Share

3-Selamat!

“Shanon, tolong dibagikan buat kalian ya.”

Seorang pria asia bermata sipit menyerahkan sebuah kotak dengan tulisan ‘Tokiyo Banana’ pada Shanon.

Beliau adalah CFO di perusahaan baru di mana Shanon bekerja.

“Baik, Mr. Fumiyaki. Terima kasih banyak.” Shanon sedikit memekik ketika menerima kotak camilan kesukaannya itu.

Di hari pertama Shanon bekerja, atasannya itu langsung memberinya satu kotak penuh untuk ia nikmati sendiri.

Sejak hari itu, sudah hampir satu bulan Shanon bekerja sebagai sekretaris CFO, bersama dengan senior sekretaris bernama Diana Brown, di sebuah perusahaan kabel bernama Wiener Corp.

“Senior, kau sudah selesai rapat?” tanya Shanon saat tengah membagikan camilan yang baru diterimanya itu.

Diana—wanita paruh baya yang dipanggil ‘senior’ tadi, mengangguk sambil menempati kursi kerjanya. Wajahnya terlihat cukup lelah setelah mengikuti rapat dengan CEO.

“Ah ... kue kesukaanmu, hm?” kekehnya sambil membuka bungkus camilan.

Shanon pun mengangguk bahagia. Ia baru saja akan menggigit camilan lembut tersebut ketika tiba-tiba perutnya terasa mual.

Dengan cepat Shanon berlari ke dalam kamar mandi dan mulai terdengar seperti sedang memuntahkan sesuatu.

Mendengar kondisi Shanon yang sepertinya kurang baik, Diana dan beberapa rekan sekretaris di sana pun mulai panik.

Hampir setengah jam Shanon di dalam kamar mandi. Ketika gadis itu keluar dari sana, mereka semua terkejut melihat wajah Shanon yang semakin pucat.

“Shanon! Kau sangat pucat?!” pekik Diana, panik. Diikuti oleh anggukan semua rekan kerjanya.

Shanon pun menggeleng, tak paham dengan kondisi tubuhnya yang tiba-tiba saja tak enak. Ia mencoba menebak-nebak, “Sepertinya aku masuk angin, Senior. Aku akan minum teh hangat saja—“

“Tidak, Shanon. Kau harus periksa ke dokter!” perintah Diana.

Sekretaris senior itu kemudian beralih pandang pada seorang gadis muda dan memberi perintah, “Charlotte, segera minta supir untuk bersiap di lobi. Kamu antar Shanon ke rumah sakit!”

Namun Shanon bersikeras untuk tidak pergi ke rumah sakit. “Minum teh hangat saja pasti sembuh, Senior.”

Diana menggeleng kuat-kuat. “Kau ingat peraturan perusahaan? Kesehatan nomor satu. Jangan sampai terlambat mengobati atau malah mungkin kau bisa menularkan penyakit pada yang lain. Pergi ke rumah sakit bukan hanya untuk dirimu, tetapi untuk sekitarmu, Shanon.”

Shanon tertegun. Ia lupa kalau perusahaan ini—walau skalanya masih lebih kecil dari Regal Corp, tapi mereka sangat detail dalam hak dan kewajiban karyawan.

Akhirnya Shanon mengangguk. “Baiklah, Senior. Saya akan ke rumah sakit.”

Mereka segera membantu Shanon sampai masuk ke dalam mobil dinas.

“Charlotte, tolong temani Shanon ya.”

Gadis muda yang dipanggil dengan nama Charlotte itu pun mengangguk mantap. “Siap, Mrs.Nana. Tenang saja.”

30 menit perjalanan lamanya sampai mobil dinas yang ditumpangi Shanon berhenti di depan pintu UGD sebuah rumah sakit.

Staf rumah sakit pun segera membantu Shanon turun dari mobil, sampai membaringkannya di atas ranjang pasien.

Tak lama kemudian dokter jaga UGD datang memeriksanya.

Dan betapa terkejutnya Shanon ketika dokter tersebut malah tersenyum dan berkata dengan riang—hampir memekik, “Oh! Selamat, Nona. Anda akan menjadi ibu!”

“Hah?!”

Shanon dan Charlotte bersamaan mempertanyakan ucapan sang dokter. Charlotte malah menambahkan, “Apa Dokter tidak salah diagnosa? Teman saya ini masih belum berkeluarga.”

“Oh ... begitu ya? Sebaiknya kita lakukan tes cairan urin Anda, untuk lebih pasti.” Dokter tersebut segera keluar dari bilik dan mencari suster untuk membantunya mengerjakan tes tersebut.

Shanon terlihat menggantung kepalanya, seolah tak berani menatap Charlotte. Ia sangat terkejut mendapat berita itu. Seolah ada petir yang menghantam dirinya, Shanon membeku duduk di atas ranjang UGD.

Melihat kondisi Shanon yang rapuh seperti itu membuat Charlotte langsung bergerak memeluk rekan sekretarisnya tersebut.

“Sha. Tak apa. Tak apa. Kau ingin mengatakan apa, bilang saja, oke? Aku takkan menghakimi. Kalau kau butuh teman bicara, ada aku.”

Mendengar ucapan Charlotte, Shanon pun tak lagi bisa menahan air mata yang sudah ia lupakan dalam satu bulan ini. Sambil terisak, ia memutuskan untuk bercerita pada rekan sejawatnya itu.

“Astaga, Sha ... aku tidak menyangka kalau kau adalah sekretaris dalam video yang sempat viral itu. Sekarang videonya sudah tidak ada. Sepertinya dihapus oleh perusahaan itu.” Charlotte kembali memeluk Shanon erat, menunjukkan dukungan untuk moril Shanon.

“Lalu bagaimana? Kau mau apa dengan bayi ini, Sha?” tanya Charlotte dengan wajah khawatir.

Shanon menggeleng. “Aku belum tahu, Char.”

***      

Keesokan harinya. Di kantor Wiener Group.

Shanon memutuskan untuk jujur pada sang senior terlebih dahulu. Dan saat ini Diana tengah tertegun di dalam ruang rapat berukuran kecil.

Sekretaris senior itu baru saja mendapatkan pengakuan yang mengejutkan dari Shanon yang notabene baru bekerja selama 1 bulan bersamanya. Ia tak menyangka bahwa video viral yang sempat ia abaikan itu ternyata berhubungan dengan sang junior.           

Setelah diam cukup lama, Diana pun akhirnya membuka suara.

“Shan, apa benar CEO itu yang memaksamu? Karena dari video yang pernah kusaksikan, kau dituduh—“

“Tuduhan itu tidak benar, Senior!” seru Shanon tergesa, dengan suara tertahan. “Hari itu seharusnya hari kebahagiaanku. Aku mendapat pekerjaan sebagai sekretaris CEO dengan gaji setara senior.”

Diana terdiam mendengarkan penjelasan Shanon yang sebenarnya sulit dipercaya, karena hanya dari satu sumber.

Demikianpun, ia tetap mendengarkan dengan seksama.

“Kami mengadakan perayaan kecil dan Mr.Julian sangat mabuk. Supirnya sudah diminta pulang dan ponsel Mr.Julian dalam keadaan mati. Aku tidak bisa menemukan pengisi daya yang cocok dengan ponselnya. Dan karena tidak tahu di mana ia tinggal, aku membawanya ke apartemen dinas. Tapi Mr.Julian—“

Shanon tak bisa melanjutkan ceritanya. Mengingatnya lagi membuat air matanya kembali membasahi wajah.

Tanpa dijelaskan pun, Diana tahu apa yang terjadi setelahnya. Ia pun menghela napas panjang, sebelum berkata, “Shan, Kau tahu peraturan perusahaan bahwa sekretaris tidak boleh terikat pernikahan selama 3 tahun. Terlebih lagi punya anak. Dari ceritamu, aku percaya... ini bukan kesalahanmu, tapi—“

“Aku mohon, Senior. Tolong aku untuk tetap bekerja di sini. Setidaknya sampai usia kandunganku masuk bulan keenam,” pinta Shanon sambil berurai air mata.

Diana pun tak kuasa melihat kepedihan hati Shanon. Namun, kalau kondisinya seperti ini, bahkan Diana pun sadar, ia takkan bisa membantu Shanon mempertahankan pekerjaannya.

Sebagai seorang wanita, ia juga tidak mau mengusulkan untuk menggugurkan kandungan Shanon.

“Shanon, walau senior, tapi aku hanya seorang sekretaris. Peraturan perusahaan tidak bisa kuubah sembarangan,” ujar Diana pahit.

Ia tidak mau memberi harapan palsu pada sang junior. Karena sudah jelas peraturannya. Begitu seorang sekretaris menikah atau hamil, maka semua kontrak kerja dibatalkan. Terlebih lagi, ada penalti yang harus dibayar si pelanggar kontrak.

“Aku hanya bisa membantumu mendapatkan gaji pertamamu dan bonus yang seharusnya kau terima kalau sudah setahun bekerja. Aku juga akan membantu untuk meniadakan penalti. Jadi, tidak akan ada yang dipotong dari pendapatanmu. Bagaimana?” usul Diana setelah berpikir sesaat.

Shanon menutup matanya rapat-rapat, mencoba menahan air mata agar tidak lagi tumpah. Ia sadar tak bisa memaksa sang senior lebih jauh lagi.

Benar apa kata seniornya itu. Tidak mungkin mereka bisa mengubah peraturan perusahaan.

Bisa mendapatkan semua yang tadi disebutkan Diana saja, Shanon sudah sangat bersyukur. Ia bisa menerima gaji satu bulan ditambah bonus sebesar satu kali gaji.

Dengan keputusan Diana tersebut, Shanon akhirnya pamit pada atasannya langsung. Bersyukur, Mr.Fumiyaki mau mengerti kondisinya dan tidak menyalahkan gadis itu.

“Kau bisa pulang sendiri, Shanon?” tanya Diana yang khawatir melihat wajah Shanon kembali pucat.

Shanon mengangguk lemah. Ia kemudian membungkuk penuh hormat sambil berkata, “Senior, terima kasih banyak untuk bantuanmu selama ini. Maafkan aku sudah mengecewakanmu.”

Dipeluknya Diana erat. Ia sudah bahagia bisa dipertemukan dengan wanita itu, seolah mendapatkan seorang kakak perempuan. Walau pada akhirnya mereka harus berpisah.

Setelah puas berpamitan dengan rekan-rekan kerjanya, Shanon pun segera pergi dari area kantor Wienner Group tersebut.

Ia memutuskan untuk mengendarai taksi saja, karena ia butuh tempat sepi untuk meluapkan hatinya yang sesak.

Sekali lagi, hatinya menghitam mengingat siapa yang membuatnya kehilangan segala yang menjadi impian gadis itu.

Ckit!

Sebuah taksi kuning berhenti di hadapan Shanon. Tanpa berpikir lagi, ia pun segera mengulurkan tangannya untuk menarik gagang pintu mobil kabin depan.

Namun baru saja tangan Shanon menggenggam gagang pintu, seorang pria berteriak padanya, “Hey, Nona! Ini taksiku! Aku mengantri di depanmu sejak tadi! Apa kau buta?!”

Shanon bingung mendengar suara keras itu. Ia ingin membalas suara kasar itu, tetapi detik berikutnya pandangan Shanon berubah gelap.

Wajah pria yang memprotesnya tadi pun berubah pucat.

“Hey! Nona!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status