Share

7. Apa yang kau inginkan?

"Aku akui kepercayaan dirimu memang luar biasa. Bisa melakukan hal senekat itu di depan umum. Apa tujuanmu sebenarnya? Uang?" Sambil menyandarkan punggung, Danu menatap remeh lawan bicaranya.

Ketenangan gadis itu cukup menggelitik hati, ingin memastikan sejauh mana bisa bertahan menghadapi dirinya.

Sementara itu, Zoya masih berusaha keras mempertahankan agar gemetar di kaki ataupun tangannya tidak sampai tertangkap oleh Danu, bisa semakin besar kepala pria itu jika melihatnya.

'Ingat Zo! kamu tidak perlu takut padanya, dia juga pasti makan nasi sama sepertimu," kekuehnya dalam hati.

"Aku bukan orang yang suka basa-basi. Jadi, cepat katakan apa yang kamu inginkan!"

Zoya melirik Danu sekilas, lalu memajukan bibir bawahnya. "Gak sabaran banget, yakin mau dengar."

"Dengar! aku tidak suka waktuku terbuang sia-sia untuk urusan yang tidak penting. Sekarang, katakan berapa yang kamu inginkan," lirih Danu.

Zoya menghela nafas panjang—ikut menyandarkan punggung dan menoleh ke samping menatap berani Danu. Ternyata duduk membungkuk cukup membuat punggungnya kaku.

"Yakin, mau tau alasannya apa?" Danu meninggikan alis, siap membuka mulut. Tapi kelanjutan kalimat Zoya membuatnya urung. "Tapi sebelum itu aku mau tanya, apakah om Danu bermaksud menuntutku?"

Dengusan terdengar jelas dari mulut Danu, tentu pria itu terkejut dengan pertanyaan Zoya. Walaupun sempat kesal dengan sikap gadis itu dan mengancam jangan lagi muncul di hadapannya. Tapi, Danu tidak sampai berpikir bertindak sejauh itu untuk membawanya ke jalur hukum. Lalu bagaimana gadis itu bisa berpikir demikian? "Memang kamu siap jika aku menuntutmu?"

Tidak langsung menjawab—bahu Zoya bergerak turun disertai desahan samar. "Hah! tentu saja tidak. Aku masih muda dan tidak mau menyambut tuaku di penjara." Biarlah dirinya dianggap paranoid, karena sejujurnya setelah mengetahui Danu bisa saja menuntutnya, ia tidak lagi bisa hidup dengan tenang. Makan tak enak, semalam tidurpun tak nyenyak. Untung lingkar di sekitar mata tersamarkan oleh pedak yang ia poleskan sedikit tebal.

"Lalu apa yang akan kamu lakukan jika aku menuntutmu?" Danu semakin tergelitik melihat kecemasan di wajah pucat Zoya.

"Tentu saja menerima lamaran ibumu."

"Cih," desis Danu sambil membuang pandangan ke samping.

Sekarang ia bisa menyimpulkan, ibunya bergerak lebih cepat setelah hari pernyataan kemarin. Dalam kata lain, ibunya juga menyaksikan kejadian memalukan itu.

"Dan aku yakin, ibumu lebih baik daripada .." Danu kembali menoleh, menatap Zoya penuh selidik. "Putranya," lanjut Zoya.

"Lalu, kau berpikir bisa memanfaatkan keadaan dengan mudah?"

"Tidak juga." Dahi Danu kembali mengkerut.

Gadis itu benar-benar membuat kepalanya berdenyut.

Sementara Zoya sibuk menyusun kalimat yang tepat, Danu diam-diam memperhatikannya. 'Apa yang membuat gadis ini menarik sampai ibu menginginkannya?'

"Aku minta maaf karena sudah bikin om malu kemarin," ucap Zoya setelah hening sesaat. "Tapi sungguh, bukan uang tujuanku. Aku hanya kesal karena terus diejek jones oleh kedua sahabatku. Untuk itu aku bertekad mencari pacar, dan." Menjeda sejenak, ragu untuk kembali mengarang cerita. "Dan saat itulah pilihanku jatuh pada om." Mata Zoya seketika terpejam, berharap Danu percaya pada bualannya. Sebab, separah apapun ia tersudut, tidak mungkin baginya untuk jujur. Bisa-bisa hari itu juga dirinya digiring ke kantor polisi.

"Jones?" ulang Danu.

Kepala Zoya yang tertunduk mengangguk lemah sedaya berucap pelan, "Jomblo ngenes, om."

Alih-alih prihatin, Danu justru mengulum senyum. Satu tangannya pun terkepal menahan gemas melihat kepasrahan Zoya. Sebegitu buruk 'kah seseorang yang tidak memiliki pasangan? kenapa dirinya baik-baik saja, bahkan menganggap mencintai diri sendiri dan juga ibunya adalah hal yang paling memuaskan.

'Serius, dia menahan senyum?' batin Zoya yang sempat melirik sekilas.

"Lalu sekarang kau puas? bukan hanya jadi kekasihmu, bahkan sekarang aku calon suamimu."

"Heh! calon suami?" Tidak sepenuhnya bisa mencerna kalimat Danu, kepala Zoya terangkat dan menoleh ke arah pria itu. Matanya pun berkedip-kedip, lalu memutar ke kiri kanan—berpikir keras. 'Apa maksudnya dengan calon suami?' batinnya menerka-nerka.

"Apa yang kamu lakukan, kenapa matamu tidak bisa diam?"

"Aku sedang berpikir om," gumamnya, sebelum akhirnya ia tersadar dan berteriak lantang. "Akkk!! jadi kita akan menikah!"

Entah reaksi apa yang Zoya tunjukkan, Danu tidak peduli. Karena apapun alasan yang mendorong gadis itu melakukan kegilaan kemarin, Danu tidak ambil pusing. Meski sebenarnya ia tidak begitu saja percaya hanya karena ejekan 'jomblo ngenes' Zoya melakukan hal senekat itu. Tapi Danu memilih tak mempersoalkannya—menuruti permintaan sang ibulah tujuan utamanya.

"Cukup untuk hari ini. Sekarang aku lapar, ayo kita pergi." Danu bangkit lebih dulu dan berjalan begitu saja. Zoya tertegun ketika pria itu sudah berdiri di depannya. "Kamu ingin melewatkan makan siangmu?"

"Tentu saja tidak," jawabnya berubah semangat.

****

"Loh! kalian mau kemana?"

Liza yang baru muncul, terkejut melihat Danu bersama Zoya keluar dari ruangannya.

"Makan siang, tan," jawab Zoya menyembul dari balik punggung Danu yang sengaja menghalangi jalannya.

Liza tersenyum penuh arti menatap keduanya. Namun tidak lama, wajahnya berubah sendu. "Sayang sekali kalian hanya pergi berdua, ibu tidak bisa ikut. Ibu lupa ternyata hari ini sudah membuat janji dengan klien, dan sekarang mereka dalam perjalanan kemari." Danu menanggapi dengan senyum tipis kekecewaan ibunya. Karena sebenarnya ia tahu memang itulah tujuan sang ibu mengundang Zoya.

Pria itu melirik Zoya sekilas yang kini sudah berdiri di sampingnya.

"Danu pergi dulu bu, mungkin setelah mengantarkan Zoya pulang, Danu langsung kembali ke kantor."

"Iya sayang, kalian hati-hati ya."

"Iya tante." Zoya yang menjawab karena Danu sudah berjalan lebih dulu.

Senyum lega Liza mengiringi langkah Zoya—gadis itu berjalan pelan sambil memperhatikan sekitar saat menuruni tangga. Semenatra Danu sudah tidak lagi terlihat.

"Semoga ini awal yang baik untuk hubungan mereka, ya Allah," gumam Liza.

Sesampainya di luar, Zoya mengedarkan pandangan. Ia mendesah kasar begitu tidak mendapati Danu dimanapun.

"Ck, ternyata hanya formalitas. Dia tidak sungguh mengajakku makan," dengusnya kesal.

Namun tiba-tiba, pada saat ia hendak meninggalkan teras butik, suara klakson disertai panggilan menghentikan langkahnya.

"Zoya!"

"Ternyata dia serius." Kedua ujung bibirnya seketika tertarik ke atas. "Iya om, aku datang!" Berlari kecil menuju mobil Danu yang memang terparkir lumayan jauh dari pintu masuk butik. Tepatnya di bawah pohon rindang dekat jalan raya.

"Kenapa lama sekali, apa yang kamu lakukan di dalam." Belum juga menempelkan bokong dengan nyaman di jok depan, semburan Danu sudah lebih dulu menyambutnya.

"Aku pikir tadi ajakan om hanya formalitas di depan tante Liza. Ternyata tidak." Meringis tanpa beban.

Danu tidak menjawab, memilih menghidupkan mesin mobil. Setelah maju beberapa meter dan memastikan sekitar, banteng besinya pun membaur dengan kendaraan lain di jalan jaya.

'Nyaman juga naik mobil mewah, dan ternyata dia the real sultan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status