“Astaga! Apa yang sudah Anda lakukan, Mister?!”
“Apa Anda membuatnya pingsan?! Kasihan sekali.”
“Sebaiknya cepat dibawa ke rumah sakit!”
Terdengar protes dari beberapa penunggu kendaraan umum di halte tersebut. Suara mereka membuat pria yang tadi menegur Shanon merasa bersalah.
Akhirnya ia memilih opsi ketiga. Segera membawa Shanon ke rumah sakit.
Diangkatnya tubuh Shanon dan segera membaringkan gadis yang tak sadarkan diri itu di kabin belakang sebelum ia sendiri bertolak ke kabin depan.
“Pak, tolong segera ke rumah sakit St. Xavier,” perintah pria tersebut sambil menutup pintu mobil di sampingnya.
Supir taksi tersebut pun mengangguk dan langsung menaikkan kecepatan, meninggalkan halte.
Dari lirikan matanya, sang supir bisa melihat kalau pelanggan prianya tengah sibuk menghubungi seseorang.
“Chris! Saya sudah berpindah lokasi. Temui saya di rumah sakit St.Xavier.” Nada sang pria muda itu terdengar kesal dan sangat tidak bersahabat.
Karena lawan bicaranya bersuara cukup lantang, supir taksi itu pun bisa mendengar dengan samar percakapan mereka.
“Tu—tuan Damian! Apa Anda terluka?! Maafkan saya! Karena terlambat—“
“Sudah. Aku akan mengurus keterlambatanmu nanti. Segera ke st. Xavier!” sentak pria yang disebut Tuan Damian tadi, memotong pembicaraan lawannya di telepon.
Sekitar 15 menit kemudian, mobil kuning berlogo ‘taxi’ itu menepi di depan pintu UGD rumah sakit.
Karena merasa bersalah, pria itu pun menemani Shanon sampai ke UGD.
“Apa yang terjadi, Tuan?” tanya salah satu Suster yang tengah memasang selang infus pada punggung tangan Shanon.
Pria itu terdiam sesaat, kemudian berkata, “Ah ... saya tidak terlalu paham, tetapi wanita ini pingsan saat menunggu di halte.”
Mendapati informasi yang jauh dari harapan, suster itu pun hanya bisa mengangguk menerima informasi yang tidak seberapa itu.
‘Aku sebaiknya membayari biaya pengobatannya. Semoga saja dia tidak apa-apa,’ batin pria itu seraya berpamitan pada salah satu suster yang merawat Shanon.
Namun, baru saja pria itu berbalik menuju ke pintu keluar UGD, ia menangkap pembicaraan para suster tersebut.
“Eh?! Bukannya ini wanita yang kemarin disebutkan dokter sedang hamil?”
Mendengar itu, sang pria penyelamat pun tertegun tak melanjutkan langkahnya. ‘Hamil?! Apa aku sudah menyusahkan orang hamil?!’
“Ah! Benar! Dia—“
“Suster, tolong pindahkan wanita ini ke kamar VVIP. Saya sudah meminta satu kamar untuknya,” ujar pria tersebut yang tiba-tiba kembali ke dalam bilik UGD.
“Ba—baik, Tuan.”
Tanpa banyak bicara lagi, para suster itu pun segera menggerakkan roda ranjang rumah sakit menuju ke ruang VVIP yang sudah ditunjuk.
“Tuan Damian.” Seorang pria muda berambut pirang menghampiri Damian yang langsung berbalik dan memandanginya dengan penuh kekesalan.
Pria pirang itu adalah sang sekretaris—Christian Benn.
“Chris, tolong kau urus administrasi wanita ini!” perintah Damian dengan wajah super kesalnya.
Ia masih sangat menyayangkan keteledoran sang sekretaris hari ini. Kalau saja pria pirang berkacamata itu tidak terlambat menjemputnya, ia tidak perlu berurusan dengan orang sakit seperti ini.
Bukan saja terlambat menjemput, sekarang Damian bahkan tidak bisa menghadiri rapat yang akhirnya diundur.
“Ba—baik, Tuan Damian. Dokter Armeyn sudah saya beritahu untuk menangani pasien ini. Beliau akan berkunjung sebentar lagi.”
Damian berdeham singkat kemudian melanjutkan langkahnya menuju kamar VVIP untuk memeriksa kondisi Shanon.
Tak lama kemudian, dokter yang disebutkan sang sekretaris pun datang ke ruangan tersebut dengan cengiran lebar di wajahnya.
“Aku tak menyangka akan datang waktunya aku mendapatimu berurusan dengan wanita, Damian.”
Damian mendengus sambil memutar manik matanya. “Ini tidak seperti yang Anda pikirkan, Dokter Armeyn. Semoga kau selalu sehat.”
Dokter tua itu terkikik sambil menyalami tangan Damian sebelum ia memfokuskan diri pada Shanon yang masih terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit.
“Dia tidak sampai terjatuh ke tanah, kan?” tanya sang dokter sambil mengecek irama jantung Shanon. Jelas, dokter tua itu sudah memeriksa informasi yang didapat oleh suster.
Netra Damian bergerak tak tentu, mencoba mengingat kejadian yang berlangsung dalam sekejap tadi. “Ku ... rasa aku sempat menangkap tubuhnya.”
Tengah memeriksa, seorang suster masuk dan memberikan sebuah dokumen pada Dokter Armeyn. “Ini hasil tes sebelumnya, Dok.”
“Ah ... ya, ya, ya. Dia sedang hamil, yang kudengar dari dokter jaga,” gumam Dokter Armeyn sambil membaca-baca catatan pada dokumen di tangannya.
Suster itu mengangguk seraya berkata, “Benar, Dok. Sudah usia 7 minggu menuju 8.”
“Seharusnya sudah bisa terlihat janinnya. Suster, tolong bawakan alatnya ya,” pinta dokter tua itu sambil menutup catatan medis Shanon dan meletakkannya di atas meja.
Suster pun segera undur diri untuk mengambil alat rekam kandungan, sesuai yang diminta sang dokter. Tak lama kemudian, pemeriksaan kandungan pun dijalankan.
“Apa janinnya sehat?” tanya Damian yang was-was. Ia cukup takut, kalau-kalau karenanya, seorang wanita kehilangan bayinya.
Dokter Armeyn yang tengah fokus mengamati gambar pada layar monitor kandungan hanya bergumam saja sambil menganggukkan kepalanya beberapa kali.
Setelah puas mengamati kandungan Shanon, Dokter Armeyn pun segera mengambil pena dari sakunya dan menuliskan sesuatu seperti sembarangan, di sebuah kertas.
“Bagus. Tidak ada masalah. Kemungkinan, nona ini yang tubuhnya lemah,” ujarnya sambil menyerahkan kertas tadi pada suster yang membantunya.
“Baiklah. Terima kasih, Dok.”
Dokter itu pun beranjak dari sisi ranjang pasien menuju sofa. Sementara itu suster membantu menutup tirai supaya Shanon bisa beristirahat tanpa gangguan.
Bermaksud untuk berbincang santai dengan pria yang sudah lama tak pernah terlihat lagi di kota Tinseltown, dokter tua itu menepuk sofa di sampingnya. “Duduklah dulu.”
Terakhir ia bertemu dengan Damian adalah saat usia pria muda itu 16 tahun.
“Jadi, benar? Kau tidak ada hubungan apa-apa dengan nona ini, Damian?” tanya pria yang 90 persen rambutnya sudah memutih. Ia senang membuat Damian kesal.
Damian menghela napas panjang sebelum ia mematikan ponselnya. Ia baru saja membaca pesan singkat dari sekretaris kantornya perihal laporan rapat yang baru saja dilewatkannya.
Diturunkan tubuhnya hingga menyentuh sofa, kemudian ia bersandar seolah semua lelah manusia ada pada pundaknya.
“Sudah kukatakan, pria tua ... ini tidak seperti yang kau pikirkan. Aku berebut taksi,” ujarnya, menyingkat pertemuan tak menyenangkan dengan Shanon tadi.
Namun, ucapannya jelas membuat pandangan sang dokter menyipit tak setuju. “Kau berebut kendaraan dengan wanita hamil? Apa kau kekurangan mobil—“
“Tidak demikian, Dokter Armeyn.” Tiba-tiba Christian—sekretaris pribadi Damian, bergabung untuk mewakili sang atasan menjelaskan apa yang sebenarnya dialami.
Bertahun-tahun ia bekerja untuk Damian, pemahamannya mengenai betapa iritnya sang atasan bicara, sudah sampai level tertinggi.
Sementara mereka berbincang ini dan itu di sofa, telinga Shanon pun mulai tergugah dengan suara samar mereka.
Gadis muda itu mencoba membuka matanya yang berat, tetapi netranya kembali menutup. ‘Ugh! Terang sekali,’ keluhnya sambil menolehkan kepala.
Cahaya lampu yang menantang indra penglihatannya terasa sangat tajam. Butuh waktu lebih lama untuknya menyesuaikan dengan jumlah cahaya.
Sementara matanya berusaha membuka, telinganya masih mencoba menangkap kalimat-kalimat yang diucapkan entah siapa yang ada di balik tirai yang menutupi pandangannya.
‘Tetap tidak terdengar. Siapa ya mereka?’ batin Shanon bertanya-tanya. Ia sempat mendengar 3 suara berbeda, namun sekarang hanya ada 2 suara sebelum akhirnya pintu ruangan terdengar seperti dibuka dan ditutup.
Setelah beberapa saat, Shanon akhirnya bisa mengangkat tubuhnya untuk duduk di atas ranjang. Penasaran dengan orang-orang yang sedang berbincang, gadis yang masih terbalut pakaian kantor itu pun mencoba menyibakkan tirai.
Sayang sekali. Karena keseimbangan tubuhnya belum sempurna, beratnya malah menarik tirai itu hingga lepas dari relnya.
Damian sangat terkejut dengan keributan yang dibuat oleh Shanon. Beberapa detik, pria itu hanya menatap Shanon dengan pandangan kesal.
Kalau Damian terkejut karena ulah Shanon, gadis itu lebih terkejut lagi melihat Damian ada di hadapannya. Bahkan mulutnya sampai ternganga tanpa suara.
Di dalam kumpulan para sekretaris kota Tinseltown, tidak ada satupun sekretaris yang tidak tahu siapa pria yang sedang berdiri kesal di hadapan Shanon saat ini.
‘Damian Vadis?!’
“Jangan bicara sembarangan, Avantie!” seru Damian yang tidak rela label palsu itu bisa saja didengar Shanon. “Shanon akan segera menjadi istriku.” “Aku tidak sembarangan. Ada video—” “Shanon di jebak, Avantie,” potong Herv cepat, tak ingin lagi membahas masa lalu Shanon yang ia yakin tidak baik kalau sampai Shanon mendengarnya lagi. Lagi, Herv menambahkan, “Pelakunya sudah menyatakan permohonan maaf mereka dan sudah mengakui semua kesalahan. Yang sudah terjadi tidak bisa diubah, tapi Shanon sudah membersihkan namanya.” Damian turut mengangguk, membenarkan ucapan sang kakek. Mendengar kenyataan terbaru itu, Avantie tak bisa lagi berkata-kata. Ia tidak menyiapkan diri untuk hal ini. Tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan untuk mempertahankan Damian. “Tapi aku lebih mencintaimu, Damian,” rintihnya sementara air mata mulai mengenang dan tak sedikit yang berjatuhan di atas pangkuan gadis malang itu. Herv menatap Damian, memberinya isyarat agar cucu laki-lakinya itu mengatakan s
“Lihat, Pa! Perempuan ini pasti menggoda Damian!” pekik Avantie sambil menunjukkan foto Shanon dan Damian masuk ke dalam mobil yang sama. Bahkan si pengintai yang dibayar Avantie juga melaporkan kalau mereka pergi ke butik gaun pernikahan setelah selesai dari pemakaman.Lemuel mendengarkan rengekan Avantie sambil memijat pelipisnya, tidak tahu harus bertindak bagaimana untuk memenangkan hati Damian yang baru disadari tidak pernah punya perasaan pada putrinya. Katanya, “Papa tidak bisa sembarang bergerak, Vantie, Nak. Jangan sampai kita membuat Herv marah dan kau malah kehilangan segalanya, Avantie.” Netra Avantie menyalak marah. “Apa maksud Papa? Damian adalah segalanya buatku! Kalau aku tidak bisa memilikinya, apa lagi yang Papa maksud dengan ‘segalanya’?!”Desahan berat terdengar keluar dari sela bibir Lemuel. Ia tahu kalau Avantie tidak pernah tahu tujuan lain ia bersikeras menjodohkannya dengan Damian adalah demi mendapatkan keyakinan bahwa seumur hidup, Avantie tidak akan kehi
‘Apa benar aku akan menikahi pria sempurna ini?’ Shanon diam-diam melirik ke sisi kanannya, di mana Damian duduk. Pria itu tidak melepaskan rangkulan di bahu Shanon, membuat gadis itu sedikit canggung dibuatnya.Ia jadi ingat bagaimana dulu teman-temannya paling berisik kalau Damian muncul dalam wawancara berita di televisi. SHanon tak sengaja terkekeh membuat Damian mengangkat salah satu alisnya. “Senang-senang sendirian, hm?” ledek Damian. Shanon menggelengkan kepalanya sementara tangannya menutupi bibir yang berusaha sekuat tenaga menahan tawa.“Apa ada yang aneh dengan penampilanku? Aku akan bertemu dengan Almarhum orang tuamu. Aku harus tampil baik, Shan.” Damian mencoba mengorek alasan di balik wajah bahagia Shanon barusan. Lagi, Shanon menggeleng dulu sebelum menjawab, “Tidak. Kau sempurna. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan soal penampilanmu, Damian.”‘Sudah mau datang ke makam mereka saja, aku sudah bersyukur. Pria berstatus tinggi sepertinya mendatangi makam orang tuak
51“Kak Damian, jangan bercanda,” kekeh Shanon dengan canggung. Ia tak tahu harus menatap ke mana, karena matanya terus saja kembali pada benda bulat melingkar yang duduk manis di dalam kotak itu. Lagi katanya, “Kau bukannya akan menikah dengan Avantie? Dan lagi, aku—”“Aku tidak pernah mengakui pertunanganku, apalagi menikahinya,” potong Damian dengan tenang. Rahang Shanon seperti lepas dari engselnya, ia tidak menyangka kalau selama ini semua kesedihan atas kenyataan rencana pernikahan Damian dan Avantie sia-sia belaka. Padahal pria itu sama sekali tidak menganggap hal tersebut ada.Damian menambahkan, “Aku menunggu sampai kau selesai dengan urusanmu, untuk menikahimu. Jadi, berhenti memanggilku dengan sebutan ‘kakak’. Aku bisa menjadi suamimu.”Belum sempat membalas ucapan Damian, sebuah tawa menggelegar terdengar memasuki ruangannya. “Kalian ini, jangan lupa menutup pintu. Ha! Ha! Ha!” Herv masih saja tergelak, terlebih melihat wajah Shanon yang memerah karena sadar kalau keja
50“Me—menagih hutang?!” tanya Shanon dengan wajah panik. Terperangah dengan ucapan Damian.Ia memang harus mengembalikan uang yang dipinjamkan Damian saat membangun Steenkool. Hanya saja selama ini Damian tidak pernah menagih, karena setiap bulan Shanon pasti menyicilnya. “Apa Kakak butuh uangnya segera? Aku tahu aku harus mengembalikan uang modal pertama Steenkool—”Damian menggelengkan kepala, membuat Shanon berhenti bicara. Dengan wajah serius ia menjelaskan, “No. Aku menagih hutang rumah sakitmu.”Rahang Shanon seolah jatuh mendengar ucapan Damian. Satu-satunya kejadian ia harus di rawat di rumah sakit dan menggunakan uang Damian adalah saat pertama kali mereka bertemu. “Apa itu hutang, Mama?” tanya Alden yang berada di pangkuan Shanon. “Uhm … Mama pernah pakai uang Uncle Damian untuk berobat dan harus dikembalikan.” Shanon mencoba menjelaskan pada putranya sesederhana mungkin. Dalam hati, Shanon menganalisa permintaan Damian itu. ‘Tapi apa dia bakal nagih hutang 10 tahun la
“Saya menolak!” raung Pamella yang tidak mungkin membiarkan kondisi suaminya terpampang di media.Tidak mungkin ia membiarkan teman-teman sosialitanya mengetahui kondisi mengerikan seperti ini.Spontan Shanon tergelak mendengar penolakan Pamella. “Anda sadar siapa saya, tapi tidak satupun saya dengar permintaan maaf dari Anda. Begitu angkuhnya?” tegur Shanon. Pamella tertegun. Ia tidak tahu bagaimana membalas ucapan Shanon itu.Dan karena Pamella belum berkomentar atau menunjukkan tanda kalau ia menyerah dan meminta maaf pada Shanon, owner dari Steenkool itu menambahkan, “Saya hanya butuh waktu sebentar untuk menghancurkan kalian berdua. Kalau semua tahu Anda yang mandul, apakah ada lagi gunanya Anda untuk keluarga Simons?” Seperti ada yang menumpahkan es di atas tengkuk dan punggungnya, Pamella merasakan sekujur tubuhnya mulai mendingin. Panik. Pura-pura tenang, Pamella menghardik Shanon, “Apa maksud Anda?!”“Kalau Anda menundukkan kepala sampai ke lantai, saya berpikir untuk men
“Lantas, apa yang Anda mau dari saya sekarang, Nona Shanon? Saya tidak memiliki apa-apa lagi jika saya lepas dari keluarga istri saya.”Netra Shanon menyipit mendengar omong kosong Julian. Ia bertanya dengan santai walau sebenarnya ia tidak mengerti kalimat Julian, “Apa maksudnya dengan lepas dari keluarga istri?”Dengan percaya dirinya Julian menjelaskan, “Jika Anda bermaksud untuk meminta pertanggungjawaban saya setelah apa yang saya perbu—”“Cukup!” sentak Shanon memotong ucapan Julian. Lagi ia mengeluhkan kedangkalan pikiran pria itu, “Itu pemikiran yang sangat menjijikkan, Tuan Julian. Saya tidak percaya Anda bisa berpikir ke arah sana.”Baru saja Julian membelah mulutnya, Shanon buru-buru menyelak, “Kalau Anda tanya apa yang saya mau, itu adalah kehancuran hidup Anda.”Shanon mengambil sebuah benda yang biasa dipakai oleh para pencukur rambut pria dan menunjukkannya pada Julian.“Mata ganti mata. Gigi ganti gigi.” Seringai kebencian di wajah Shanon semakin terlihat. Sementara i
“Tuan Julian, bagaimana Anda bisa melakukan semua ini? Pada owner perusahaan pula!” tuduh salah satu direktur wanita yang ia kenal bernama Salome—direktur bidang personalia.Julian tercengang mengetahui bahwa wanita yang sekarang sedang duduk di kursi CEO itu adalah sang pemilik Steenkool. Wanita yang ia ketahui bernama Shanon. Hanya saja, ia tidak paham dengan konteks pembicaraan Salome barusan. Hal itu membuatnya merasa sembarangan dituduh. Namun, ia menyadari posisinya sebagai orang baru dan bertanya, “Apa maksud Anda? Melakukan apa? Saya? Soal apa ini?”Menjawab pertanyaan itu, Shanon melemparkan sesuatu ke lantai, dekat kaki Julian. Spontan Julian menunduk dan menatap apa yang dilempar kepadanya tadi.Netra Julian langsung membelalak melihat foto-foto yang memuat dirinya di dalam sana. Bukan sekedar foto biasa, ia bahkan bisa menyadari kalau ia sedang memaksakan dirinya, menyetubuhi seorang wanita yang tak lain dan tak bukan adalah Shanon. Ia mengenali dari bentuk rambutnya yang
“Apa istri Anda tak masalah, Anda malah bekerja di perusahaan lain?” Shanon mencoba mengorek kondisi rumah tangga Julian yang sebenarnya.Dan benar saja, begitu ia membicarakan sang istri, Julian terlihat murung. Mungkin juga karena mabuk, akal sehatnya mulai tak bisa membaca situasi.Wajah sedihnya mulai diikuti dengan mulut yang terpisah, menyuarakan isi hati. “Mereka melimpahkan semua kesalahan pada saya. Ada atau tidak ada saya di keluarga itu, sudah tidak jadi soal, Nona Steenkool,” kata Julian penuh kegetiran.Shanon yang memang sengaja menggunakan nama yang sama dengan perusahaannya itu tersenyum tipis mendengarkan Julian yang terus mengoceh soal istri dan mertuanya.Sedikit banyak ia bisa mengkonfirmasi kebenaran dari semua data yang sudah ia kumpulkan sebelumnya. Lagi, Julian berkata, “Soal tidak punya anak, saya juga yang dilabeli dengan kata ‘mandul’, tapi mereka tidak mau melakukan tes.”Netra Shanon membulat kaget sepersekian detik sebelum menampilkan senyumannya lagi.