Share

3. Pria itu?

"Astaga!!! Mati aku!" 

Belum cukup percaya, Zoya kembali memperhatikan selembar foto berukuran tiga kali empat rasio yang ada di tangannya. Lantas, beralih pada kedua sahabatnya yang nampak biasa saja—tak seterkejut dirinya.

"Aku dalam masalah besar sekarang, tapi kenapa kalian seperti tak acuh padaku?" protes Zoya melihat kediaman kedua sahabatnya. "Melly katakan sesuatu! Apa yang sudah Vina lakukan sekarang?" desaknya tidak sabaran.

Awalnya Besar keyakinan Zoya jika Lisa telah salah menganggap dirinya calon mantu. Tetapi begitu perempuan itu pergi, Zoya memberanikan diri membalik foto yang Lisa berikan. Dan, betapa terkejutnya Zoya saat gambar seorang pria yang sedang mengenakan setelan jas berwarna merah muda dilengkapi syal hitam melingkar di leher, pun dengan rambut klimis maksimal serta bentuk celana menyerupai payung bagian bawahnya. Kendati setengah wajah pria itu hampir tertutup kacamata hitam. Tapi Zoya yakin, gambar pria yang ada di foto itu tak lain pria yang beberapa hari lalu ia paksa menjadi kekasihnya.

Yah!! Pria aneh di kafe tempo hari yang ia dan kedua sahabatnya jadikan lelucon. Lantas, secara mengejutkan ibunya datang melamar, mungkinkah?

Tiba-tiba Zoya teringat akan semua ucapan Lisa tadi, dan benaknya mulai menyimpulkan kemungkinan Lisa juga berada ditempat yang sama hari itu. "Mampus!!!" pekik Zoya seketika. "Pantesan dia ngeyel banget mau jadiin aku mantu, ternyata…?" Beralih pada kedua sahabatnya yang sempat beradu pandang. "Katakan siapa diantara kalian yang mengundang Tante Lisa kemari?"

"Maafkan aku, Zo. Aku sungguh menyesal karena ide gilaku, kau sampai harus berurusan dengan mereka," sahut Vina.

Zoya memilih diam, menunggu sahabatnya itu kembali melanjutkan kalimatnya. Setelah itu baru ia akan memikirkan tindakan apa yang akan ia lakukan pada Vina.

"Aku yang sudah memberikan alamat kost kita pada Tante Lisa, karena memang hari itu dia berada ditempat yang sama dengan kita—kafe bahagia.

"Enggak!! Ini gak bisa dibiarkan. Aku gak bisa menerima lamaran Tante Lisa. Selain aku belum mau menikah, bisa lain urusannya kalau aku sampai ketemu anaknya lagi," serobot Zoya. "Mustahil dia tidak akan menelanku bulat-bulat." Bahkan, baru mengingat wajah keras pria itu saja, kedua lengan Zoya sudah meremang.

Kendati hari itu Zoya terlihat tampak tenang dan menunjukkan sikap berani, tapi yang terjadi tidaklah demikian. Seandainya saat itu ada yang memperhatikan kakinya di balik rok plisket yang ia kenakan, maka akan mengetahui betapa takut dan gugupnya Zoya menghadapi pria dewasa yang sebenarnya tidak diinginkan. Belum lagi mendapat tatapan beragam dari pengunjung lain, rasanya Zoya ingin menghilang dan menenggelamkan diri ke dasar bumi. Tindakan nekat yang sudah sangat mempermalukan diri sendiri serta orang lain—-hanya demi sebuah misi.

"Tapi tidak semudah itu, Zo. Atau hidupmu akan semakin sulit karena berani menolak lamarannya," ujar Vina hati-hati.

"Memangnya kenapa?!!" Tanpa sadar suara Zoya sudah melengking tinggi.

Ternyata ketakutan sering kali membuat seseorang bertindak spontan seperti bukan dirinya. Zoya memang bukan gadis berpendidikan tinggi ataupun terlahir dari keluarga kaya yang memiliki aturan-aturan tertentu dan dituntut harus berperilaku baik. Tetapi berteriak ataupun berkata kasar juga bukan kebiasaannya. Kendati hanya seorang gadis yatim piatu yang dibesarkan di salah satu panti asuhan yang ada di desa. Namun, begitu mendengar penjelasan singkat Vina yang dirasa sangat tidak masuk akal, Zoya nyaris kehilangan kesabaran hingga suaranya menggema memenuhi kamar kost.

"Memangnya kenapa hidupku bisa lebih sulit dari sekarang? Apa maksudmu aku harus menerima lamaran tidak masuk itu? Dan membiarkan anaknya mengoyak tubuhku seperti buaya kelaparan? Iya?" Zoya benar-benar tidak lagi bisa berpikir jernih. Menerima lamaran Lisa sama halnya ia menyerahkan hidup untuk segera diadili. 

Zoya hampir gila membayangkan tangan besar pria itu bisa saja menampar ataupun melemparnya ke udara. Lantas, akan jadi semengenaskan apa jika ia sampai menerima lamaran Lisa?

"Sebenarnya apa yang kalian sembunyikan dariku? Kenapa hanya aku yang merasa tidak tahu apa-apa disini."

Mata Zoya sudah berkaca-kaca, hanya dengan satu kedipan saja pasti bulir bening akan terjun bebas melewati pipi. Zoya merasa sangat gemas bercampur kesal pada kedua sahabatnya. Apa sebenarnya yang mereka ketahui sampai ia dilarang menolak lamaran Lisa?

****

Hari terus berganti penuh menegangkan bagi Zoya. Bagaimana tidak, hanya tinggal besok waktu yang Lisa berikan untuk mendengar jawaban darinya. Sebenarnya Zoya sudah berpikir untuk kembali ke Panti Asuhan tempat dirinya dibesarkan. Karena memang tempat itu sangat jauh dari hiruk pikuk Kota Metropolitan yang saat ini ia tinggal bersama kedua sahabatnya. Sehingga berpikir kembali menjadi jalan satu-satunya agar bisa terbebas dari Lisa ataupun putranya.

Namun, sekali lagi penjelasan Vina meruntuhkan tekad dan seketika menciutkan nyalinya yang memang gampang terpropokasi.

Malam itu Zoya sedang menatap benda bulat yang terpanjang di dinding, dengan duduk menyamping di sofa menopang dagu—terus memperhatikan jarum merah yang bergerak memutar. Ia benar-benar ingin waktu berhenti, atau paling tidak Lisa lupa datang hari esok. Tertinggal hanya itu harapan terbesarnya saat ini agar hidupnya kembali damai seperti sedia kala.

"Zo, makanlah dulu. Aku perhatikan selera makanmu akhir-akhir ini sangat buruk. Kau bahkan kerap kali tidak menyentuh makan malammu."

Melihat perubahan sahabatnya, Melly sangat cemas. Tidak biasanya Zoya banyak diam. Karena memang diantara mereka bertiga, Zoya yang paling aktif dalam segala hal, termasuk berghibah para boyband asal negeri ginseng yang memiliki nama penggemar Army. Tetapi sekarang, tepatnya setelah kedatangan Lisa pagi itu, wajah cantik Zoya tidak lagi menunjukkan keceriaan—-menyisakan raut sendu penuh penyesalan

"Aku tidak lapar."

Lagi-lagi jawaban itu yang Zoya berikan setelah menoleh singkat pada Melly, yang bahkan sudah membawakan sepiring makanan untuknya. 

Sementara Vina semakin merasa bersalah melihat perubahan Zoya yang kian memprihatinkan dari hari-kehari. Sejak mengetahui siapa Lisa darinya, Vina merasa Zoya seperti tidak memiliki semangat hidup lagi. Ia juga pernah berniat membawa Zoya kabur, sampai akhirnya mereka sadar bahwa usahanya itu hanya akan sia-sia mengingat siapa Lisa.

"Apa kau tau bagaimana caranya bisa pergi ke Mars? Aku tidak masalah jika harus menanam singkong di sana, daripada mati di koyak laki-laki mengerikan itu," pasrah Zoya saat kembali beralih pada Melly yang ternyata belum pergi.

"Ini memang salahku. Tidak seharusnya aku memberikan alamat kita padanya. Kalau saja dia tidak datang, kamu tidak akan seperti ini, Zo?" ujar Vina ikut mendekat dan memeluk Zoya dari belakang.

"Tapi sebenarnya awal bencana bukan dari kedatangan Tante Lisa pagi itu, Vin. Tapi hari dimana kita meminta Zoya mendatangi laki-laki itu," koreksi Melly yang seketika menarik perhatian Zoya dan Vina.

"Bahkan setelah hari itu Zoya selalu menolak saat kita ajak nongkrong di kafe Bahagia lagi 'kan? Itu karena dia takut ketemu laki-laki itu lagi."

Sementara Zoya tertunduk lesu, gurat penyesalan semakin jelas terlihat di wajah tirus Vina. Memang semua masalah berawal dari mereka sendiri, tetapi malapetaka jelas tidak akan terjadi jika Vina tidak menciptakan sebuah ide gila yang harus Zoya lakukan seorang diri.

"Besok aku yang akan bicara dengan Tante Lisa. Aku akan coba bernegosiasi dengannya agar aku saja yang menikah dengan putranya," terang Vina mengejutkan kedua sahabatnya.

'Karena aku lebih menyayangi kalian daripada hidupku sendiri,' lanjut Vina dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status