Zoya benar-benar merasa kehidupan telah kembali seperti semula. Tepatnya sejak sebulan lalu tidak ada kabar dari Lisa, ia beserta kedua sahabatnya menganggap wanita itu benar-benar telah melupakan lamaran tempo hari yang hampir membuat mereka melarikan diri layaknya pencuri. Tapi sekarang, Zoya merasa kedamaian hidup kembali dirasakan. Kendati ia berjanji tidak akan lagi mendatangi 'kafe bahagia' ataupun kafe manapun guna meminimalisir bertemu dengan pria berpakaian jadul itu—pria pemilik wajah dan mata yang sangat mengintimidasi.
Namun, terlepas dari semua yang sudah pernah terjadi, baik Zoya maupun kedua sahabatnya mulai bisa berpikir dewasa. Sehingga tidak akan lagi menjadikan segala sesuatu yang menurut mereka aneh—sebagai bahan taruhan. Mereka benar-benar insaf. Tidak ingin mengulang kesalahan fatal untuk yang kedua kalinya."Zo, sarapanmu ada di atas meja. Kami berangkat sekarang, ya..," seru Vina seraya berlari menjauh. Semantara Melly yang sibuk memainkan ponsel sudah keluar lebih dulu."Iya, jangan lupa tutup pintunya," balas Zoya tanpa membuka mata.Tidak lama pintu kost terdengar terbuka dan kembali tertutup. Berpikir Melly juga Vina sudah pergi, Zoya yang pagi itu baru pulang bekerja setelah lembur semalaman, kembali menarik guling kesayangannya—memeluk erat berharap bisa tertidur nyenyak sampai waktu yang ia inginkan. Akan tetapi baru beberapa detik nyawanya melayang, bahkan belum sempat sampai menembus alam mimpi. Suara dering ponsel membuatnya berdecak kesal. Berniat mengabaikan panggilan tersebut, Zoya menutup telinga dengan guling. Tetapi suara panggilan kembali terdengar berulang-ulang meski sempat berhenti. Semakin kesal tidurnya diganggu, akhirnya Zoya memaksa tubuhnya untuk bangkit dan meraih benda pipih persegi dari atas meja dekat ranjang. Begitu menggeser icon 'jawab' Zoya langsung menempelkan benda tersebut ke telinganya, tanpa mengamati foto siapa yang tertera di layar ponsel."Iya halo," ujarnya malas."Apa kabar Sayang? Apakah hari ini kamu sibuk?"Zoya yang sebelumnya hendak kembali berbaring, terjingkat seketika begitu mengenali siapa pemilik suara di seberang sana. Tidak ingin salah menduga, Zoya segera memastikan layar ponselnya, dan tatkala matanya membelalak begitu melihat foto Lisa di layar ponselnya."Ta-tante Lisa," gagap Zoya."Iya Sayang, ini ibu. Ibu sengaja menghubungimu karena ingin mengajakmu makan siang hari ini. Tidak ada penolakan, ya? Ibu akan menunggu di alamat yang nanti akan ibu shareloc."Zoya menarik nafas panjang, mencoba untuk mengusir ketidak percayaannya yang semakin memuncak begitu Lisa memutus panggilan. Sembari memandang sekeliling kamarnya dengan tatapan kosong, Zoya mencari-cari jawaban atas pertanyaannya yang tak kunjung terpecahkan.Lisa menghubungi dirinya lagi? Tapi dalam rangka apa makan siang nanti? Apakah dengan begitu ia akan bertemu lagi dengan laki-laki menyeramkan itu?"Gila! Ini benar-benar gila. Bisa dipastikan tamat riwayatku kalau sampai bertemu dia lagi."KluntingPandangan Zoya teralihkan kembali ke layar ponsel yang baru menerima pesan masuk. Setelah membaca pesan dari Lisa, ia pun berdecak bimbang. "Ck. Bagimana ini? Tante Lisa tidak mau aku sampai menolak undangannya. Tapi kalau tetap pergi apa itu tidak bahaya? Apa dia bisa memastikan keselamatanku dari amukan anaknya?"Zoya benar-benar dibuat dilema. Menghadiri undangan Lisa besar kemungkinan ia bisa bertemu lagi dengan pria itu—putra Lisa yang garang. Tetapi jika Zoya tidak sampai datang, khawatir Lisa akan membuktikan ucapannya pada Vina satu bulan lalu saat memaksa sahabatnya itu memberi alamat tempat tinggal mereka.Lantas, tindakan apa yang harus Zoya ambil sekarang? Memilih pergi atau mengabaikan undangan Lisa?"Simalakama. Datang atau tidak aku tetap saja bisa berakhir di penjara," gumam Zoya frustasi.Sambil memegang kepalanya yang pusing, Zoya merenung sejenak dan mencoba untuk menenangkan diri. Ia tahu harus membuat keputusan secepat mungkin karena waktu sudah semakin dekat. Dan, setelah berpikir sejenak, Zoya akhirnya memutuskan pergi menghadiri undangan makan siang Lisa."Setidaknya aku harus berani bertanggung jawab atas apa yang sudah kulakukan pada laki-laki aneh itu. Yah! Aku Zoya, gadis pemberani. Sudah cukup aku bersembunyi seperti pengecut selama sebelum terakhir. Sekarang saatnya aku berani menunjukkan diri dihadapannya. Semangat!" Selesai menyemangati dirinya sendiri, Zoya yang memang sudah sempat mandi sebelum memutuskan untuk tidur tadi, segera berganti kostum yang memang fashion dirinya. Celana cargo army panjang yang dipadukan t-shirt putih berlengan panjang pula. Meski ukuran celana tersebut sedikit kedodoran, membuat Zoya tetap yakin mengenakannya. Setelah mengenakan sneakers putih dan menyambar topi agar wajahnya sedikit terhalang benda itu baik dari sinar matahari ataupun saat beradu tatap dengan laki-laki jadul—putra Lisa.******"Apa aku tidak salah ini tempatnya? Boutique Ls. Bukankah ini toko baju?"Masih memandang ragu bangungan berukuran luas di depannya, sesekali Zoya juga mencocokan alamat yang Lisa kirimkan—-dengan bangunan di depannya, pun dengan plang yang berdiri menjulang di dekatnya berdiri."Sepertinya benar ini tempatnya," gumamnya lagi bersiap menaiki beberapa anak tangga di depannya sebelum sampai di pintu masuk.Terlalu sibuk mengendalikan diri dari kegugupan yang bercampur takut, Zoya terkesiap saat tiba-tiba sudah berada tepat di depan pintu masuk. Tidak langsung mendorong pintu kaca gelap di depannya itu, Zoya justru menimang apakah sudah benar ia mendatangi tempat tersebut.Sepersekian detik berlalu, Zoya masih merasa ragu dan cemas. Ia merenung sejenak, dan ketika ketakutan tentang apa yang bisa saja terjadi selanjutnya kembali menjejal kepala—Zoya semakin dilanda kerisauan."Apa aku harus masuk atau jangan?" pikir Zoya sambil memandangi pintu kaca di depannya. Namun, ia merasa terkejut saat tiba-tiba terdengar suara tawa dari dalam toko. Penasaran, seramai apa di dalam sana, Zoya merapalkan doa lebih dulu sebelum mendorong pintu kaca tersebut."Tenangkan aku ya Allah… lindungi aku juga dari keganasan pria aneh itu. Semoga dia tidak benar-benar menelanku bulat-bulat. Aku masih ingin hidup, makan enak dan tidur nyenyak setelah ini."Namun, sekonyong-konyong Zoya terkejut ketika pintu didorong dari dalam, dan.Duk!!"Auw!!!" pekik Zoya lantang. "Kenapa tidak ditarik saja!" sungutnya sambil mengusap dahi yang terasa ngilu.Ada banyak pertanyaan di benak Lisa setelah mendengar cerita kedua putrinya kemarin, terselip juga harapan jika sosok tak bertanggung jawab yang sempat ia dengar itu, bukanlah orang yang sama dengan yang pernah menghancurkan kebahagiaannya dulu."Ibu disini rupanya?" Mendengar suara bariton Danu, Lisa yang sebelumnya melamun terhenyak dan segera menoleh ke belakang."Iya nak, ada apa?" "Ibu melamun? Apa ada sesuatu yang mengusik pikiran ibu, hm?" Tanya Danu setelah mendekat, dan mengambil alih selang yang masih teraliri air dari tangan ibunya."Tidak, ibu baik-baik saja. Apalagi yang ibu inginkan, jika Allah saja sudah mengebalikan putri ibu, bahkan sekarang ibu punya tiga putri sekaligus," ujar Lisa yang selalu berhasil menutupi kegundahan hatinya di hadapan Danu ataupun yang lain."Tapi kenapa ibu menyiram hanya satu tanaman, sampai airnya menggenang seperti ini," jelas Danu."Oh astaga! Ibu matikan dulu krannya." Melihat sang ibu buru-buru mematikan kran, Danu hanya menggeleng sama
"Kamu kenapa, bosan?" Walaupun tatapannya fokus ke layar laptop, tapi Danu tahu jika istrinya tidak sesemangat tadi ketika berangkat."Kemarin sebelum Abang berpenampilan seperti ini, bagaimana sikap wanita tadi?" "Ayu, maksudmu?""Ish menyebalkan, kenapa kembali menyebutnya Ayu!""Ya.. Karena memang itu namanya, lalu Abang harus memanggilnya apa? Sekretarisku, begitu?" Meski heran dengan sikap aneh Zoya, namun Danu tetap berusaha menyikapi dengan tenang. Zoya hanya diam tidak lagi menanggapi penjelasan suaminya, ia juga tidak paham kenapa hari itu begitu sensitif. Ada apa sebenarnya dengannya, apa mungkin akan kedatangan tamu bulanan yang membuatnya uring-uringan tidak jelas? Zoya simpan sendiri pertanyaan itu dalam hati, sebab apa yang dirasakan hari itu pertama kali ia rasakan.Bersikap acuh dan mengabaikannya mungkin lebih baik, pikirnya."Abang pikir dengan mengajakmu ke kantor akan lebih baik." Danu akhirnya bangkit dan duduk disamping Zoya."Abang kenapa melarangku ikut ke
"Pagi Pak.. Selamat datang Ibu."Zoya tersenyum canggung begitu hendak memasuki ruangan, mereka disambut sapaan lembut seorang wanita cantik."Terima kasih nyonya," balas Zoya tak kalah rama yang justru disertai anggukan kepala, dan itu sukses menarik perhatian Danu."Kenapa memanggilnya nyonya," tegas Danu melirik wanita yang berdiri kaku di balik meja."Haiiss tidak apa-apa.. Abang lihat! Nyonya ini cantik sekali, pakaiannya juga sangat rapi. Jelas dia bukan wanita sembarangan," bisik Zoya di ujung kalimat seraya terus menatap kagum sosok di depannya. Tanpa ia sadari jika tindakannya itu sukses membuat Danu menghela nafas dalam.'Mau heran, tapi ini istriku.' Batin Danu.'Cantik sekali nyonya ini, sesama perempuan saja aku kagum melihat kecantikannya. Apalagi para pria?' Batin Zoya yang masih menikmati keindahan di depannya, sehingga membuat objek merasa tidak nyaman karena mendapat tatapan kagum dari wanita yang jelas-jelas dia tahu apa statusnya."Ma-maaf Ibu Zoya, anda tidak perlu
"Jadi yang menemukan Melly ibu Mala, Zo?""Iya Vin," jawab Zoya lirih begitu nama wanita yang paling ia rindukan kembali disebut."Bukannya Mala mendiang ibumu sayang?" Lisa menyela ketika teringat nama itu tertulis di akta kelahiran Zoya yang dia baca sebelum hari pernikahan putranya dengan gadis itu."Iya bu," jawab Zoya memaksakan diri untuk tersenyum."Ya Allah, ibu berhutang jasa padanya. Beliau orang baik, semoga surga tempatnya.""Amin," ucap mereka serentak.Zoya kembali tersenyum menyadari tangan Danu merangkul pinggangnya dan menarik pelan sehingga tubuh mereka merapat sempurna. "Terima kasih," lirih Zoya walaupun jika ditanya untuk apa, dia sendiri pun tidak tahu. Hanya saja tidak tahu kenapa mulutnya ingin sekali mengucapkan kalimat itu."Abang yang seharusnya berterima kasih padamu juga ibu mertua sayang," bisik Danu tanpa canggung dan malu sedikitpun langsung menempelkan bibir keduanya."Abang ih, malu tau!" Zoya mendengus seraya mendorong pelan dada Danu agar menjauh.
"Kalian dari mana?" tanya Danu yang baru duduk di sofa kembali bangkit begitu melihat Zoya datang diikuti Vina di belakangnya."Dari kolam bang," jawab Zoya begitu sudah berdiri di hadapan Danu."Terima kasih, karena kamu abang bisa berkumpul lagi dengan Chika." sepertinya kali ini Zoya sudah mulai terbiasa saat Danu tiba-tiba memeluknya, hanya saja dia merasa canggung karena disana masih ada Lisa dan yang lain."I-iya bang.""Mel selamat ya, akhirnya kamu bisa bertemu ibu kandungmu." Vina memilih mendekati Melly dan duduk disampingnya."Makasih ya Vin, ini juga berkat kalian berdua." Tepat seperti yang Zoya katakan, Melly pun melakukan hal yang sama dengan Vina, dia langsung memeluk haru Vina yang awalnya enggan melakukannya lebih dulu."Terima kasih.."Hanya kalimat itu yang bisa Melly ucapkan dibalik punggung Vin, ia merasa kebahagiaan yang tengah dirasa saat itu begitu luar biasa sampai rasanya tidak cukup hanya dengan untaian kalimat."Sama-sama Mel," lirih Vina.Sebagai seorang
Mereka langsung berlari tergopoh menuju dapur, khawatir sesuatu terjadi dengan kedua wanita yang sebelumnya masuk ke tempat itu lebih dulu."Ada apa bu!" seru Danu terengah, namun seketika langkahnya membeku begitu melihat Lisa dan Melly tengah bersimpuh di atas lantai dengan tubuh saling berpelukan."Bu.." panggil Danu setelah dirinya berdiri cukup lama."Dia memang adikmu nak," ucap Lisa di sela tangisnya."Dia memang Chika," sambung Lisa semakin mengeratkan dekapannya pada Melly yang juga ikut terisak. Danu, Zoya juga Vina yang berdiri kaku akhirnya bisa bernafas lega. Melihat Danu mendekati keduanya, Zoya memilih pergi membiarkan keluarga itu meluapkan kerinduan mereka.***"Aku ikut bahagia untuk kebahagiaan Melly, tapi sekarang aku bingung harus memanggil dia apa?" Zoya menoleh dan tersenyum begitu melihat Vina ternyata menyusulnya."Mungkin aku akan tetap memanggilnya Mel-Mel, lidahku sudah terbiasa begitu." "Heem, mungkin aku pun sama.""Gak nyangka ya ternyata sahabat k