“Berapa lama?” tanya Bryan kemudian setelah berusaha menekan perasaan galau yang menyergapnya dan membuatnya tak bisa bernapas untuk beberapa saat. “Katakan berapa lama sisa hidupku.”
“Aku bukan Tuhan. Aku tidak berhak memvonis usia hidupmu. Jika memang masih bisa kita pertahankan, maka aku akan lakukan segalanya agar kau bisa bertahan lebih lama dengan hidup yang berkualitas. Namun jika—““KATAKAN BERAPA LAMA SISA HIDUPKU!” Bryan lepas kendali dan ketika sadar, Ryan hanya memandanginya dengan tatapan penuh sesal.“Ini tidak seperti penyakit lain. Jika kukatakan kau akan bertahan satu tahun, maka bisa jadi kurang dari itu, atau lebih. Semua bergantung padamu dan seberapa massive antibodimu. Aku hanya bisa melakukan tugasku sebagai seorang dokter Bryan. Tapi kumohon, lakukan segala yang terbaik dalam hidupmu. Jika kau sangat ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan Shienna, maka perjuangkan dia. Habiskan sisa hidupmu dengan bahagia. Berjanjilah padaku kalau kau akan menjalani hidup dengan bahagia. Katakan, Bryan!”Bryan tak bisa berucap. Isi kepalanya sudah tak karuan dan carut-marut sehingga ia tak tahu apa yang seharusnya ia lakukan saat ini. Ia bangkit dari kursinya dan pergi begitu saja tanpa memberikan respon atas perkataan Ryan dan untuk saat ini, jika boleh, ia menginginkan satu keajaiban. Satu saja.Ia ingin Tuhan berbaik hati padanya dan menyatukan dirinya dengan Shienna. Setelah ia mati nanti, terserah apa kata Tuhan.Bryan kembali mengemudikan mobil dengan konsentrasi yang sudah bercerai-berai hingga tak mampu ia kumpulkan. Ia tengah berpikir, bagaimana jika ia mengakhiri hidupnya sekarang sehingga tak perlu merasakan sakit berlipat-lipat akibat kegagalan cinta dan penyakitnya. Toh usianya tak akan lama. Tak ada bedanya apakah ia mati sekarang atau nanti.Akan tetapi saat ia berniat untuk melakukan pikiran buruk itu, ponselnya berdering dan suara panik Edward membuat kesadaran Bryan kembali terkumpul.“Bryan, bajingan itu telah menyalahi kontrak! Ia tidak ingin bekerja sama dengan Amara. Baru saja ia datang dan mengambil beberapa berkas penting yang sebelumnya telah ia balik nama atas namamu.”“Apa? Bagaimana Jun bisa mendapatkan berkas itu?”“Tamara. Tapi aku sedang mengurusnya sekarang. Bisakah kau menemui Jun? Aku akan menyusulmu setelah menyelesaikan masalah dengan iblis betina ini.”Edward mengakhiri perbincangan dan dengan segera Bryan menuju ke kantor Jun untuk menyelesaikan masalah yang ia buat.“Berani sekali ia mencari gara-gara denganku! Dasar keparat!”Bryan mengemudikan mobil dengan ugal-ugalan tanpa peduli akan keselamatannya atau keselamatan pengguna jalan lain. Yang ia inginkan sekarang adalah tiba di kantor Jun dengan segera sebelum pria itu melarikan diri.Tiba di tempat tujuannya, Bryan berlari dan menuju ke ruangan Jun dengan menggila dan ketika ia merangsek masuk ke ruangan Jun, pemandangan yang tak ia duga terpampang jelas di depan matanya.“Shienna?” gumam Bryan dan seketika, dua pasang mata bertemu dan seolah saling melepaskan rindu tanpa sepatah kata pun yang terucap.Shienna tiba di rumah sakit dan memeriksa kondisi Jennifer yang perlahan membaik. Dokter mengatakan kalau sayatan di pergelangan tangannya tidak terlalu dalam sehingga tidak berefek fatal. Namun, ia meminta Shienna untuk tetap mengawasi karena kemungkinan kejadian serupa akan terulang jika semua orang lengah. Jennifer masih belum membuka mata, menurut psikiatri yang juga bertugas untuk memantau kondisinya, Jennifer mengalami gejala stres akut akibat apa yang terjadi padanya.Tim kesehatan jiwa akan terus memantau kondisinya hingga membaik sampai bisa memutuskan apakah akan tetap melahirkan bayinya atau memilih aborsi sebagai jalan tengah. Shienna memandangi sahabatnya dengan rasa iba, menggenggam tangan Jennifer yang dingin dan menghela napas berat. “Aku tahu kau adalah wanita yang kuat, J. Tapi tak apa jika kau mengeluhkan kerasnya hidup padaku. Tak mengapa jika kau mengatakan segalanya padaku, jangan pernah pikirkan kondisiku yang tidak seberapa ini. Kau selalu ada untukku, maka i
Jennifer dan Shienna didera keterdiaman untuk beberapa saat sebelum keduanya kembali bicara. Shienna menceritakan apa yang terjadi antara dirinya dan Jonathan sehingga mereka berdua berselisih paham. Jennifer akhirnya memiliki keberanian untuk berbicara tentang pengalaman pahitnya. “Aku cemas kalau Jo melakukan tindakan bodoh. Aku sudah mencegahnya, tetapi ia bersikeras untuk mendatangi Jun. Kau tahu sendiri betapa gilanya pria itu.” “Jangan cemaskan Jo. Sebaiknya kau tetap menjaga kesehatanmu agar kau segera pulih. Masalah Jo, biar aku nanti yang akan bicara dengannya,” jawab Shienna yang kemudian meraih ponselnya yang berdering sejak tadi. Ia memberi isyarat pada Jennifer untuk menunggu sebentar sementara ia menerima panggilan. Shienna mengaktifkan pengeras suara ketika mendengar bahwa peneleponnya adalah dari kantor polisi. Keduanya menyimak apa saja yang disampaikan oleh petugas polisi yang membuat Jennifer semakin cemas. Ia tak bisa menahan air matanya dan sekujur tubuhnya sek
Shienna tiba di L’Restaurante dan menemukan Bryan sudah duduk di sana, memesan kursi Vip untuk mereka berdua di lantai atas dengan pemandangan kota melalui balkon. Shienna menyunggingkan senyum canggung karena rasanya telah berlalu sekian lama dirinya dan Bryan tidak berinteraksi. Komunikasi mereka terakhir kali bahkan masih terasa canggung, hanya menghabiskan malam indah dan setelah itu entah setan apa yang merasuki Shienna sehingga melakukan tindakan nekat hingga ia kehilangan bayi mereka. “Kau menunggu lama?” tanya Shienna yang kemudian duduk di hadapan Bryan. Bryan menggeleng. “Aku bahkan pernah menunggu lebih lama dari ini dan masih bertahan hingga kini. Kau mau makan apa?” Bryan menyodorkan buku menu pada Shienna. “Mereka memiliki menu terbaru yang harus kau coba. Steak bayi domba sangat lezat. Aku yakin kau akan menyukainya.” “Baiklah kalau begitu aku akan pesan itu.” Bryan mengangguk, kemudian memesan makanan mereka dan sembari menunggu, keduanya hanyut dalam percakapan ya
Shienna melangkah gontai dan masuk ke dalam ruangan di mana Jennifer dirawat. Wajahnya muram dan beberapa kali Jennifer mendengarnya menghela napas berat, serta memijit tumit kakinya yang terasa berdenyut nyeri. “Apa yang terjadi? Jo pagi-pagi sekali datang dan mengatakan kalau ia akan menjemputmu. Kenapa kau malah datang kemari? Apakah kau tidak bekerja?” cecar Jennifer yang bingung melihat sahabatnya yang wajahnya tampak menggelap dan sedikit pucat. “Apakah ada masalah antara kau dan anak bandel itu?” “Tidak sama sekali. Atau mungkin ... entahlah. Sepertinya aku yang telah melakukan kesalahan sejak awal dengan tidak mengatakan segalanya pada Jo.” “Tunggu, tunggu! Apa yang sedang kau bicarakan? Apakah kalian sudah berpacaran?” “Justru itu. Ia menyatakan cinta, lalu aku yang bodoh dan munafik ini mengatakan kalau aku tidak akan mempertimbangkan Bryan dan hal itu menjadikan harapan bagi Jo dan kemudian segalanya justru terjadi sebaliknya.” Shienna meremas rambutnya. “Ah ... aku sung
Shienna tak bisa menahan perasaan haru yang membuncah kala melihat apa yang ingin Bryan tunjukkan padanya. Atap bangunan yang selama beberapa waktu ia tinggali, rupanya menggambarkan makna khusus. Itu sebabnya, ketika mereka menikah, dengan mudahnya Bryan memberikan lantai teratas pada Shienna untuk ia tinggali sementara dirinya berada di bawah. Bukan tanpa alasan. Bryan berharap Shienna akan tahu dengan datang ke rooftop dan menyaksikan sendiri betapa besar cinta Bryan untuknya. Sayangnya, Shienna begitu bodoh dan tak pernah menyadarinya. “A-apa itu?” tanya Shienna tergagap dan tak kuasa menahan lelehan air mata di pipinya. Ia kini seperti melihat cello yang tergeletak di atap bangunan tersebut. Mata Shienna tak lepas memandangi bentuk atap yang sangat menyerupai cello miliknya dengan hiasan lampu berkelap-kelip memanjang yang tampak seperti senarnya. “Aku sengaja mendesain bangunan itu membentuk sebuah cello, alat musik yang sangat kau sukai,” jawab Bryan. “Sejak kapan?” “Bang
Bryan meluangkan waktu untuk menjemput Shienna di tempat kerja. Dari kejauhan ia melihat Jonathan yang tengah berbincang dengan Shienna dan memberikan perhatian untuknya. Bryan merasa kesal dan memutuskan untuk turun dari mobil, menemui Shienna langsung agar Jonathan atau pria mana pun tidak sembarangan mendekatinya. Sebuah kecupan manis ia daratkan di bibir Shienna yang hanya memandanginya dengan tatapan penuh tanya. Sementara Bryan menatap Jonathan yang tampak tak suka akan kehadiran Bryan. “Apakah lelaki itu selalu bersikap manis padamu?” tanya Bryan sembari memusatkan perhatian pada kemudi edan jalanan di hadapannya. Shienna mengerutkan kening dan menatap sang suami yang bahkan enggan menoleh barang sebentar ke arahnya. “Ada apa ini? Mengapa kau menanyakan tentang Jo seperti itu?” “Oh, kau memanggilnya Jo. Manis sekali.” “Ada apa, Bray?” tanya Shienna yang kemudian hanya dijawab gelak tawa oleh Bryan. “Apakah kau cemburu? Benarkah? Oh, aku merasa tersanjung sekali melihatmu ce
Pagi sekali Bryan sudah tiba di kediaman Jennifer dan tak sabar bertemu wanita tercintanya. Shienna yang baru saja bangun terkejut menemukan dirinya berada di sofa serta puluhan pesan dan panggilan dari Bryan. Ia bergegas bersiap dan ketika keluar dari kamar, Jennifer sudah menyambutnya dengan senyuman. “Suami tercintamu sudah menunggu sejak tadi. Aku mempersilakannya masuk, tetapi ia ingin segera, katanya. Apakah kalian akan ke suatu tempat?” tanya Jennifer sembari menghirup minumannya. “Aku membuatkanmu roti lapis, bawa saja untuk kau makan bersama Bryan.” Shienna tak mengerti apa yang terjadi pada Jennifer karena yang ia ingat terakhir kali, malam tadi, mereka sempat berselisih paham. “J, maafkan aku untuk sikap dan perkataanku malam tadi. Aku sadar, tak seharusnya aku menuduhmu.” Jennifer meletakkan gelas dan bangkit menghampiri Shienna. “Aku justru ingin berterima kasih atas perkataanmu. Aku jadi sadar kalau aku tak mungkin bisa meminta siapa pun untuk bertanggung jawab atas
Shienna dan Bryan menikmati makan malam mereka yang penuh keakraban dan kemesraan. Keduanya bercanda dan berbincang mengenai banyak hal yang terlewatkan oleh satu sama lain selama mereka berpisah.Hanya tiga bulan, tetapi rasanya banyak hal yang terjadi dan luput dari perhatian mereka.“Kau tahu? Saat akhirnya aku bertemu denganmu di kantor Jun, aku sebelumnya berdoa agar Tuhan memberikan keajaiban dan aku tak menyangka, Ia mendengar permohonanku.” Bryan memulai pembicaraan setelah keduanya menikmati makan malam. Mereka masih di meja makan dan seolah enggan untuk bangkit dan mencari lokasi lain untuk berbincang.“Dan akhirnya kita bertemu,” timpal Shienna sembari melekatkan tatapan pada Bryan.“Ya, tetapi aku agak terganggu pada kejadian itu. Aku lupa untuk menanyakannya padamu. Apa tujuanmu datang menemui bajingan itu? Apakah ia melakukan sesuatu terhadapmu sehingga membuatmu datang? Kau juga tampak sangat marah saat itu.”Shienna menghela napas mengingat kejadian yang membuatnya nek