"Astaga!!! Mati aku!"
Belum cukup percaya, Zoya kembali memperhatikan selembar foto berukuran tiga kali empat rasio yang ada di tangannya. Lantas, beralih pada kedua sahabatnya yang nampak biasa saja—tak seterkejut dirinya."Aku dalam masalah besar sekarang, tapi kenapa kalian seperti tak acuh padaku?" protes Zoya melihat kediaman kedua sahabatnya. "Melly katakan sesuatu! Apa yang sudah Vina lakukan sekarang?" desaknya tidak sabaran.Awalnya Besar keyakinan Zoya jika Lisa telah salah menganggap dirinya calon mantu. Tetapi begitu perempuan itu pergi, Zoya memberanikan diri membalik foto yang Lisa berikan. Dan, betapa terkejutnya Zoya saat gambar seorang pria yang sedang mengenakan setelan jas berwarna merah muda dilengkapi syal hitam melingkar di leher, pun dengan rambut klimis maksimal serta bentuk celana menyerupai payung bagian bawahnya. Kendati setengah wajah pria itu hampir tertutup kacamata hitam. Tapi Zoya yakin, gambar pria yang ada di foto itu tak lain pria yang beberapa hari lalu ia paksa menjadi kekasihnya.Yah!! Pria aneh di kafe tempo hari yang ia dan kedua sahabatnya jadikan lelucon. Lantas, secara mengejutkan ibunya datang melamar, mungkinkah?Tiba-tiba Zoya teringat akan semua ucapan Lisa tadi, dan benaknya mulai menyimpulkan kemungkinan Lisa juga berada ditempat yang sama hari itu. "Mampus!!!" pekik Zoya seketika. "Pantesan dia ngeyel banget mau jadiin aku mantu, ternyata…?" Beralih pada kedua sahabatnya yang sempat beradu pandang. "Katakan siapa diantara kalian yang mengundang Tante Lisa kemari?""Maafkan aku, Zo. Aku sungguh menyesal karena ide gilaku, kau sampai harus berurusan dengan mereka," sahut Vina.Zoya memilih diam, menunggu sahabatnya itu kembali melanjutkan kalimatnya. Setelah itu baru ia akan memikirkan tindakan apa yang akan ia lakukan pada Vina."Aku yang sudah memberikan alamat kost kita pada Tante Lisa, karena memang hari itu dia berada ditempat yang sama dengan kita—kafe bahagia."Enggak!! Ini gak bisa dibiarkan. Aku gak bisa menerima lamaran Tante Lisa. Selain aku belum mau menikah, bisa lain urusannya kalau aku sampai ketemu anaknya lagi," serobot Zoya. "Mustahil dia tidak akan menelanku bulat-bulat." Bahkan, baru mengingat wajah keras pria itu saja, kedua lengan Zoya sudah meremang.Kendati hari itu Zoya terlihat tampak tenang dan menunjukkan sikap berani, tapi yang terjadi tidaklah demikian. Seandainya saat itu ada yang memperhatikan kakinya di balik rok plisket yang ia kenakan, maka akan mengetahui betapa takut dan gugupnya Zoya menghadapi pria dewasa yang sebenarnya tidak diinginkan. Belum lagi mendapat tatapan beragam dari pengunjung lain, rasanya Zoya ingin menghilang dan menenggelamkan diri ke dasar bumi. Tindakan nekat yang sudah sangat mempermalukan diri sendiri serta orang lain—-hanya demi sebuah misi."Tapi tidak semudah itu, Zo. Atau hidupmu akan semakin sulit karena berani menolak lamarannya," ujar Vina hati-hati."Memangnya kenapa?!!" Tanpa sadar suara Zoya sudah melengking tinggi.Ternyata ketakutan sering kali membuat seseorang bertindak spontan seperti bukan dirinya. Zoya memang bukan gadis berpendidikan tinggi ataupun terlahir dari keluarga kaya yang memiliki aturan-aturan tertentu dan dituntut harus berperilaku baik. Tetapi berteriak ataupun berkata kasar juga bukan kebiasaannya. Kendati hanya seorang gadis yatim piatu yang dibesarkan di salah satu panti asuhan yang ada di desa. Namun, begitu mendengar penjelasan singkat Vina yang dirasa sangat tidak masuk akal, Zoya nyaris kehilangan kesabaran hingga suaranya menggema memenuhi kamar kost."Memangnya kenapa hidupku bisa lebih sulit dari sekarang? Apa maksudmu aku harus menerima lamaran tidak masuk itu? Dan membiarkan anaknya mengoyak tubuhku seperti buaya kelaparan? Iya?" Zoya benar-benar tidak lagi bisa berpikir jernih. Menerima lamaran Lisa sama halnya ia menyerahkan hidup untuk segera diadili. Zoya hampir gila membayangkan tangan besar pria itu bisa saja menampar ataupun melemparnya ke udara. Lantas, akan jadi semengenaskan apa jika ia sampai menerima lamaran Lisa?"Sebenarnya apa yang kalian sembunyikan dariku? Kenapa hanya aku yang merasa tidak tahu apa-apa disini."Mata Zoya sudah berkaca-kaca, hanya dengan satu kedipan saja pasti bulir bening akan terjun bebas melewati pipi. Zoya merasa sangat gemas bercampur kesal pada kedua sahabatnya. Apa sebenarnya yang mereka ketahui sampai ia dilarang menolak lamaran Lisa?****Hari terus berganti penuh menegangkan bagi Zoya. Bagaimana tidak, hanya tinggal besok waktu yang Lisa berikan untuk mendengar jawaban darinya. Sebenarnya Zoya sudah berpikir untuk kembali ke Panti Asuhan tempat dirinya dibesarkan. Karena memang tempat itu sangat jauh dari hiruk pikuk Kota Metropolitan yang saat ini ia tinggal bersama kedua sahabatnya. Sehingga berpikir kembali menjadi jalan satu-satunya agar bisa terbebas dari Lisa ataupun putranya.Namun, sekali lagi penjelasan Vina meruntuhkan tekad dan seketika menciutkan nyalinya yang memang gampang terpropokasi.Malam itu Zoya sedang menatap benda bulat yang terpanjang di dinding, dengan duduk menyamping di sofa menopang dagu—terus memperhatikan jarum merah yang bergerak memutar. Ia benar-benar ingin waktu berhenti, atau paling tidak Lisa lupa datang hari esok. Tertinggal hanya itu harapan terbesarnya saat ini agar hidupnya kembali damai seperti sedia kala."Zo, makanlah dulu. Aku perhatikan selera makanmu akhir-akhir ini sangat buruk. Kau bahkan kerap kali tidak menyentuh makan malammu."Melihat perubahan sahabatnya, Melly sangat cemas. Tidak biasanya Zoya banyak diam. Karena memang diantara mereka bertiga, Zoya yang paling aktif dalam segala hal, termasuk berghibah para boyband asal negeri ginseng yang memiliki nama penggemar Army. Tetapi sekarang, tepatnya setelah kedatangan Lisa pagi itu, wajah cantik Zoya tidak lagi menunjukkan keceriaan—-menyisakan raut sendu penuh penyesalan"Aku tidak lapar."Lagi-lagi jawaban itu yang Zoya berikan setelah menoleh singkat pada Melly, yang bahkan sudah membawakan sepiring makanan untuknya. Sementara Vina semakin merasa bersalah melihat perubahan Zoya yang kian memprihatinkan dari hari-kehari. Sejak mengetahui siapa Lisa darinya, Vina merasa Zoya seperti tidak memiliki semangat hidup lagi. Ia juga pernah berniat membawa Zoya kabur, sampai akhirnya mereka sadar bahwa usahanya itu hanya akan sia-sia mengingat siapa Lisa."Apa kau tau bagaimana caranya bisa pergi ke Mars? Aku tidak masalah jika harus menanam singkong di sana, daripada mati di koyak laki-laki mengerikan itu," pasrah Zoya saat kembali beralih pada Melly yang ternyata belum pergi."Ini memang salahku. Tidak seharusnya aku memberikan alamat kita padanya. Kalau saja dia tidak datang, kamu tidak akan seperti ini, Zo?" ujar Vina ikut mendekat dan memeluk Zoya dari belakang."Tapi sebenarnya awal bencana bukan dari kedatangan Tante Lisa pagi itu, Vin. Tapi hari dimana kita meminta Zoya mendatangi laki-laki itu," koreksi Melly yang seketika menarik perhatian Zoya dan Vina."Bahkan setelah hari itu Zoya selalu menolak saat kita ajak nongkrong di kafe Bahagia lagi 'kan? Itu karena dia takut ketemu laki-laki itu lagi."Sementara Zoya tertunduk lesu, gurat penyesalan semakin jelas terlihat di wajah tirus Vina. Memang semua masalah berawal dari mereka sendiri, tetapi malapetaka jelas tidak akan terjadi jika Vina tidak menciptakan sebuah ide gila yang harus Zoya lakukan seorang diri."Besok aku yang akan bicara dengan Tante Lisa. Aku akan coba bernegosiasi dengannya agar aku saja yang menikah dengan putranya," terang Vina mengejutkan kedua sahabatnya.'Karena aku lebih menyayangi kalian daripada hidupku sendiri,' lanjut Vina dalam hati.Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi tak cukup membuat mata Lisa mengantuk. Duduk di sofa panjang berbentuk setelah lingkaran—di ruang tengahnya yang luas, Lisa tetap setia menunggu kepulangan putra semata wayangnya, Danu. Rasanya ia tidak sabar ingin segera mengutarakan niat hatinya. Kebahagiaan yang sudah beberapa hari ia tahan, lantaran Danu sedang berada di luar negeri untuk urusan pekerjaan. Dan, malam ini mendapat kabar putranya akan kembali, Lisa dengan setia menunggu."Mengingatnya hari itu, aku semakin yakin jika dia bisa menerima putraku apa adanya," gumam Lisa disertai senyum kebahagiaan kala mengingat senyum manis Zoya saat di kafe.Gadis lucu itu dalam waktu singkat sudah berhasil membuat hati Lisa terpikat, dan Lisa semakin tidak sabar untuk segera memboyong Zoya beserta kedua sahabatnya ke rumah. Dengan begitu, keadaan rumah besarnya pasti tidak akan sesepi sekarang. "Pasti akan sangat menyenangkan bisa melihat mereka berkeliaran di rumah ini." Kembali ters
Zoya benar-benar merasa kehidupan telah kembali seperti semula. Tepatnya sejak sebulan lalu tidak ada kabar dari Lisa, ia beserta kedua sahabatnya menganggap wanita itu benar-benar telah melupakan lamaran tempo hari yang hampir membuat mereka melarikan diri layaknya pencuri. Tapi sekarang, Zoya merasa kedamaian hidup kembali dirasakan. Kendati ia berjanji tidak akan lagi mendatangi 'kafe bahagia' ataupun kafe manapun guna meminimalisir bertemu dengan pria berpakaian jadul itu—pria pemilik wajah dan mata yang sangat mengintimidasi. Namun, terlepas dari semua yang sudah pernah terjadi, baik Zoya maupun kedua sahabatnya mulai bisa berpikir dewasa. Sehingga tidak akan lagi menjadikan segala sesuatu yang menurut mereka aneh—sebagai bahan taruhan. Mereka benar-benar insaf. Tidak ingin mengulang kesalahan fatal untuk yang kedua kalinya."Zo, sarapanmu ada di atas meja. Kami berangkat sekarang, ya..," seru Vina seraya berlari menjauh. Semantara Melly yang sibuk memainkan ponsel sudah keluar l
DUK!!"Auw!" Terkejut sekaligus merasa sakit di dahi, Zoya meringis sambil mengusap-usapnya. Tidak tahu jika dari dalam butik ada seseorang yang juga meringis ngilu, seolah ikut merasakan apa yang Zoya rasakan. 'Pasti sakit," gumamnya."Astaga! kenapa ada kaca sebening ini." Tangan kiri Zoya terulur—menyentuh dan mengetuk kaca sekali. "Seharusnya aku melakukan ini tadi sebelum dahiku membenturnya." Sambil menggerutu ia mendorong pintu transparan tersebut lalu melangkah masuk."Selamat datang, Mbak Zoya." Sontak, Zoya terjingkat. Menganggap wanita tinggi semampai yang mengenakan seragam navy bertuliskan 'Boutique LS' di dada sebelah kiri itu adalah manekin. Sehingga, tak menyadari keberadaannya di dekat pintu masuk."Iya, Mbak," jawabnya canggung. Heran kenapa wanita cantik yang saat tersenyum memperlihatkan kawat giginya itu bisa mengenali dirinya. Zoya sempat tertegun, menerka-nerka mungkinkah Liza memberitahu wanita itu dirinya akan datang? Sejurus kemudian, Zoya menggelang tegas—m
"Aku akui kepercayaan dirimu memang luar biasa. Bisa melakukan hal senekat itu di depan umum. Apa tujuanmu sebenarnya? Uang?" Sambil menyandarkan punggung, Danu menatap remeh lawan bicaranya.Ketenangan gadis itu cukup menggelitik hati, ingin memastikan sejauh mana bisa bertahan menghadapi dirinya.Sementara itu, Zoya masih berusaha keras mempertahankan agar gemetar di kaki ataupun tangannya tidak sampai tertangkap oleh Danu, bisa semakin besar kepala pria itu jika melihatnya.'Ingat Zo! kamu tidak perlu takut padanya, dia juga pasti makan nasi sama sepertimu," kekuehnya dalam hati."Aku bukan orang yang suka basa-basi. Jadi, cepat katakan apa yang kamu inginkan!" Zoya melirik Danu sekilas, lalu memajukan bibir bawahnya. "Gak sabaran banget, yakin mau dengar.""Dengar! aku tidak suka waktuku terbuang sia-sia untuk urusan yang tidak penting. Sekarang, katakan berapa yang kamu inginkan," lirih Danu.Zoya menghela nafas panjang—ikut menyandarkan punggung dan menoleh ke samping menatap be
'Kenapa berhenti disini? uangku mana cukup bayar makanan disini. Gila aja nih om-om, mau cari gretongan gak kira-kira,' gerutu Zoya dalam hati. Ia merasa sangat kesal begitu tahu, Danu memasukan mobilnya di depan sebuah restoran. "Set dah, tuh orang mana udah nyelonong duluan lagi. Aduh! dompet mana sih."Melihat Danu sudah keluar lebih dulu—Zoya semakin gelisah lantaran dompet silikon karakter pororo miliknya entah terselip di bagian mana."Nah, ini dia." tersenyum lega. Namun, begitu membuka dan melihat isi dompetnya, gadis itu tertunduk lesu. "Ya salam om, duitku cuma seratus dua puluh ribu ini, malah ngajak makan ditempat beginian. Warung tegal napa? masakan disana tak kalah nendang."Tok tok!!Zoya terkesiap begitu kaca di sampingnya diketuk, dan pelakunya tak lain Danu."Ck, apa yang sebenarnya dia lakukan? kenapa tidak ikut turun." Baru Danu hendak mengetuk kaca lagi, gerakan tangannya seketika terhenti melihat pintu terbuka. "Kamu tidak suka tempat ini?" Melihat gelagat mencu
"Kamu dari mana Zo?" "Astaga! kamu mengejutkanku. Aku pikir belum ada yang pulang." Setelah meletakkan tasnya diatas meja, Zoya ikut berbaring di samping Melly."Tumben kamu sudah pulang?" Menoleh ke arah samping. Melly yang sedang tengkurap memainkan gawainya melirik sekilas."Pekerjaanku tidak banyak hari ini, makanya bisa pulang lebih awal. Kamu belum menjawabku tadi, dari mana?" Zoya merubah posisinya sama dengan Melly, setelah menekuk kedua kaki dan menggoyang-goyangkannya ia mulai bercerita. "Ketemuan sama tante Liza dan Om Danu.""Serius?" Zoya mengulum senyum melihat keterkejutan sang sahabat."Iya, kenapa?" "Lalu?" "Apanya?" "Ck, kamu ini, bagaimana pertemuanmu dengan om Danu setelah apa yang terjadi kemarin. Lalu apa tante Liza memaksakan kehendaknya?" Melihat Zoya menggelang yakin–Melly memiringkan tubuhnya dan menatap penuh selidik. "Jangan membuatku penasaran, sekarang ceritakan semua tanpa ada yang kamu skip." "Aku dan tante Liza belum sempat mengobrol tadi. Sement
Ternyata memang benar, manusia hanya bisa berencana, dan tuhan yang maha menentukan segalanya. Setelah tidak pernah lagi ada kabar beritanya, Zoya dan kedua sahabatnya menganggap bahwa Liza melupakan lamaran dadakannya satu bulan lalu, tapi ternyata? Tanpa disangka-sangka wanita itu tiba-tiba muncul di momen yang sangat tepat."Sayang, kalian akan pindah ke rumah ibu hari ini juga." Sontak, Zoya menegang, matanya berkedip ragu."Ke–kenapa me-mendadak, tan?" Setelah keheningan sesaat, Zoya mulai bisa bersuara. Sungguh, gadis itu merasa terkejut sekaligus heran kenapa wanita itu muncul dengan kejutan tak terduga. Tiba-tiba memintanya pindah tanpa ada pemberitahuan lebih dulu. Jantung? masih amankah di tempatnya?Siang itu, Zoya yang merasa kurang enak badan, memilih tinggal di kamar kos menunggu kedua sahabatnya kembali. Dan untungnya, mereka bertiga off dari kesibukan masih-masih, sehingga ia bisa beristirahat, sementara kedua sahabatnya tengah keluar mencari makan. Tapi, baru juga he
"Ya Tuhan .. ini rumah atau istana? besar sekali."Vina langsung terperangah begitu keluar dari mobil diikuti Zoya, beserta Melly. Pandangan pertama yang tersuguh di depan mata mereka adalah kemewahan hunian Atmadja."Ini baru luarnya loh bestie, kita belum lihat kedalam." Vina mengangguk, begitu juga Melly. Mereka seolah setuju dengan pendapat Zoya."Lihat guys. Luas halamannya saja setara lapangan bola, luar biasa .. tante Liza memang the real sultan," saut Melly yang mendekat dan berdiri di antara kedua sahabatnya."Mereka memang bukan orang biasa, kita saja yang terlambat menyadarinya." Vina kembali menimpali dengan pandangan masih lurus ke depan."Entahlah .. yang pasti, sekarang kepalaku tidak sakit lagi setelah melihat rumah ini," celetuk Zoya seraya memutar pandangan segala arah."Itu karena obat yang kamu minum Oneng, plis deh. Jangan norak," dengus Melly yang hanya disambut kekehan oleh Zoya."Ayu kita masuk." Liza yang sebelumnya kembali menghubungi seseorang, langsung memu