Share

Bab 4 Tembakan

"Ternyata dia sangat mengagumkan!" Ryan akhirnya menyadari betapa luar biasanya Owen.

Sementara itu, Ryan teringat saat dia menghubungi Alan bulan lalu. Alan berkata, "Akan kulihat apa yang bisa kulakukan. Jika Owen bersedia membantumu, tidak akan ada masalah lagi."

Ingatan itu menorehkan sebuah senyuman di bibir Ryan. Kini dia menyadari betapa konyolnya kekhawatiran yang dia rasakan tadi. Alan tidak akan memuji Owen tanpa alasan.

Dokter yang satunya juga berkomentar, "Aku tidak mengerti apa yang telah dilakukannya, tetapi sepertinya dia memahami tubuh manusia dengan baik. Gerakannya begitu tepat. Harus kuakui, dia memang berbakat."

"Harap tenang. Aku tidak akan memperingatkan kalian lagi."

Suara Owen yang tidak sabar kembali terdengar. Kemudian, dia meraih ramuan kedua. "Pengobatanku belum selesai. Jika kalian tidak bisa diam, menyingkirlah dari sini."

Mereka langsung mengangkat tangan.

Kemudian, mereka menutup mulut secara serempak.

Owen menoleh dan merengkuh punggung Fiona untuk membantunya duduk. Kemudian, dia mengambil tabung jarum dengan tangan kanannya.

Semua orang yang hadir di ruangan itu menahan napas. Ryan begitu gugup menyaksikan Owen yang akan memberikan suntikan kedua kepada putrinya.

Apakah itu akan berhasil? Mereka tidak tahu. Lagi pula, masih tersisa enam suntikan lagi.

Terlebih lagi, Owen masih memegang tabung jarum panjangnya.

Ketika Ryan terhanyut dalam pikirannya, Owen menyelesaikan suntikan kedua.

Tak lama kemudian, Ryan mengeluarkan ramuan yang ketiga.

Dia menyuntikkan ramuan ketiga dengan cepat. Jarum yang digunakannya menusuk tubuh Fiona begitu dalam.

"Fiona..."

Ketika melihat pemandangan itu, Ryan tidak bisa menahan rintihan ketakutannya. Namun, dia bergegas untuk menutup mulutnya kembali.

Owen sedang berkonsentrasi penuh. Dia menahan punggung Fiona dengan tangannya, lalu dia duduk menyilangkan kaki di belakang Fiona.

"Tuan Harvey, dua suntikan ini bahkan lebih menakjubkan!" Thomas mencondongkan tubuh kepada Ryan dan berkata dengan suara pelan, "Aku belum pernah melihat seseorang memberikan dua suntikan berturut-turut. Lihatlah putrimu, Tuan Harvey!"

Ryan menatap Fiona dengan mata sendu.

Seketika, rasa lega dan gembira menyelimuti hatinya.

Dia menyadari wajah Fiona yang tadinya pucat kini terlihat jauh lebih baik. Bahkan, terlihat sedikit rona kemerahan di wajahnya.

"Benar! Thomas, apakah kamu melihatnya? Bulu matanya bergerak! Dia akan segera bangun!" Ryan berbisik dengan penuh semangat di telinga Thomas.

Thomas pun mengangguk setuju.

"Teknik yang tertulis di dalam buku kedokteran kuno itu nyata! Ini sungguhan! Tuan Harvey, apakah kamu melihatnya? Tuan Green menggunakan teknik yang belum pernah kita lihat sebelumnya! Lihatlah tangannya yang luar biasa!"

"Ya! Owen seolah sedang bermain piano di punggungnya!" Ryan juga tidak kalah bersemangat. Dia melihat putrinya makin membaik dan napasnya makin kuat.

Sekitar sepuluh menit kemudian, Owen berhasil menuntaskan kedelapan suntikan yang dibutuhkan. Dia menarik napas dalam-dalam dan mengangkat kepalanya untuk memberi tahu semua orang, "Bagian yang selanjutnya akan canggung. Semuanya, keluarlah dari ruangan ini. Perintahkan para pelayan untuk bersiap... "

Tiba-tiba saja terdengar sebuah suara yang keras.

Belum sempat Owen menyelesaikan kalimatnya, jendela Prancis di ruangan itu tiba-tiba meledak.

Sementara itu, Owen menyadari bahwa ada embusan angin yang datang bersama dengan ledakan jendela tersebut.

Suara itu berasal dari peluru yang beterbangan menembus jendela itu. Hanya dengan mendengar suara desingan pelurunya, Owen bahkan bisa mengenali jenis senjata yang digunakan untuk menembak.

"Sial! Itu adalah senapan jarak jauh."

Ketika jendela ruangan itu meledak, dengan sigap Owen merengkuh pinggang Fiona dan berbaring di ranjangnya bersama.

Sebuah lubang bekas tembakan muncul di lemari pakaian kayu di samping ranjang Fiona.

Ketika mendengar suara tembakan, semua orang tercengang. Owen pun melompat dari ranjang. "Penembak jitu yang bodoh! Beraninya dia melepaskan tembakan di depanku!"

Jejak suara Owen terdengar menggelegar di ruangan itu, sementara dia telah melompat keluar dari jendela yang pecah.

Matahari di langit telah kembali ke peraduannya, diiringi dengan rintik hujan yang membawa semilir aroma tanah basah.

Owen melompat keluar dari lantai tiga dan menghilang di tengah kegelapan.

Tak lama kemudian, orang-orang yang ada di ruangan itu akhirnya menyadari apa yang telah terjadi.

"Tuan Harvey, periksa apakah Nona Harvey baik-baik saja!"

"Nona Harvey

Kedua pengawal dan dua dokter itu menatap ke arah Fiona.

Ryan melangkah ke sisi Fiona dan membantunya berdiri, kemudian memeluknya erat-erat. "Fiona! Bagaimana keadaanmu?"

"Ayah, sepertinya aku baik-baik saja sekarang."

Fiona yang berada dalam pelukan Ryan perlahan membuka mulut dan matanya.

Ryan menatap putrinya lekat-lekat. Mata Fiona yang cerah kini begitu jernih, membuktikan bahwa dia sudah sehat sekarang.

"Benarkah? Apakah kamu baik-baik saja?" Ryan merasa sangat gembira hingga tangannya gemetaran.

Fiona pun mengangguk. Namun, pengobatannya belum selesai.

"Tidak!

"Diamlah, jangan bergerak!

"Pengobatannya belum selesai."

Semua orang di ruangan itu kembali menjadi gugup. Suara tembakan di luar membuat mereka makin panik.

Hal yang lebih memalukan terjadi ketika wajah Fiona tiba-tiba memerah. Kemudian, tubuhnya mulai gemetar hebat.

"Putriku tersayang, ada apa?"

Ryan merasa sangat kacau saat itu. Pengobatan putrinya belum selesai, dan seseorang baru saja menembaki mereka.

"Aku..." Fiona tampak kesakitan, tetapi bukan karena penyakitnya. Wajahnya memerah dan dia menggigit bibirnya. Fiona terlihat sedikit aneh. "Ayah, suruh mereka pergi."

Apa?

"Baiklah!" Ryan tertegun sebentar dan buru-buru berkata kepada para dokter dan pengawalnya, "Tinggalkan kami. Jika aku membutuhkan sesuatu, aku akan mengabari kalian."

......

Ketika mereka semua pergi, akhirnya Ryan mengerti mengapa Fiona mengeluarkan ekspresi seperti itu.

Selimut dan celana Fiona basah semua.

"Ayah, jangan beri tahu siapa pun tentang masalah ini!" pinta Fiona seraya menundukkan kepalanya malu.

"Tentu saja! Aku tidak akan memberi tahu siapa pun!"

Ryan menghiburnya dengan suara pelan, "Kamu telah melalui banyak hal dan ketakutan dengan tembakan itu. Usiamu bahkan belum lebih dari dua puluh tahun. Tidak sengaja mengompol karena ketakutan dan terkejut adalah hal yang wajar."

"Tidak! Aku tidak mengompol! Jangan diungkit lagi!"

"Baiklah, aku berjanji! Sekarang berbaringlah! Pengobatanmu belum selesai! Tunggu sampai Tuan Green kembali."

"Ayah bisa pergi sekarang. Aku harus mengganti pakaianku."

"Tidak! Dengarkan aku! Tuan Green berkata bahwa kamu harus beristirahat di tempat tidur. Nanti setelah dia kembali, dia akan menyelesaikan pengobatannya."

......

Ryan sangat mengkhawatirkan putrinya sampai-sampai dia tidak menyadari wajah Fiona yang marah ketika mendengar mulutnya menyebut nama Owen.

Tiba-tiba, sambaran petir mencakar langit dengan begitu dahsyatnya.

Kilatan cahayanya menerangi langit malam yang gelap.

Di hutan luar Kompleks Vila Adiwarna, Owen menginjak seorang pemuda berbaju hitam sambil menenteng senapan jarak jauh di tangannya.

"Apakah kamu Adam Gibson? Aku tidak peduli mengapa kamu ingin membunuh Keluarga Harvey. Aku tidak peduli jika kamu ingin membunuh Ryan atau Fiona, tetapi semua tembakanmu mengarah padaku! Mengapa?" Owen bertanya seraya menghantamkan baut senapan ke wajah pemuda itu.

Suara pukulannya terdengar begitu keras dan menyakitkan.

Mulut pemuda itu mengalirkan darah. Senapan jarak jauh itu telah menghancurkan delapan buah giginya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status