Share

6—Aku Menolak Ikut!

“Pamella Simons?"

Dengan nada tercekat Shanon mengulang nama itu. Walau tidak suka dengan istri mantan bosnya tersebut, jangan sampai ia salah membenci orang.

Lagi, ia mengkonfirmasi, "Istri CEO Regal Corp?”

Dan gumaman membenarkan dari Caren membuat hati sang mantan sekretaris Regal Corp itu semakin gelap dengan sakit hati.

Terganggu dengan kesunyian di antara mereka, Caren pun bersuara, “Aku tahu, kau tidak mungkin melakukan hal seperti menjadi pelakor, Shan.”

Tulus ataupun tidak, kata-kata Caren cukup meneduhkan hati Shanon.

Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menepikan amarah yang kembali hendak merajai hatinya.

“Terima kasih, Caren," ujar Shanon dengan nada pelan dan penuh syukur.

Ia kemudian mencoba lagi peruntungannya, kalau-kalau Caren bisa membantunya mendapatkan pekerjaan.

Karena sebelum ini, sahabatnya itu tengah berada di luar negeri untuk perjalanan dinas.

Namun, Caren menjelaskan, “Untuk yang satu ini, aku tidak punya kekuasaan untuk menolongmu, Shan. Kau juga tahu kan, seberapa kuat pengaruh daftar hitam itu. Kau bisa masuk ke perusahaan Senior Diana itu benar-benar ajaib,” jelas Caren panjang lebar. Ia tidak mau memberi harapan palsu pada sang sahabat.

Setuju dengan ucapan Caren, Shanon menganggukkan kepalanya—padahal ia tahu Caren tak bisa melihatnya.

Gadis yang tengah menganggur itu pun merasa bahwa diterimanya ia di tempat Diana, adalah sebuah mujizat.

“Aku mengerti, Ren.”

“Shan … kurasa kau harus segera menjauh dari Tinseltown. Wanita iblis itu sangat berkuasa di kota ini. Mungkin lebih baik kau pergi ke kota lain,” ujar sang teman lagi, memberi saran pada Shanon.

Belum sempat Shanon membalas perkataannya itu, Caren tiba-tiba menambahkan, “Ah! Aku ingat sesuatu, tapi aku tak tahu kau mau atau tidak. Salah satu mantan kekasihku kemarin menawarkan, kalau-kalau aku mau belajar investasi batu bara. Apa kau mau ikut belajar?”

Otak Shanon langsung berputar cepat mendengar cerita Caren. Sebagai sekretaris, ia sudah biasa mendengarkan soal investasi. Walau belum pernah terjun langsung, tapi Shanon merasa tidak ada masalah untuk mempelajari hal baru.

Ia pun akhirnya menjawab, “Aku mau!”

***

Sejak keputusan Shanon mengikuti pelajaran pribadi mengenai investasi batu bara, 2 bulan berlalu. Semua pelajaran dasar mengenai investasi tersebut setidaknya membuat Shanon memiliki ilmu baru.

Demikian pun, waktu 2 bulan tidaklah cukup untuk mempelajari hal rumit. Terutama untuk menjalankan investasinya langsung, Shanon tidak punya cukup uang.

Ia menatap layar ponselnya yang menunjukkan sejumlah uang dalam akun rekening bank miliknya kemudian bergumam pelan, “Belum ada yang menghubungiku.”

Pandangannya kemudian teralih ke arah meja rias, di mana ia meletakkan foto kedua orang tuanya. Ia teringat bagaimana wajah mereka saat Shanon lulus dengan nilai terbaik dari akademi sekretaris.

‘Mama, Papa, Shanon rasa menjadi sekretaris hanya bisa menjadi kenangan saja. Aku sedang mencari pekerjaan lain. Bantu aku ya,’ doa Shanon dalam hatinya.

Untuk saat ini, hanya mencari pekerjaan di bidang lain, yang bisa Shanon lakukan. Jika menuruti saran Caren—pergi dari Tinseltown, gadis malang itu membutuhkan lebih banyak uang, sedangkan tabungannya semakin menipis.

Baru saja ia akan menutup matanya, tiba-tiba ponselnya berdering panjang. Seseorang yang tak dikenal, menghubunginya.

Shanon mengerutkan dahi sambil memandangi sederet nomor tak bernama di layar ponselnya.

“Siapa ya?” tanyanya pada diri sendiri.

Biasanya, Shanon tidak pernah mengangkat telepon dari nomor tak dikenal.

Tapi pikirannya menebak-nebak, kalau-kalau itu adalah panggilan telepon dari salah satu perusahaan yang menerima CV-nya.

Dengan pemikiran itu, Shanon pun langsung menekan tombol hijau dan menyapa dengan penuh semangat, “Dengan Shanon, ada yang bisa saya bantu?”

Menjawab sapaan Shanon, sang lawan bicara tersenyum simpul—bisa terasa dari nada balasannya, “Selamat siang, Nona Shanon. Saya dengan Metty dari Hotel Acronate Tinseltown. Saya sudah menerima CV Anda. Apa ada waktu untuk berbincang?”

Tanpa berpikir lagi, Shanon langsung mengiyakan pertanyaan tersebut. “Silakan, Bu. Bagaimana?”

“Ah, begini … kami sangat membutuhkan satu resepsionis dengan segera. Apa kami bisa melewatkan sesi tes dan langsung mempekerjakan Anda, Nona Shanon?” tanya si penelepon dengan nada sedikit ragu.

Mendengar itu, Shanon ingin berteriak bahagia, tapi tentu saja tidak mungkin dilakukan. Ia pun menjawab dengan mantap, “Kalau menurut perusahaan, saya terlihat memenuhi syarat, saya siap, Bu.”

“Terima kasih untuk semangatnya,” kekeh wanita paruh baya yang memperkenalkan diri dengan nama Metty.

Ia melanjutkan, “Kamu bisa segera datang untuk melakukan pengenalan area kerja terlebih dahulu. Karena malam ini kami memerlukan tambahan resepsionis. Bagaimana?”

Seperti sedang berhadapan dengan orang penting, Shanon langsung berdiri dengan tegap dan merespon, “Baik, Bu Metty. Saya butuh waktu 1 jam untuk tiba di sana.”

“Baik. Kami tunggu kedatangannya, Nona Shanon.”

Setelah mengakhiri percakapan itu, Shanon pun segera melempar ponselnya ke atas tempat tidur. Ia sendiri sudah melompat turun dari kasur dan segera mencari pakaian terbaik.

Sesuai janjinya, Shanon tiba di hotel Acronate 10 menit lebih cepat. Dan Metty secara langsung mendampingi Shanon mengenal area kerja dan tugas sebagai resepsionis hotel.

Sebagai seorang sekretaris andal, menjadi resepsionis bukanlah hal sulit. Dengan mudah gadis muda itu bisa menguasai area kerja dan tugas-tugasnya.

Metty sebagai kepala HRD juga merasa puas dengan pekerjaan Shanon.

3 hari Shanon bekerja di sana dan merasa lebih tenang dengan lingkungan kerja yang tidak banyak tekanan.

Di sela waktunya, gadis yang mulai menyukai pekerjaannya sebagai resepsionis hotel itu, masih bisa mempelajari investasi batu bara bersama dengan Caren. Ia sudah mulai menabung dari pendapatan sampingannya, untuk pelan-pelan berinvestasi pada tambang tersebut.

Tengah mengurusi beberapa reservasi kamar hotel, ia mendengar rekan kerjanya berbisik soal keributan yang terjadi di ruang direktur.

Penasaran, Shanon pun menghampiri mereka dan bertanya, “Ada apa?”

“Ah! Shan! Kau tahu? Aku tadi lewat di lantai direksi. Ada tamu direksi yang ganteng banget. Entah siapa, tapi rasa-rasanya aku pernah lihat wajah itu,” celoteh salah satu rekannya dengan pandangan berbinar.

Pahitnya hidup benar-benar membuat Shanon tidak pernah memikirkan soal pria tampan, apalagi cinta. Ia masih bisa merasakan bagaimana rasanya, teraniaya di bawah orang-orang berkuasa seperti Pamella dan Julian.

Bahkan rekan sekretarisnya dulu, hanya bisa menonton. Tak punya kuasa untuk menolong Shanon.

Begitupun Shanon pura-pura ikut penasaran. “Woah! Seperti apa wajahnya?!” tanyanya.

“Lee Min Oh! Seperti wajah artis negara Goryu itu! Sangat macho!” pekik rekan perempuannya itu dengan nada tertahan.

Mereka pun terkekeh-kekeh sementara mengawasi sekitar, tak ingin tertangkap basah sedang bergosip.

Namun tak lama kemudian, Shanon harus terkejut ketika mendengar rekannya itu berseru dengan nada berbisik, “Itu dia! Si pria tampan!”

Jari telunjuk yang mengarah ke sebuah lift yang baru saja terbuka itu, mengacu pada seorang pria yang Shanon tahu.

“Hah?! Damian Vadis?!” gumamnya pelan, penuh kekagetan.

Tanpa bisa dihindari, pandangan mereka bersirobok. Tubuh Shanon sedikit menegang, ketika Damian terlihat memutuskan untuk menghampirinya—dengan tidak melepas tatapan matanya.

Shanon tergagap, “Tu—Tuan Dami—”

“Segera bereskan barang-barang Anda! Ikut dengan saya!” potong Damian sambil berjalan menuju ke luar hotel.

Namun, Shanon tidak mengerti mengapa Damian memberi perintah demikian. Ia tertegun di tempatnya berdiri.

Pikirannya terus bertanya-tanya, ‘Aku? Ikut dengannya? Apa maksudnya?! Apa aku ada salah? Apa dia akhirnya memutuskan untuk menghitung jumlah tagihan rumah sakitku?’

Dalam keadaan bingung, tiga orang pria kekar mendekatinya.

“Nona, maaf. Tuan Damian meminta Anda untuk segera meninggalkan hotel ini dan mengikuti beliau,” ujar pria berkacamata hitam, dengan rambut abu mengkilap.

Salah satu dari mereka membantu membereskan tas kerja Shanon, sementara yang lain bersiap membuka jalan bagi gadis itu untuk segera mengikuti Damian ke mobil.

Namun, Shanon menolak menurut. Gadis itu tetap terdiam di tempatnya.

Memberanikan diri, Shanon beralasan, “Maaf, Tuan-tuan. Saya tidak merasa punya urusan dengan keluarga Vadis. Lagipula, saya sedang bekerja—”

“Nona Shanon, semua sudah diatur—”

“Kalian siapa mengatur kehidupan saya?!” pekik Shanon mulai takut.

Ia tahu, tidak mungkin bagi keluarga terpandang seperti keluarga Vadis, untuk melakukan tindak kriminal terhadap seorang yang tidak signifikan seperti Shanon.

Tetapi, untuk begitu saja mengikuti orang asing, tentu bukan pilihan bijak seorang yang pintar.

“Maaf, saya menolak untuk ikut!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status