Share

5-Daftar Hitam

‘Apa yang dilakukan bos besar sepertinya di tempat ini?! Bukannya Damian tinggal di New York?! Apa aku sudah melakukan kesalahan?!’ pekik Shanon dalam hatinya.

Lamunan Shanon buyar ketika pria itu dengan dingin berkata, “Kau sangat ahli membuat keributan, Nona.”

Jantung Shanon berdegup sangat cepat ketika menyadari bahwa pria sempurna itu sedang mendekatinya. Ia tidak bisa mencerna kalimat bernada mengejek yang dilontarkan Damian, karena pandangannya sudah tersihir oleh ketampanan pria itu.

‘Garis rahangnya—astaga! Aku tak seharusnya melamun!’ tegur Shanon pada dirinya sendiri.

“Tu—tuan Damian. A—apa saya membuat masalah?” cicit Shanon.

Tangannya meremas kuat selimut yang menutupi tubuhnya. Gadis itu ingin bersiap, kalau-kalau Damian mencaci maki dirinya.

Damian menggeser tirai yang sebagian sudah lepas dan menjuntai sampai ke lantai itu sambil menjawab, “Yeah. Sedikit banyak. Tapi, sebagian juga kesalahan saya. Saya minta maaf.”

Tertegun. Bukannya Shanon tidak terima dengan kata-kata Damian, justru karena apa yang keluar dari bibir Damian sangat jauh dari prasangkanya.

Shanon sudah yakin kalau Damian yang selalu dibicarakan para sekretaris adalah pria dingin yang tidak banyak bicara. Sekalinya bicara, pasti menyakitkan.

Nyatanya, pria itu bahkan meminta maaf padanya.

Tak mendapat respon dari Shanon, pria tampan yang hampir membuatnya jantungan itu menambahkan, “Setelah ini silakan Anda berobat sekehendak hati. Untuk pembayaran, bicarakan dengan sekretaris saya.”

Tanpa menunggu jawaban Shanon, Damian pun segera keluar dari ruangan itu.

Suara pintu yang terbuka lalu menutup lagi, menyadarkan Shanon kalau ia tidak bersuara sama sekali sejak tadi.

‘Astaga! Aku bahkan tidak bisa berterima kasih saking gugupnya!’ raung Shanon tanpa suara.   

Baru saja ia akan memejamkan mata, pintu ruangannya kembali dibuka. Kali ini ia tidak mengenali orang yang masuk ke ruang perawatannya. Jadi, ia bertanya, “Maaf mencari siapa?”

“Ah! Anda sudah sadar rupanya, Nona Shanon. Saya sekretaris Tuan Damian Vadis. Panggil saja saya Chris,” sapa pria itu memperkenalkan diri.

Shanon pun langsung membalas sapaannya. Setelah cukup lama tersadar, gadis itu sudah tidak lagi merasa pusing. “Senang mengenal Anda, Tuan Chris.”

Chris tersenyum ramah. Ia tidak menyangka kalau Shanon akan menyematkan panggilan ‘tuan’ padanya, bahkan setelah ia meminta untuk memanggilnya dengan nama saja.

“Apa Nona masih ingin beristirahat di rumah sakit? Saya rasa tidak akan masalah jika Anda dirawat untuk satu minggu ke depan. Sepertinya—“

Gelengan kepala Shanon segera menghentikan ucapan Chris. Gadis itu tidak mungkin bisa menghabiskan banyak uang untuk dirawat di rumah sakit ini.

Kalau sebelumnya ia dilarikan ke rumah sakit mewah ini, itu hanya karena perusahaan membayar biayanya ketika ia masih menjadi karyawan. Tetapi saat ini, kondisi Shanon telah berubah.

“Apa Nona sudah merasa lebih baik?” tanya Chris dengan wajah khawatir.

Ia juga tak ingin kalau terjadi sesuatu pada Shanon yang notabene masuk rumah sakit karena bersinggungan dengan sang atasan.

“Saya tidak apa-apa, Tuan Chris. Saya bisa pulang hari ini juga.”

Kening Chris berkerut tak setuju. Ia bisa melihat bibir Shanon yang masih terlihat pucat. Netra yang sayu seolah tidak pernah beristirahat. Tapi, ia bukanlah orang yang berhak menahan Shanon, jika memang gadis itu lebih ingin beristirahat di rumah.

“Apa mungkin Nona memikirkan pembayaran? Tuan Damian sudah melunasi semua—“

Lagi, Shanon menggeleng kuat. “Saya tidak mau merepotkan Tuan Damian.”

Chris pun menghela napas panjang. Tak bisa lagi menahan Shanon untuk beristirahat di rumah sakit. “Kalau begitu, ijinkan saya mengantar Anda, Nona.”

Kali ini Shanon mengangguk. Setidaknya, ia sadar kalau tubuhnya masih tidak sekuat pengakuannya tadi.

***

Hari ketiga setelah Shanon keluar dari rumah sakit.

Gadis itu mulai frustrasi, karena tidak ada satupun perusahaan menerima surat lamarannya. Bahkan ketika memberanikan diri bertanya pada beberapa teman sekretarisnya, tidak ada satupun yang mau membantunya.

‘Apa mereka membenciku karena video itu? Jadi, aku sudah benar-benar dianggap seorang pelakor?’ rintih Shanon menahan sakit hatinya.

Tak tahu harus mencari pekerjaan di mana lagi, Shanon memutuskan untuk mengunjungi makam kedua orangtuanya.

Makamnya cukup jauh dari tempat Shanon tinggal saat ini, sehingga bisa dicapai dengan menggunakan kereta kota. Ia berpikir untuk menikmati perjalanannya sambil menenangkan diri.

‘Aku masih tidak tahu, haruskah aku membunuh bayi ini?’ batin Shanon sambil menyentuh perutnya yang masih rata itu. Air mata penyesalan pun kembali turun.

Lagi, pikirannya menyesali masa lalu yang tak kan pernah bisa ia ubah. ‘Seandainya hari itu aku tidak membawa Tuan Julian ke apartemen ... seandainya hari itu aku langsung berlari ke luar apartemen ....’

Perjalanan 30 menit dengan kereta pun berakhir. Shanon segera turun dari gerbong yang ternyata hanya berpenghuni 3 orang itu.

Setelahnya ia harus berjalan sebentar untuk tiba di area pemakaman. Tersungkurlah gadis yatim piatu itu di depan makam orangtuanya. Seolah ia bisa melihat tangan mereka yang merentang, memberi ucapan selamat datang padanya.

“Mama, Papa, maafkan Shanon,” raungnya sambil memeluk nisan yang mengukir nama dua orangtuanya.

Lama, Shanon terduduk di atas rumput menangisi hidupnya. Dan seolah mendapat kekuatan untuk menegarkan hati, Shanon pun mengurungkan niatnya untuk menggugurkan kandungan.

Ia berniat untuk membesarkan anak itu, darah dagingnya.

Tengah menangis, tiba-tiba ia merasakan ponselnya terus bergetar pendek-pendek, menandakan pesan baru diterima alat komunikasinya itu.

Mencoba menenangkan diri, Shanon pun menyeka air matanya dan mengeluarkan ponsel dari tasnya.

Kerutan di dahinya pun nampak. Seorang teman lama di perusahaan awal ia bekerja, mengirim pesan padanya.

‘Caren?’ batin Shanon.

Detik berikutnya ia sudah terkikik geli, setelah membuka pesan dari temannya yang bernama Caren itu.

Pasalnya Caren mengirim pesan per huruf. ‘Dasar gila! Makanya jadi terus bergetar tak jelas.’

‘AKU PERLU MENELEPONMU’ satu per satu huruf itu diketik dan dikirim Caren padanya, membentuk garis lurus ke bawah.

Dan tak lama kemudian, ponselnya bergetar panjang. Nama Caren muncul di sana.

Setelah menarik napas beberapa kali, untuk menenangkan dirinya, Shanon pun menerima sambungan telepon itu.

“Hal—“

“Shan! Beritamu heboh!” seru Caren begitu tersambung dengan Shanon.

Shanon pun mengerutkan dahinya. Kalau ini soal video tentang dirinya, bukankah itu sudah lama heboh. ‘Kenapa baru sekarang dia heboh?!’

“Maksudmu video itu?” tanya Shanon mengkonfirmasi.

Namun Caren menggeleng, walau ia tahu Shanon takkan bisa melihat gelengannya. Ia pun berseru panik, “Bukan! Ternyata namamu masuk dalam daftar hitam sekretaris sejak dua bulan lalu! Aku baru saja tahu.”

Hati Shanon mencelos. Kini ia tahu penyebab dirinya kesulitan mencari pekerjaan. Keajaiban baginya bisa bekerja di Wiener Corp.

“Dan kau tahu, siapa yang membuatmu masuk dalam daftar hitam itu?!” lanjut Caren lagi dengan nada penuh misteri.

Shanon punya tebakan, tapi ia tak mau menuduh ketika belum ada bukti. Walau sebenarnya, sudah jelas baginya, siapa yang punya kuasa untuk melakukan hal itu.

Caren pun menjawab dengan suara seperti orang berbisik melalui sambungan telepon itu.

“Pamella Simons.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status