Share

7—Tiba Di Rumah Mewah

"Maaf, Nona. Anda tidak bisa menolak.”

Damian yang tadinya sudah hampir melangkah keluar dari hotel itu, kembali berbalik karena tidak merasa anak buahnya mengikuti di belakang.

Barulah pria berwajah tampan seperti Lee Min Oh itu sadar, kalau Shanon seperti sedang membuat keributan dengan para bodyguardnya.

‘Astaga! Dilihat bagaimanapun, dia memang pembuat onar. Waktu itu tirai ranjang rumah sakit dan sekarang dia membuat keributan,’ keluh Damian sambil berbalik dan mendekati mereka lagi.

Sudah cukup kekesalan Damian karena tiba-tiba mendapat mandat dari sang kakek, bahwa ia harus menjemput seorang perempuan di hotel ini.

Pria itu semakin kesal ketika mengetahui kalau wanita yang harus dijemputnya adalah wanita yang sama, yang sudah merusak harinya dengan pingsan di halte bus.

“Kalau tidak bisa cara halus, kalian boleh langsung mengangkatnya. Jangan membuang waktuku, Lucas!” tukas Damian pada salah satu bodyguard berponi lempar.

‘Mengangkatku?!’

“Apa?! Apa maksud—hey! Turunkan aku!” pekik Shanon yang sudah berada di atas lengan kekar Lucas.

Para bodyguard itu tidak bisa, tidak menaati perintah Damian. Yang terpenting, mereka sudah diberitahu kondisi Shanon yang sedang hamil, makanya gadis itu dibopong dengan hati-hati.

Shanon pun akhirnya berhasil dimasukkan ke dalam mobil. Dari dalam mobil gadis itu bisa melihat Damian membungkuk hormat pada Metty—HRD yang mempekerjakannya 3 hari lalu.

“Maaf membuat keributan, Nona Metty. Silakan ajukan keluhan pada kakek. Beliau yang meminta wanita ini untuk kami bawa,” ujar Damian sambil membungkuk singkat.

Metty pun hanya terkekeh-kekeh genit sambil berkata, “Tidak, tidak! Tidak apa-apa. Kalau Tuan Vadis memang menginginkan Shanon, saya tentu tidak punya kuasa menahannya.”

Damian melemparkan senyum bisnis sebelum akhirnya ia pamit dan masuk ke mobil.

Shanon sudah akan membuka mulut untuk bertanya apa yang diinginkan Damian dari dirinya, tapi langsung mengurungkan niat itu ketika merasakan aura yang menekan dari kehadiran pria tertampan di seluruh New York itu, duduk di samping Shanon.

‘Ya sudahlah. Aku hanya bisa menuruti orang-orang kaya ini,’ batin Shanon sambil menutup matanya.

Ia benar-benar tidak habis pikir, apa yang membuatnya harus mengikuti seorang Damian Vadis. Namun, ia tahu, tidak ada yang bisa ia lakukan untuk melawan mereka saat ini.

‘Semua orang kaya sama saja kah? Menggunakan kekuasaan sewenang-wenang? Merasa bisa menekan orang lain?’ keluh Shanon tanpa suara.

Sepanjang perjalanan, Damian tidak berujar sepatah kata pun pada Shanon. Kekesalan jelas nampak di wajah pria berusia sekitar 35 tahun tersebut.

Hingga tiba di depan sebuah kediaman yang tidak Shanon kenali, Damian hanya turun begitu saja dan menyerahkan Shanon diurus oleh anak buahnya.

“Kalau boleh tahu, aku ada di mana?” tanya Shanon pada salah satu bodyguard Damian yang menemani di sampingnya.

Bodyguard yang ditanya pun terdiam sesaat—menimbang boleh atau tidaknya ia menjawab pertanyaan itu. Namun, karena setahu mereka ini adalah undangan bertemu dengan sang tetua Vadis, jelas bukan hal yang perlu ditutupi.

“Anda berada di kediaman keluarga Vadis, Nona Shanon. Silakan lewat sini,” jawab bodyguard tersebut sambil membuka jalan menuju ke pintu utama rumah mewah tersebut.

Shanon menganggukkan kepalanya seraya menelan ludah. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya setelah ini, tapi sudah tidak mungkin baginya untuk kabur dari mereka.

‘Ugh! Apa sih yang mereka mau dariku?!’ batin Shanon bertanya-tanya.

TIba di depan pintu, seorang pria tua berbalut kemeja putih dan vest hitam membungkuk menyambutnya, “Selamat datang, Nona Shanon Moore. Silakan ikut saya.”

Shanon mengangguk dan segera mengekor pria tersebut sementara para bodyguard berhenti di depan pintu, seolah menyerahkan sang tamu pada si pria tua.

“Uhm … bagaimana saya memanggil Anda, Pak?” tanya Shanon yang sudah gatal ingin bertanya apa tujuan membawa dirinya ke tempat ini.

Pria tua itu tersenyum ramah sambil menjawab, “Silakan panggil saya Brown, Nona. Saya kepala pelayan di rumah ini.”

Shanon mengangguk.

Pria tua yang memperkenalkan diri sebagai kepala pelayan itu menangkap raut panik di wajah Shanon.

Dengan suara menenangkan, Brown berkata, “Nona adalah tamu kehormatan keluarga Vadis, mohon jangan terlalu tegang. Tuan Herv bukanlah pria jahat.”

Mendengar nama itu disebut, Shanon pun membelalakkan matanya. ‘Jadi yang punya urusan denganku adalah Herv—tunggu dulu! Herv?! Vadis?!’

“Herv Vadis?! Maksud Anda, Herv Vadis sang founder Herv Co?!” pekiknya dengan sangat terkejut.

Baru saja Brown membuka mulutnya untuk menjawab, suara tawa ramah memenuhi ruangan yang kemungkinan adalah ruang keluarga.

“Ha! Ha! Ha! Kau sangat tahu mengenai perusahaan Herv, Nona. Saya sangat tersanjung!” pekiknya dengan ceria.

Seorang pria tua dengan pakaian sederhana—kaos berkerah dan celana bahan panjang, terlihat berjalan santai mendekati mereka.

Melihat siapa yang memasuki ruangan, Brown pun langsung membungkuk dan menyapa, “Tuan Herv. Nona Shanon datang dengan selamat. Saya akan menyiapkan camilan.”

Netra Shanon semakin membulat, menyadari bahwa pria tua bertongkat satu yang kini tersenyum bahagia di hadapannya adalah Herv Vadis—founder perusahaan tambang batu bara terbesar di New York.

“Tu—tuan Herv Vadis?” sapa Shanon dengan ragu.

Pria tua itu tersenyum lebar, seperti menyambut seorang yang sangat berharga baginya.

“Selamat datang. Akhirnya kita berkenalan, Shanon Moore,” ujar Herv dengan nada bangga yang tak ditutupi.

Kulit tipis di dahi Shanon pun berkumpul membentuk kerutan heran, sementara Herv sudah berbalik menuju sofa ruang keluarga.

‘Dia bicara seolah kami pernah bertemu, namun belum sempat berkenalan.’ Shanon berujar dalam hati.

Pikirannya mencoba mengingat-ingat, kalau memang mereka pernah bertemu. Sayang, tidak ada ingatan sesuai dengan keadaan sekarang.

Shanon mengikuti gerakan Herv menuju sofa sambil memberanikan diri untuk bertanya, “Apa saya pernah bertemu Anda, Tuan Herv?”

Alih-alih menjawab pertanyaan sederhana itu, Herv menunjuk ke arah sofa di seberang meja yang berhadapan dengannya, sambil memberi izin, “Duduklah dulu, Nak.”

Herv belum ingin bicara, karena ia mendengar suara ramai dari arah ruang tamu. “Ah … sepertinya sudah sampai.” Herv bergumam sendiri.

Ia kemudian membalikkan tubuh atasnya untuk mencari kepala pelayan yang tengah menuang teh di belakang mereka. “Brown, tolong minta mereka bawa semua ke sini.”

“Baik, Tuan.” Bergegas, Brown menunda penyajian teh dan camilan itu, untuk mengurus hal yang diperintahkan barusan.

Tak lama kemudian, Shanon bisa melihat beberapa bodyguard masuk membawa beberapa kardus besar yang tidak ia tahu untuk apa.

Sementara ekor matanya menangkap apa saja yang dibawa para bodyguard itu, Shanon berujar, ‘Sepertinya bukan urusank—eh?! Itu koperku!’

“Itu koper saya!” seru Shanon spontan, dengan nada panik.

“Ah … tenang, Shanon. Maafkan saya, kalau tanpa persetujuan, saya mengemasi barang-barangmu,” ujar Herv dengan rasa bersalah.

Tak tahu harus menyikapi bagaimana hal ini, Shanon hanya bisa bertanya, “Tapi kenapa Tuan?”

Herv menatap netra Shanon dalam-dalam. “Aku tahu kau mendapat masalah dengan Julian. Dan kali ini aku tidak ingin diam saja, saat aku sudah bisa menolongmu, Shanon.”

Semakin terkejut dengan semua yang dikatakan Herv, sedikitpun Shanon tidak bisa berpikir apa yang harus ia katakan.

Semua ini terasa aneh baginya. Sejak ia selesai kuliah kemudian bekerja, tidak satu kali pun, mereka bersinggungan.

Hatinya berkecamuk. ‘Tapi kenapa dia sampai tahu masalahku—aku tahu videonya viral, tapi orang selevel Tuan Herv, apa memperhatikan kehidupan orang biasa sepertiku? Aku tidak habis pik—astaga! Apa mungkin?!’

“Apa anda memata-matai saya?” tanya Shanon dengan gamblang. Tatapannya mulai tidak setuju dengan apa yang sedang terjadi di hadapannya.

Lagi, Herv menatapnya dalam-dalam.

Namun, alih-alih menjawab pertanyaan Shanon, pria tua itu malah meminta jawaban.

“Apa kau mau mendengarkan sedikit cerita lamaku, Shanon?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status