“Shanon, tolong dibagikan buat kalian ya.”
Seorang pria asia bermata sipit menyerahkan sebuah kotak dengan tulisan ‘Tokiyo Banana’ pada Shanon.
Beliau adalah CFO di perusahaan baru di mana Shanon bekerja.
“Baik, Mr. Fumiyaki. Terima kasih banyak.” Shanon sedikit memekik ketika menerima kotak camilan kesukaannya itu.
Di hari pertama Shanon bekerja, atasannya itu langsung memberinya satu kotak penuh untuk ia nikmati sendiri.
Sejak hari itu, sudah hampir satu bulan Shanon bekerja sebagai sekretaris CFO, bersama dengan senior sekretaris bernama Diana Brown, di sebuah perusahaan kabel bernama Wiener Corp.
“Senior, kau sudah selesai rapat?” tanya Shanon saat tengah membagikan camilan yang baru diterimanya itu.
Diana—wanita paruh baya yang dipanggil ‘senior’ tadi, mengangguk sambil menempati kursi kerjanya. Wajahnya terlihat cukup lelah setelah mengikuti rapat dengan CEO.
“Ah ... kue kesukaanmu, hm?” kekehnya sambil membuka bungkus camilan.
Shanon pun mengangguk bahagia. Ia baru saja akan menggigit camilan lembut tersebut ketika tiba-tiba perutnya terasa mual.
Dengan cepat Shanon berlari ke dalam kamar mandi dan mulai terdengar seperti sedang memuntahkan sesuatu.
Mendengar kondisi Shanon yang sepertinya kurang baik, Diana dan beberapa rekan sekretaris di sana pun mulai panik.
Hampir setengah jam Shanon di dalam kamar mandi. Ketika gadis itu keluar dari sana, mereka semua terkejut melihat wajah Shanon yang semakin pucat.
“Shanon! Kau sangat pucat?!” pekik Diana, panik. Diikuti oleh anggukan semua rekan kerjanya.
Shanon pun menggeleng, tak paham dengan kondisi tubuhnya yang tiba-tiba saja tak enak. Ia mencoba menebak-nebak, “Sepertinya aku masuk angin, Senior. Aku akan minum teh hangat saja—“
“Tidak, Shanon. Kau harus periksa ke dokter!” perintah Diana.
Sekretaris senior itu kemudian beralih pandang pada seorang gadis muda dan memberi perintah, “Charlotte, segera minta supir untuk bersiap di lobi. Kamu antar Shanon ke rumah sakit!”
Namun Shanon bersikeras untuk tidak pergi ke rumah sakit. “Minum teh hangat saja pasti sembuh, Senior.”
Diana menggeleng kuat-kuat. “Kau ingat peraturan perusahaan? Kesehatan nomor satu. Jangan sampai terlambat mengobati atau malah mungkin kau bisa menularkan penyakit pada yang lain. Pergi ke rumah sakit bukan hanya untuk dirimu, tetapi untuk sekitarmu, Shanon.”
Shanon tertegun. Ia lupa kalau perusahaan ini—walau skalanya masih lebih kecil dari Regal Corp, tapi mereka sangat detail dalam hak dan kewajiban karyawan.
Akhirnya Shanon mengangguk. “Baiklah, Senior. Saya akan ke rumah sakit.”
Mereka segera membantu Shanon sampai masuk ke dalam mobil dinas.
“Charlotte, tolong temani Shanon ya.”
Gadis muda yang dipanggil dengan nama Charlotte itu pun mengangguk mantap. “Siap, Mrs.Nana. Tenang saja.”
30 menit perjalanan lamanya sampai mobil dinas yang ditumpangi Shanon berhenti di depan pintu UGD sebuah rumah sakit.
Staf rumah sakit pun segera membantu Shanon turun dari mobil, sampai membaringkannya di atas ranjang pasien.
Tak lama kemudian dokter jaga UGD datang memeriksanya.
Dan betapa terkejutnya Shanon ketika dokter tersebut malah tersenyum dan berkata dengan riang—hampir memekik, “Oh! Selamat, Nona. Anda akan menjadi ibu!”
“Hah?!”
Shanon dan Charlotte bersamaan mempertanyakan ucapan sang dokter. Charlotte malah menambahkan, “Apa Dokter tidak salah diagnosa? Teman saya ini masih belum berkeluarga.”
“Oh ... begitu ya? Sebaiknya kita lakukan tes cairan urin Anda, untuk lebih pasti.” Dokter tersebut segera keluar dari bilik dan mencari suster untuk membantunya mengerjakan tes tersebut.
Shanon terlihat menggantung kepalanya, seolah tak berani menatap Charlotte. Ia sangat terkejut mendapat berita itu. Seolah ada petir yang menghantam dirinya, Shanon membeku duduk di atas ranjang UGD.
Melihat kondisi Shanon yang rapuh seperti itu membuat Charlotte langsung bergerak memeluk rekan sekretarisnya tersebut.
“Sha. Tak apa. Tak apa. Kau ingin mengatakan apa, bilang saja, oke? Aku takkan menghakimi. Kalau kau butuh teman bicara, ada aku.”
Mendengar ucapan Charlotte, Shanon pun tak lagi bisa menahan air mata yang sudah ia lupakan dalam satu bulan ini. Sambil terisak, ia memutuskan untuk bercerita pada rekan sejawatnya itu.
“Astaga, Sha ... aku tidak menyangka kalau kau adalah sekretaris dalam video yang sempat viral itu. Sekarang videonya sudah tidak ada. Sepertinya dihapus oleh perusahaan itu.” Charlotte kembali memeluk Shanon erat, menunjukkan dukungan untuk moril Shanon.
“Lalu bagaimana? Kau mau apa dengan bayi ini, Sha?” tanya Charlotte dengan wajah khawatir.
Shanon menggeleng. “Aku belum tahu, Char.”
***
Keesokan harinya. Di kantor Wiener Group.
Shanon memutuskan untuk jujur pada sang senior terlebih dahulu. Dan saat ini Diana tengah tertegun di dalam ruang rapat berukuran kecil.
Sekretaris senior itu baru saja mendapatkan pengakuan yang mengejutkan dari Shanon yang notabene baru bekerja selama 1 bulan bersamanya. Ia tak menyangka bahwa video viral yang sempat ia abaikan itu ternyata berhubungan dengan sang junior.
Setelah diam cukup lama, Diana pun akhirnya membuka suara.
“Shan, apa benar CEO itu yang memaksamu? Karena dari video yang pernah kusaksikan, kau dituduh—“
“Tuduhan itu tidak benar, Senior!” seru Shanon tergesa, dengan suara tertahan. “Hari itu seharusnya hari kebahagiaanku. Aku mendapat pekerjaan sebagai sekretaris CEO dengan gaji setara senior.”
Diana terdiam mendengarkan penjelasan Shanon yang sebenarnya sulit dipercaya, karena hanya dari satu sumber.
Demikianpun, ia tetap mendengarkan dengan seksama.
“Kami mengadakan perayaan kecil dan Mr.Julian sangat mabuk. Supirnya sudah diminta pulang dan ponsel Mr.Julian dalam keadaan mati. Aku tidak bisa menemukan pengisi daya yang cocok dengan ponselnya. Dan karena tidak tahu di mana ia tinggal, aku membawanya ke apartemen dinas. Tapi Mr.Julian—“
Shanon tak bisa melanjutkan ceritanya. Mengingatnya lagi membuat air matanya kembali membasahi wajah.
Tanpa dijelaskan pun, Diana tahu apa yang terjadi setelahnya. Ia pun menghela napas panjang, sebelum berkata, “Shan, Kau tahu peraturan perusahaan bahwa sekretaris tidak boleh terikat pernikahan selama 3 tahun. Terlebih lagi punya anak. Dari ceritamu, aku percaya... ini bukan kesalahanmu, tapi—“
“Aku mohon, Senior. Tolong aku untuk tetap bekerja di sini. Setidaknya sampai usia kandunganku masuk bulan keenam,” pinta Shanon sambil berurai air mata.
Diana pun tak kuasa melihat kepedihan hati Shanon. Namun, kalau kondisinya seperti ini, bahkan Diana pun sadar, ia takkan bisa membantu Shanon mempertahankan pekerjaannya.
Sebagai seorang wanita, ia juga tidak mau mengusulkan untuk menggugurkan kandungan Shanon.
“Shanon, walau senior, tapi aku hanya seorang sekretaris. Peraturan perusahaan tidak bisa kuubah sembarangan,” ujar Diana pahit.
Ia tidak mau memberi harapan palsu pada sang junior. Karena sudah jelas peraturannya. Begitu seorang sekretaris menikah atau hamil, maka semua kontrak kerja dibatalkan. Terlebih lagi, ada penalti yang harus dibayar si pelanggar kontrak.
“Aku hanya bisa membantumu mendapatkan gaji pertamamu dan bonus yang seharusnya kau terima kalau sudah setahun bekerja. Aku juga akan membantu untuk meniadakan penalti. Jadi, tidak akan ada yang dipotong dari pendapatanmu. Bagaimana?” usul Diana setelah berpikir sesaat.
Shanon menutup matanya rapat-rapat, mencoba menahan air mata agar tidak lagi tumpah. Ia sadar tak bisa memaksa sang senior lebih jauh lagi.
Benar apa kata seniornya itu. Tidak mungkin mereka bisa mengubah peraturan perusahaan.
Bisa mendapatkan semua yang tadi disebutkan Diana saja, Shanon sudah sangat bersyukur. Ia bisa menerima gaji satu bulan ditambah bonus sebesar satu kali gaji.
Dengan keputusan Diana tersebut, Shanon akhirnya pamit pada atasannya langsung. Bersyukur, Mr.Fumiyaki mau mengerti kondisinya dan tidak menyalahkan gadis itu.
“Kau bisa pulang sendiri, Shanon?” tanya Diana yang khawatir melihat wajah Shanon kembali pucat.
Shanon mengangguk lemah. Ia kemudian membungkuk penuh hormat sambil berkata, “Senior, terima kasih banyak untuk bantuanmu selama ini. Maafkan aku sudah mengecewakanmu.”
Dipeluknya Diana erat. Ia sudah bahagia bisa dipertemukan dengan wanita itu, seolah mendapatkan seorang kakak perempuan. Walau pada akhirnya mereka harus berpisah.
Setelah puas berpamitan dengan rekan-rekan kerjanya, Shanon pun segera pergi dari area kantor Wienner Group tersebut.
Ia memutuskan untuk mengendarai taksi saja, karena ia butuh tempat sepi untuk meluapkan hatinya yang sesak.
Sekali lagi, hatinya menghitam mengingat siapa yang membuatnya kehilangan segala yang menjadi impian gadis itu.
Ckit!
Sebuah taksi kuning berhenti di hadapan Shanon. Tanpa berpikir lagi, ia pun segera mengulurkan tangannya untuk menarik gagang pintu mobil kabin depan.
Namun baru saja tangan Shanon menggenggam gagang pintu, seorang pria berteriak padanya, “Hey, Nona! Ini taksiku! Aku mengantri di depanmu sejak tadi! Apa kau buta?!”
Shanon bingung mendengar suara keras itu. Ia ingin membalas suara kasar itu, tetapi detik berikutnya pandangan Shanon berubah gelap.
Wajah pria yang memprotesnya tadi pun berubah pucat.
“Hey! Nona!”
“Jangan bicara sembarangan, Avantie!” seru Damian yang tidak rela label palsu itu bisa saja didengar Shanon. “Shanon akan segera menjadi istriku.” “Aku tidak sembarangan. Ada video—” “Shanon di jebak, Avantie,” potong Herv cepat, tak ingin lagi membahas masa lalu Shanon yang ia yakin tidak baik kalau sampai Shanon mendengarnya lagi. Lagi, Herv menambahkan, “Pelakunya sudah menyatakan permohonan maaf mereka dan sudah mengakui semua kesalahan. Yang sudah terjadi tidak bisa diubah, tapi Shanon sudah membersihkan namanya.” Damian turut mengangguk, membenarkan ucapan sang kakek. Mendengar kenyataan terbaru itu, Avantie tak bisa lagi berkata-kata. Ia tidak menyiapkan diri untuk hal ini. Tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan untuk mempertahankan Damian. “Tapi aku lebih mencintaimu, Damian,” rintihnya sementara air mata mulai mengenang dan tak sedikit yang berjatuhan di atas pangkuan gadis malang itu. Herv menatap Damian, memberinya isyarat agar cucu laki-lakinya itu mengatakan s
“Lihat, Pa! Perempuan ini pasti menggoda Damian!” pekik Avantie sambil menunjukkan foto Shanon dan Damian masuk ke dalam mobil yang sama. Bahkan si pengintai yang dibayar Avantie juga melaporkan kalau mereka pergi ke butik gaun pernikahan setelah selesai dari pemakaman.Lemuel mendengarkan rengekan Avantie sambil memijat pelipisnya, tidak tahu harus bertindak bagaimana untuk memenangkan hati Damian yang baru disadari tidak pernah punya perasaan pada putrinya. Katanya, “Papa tidak bisa sembarang bergerak, Vantie, Nak. Jangan sampai kita membuat Herv marah dan kau malah kehilangan segalanya, Avantie.” Netra Avantie menyalak marah. “Apa maksud Papa? Damian adalah segalanya buatku! Kalau aku tidak bisa memilikinya, apa lagi yang Papa maksud dengan ‘segalanya’?!”Desahan berat terdengar keluar dari sela bibir Lemuel. Ia tahu kalau Avantie tidak pernah tahu tujuan lain ia bersikeras menjodohkannya dengan Damian adalah demi mendapatkan keyakinan bahwa seumur hidup, Avantie tidak akan kehi
‘Apa benar aku akan menikahi pria sempurna ini?’ Shanon diam-diam melirik ke sisi kanannya, di mana Damian duduk. Pria itu tidak melepaskan rangkulan di bahu Shanon, membuat gadis itu sedikit canggung dibuatnya.Ia jadi ingat bagaimana dulu teman-temannya paling berisik kalau Damian muncul dalam wawancara berita di televisi. SHanon tak sengaja terkekeh membuat Damian mengangkat salah satu alisnya. “Senang-senang sendirian, hm?” ledek Damian. Shanon menggelengkan kepalanya sementara tangannya menutupi bibir yang berusaha sekuat tenaga menahan tawa.“Apa ada yang aneh dengan penampilanku? Aku akan bertemu dengan Almarhum orang tuamu. Aku harus tampil baik, Shan.” Damian mencoba mengorek alasan di balik wajah bahagia Shanon barusan. Lagi, Shanon menggeleng dulu sebelum menjawab, “Tidak. Kau sempurna. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan soal penampilanmu, Damian.”‘Sudah mau datang ke makam mereka saja, aku sudah bersyukur. Pria berstatus tinggi sepertinya mendatangi makam orang tuak
51“Kak Damian, jangan bercanda,” kekeh Shanon dengan canggung. Ia tak tahu harus menatap ke mana, karena matanya terus saja kembali pada benda bulat melingkar yang duduk manis di dalam kotak itu. Lagi katanya, “Kau bukannya akan menikah dengan Avantie? Dan lagi, aku—”“Aku tidak pernah mengakui pertunanganku, apalagi menikahinya,” potong Damian dengan tenang. Rahang Shanon seperti lepas dari engselnya, ia tidak menyangka kalau selama ini semua kesedihan atas kenyataan rencana pernikahan Damian dan Avantie sia-sia belaka. Padahal pria itu sama sekali tidak menganggap hal tersebut ada.Damian menambahkan, “Aku menunggu sampai kau selesai dengan urusanmu, untuk menikahimu. Jadi, berhenti memanggilku dengan sebutan ‘kakak’. Aku bisa menjadi suamimu.”Belum sempat membalas ucapan Damian, sebuah tawa menggelegar terdengar memasuki ruangannya. “Kalian ini, jangan lupa menutup pintu. Ha! Ha! Ha!” Herv masih saja tergelak, terlebih melihat wajah Shanon yang memerah karena sadar kalau keja
50“Me—menagih hutang?!” tanya Shanon dengan wajah panik. Terperangah dengan ucapan Damian.Ia memang harus mengembalikan uang yang dipinjamkan Damian saat membangun Steenkool. Hanya saja selama ini Damian tidak pernah menagih, karena setiap bulan Shanon pasti menyicilnya. “Apa Kakak butuh uangnya segera? Aku tahu aku harus mengembalikan uang modal pertama Steenkool—”Damian menggelengkan kepala, membuat Shanon berhenti bicara. Dengan wajah serius ia menjelaskan, “No. Aku menagih hutang rumah sakitmu.”Rahang Shanon seolah jatuh mendengar ucapan Damian. Satu-satunya kejadian ia harus di rawat di rumah sakit dan menggunakan uang Damian adalah saat pertama kali mereka bertemu. “Apa itu hutang, Mama?” tanya Alden yang berada di pangkuan Shanon. “Uhm … Mama pernah pakai uang Uncle Damian untuk berobat dan harus dikembalikan.” Shanon mencoba menjelaskan pada putranya sesederhana mungkin. Dalam hati, Shanon menganalisa permintaan Damian itu. ‘Tapi apa dia bakal nagih hutang 10 tahun la
“Saya menolak!” raung Pamella yang tidak mungkin membiarkan kondisi suaminya terpampang di media.Tidak mungkin ia membiarkan teman-teman sosialitanya mengetahui kondisi mengerikan seperti ini.Spontan Shanon tergelak mendengar penolakan Pamella. “Anda sadar siapa saya, tapi tidak satupun saya dengar permintaan maaf dari Anda. Begitu angkuhnya?” tegur Shanon. Pamella tertegun. Ia tidak tahu bagaimana membalas ucapan Shanon itu.Dan karena Pamella belum berkomentar atau menunjukkan tanda kalau ia menyerah dan meminta maaf pada Shanon, owner dari Steenkool itu menambahkan, “Saya hanya butuh waktu sebentar untuk menghancurkan kalian berdua. Kalau semua tahu Anda yang mandul, apakah ada lagi gunanya Anda untuk keluarga Simons?” Seperti ada yang menumpahkan es di atas tengkuk dan punggungnya, Pamella merasakan sekujur tubuhnya mulai mendingin. Panik. Pura-pura tenang, Pamella menghardik Shanon, “Apa maksud Anda?!”“Kalau Anda menundukkan kepala sampai ke lantai, saya berpikir untuk men
“Lantas, apa yang Anda mau dari saya sekarang, Nona Shanon? Saya tidak memiliki apa-apa lagi jika saya lepas dari keluarga istri saya.”Netra Shanon menyipit mendengar omong kosong Julian. Ia bertanya dengan santai walau sebenarnya ia tidak mengerti kalimat Julian, “Apa maksudnya dengan lepas dari keluarga istri?”Dengan percaya dirinya Julian menjelaskan, “Jika Anda bermaksud untuk meminta pertanggungjawaban saya setelah apa yang saya perbu—”“Cukup!” sentak Shanon memotong ucapan Julian. Lagi ia mengeluhkan kedangkalan pikiran pria itu, “Itu pemikiran yang sangat menjijikkan, Tuan Julian. Saya tidak percaya Anda bisa berpikir ke arah sana.”Baru saja Julian membelah mulutnya, Shanon buru-buru menyelak, “Kalau Anda tanya apa yang saya mau, itu adalah kehancuran hidup Anda.”Shanon mengambil sebuah benda yang biasa dipakai oleh para pencukur rambut pria dan menunjukkannya pada Julian.“Mata ganti mata. Gigi ganti gigi.” Seringai kebencian di wajah Shanon semakin terlihat. Sementara i
“Tuan Julian, bagaimana Anda bisa melakukan semua ini? Pada owner perusahaan pula!” tuduh salah satu direktur wanita yang ia kenal bernama Salome—direktur bidang personalia.Julian tercengang mengetahui bahwa wanita yang sekarang sedang duduk di kursi CEO itu adalah sang pemilik Steenkool. Wanita yang ia ketahui bernama Shanon. Hanya saja, ia tidak paham dengan konteks pembicaraan Salome barusan. Hal itu membuatnya merasa sembarangan dituduh. Namun, ia menyadari posisinya sebagai orang baru dan bertanya, “Apa maksud Anda? Melakukan apa? Saya? Soal apa ini?”Menjawab pertanyaan itu, Shanon melemparkan sesuatu ke lantai, dekat kaki Julian. Spontan Julian menunduk dan menatap apa yang dilempar kepadanya tadi.Netra Julian langsung membelalak melihat foto-foto yang memuat dirinya di dalam sana. Bukan sekedar foto biasa, ia bahkan bisa menyadari kalau ia sedang memaksakan dirinya, menyetubuhi seorang wanita yang tak lain dan tak bukan adalah Shanon. Ia mengenali dari bentuk rambutnya yang
“Apa istri Anda tak masalah, Anda malah bekerja di perusahaan lain?” Shanon mencoba mengorek kondisi rumah tangga Julian yang sebenarnya.Dan benar saja, begitu ia membicarakan sang istri, Julian terlihat murung. Mungkin juga karena mabuk, akal sehatnya mulai tak bisa membaca situasi.Wajah sedihnya mulai diikuti dengan mulut yang terpisah, menyuarakan isi hati. “Mereka melimpahkan semua kesalahan pada saya. Ada atau tidak ada saya di keluarga itu, sudah tidak jadi soal, Nona Steenkool,” kata Julian penuh kegetiran.Shanon yang memang sengaja menggunakan nama yang sama dengan perusahaannya itu tersenyum tipis mendengarkan Julian yang terus mengoceh soal istri dan mertuanya.Sedikit banyak ia bisa mengkonfirmasi kebenaran dari semua data yang sudah ia kumpulkan sebelumnya. Lagi, Julian berkata, “Soal tidak punya anak, saya juga yang dilabeli dengan kata ‘mandul’, tapi mereka tidak mau melakukan tes.”Netra Shanon membulat kaget sepersekian detik sebelum menampilkan senyumannya lagi.