain.Rosi. Siapa wanita itu hingga merasuk sanubari Edward, sang penerus Gail Group?"Kau benar, memang itulah tugasmu.” Edward berkata dengan tegas. “Dan sebagai Sekretarisku, kau harus selalu siap selama 24 jam. Jadi, kapan pun aku memanggilmu kau harus datang!" "Tapi, tugas saya hanya sebagai Sekretaris Anda, Tuan Edward," protes Lean, "Dan sebagai Sekretaris, saya hanya bekerja pada Anda selama jam kantor.”"Kau tidak mungkin lupa, 'kan kalau saat ini kau bekerja di sebuah Perusahaan yang bertaraf Internasional?" Edward mengurai tautan jemarinya lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa, kemudian melipat kedua tangannya di dada.Tampilan Edward saat ini mengingatkan Lean pada sebuah novel yang pernah ia baca, tentang karakter seorang Bos arogan. Namun, jika Edward berpikir ia adalah tokoh wanita yang bisa pria ini tindas, maka Edward salah. Salah besar! "Saya tidak lupa kalau Perusahaan Gail Mart adalah sebuah Perusahaan yang bertaraf Internasional. Karena itu, saya akan berusaha sebaik mungkin untuk mengerjakan semua pekerjaan saya sesuai dengan draft yang telah saya terima."Edward tiba-tiba terkekeh pelan, salah satu sudut bibir pria itu juga sedikit terangkat naik.Sementara Lean, kembali mengerutkan keningnya. Apakah itu senyuman sinis? Apa pria ini sedang meremehkan kemampuannya? "Aku tidak meragukanmu, Nona Lean." Edward memajukan tubuhnya, hingga menempel ke pinggiran meja kerjanya. "Tapi sepertinya kau belum membaca semua persyaratan yang telah tertulis di dalam kontrak tugasmu sebelum kau menanda tanganinya. Sekarang, menurutku semua itu sudah terlambat."Dengan senyum tipis yang masih tersisa di sudut bibirnya, Edward mengangkat sebuah map dari tumpukan map yang berada di atas mejanya. Membuka salah satu halaman dan menyodorkannya ke hadapan Lean.Lean membaca semua yang tertera di halaman itu dengan teliti, dan di salah satu baris, ia menemukan satu tugas yang belum pernah ia baca sebelumnya.Bingung dengan draft tugas barunya, Lean reflek membolak-balik setiap halaman demi mencari tanda tangannya. Akhirnya, ia menemukan tanda tangannya di halaman terakhir dari draft tugasnya. "Ini tidak mungkin!" desisnya, mengangkat wajahnya, lalu menatap Edward dengan wajah kesal. Kesal karena ia merasa dipermainkan oleh Tuan Besar Gail. "Bacalah! Aku ingin mendengarnya," titah Edward, lalu menjatuhkan punggungnya dengan keras ke sandaran kursi kerjanya hingga menimbulkan suara berderit. "Tapi ini ...." "Baca, Nona Lean!" titah Edward lagi dengan satu alis terangkat naik.Lean memicingkan matanya, tak percaya jika saat ini akhirnya ia bisa bertemu dengan seorang pria yang sangat arogan seperti karakter pria yang sangat ia benci di dalam novel. "Baik, Tuan Edward." Lean membalik kembali draft tugasnya, mencari halaman yang telah Edward tunjukkan padanya sebelumnya. "Selama 24 jam penuh dan di setiap kali dibutuhkan, harus segera datang," ucapnya lantang. Edward merapatkan bibirnya, berusaha keras untuk menahan bibirnya agar tidak tersenyum. Bahkan, ia juga langsung memasang wajah datar ketika Lean mendongak dan menatapnya dengan wajah emosi. "Pasti ada kesalahan dengan draft tugas ini!" protes Lean sekali lagi, sambil menunjuk kalimat yang baru saja ia baca. "Hmm, draft tugas itu disusun oleh Kakekku. Bukankah beliau yang telah memanggilmu ke sini?" "Itu benar, tapi ...." "Keluarlah, Nona Lean! Melaporlah pada asistenku, nanti dia yang akan mengantarmu ke meja yang akan kau tempati."Lean bergeming, terus menatap wajah Edward dengan emosi.Menyadari hal itu, Edward kembali menatap tajam pada Lean. "Ada yang ingin kau katakan padaku, Nona Lean?" celetuknya. "Tidak ada, Tuan Edward," sungut Lean. Dan, sambil mengepalkan kedua tangannya ia pun segera beranjak dari kursi. "Aku akan mengerjakan tugasku dengan baik, Tuan," ujarnya kemudian memutar tubuh, bersiap pergi. Namun sebelum itu … Lean berujar dengan suara kecil, seperti orang yang mengumpat. "Asal Anda tidak memintaku untuk tidur bersama Anda."Namun, hal yang tidak terduga justru terjadi. Di saat ia akan bergegas pergi meninggalkan ruangan Edward, ia sontak terpaku oleh ucapan pria itu. "Akan kupikirkan usulmu itu, Nona Lean. Jadi, silakan datang padaku kalau kau membutuhkan kehangatan." Degg ...!Sesaat berselang, kecemasan mulai mengisi ruang persalinan. Dokter Nora dan para perawat serta satu Dokter yang menemaninya— tampak sibuk berusaha mengembalikan tanda vital Lean. Tak jauh dari para medis itu, Edward hanya bisa termangu sembari mendekap putra mungilnya. Tatapan matanya yang berkabut terus memperhatikan wajah Lean yang terlihat semakin pucat."Oh, Sayang. Kumohon, jangan tinggalkan kami," bisiknya lirih. Kelopak matanya terasa semakin panas, dan Edward bisa merasakan kalau matanya perlahan-lahan telah mulai berair. Sebelumnya, ia pernah merasakan kehilangan seorang wanita, namun rasanya tidak sesakit apa yang Edward rasakan sekarang.Setelah puluhan menit berlalu dalam ketegangan, tiba-tiba Edward melihat Dokter Nora melemparkan pandangan ke arahnya. Raut wajah wanita itu tampak tegang dan ragu."Jangan katakan!" Edward menggeleng keras, sama sekali tidak ingin mendengar berita buruk yang ingin Dokter Nora sampaikan padanya. "Tuan Edward ... maaf, kami sudah berusaha
Sebelum ia pergi menemui Lean di ruang rawat inap, Edward menarik napas dalam-dalam terlebih dahulu. Baru kemudian memberanikan diri untuk menemui istrinya itu. Sementara Anton menunggunya di luar ruangan. Semula, Edward ingin membawa serta Dokter Nora bersamanya, tetapi menurut Eve— sebaiknya ia menemui Lean sendiri terlebih dahulu. Ketika Edward berada di dalam ruang rawat inap yang Lean tempati, aroma desinfektan yang bercampur pewangi ruangan langsung menyambutnya. Tetapi Edward mengacuhkannya dan justru menatap lurus ke arah sesosok tubuh ringkih yang sedang tertidur di atas ranjang. Edward mendekati ranjang tersebut sambil memberi isyarat pada perawat jaga yang ada di dalam ruangan itu agar tidak mengejutkan istrinya. Perawat itu mengangguk pada Edward dan segera pergi meninggalkan ruangan demi memberi waktu pada Edward. Ia telah melihat pria ini sebelumnya di luar saat Edward berbicara sangat serius pada Eve, karena itu ia membiarkan saja Edward yang kemungkinan adalah suam
Malam masih menyelimuti vilanya, dan suara ombak bergema di telinga Edward, membuat hatinya merasa sedikit lebih tenang. Namun, ketenangan itu segera pudar ketika pikirannya terfokus pada Lean. Rasa cemas terasa mengungkungnya juga tekad yang baru mulai tumbuh dalam dirinya. Tidak ingin terlarut dalam perasaan itu, Edward segera menghubungi Ben. Dan setelah beberapa saat ... “Selamat malam, Tuan Edward. Ben di sini.” Suara Ben yang datar mulai terdengar dari seberang panggilan.“Ben, ada yang ingin kukatakan padamu.” Sebelum melanjutkan kalimatnya, Edward membenarkan posisi duduknya terlebih dahulu. Samar-samar suara gemuruh ombak yang terdengar dari kejauhan, menyapa indera pendengarannya.“Ada apa, Tuan Edward? Apakah ada yang bisa kubantu?” tanya Ben, nada suaranya penuh perhatian.“Begini. Dalam dua hari ke depan, aku ingin pergi ke Zurich. Kau pasti sudah mendengar kalau istriku telah kembali ke kota kelahirannya, 'kan?”“Tuan Ernest baru saja menghubungiku tentang rencana An
Sore hari, pulang dari Gail Mart, Edward meminta pada Anton untuk pergi ke mansion milik kedua orang tuanya. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan pada ayahnya.Dalam perjalanan, dari kursi belakang sedan ia memperhatikan Anton dengan wajah serius. Membuat Anton yang tanpa sengaja melirik kaca spion mobil sontak terkejut."Ada apa, Tuan? Apakah ada sesuatu yang ingin Tuan katakan padaku?" celetuk Anton.Edward mengangguk pelan, "Apa Rosi sudah kembali ke mansion Paman?" tanyanya. "Sudah, Tuan Edward. Nyonya Rosi langsung pulang malam harinya ketika Tuan Ernest datang untuk menjemputnya. Oh ya, Tuan. Hari ini Tuan Ernest juga menghubungiku. Maaf aku lupa memberi tahu Anda. Kata Tuan Ernest, Tuan Ernest mengenal seorang Dokter yang hebat saat berada di Dubai. Dokter itu adalah Dokter keluarga milik Kolega Tuan. Tuan Ernest ada meninggalkan nomor teleponnya padaku, aku sudah menghubungi Dokter itu, Tuan. Dia memiliki cara untuk menyelamatkan Nyonya Lean dan juga bayinya, hanya saja ...." A
Senyum Brad sontak memudar, “Aku hanya ingin kau tahu kalau kau bisa mengandalkanku jika kau membutuhkan sesuatu, tidak lebih. Seperti yang kau katakan tadi, kita sudah berpisah, tetapi apakah aku tidak boleh peduli padamu?”Lean hampir membuka mulut untuk membalas ucapan Brad itu, namun dengan cepat Eve menyentuh tangan Lean lalu menggelengkan kepalanya pada adiknya itu. Setelah itu, ia menoleh pada Brad. “Kau lihat, bukan? Kau tidak seharusnya berada di sini, Brad. Lean sedang dalam keadaan yang sangat rentan. Keberadaanmu justru memperburuk situasi,” cetusnya emosi. Lean merasakan ketegangan yang terus meningkat antara kakaknya dan Brad. Naluri melindungi Eve membuatnya merasa sedikit tertekan, tetapi di sisi lain, ia juga merasa bahwa hanya dirinya yang dapat menentukan keputusan untuk dirinya sendiri.“Eve, tolong! Aku bisa mengurus diriku sendiri,” kata Lean dengan suara yang masih bergetar. Ia kemudian berpaling pada Brad. "Brad, aku menghargai niat baikmu. Tapi seperti yang
Keberangkatan Lean ke Zurich mengubah banyak hal. Sejak Lean memutuskan pergi, rasa cemas dan gelisah tidak pernah lepas dari pikiran Edward. Meskipun ia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaannya, benak dan hatinya selalu terikat pada sang istri dan kesehatan istrinya itu. Di sisi lain, Lean kini berada di rumah sakit Zurich, berharap ia bisa menemukan cara untuk menjaga bayinya agar tetap aman sekaligus memikirkan dirinya sendiri.Di kota kelahirannya, hari-hari awal Lean dipenuhi dengan rangkaian perawatan medis yang melelahkan. Eve, yang kini telah bahagia dengan kehidupan barunya sebagai istri Luis, berusaha untuk mendampingi sang adik semaksimal mungkin. Ia sering merasa tidak nyaman kala menemukan Lean yang tampak stres dan juga ketakutan menghadapi hal yang tidak pasti. Setiap hari, Eve mencoba mengajak Lean untuk berbincang, berbagi cerita dan memperkuat semangat satu sama lain meski di tengah rasa cemas yang selalu hadir menemani mereka.“Aku tidak tahu bagaimana melakuk