Di gerbang utama Martial Shrine yang megah.Dua penjaga berdiri tegak seperti tombak. Aura mereka kuat, keduanya telah mencapai puncak penguasa Ingras tahap akhir. Di kota lain, mereka bisa mendirikan sekte mereka sendiri. Di sini, mereka hanyalah penjaga pintu, menukarkan kebebasan mereka dengan sumber daya kultivasi yang melimpah dari aliansi."Tiga tetua itu keluar dengan wajah masam lagi," gumam salah satu penjaga kepada rekannya. "Sepertinya suasana hati Ketua sedang sangat buruk hari ini. Sebaiknya kita jangan cari masalah.""Tentu saja buruk," balas yang lain. "Aku dengar tujuh wayang mayat kiriman—"Perkataannya terhenti. Kedua penjaga itu terdiam saat mendengar suara langkah kaki tunggal berjalan mendekati gerbang dengan tenang yang tak terduga.Sosok yang sama yang menjadi sumber dari semua ketegangan di Martial Shrine hari ini.Nathan telah tiba.Udara di sekitar mereka tiba-tiba terasa dingin. Niat membunuh yang begitu pekat dan murni, seperti es kering, menyapu mereka.Ke
Setelah membersihkan sisa-sisa wayang mayat, Nathan tidak beristirahat.Darah di tubuhnya bahkan belum sepenuhnya kering saat ia berangkat seorang diri menuju jantung kekuasaan kota Moniyan. Harapan untuk berhasil mungkin tipis, tetapi keputusasaan bukanlah pilihan. Sarah ada di dalam sana, dan membiarkannya menderita sendirian adalah dosa yang tidak akan pernah ia ampuni pada dirinya sendiri.Di saat yang sama, di ruang terdalam Martial Shrine.Hawa di ruangan terasa berat dan menyesakkan. Sancho duduk di kursinya yang megah, matanya terpejam, tetapi rahangnya yang mengeras menunjukkan badai yang berkecamuk di dalam dirinya.Di atas mejanya, tujuh keping giok hitam retak dan hancur, simbol dari tujuh wayang mayatnya yang telah musnah. Sebuah aset yang tak ternilai, kini menjadi debu."Bodoh," desisnya pada ruangan yang kosong.Kemarahannya bukanlah kemarahan yang meledak-ledak, melainkan kemarahan dingin seorang ahli strategi yang rencananya digagalkan oleh kebodohan alatnya."Kenapa
"Api Naga!" Nathan mengubah taktik. Tangan kirinya mendorong ke depan, dan semburan api keemasan yang dahsyat menyelimuti dua mayat boneka yang menerjangnya.Bau daging hangus yang memuakkan memenuhi udara, disertai suara letupan kulit dan lemak yang terbakar. Nathan mundur sedikit, berharap api akan melahap mereka.Namun, harapannya pupus. Dua sosok obor manusia keluar dari lautan api itu, tubuh mereka terbakar hebat, daging mereka meleleh dari tulang. Tapi mereka tidak melambat. Mereka tidak panik. Mereka terus maju, dua arwah penasaran dari neraka yang bertujuan untuk menyeretnya ikut bersama mereka."Ini gila!" Nathan menghindar dengan susah payah saat salah satu obor itu melewatinya, hawa panasnya menyengat kulit.Di tengah kekacauan itu, Famrik yang sedang menahan dua mayat sekaligus, tidak hanya bertarung—ia mengamati. Ia melihat sesuatu yang aneh. Tak peduli seberapa hancur tubuh mereka, patah, terpotong, atau terbakar. Kepala mereka selalu tetap tegak dan terfokus pada Nathan
"Tuan Nathan, hati-hati!" raung Famrik.Waktu seolah melambat bagi Nathan. Dengan raungan naga di dalam dirinya, sisik-sisik emas meledak dari kulitnya. Ia tidak mencoba lari; ia melesat mundur dengan kecepatan kilat. Tepat saat ia menghilang dari posisinya, ketujuh serangan itu bertemu di satu titik.BAAM!Ledakan yang memekakkan telinga mengguncang seluruh area. Tanah tempat Nathan berdiri beberapa saat yang lalu kini menjadi kawah yang dalam dan berasap."Lindungi Tuan Nathan!" teriak Nelson.Famrik dan ketiga rekannya tidak perlu diperintah. Mereka sudah melesat maju, mencegat ketujuh mayat boneka itu sebelum mereka bisa melancarkan serangan kedua. Pertarungan pun meletus."Tuan Nathan, mereka bukan manusia!" teriak Famrik di tengah-tengah bentrokan, suaranya tegang saat ia menangkis pukulan yang bisa meremukkan baja. "Mereka mayat yang dikendalikan! Jangan coba-coba melukai mereka, hancurkan mereka!"Mendengar itu, Nathan yang kini berdiri puluhan meter jauhnya, menyipitkan matan
Setelah kekuatannya pulih sepenuhnya, Nathan keluar dari menara.Famrik dan yang lainnya sudah menunggunya di aula utama, wajah mereka kini tidak lagi dipenuhi duka, melainkan rasa hormat yang besar."Tuan Nathan, tubuhmu sudah pulih?" tanya Famrik."Sudah," jawab Nathan. "Kalian tetaplah di Matilda, bangun kembali kekuatan kalian. Aku harus pergi ke Martial Shrine."Sontak semua orang terkejut."Untuk apa Anda pergi ke sarang ular itu, Tuan Nathan?" tanya Famrik bingung. "Mereka menganggap Anda sebagai duri dalam daging."Sebelum Nathan menjawab, Nelson yang sudah tahu situasinya melangkah maju. "Tuan Nathan, Anda akan menyelamatkan Nona Sarah, bukan?"Nathan mengangguk."Apa?!" raung Zechar, auranya berkobar seketika. "Sancho si tua bangka itu berani menyentuh kekasih Tuan Nathan?! Kurang ajar! Kami ikut! Kita akan merobohkan tempat itu dan membawa Nona Sarah kembali!""Benar, Tuan Nathan! Semakin banyak orang, semakin besar kekuatan kita!" tambah Nelson bersemangat."Tidak perlu,"
"Nyawa kami ini adalah hadiah dari Tuan Nathan," kata Zechar dengan suara lantang yang kini terdengar berat karena tekad. "Sudah sepantasnya kami mengembalikannya untuk menemaninya di alam baka, sambil membawa seluruh Keluarga Winaya sebagai persembahan."Nelson menatap keempat pria di hadapannya. Mereka bukan lagi sekadar tetua atau master. Mereka telah menjadi empat peti mati berjalan, empat tombak yang terbuat dari jiwa, empat matahari terakhir yang siap meledak demi satu tujuan.Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya bisa menundukkan kepalanya,Tepat di puncak sumpah kematian yang khusyuk itu, saat keempat tetua siap berjalan menuju takdir mereka, sebuah suara yang tenang dan mengandung sedikit ironi membelah udara yang tegang."Sejak kapan meledakkan diri menjadi salam perpisahan yang baru di Matilda?"Seluruh prajurit yang tadinya menunduk dalam-dalam, serentak mengangkat kepala. Keheningan yang tadinya dipenuhi duka kini berubah menjadi keheningan yang penuh dengan ketida