LOGIN“Datanglah ke Rumah Sakit Insan Harapan, kamar no. 05. Ada pertunjukan yang sangat mengasyikkan untukmu, Irisha ....” Satu pesan misterius itu menghancurkan semua impian Irisha. Di balik pintu kamar itu, ia menyaksikan pengkhianatan yang tak akan pernah ia lupakan. Dari luka yang menyesakkan, lahirlah dendam, dendam yang menuntunnya melakukan hal paling gila dalam hidupnya, menikah dengan ayah kandung pria yang dulu ia cintai.
View MoreTing!!
Satu pesan misterius itu, masuk kembali ke ponsel Irisha. Nama pengirimnya tak tercantum, hanya nomor asing yang sudah berkali-kali menerornya. “Dia lagi …” desis Irisha dengan wajah menegang. “Apa nggak bosan ganggu hidup aku terus?” Tangannya gemetar kecil saat membuka pesan itu. “Datanglah ke Rumah Sakit Insan Harapan, kamar no. 05. Ada pertunjukan yang sangat mengasyikkan untukmu, Irisha.” Alisnya berkerut. “Rumah Sakit Insan Harapan? Bukankah itu tempat sekarang Ibu dirawat?” Nada suaranya merendah, separuh tak percaya. Ada sesuatu yang terasa janggal, dan mungkinkah kali ini si pengirim pesan misterius itu tak main-main. Ia pun memutuskan untuk mengikuti permainan si misterius itu. “Baiklah, kali ini aku percaya padamu,” bisiknya pelan. Tanpa berpikir panjang, ia berdiri dari kursi ruang tunggu dan melangkah cepat ke koridor rumah sakit menuju ruangan yang diberikan si misterius. Setiap langkahnya terasa berat, seolah udara di sekitarnya mendadak menekan. Ia menahan napas ketika melihat seorang suster lewat di depannya. “Permisi, Sus … kamar nomor 05 di mana, ya?” Suster itu menoleh ramah. “Paling ujung, Bu. Kamar VVIP.” “Terima kasih, Sus.” “Iya, sama-sama.” Begitu suster itu berlalu, Irisha segera mempercepat langkahnya. Pikirannya penuh tanda tanya, pertunjukan apa yang dimaksud pengirim misterius itu? “Huhh, awas saja kalau bohong! Aku sumpahin kesamber petir?!” sungut Irisha kesal. Sampai di depan pintu kamar 05, langkahnya terhenti. Pintu itu tidak tertutup rapat, sedikit terbuka, cukup untuk melihat ke dalam. Di sana, seorang wanita tampak berbaring di ranjang pasien, sementara seorang pria berdiri di sampingnya, membelakangi pintu. Irisha menegang. “Itukan … Vani? Adik tirinya Mas Reino?” gumamnya tak percaya. Reino — adalah kekasihnya selama tiga tahun ini, pria yang berjanji akan menikahinya bulan depan. “Vania kenapa ya? Apa yang di dalam itu Mas Reino? Tapi, katanya Mas Reino sedang ada pekerjaan di luar kota,” ujar Irisha. Ia pun semakin penasaran, dan memutuskan untuk masuk ke dalam. Tapi sebelum Irisha sempat melangkah masuk, suara berat setengah panik dari dalam kamar terdengar jelas. “Mas Reino … sampai kapan kita harus menyembunyikan kehamilanku ini dari semua orang? Mamah dan Papah kita suatu hari pasti akan tahu kehamilanku ini, Mas.” “Mas Reino? Jadi, benar yang di dalam itu Mas Reino, calon suamiku?” Dunia Irisha seolah berhenti, napasnya tercekat. Suara Reino terdengar pelan, seperti pembelaan yang rapuh. “Vania … mas butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Lagi pula … waktu itu kita sama-sama nggak sadar saat melakukannya.” Vania menatapnya dengan mata merah, suaranya bergetar antara marah dan kecewa. “Gak sadar bagaimana, Mas? Kamu lupa, setelah malam itu kamu malah sering datang ke apartemenku! Kamu yang minta terus, kamu yang bilang kalau tubuh Kak Risha itu kurus, jelek, dan cuma aku yang terbaik di dunia ini!” Kata-kata itu menusuk dada Irisha seperti belati. Ia menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan tangis yang sudah mendesak keluar. Tubuhnya gemetar hebat, bukan hanya karena marah, tapi juga karena jijik. Jijik pada pria yang selama ini ia cintai, dan wanita yang selama ini ia anggap adalah adik kesayangan Reino sendiri. “Brengsek kau, Reino!!” teriak Irisha, mendobrak pintu hingga terbuka lebar. Reino dan Vania sontak menoleh kaget. “Irisha?” suara Reino parau, wajahnya memucat. Irisha menatap mereka dengan mata basah dan amarah yang membara. “Kau benar-benar brengsek, Reino! Dan kamu, Vania—wanita tak tahu malu!!” Tangannya sudah terangkat, siap menjambak rambut Vania, namun Reino lebih cepat. Lelaki itu menarik lengan Irisha dan mendorongnya keras hingga tubuhnya terjatuh menghantam lantai yang dingin. “Sha, hentikan! Vania sedang hamil!” bentak Reino, suaranya memecah udara tegang di ruangan itu. Irisha menatap ke atas, napasnya tersengal, matanya memerah oleh amarah dan sakit hati yang bersatu. “Ha—hamil?” katanya tercekat, lalu suaranya meninggi, bergetar menahan emosi. “Hamil anak siapa, hah?! Bukannya adikmu ini belum menikah, bahkan belum boleh pacaran? Jadi anak siapa, Reino?! Jawab aku!” Vania menunduk, berpura-pura menangis di balik punggung Reino, namun senyum licik sempat melintas di bibirnya. Reino sendiri hanya berdiri kaku diam membisu. Keheningan itu menampar Irisha lebih keras daripada dorongan yang tadi menjatuhkannya. Dadanya sesak, matanya mulai berkaca-kaca. Dalam hening yang memekakkan, ia sadar … cinta tiga tahun yang ia pertahankan mati seketika, dihabisi oleh pengkhianatan yang menjijikkan. “Kau benar-benar brengsek, Reino …” suaranya parau, berbisik namun penuh kebencian. “Aku kira kau benar-benar tulus padaku.” “Sha, aku bisa jelaskan—” “Jelaskan apa, hah? Jelaskan bahwa yang dikandung Vania adalah anakmu?” bentaknya sambil menatap tajam, seolah tatapan itu bisa membakar hidup Reino sekaligus. Dan kali ini, Reino meledak. “Ya! Dia anakku!” Kata-kata itu meluncur bagai pisau yang menancap tepat di dada Irisha. Dunia seketika hening. Yang terdengar hanya degup jantungnya sendiri, berantakan, patah, tak lagi berirama.Irisha sudah lebih dulu mencium bibirnya, membuat tubuh Revan menegang. Efek obat membuatnya tak mampu melawan, hanya bisa memejam dan merasakan bagaimana ciuman itu menuntut lebih. “Kau hanya diam?” gerutu Irisha di sela napasnya yang terengah. “Aku bahkan belum berpengalaman. Jangan buat aku bekerja sendirian.” Revan membuka mata perlahan, napasnya naik-turun tak teratur. “Dasar payah,” ledek Irisha sambil mendorong dada Revan dengan jari telunjuknya. Senyuman miring muncul di bibir Revan, tantangan itu justru membakar sisanya yang masih sadar. Dalam satu gerakan cepat, ia membalikkan tubuh Irisha hingga gadis itu terperanjat. “Om—pelan! Kau gila!” pekiknya, tapi wajahnya memerah antara kaget dan tak percaya. “Kau yang memulainya,” ucap Revan rendah, parau, dan berbahaya. “Sekarang … biarkan aku yang mengakhirinya.” Irisha yang tadi begitu berani menantang, kini berubah total, matanya melembut, tubuhnya mengecil seperti seekor anak kucing yang ketakutan namun te
Revan spontan merapatkan celananya, ekspresi terkejutnya begitu jelas sampai Irisha menahan tawa. Melihat wajah pria itu yang memerah, ia akhirnya tak sanggup dan tertawa gemas, bahunya sampai bergetar. “Om, kamu kenapa sih?” ujarnya sambil mendekat, suaranya turun satu oktaf lebih menggoda. “Aku kan istri Om. Masa sama istri sendiri malu?” Revan mengembuskan napas panjang, ketiga kalinya sejak tadi. “Risha, sebaiknya kamu ke kamar sekarang.” “Enggak mau,” sahutnya cepat, mendongak menantang. “Risha!” tegur Revan lebih keras. “Aku lagi masak makan malam,” ucap Irisha, tiba-tiba berubah ceria. “Mau aku buatin?” “Tidak perlu,” jawabnya tegas, berusaha memulihkan kewibawaannya yang tercabik sejak sentuhan tadi. “Ya sudah …” Irisha mengangkat alis, menahan tawa nakalnya. “Aku masak dulu ya? Nanti malam kita lanjutin lagi.” Ia menyipitkan mata, menggoda setengah mati sebelum berbalik menuju dapur. Revan hanya bisa memejamkan mata, menahan frustasi yang menumpuk karena sikap istriny
Reino menatap layar ponselnya sesaat setelah sambungan terputus, lalu menghembuskan napas pelan, namun senyum dingin tetap terukir di wajahnya.“Kau terlalu ikut campur dengan urusanku, Revan?” gumamnya pelan, “Kalau bukan karena hartamu dan nama besar yang menempel di belakangku, sudah lama aku menyingkirkanmu dari dunia ini.”Nada suaranya tak lagi terdengar seperti seorang anak yang berbicara tentang ayahnya, melainkan seperti musuh yang berbicara tentang target berikutnya, bahkan sisa rasa hormat di matanya telah lenyap.Setelah mengatakan itu, Reino berbalik menuju ruang rawat Vania. Senyum manipulatif kembali muncul di wajahnya saat tangannya memutar gagang pintu.“Sekarang, saatnya memastikan Vania tetap berada dipelukanku,” ucapnya pelan, sebelum menghilang ke dalam ruangan.Sementara itu, di kediaman Revan, suasana terasa begitu sunyi. Hanya terdengar bunyi jarum jam yang berdetak pelan di ruang tamu.Di lantai atas, Irisha berguling malas di tempat tidur, sampai perutnya tib
Reino tampak gugup, tangannya gemetar saat membuka map yang dibawa ayahnya. Ia berusaha terlihat tenang, pura-pura membalikkan lembar demi lembar berkas seolah mencari sesuatu yang penting. Namun, Revan sudah kehilangan kesabaran. “Reino!” bentaknya keras. Tubuh Reino menegang, pandangannya terangkat perlahan menatap ayahnya. “P–pah, maksudnya apa?” tanyanya bergetar, mencoba terdengar polos. Revan melangkah maju, wajahnya mendekat hingga hanya berjarak sejengkal. “Jangan pura-pura bodoh! Gara-gara ulahmu itu, ibunya Irisha mati!” Nada suaranya tajam, membuat udara di balkon seakan ikut menegang. Reino terdiam sesaat, matanya membulat kaget. “Papah … Papah menuduh aku yang membunuhnya?” “Ya!” jawab Revan meninggi. “Kalau bukan karena kamu membiarkan ibunya Risha tanpa pengobatan, ini semua nggak akan terjadi! Enam bulan, Reino! Enam bulan pasien itu dibiarkan begitu saja tanpa tindakan!” Reino menghela napas berat, kemudian menatap ayahnya dengan ekspresi getir. “Ayolah,
Malam itu, perut Irisha mulai keroncongan, tapi gengsinya terlalu tinggi untuk sekadar keluar kamar.“Sialan, kenapa Om Revan nggak manggil-manggil aku sih?” gerutunya kesal, sambil menatap pintu kamar yang tetap diam.Ia akhirnya melangkah ke balkon, membiarkan angin malam menyapa wajahnya. Lampu kota berkelip lembut, menambah sunyi yang tiba-tiba terasa menelusup. “Bu … Ibu lagi ngapain di atas sana? Ibu lihat Risha, nggak?” ucapnya lirih. “Risha kangen sama Ibu.”Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga. Seandainya saja Reino tidak menunda pengobatan ibunya mungkin ibunya saat ini masih ada, dan Risha tidak akan terjebak dalam pernikahan kejam ini, menikahi ayah dari kekasihnya sendiri.“Bu, setelah semua ini selesai … setelah dendam kita terbalaskan, Risha janji, Risha bakal pergi ke kampung. Kota ini … terlalu kejam buat kita.”Hingga pukul sepuluh malam, Irisha masih betah di balkon. Angin malam meniup lembut rambutnya, sementara pikirannya melayang entah ke mana
Revan mengepalkan tangan. Rasa muak menyesak di dadanya. Ia memilih pergi sebelum emosinya benar-benar meledak. Pintu kamar tertutup dengan suara blam, yang membuat udara seketika hening. Irisha menegakkan tubuhnya, menahan napas sesaat sebelum akhirnya mengembuskannya perlahan. “Huh … dasar pria keras kepala,” gumamnya. “Apa benar yang Reino bilang dulu, kalau ayahnya itu pengecut? Dan ibunya selingkuh karena muak hidup dengan pria seperti dia?” Suara lembutnya terdengar getir. Ingatannya melayang pada ucapan Reino di masa lalu, ucapan yang dulu sempat ia abaikan, tapi kini mulai terasa masuk akal. “Ya,” bisiknya lagi. “Aku harus cari tahu semuanya. Mungkin saja benar ... kalau Om Revan bukan ayah kandung Reino.” Setelah menenangkan diri, Irisha mulai membereskan pakaiannya dan beranjak ke kamar mandi. Tapi baru beberapa langkah masuk, matanya membulat tak percaya. “Ini … kamar mandi?” ujarnya terperangah. “Atau kamar hotel bintang tujuh?” Segalanya tampak begitu me






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments