Share

6. Bertemu lagi

DUK!!

"Auw!"

Terkejut sekaligus merasa sakit di dahi, Zoya meringis sambil mengusap-usapnya. Tidak tahu jika dari dalam butik ada seseorang yang juga meringis ngilu, seolah ikut merasakan apa yang Zoya rasakan. 'Pasti sakit," gumamnya.

"Astaga! kenapa ada kaca sebening ini." Tangan kiri Zoya terulur—menyentuh dan mengetuk kaca sekali. "Seharusnya aku melakukan ini tadi sebelum dahiku membenturnya." Sambil menggerutu ia mendorong pintu transparan tersebut lalu melangkah masuk.

"Selamat datang, Mbak Zoya."

Sontak, Zoya terjingkat. Menganggap wanita tinggi semampai yang mengenakan seragam navy bertuliskan 'Boutique LS' di dada sebelah kiri itu adalah manekin. Sehingga, tak menyadari keberadaannya di dekat pintu masuk.

"Iya, Mbak," jawabnya canggung. Heran kenapa wanita cantik yang saat tersenyum memperlihatkan kawat giginya itu bisa mengenali dirinya. Zoya sempat tertegun, menerka-nerka mungkinkah Liza memberitahu wanita itu dirinya akan datang? Sejurus kemudian, Zoya menggelang tegas—menganggap terlalu percaya diri.

"Saya Dina, karyawan di sini," Zoya menanggapi dengan senyum yang tak kalah ramah. "Silahkan, Mbak langsung saja ke ruangan ibu," jelasnya sambil menunjuk lurus ke depan.

'Tangga?' batin Zoya mengikuti tangan Dina mengarah . "Kesana Mbak?"

"Iya Mbak Zoya, mari saya antar. Ibu sudah menunggu di atas."

"I-iya mbak." Reflek, kepala Zoya terangkat, alisnya mengerut berusaha menebak apa yang akan dirinya dan Liza bicarakan di sana.

Meski ragu, namun Zoya tetap berjalan di belakang Dina menaiki anak tangga satu persatu menuju lantai dua.

"Silahkan Mbak, ini rungan ibu Liza," ucap Dian begitu mereka sudah berdiri di depan pintu yang paling dekat dengan tangga.

"Iya Mbak, terima kasih."

"Sama-sama Mbak, kalau begitu saya."

"Iya, silahkan."

Seperginya Dina, Zoya mengedarkan pandang, dan lagi-lagi kembali tercengang melihat pemandangan yang ada di lantai dua bangunan itu. Terlebih, saat matanya tertuju ke ruangan sebelah kanan. Mulutnya seketika terbuka dengan kedua mata terbelalak sempurna. Ruangan cukup luas yang Zoya yakini tidak tertutup kaca, digunakan untuk memajang puluhan gaun pengantin, berbagai model.

"Wow! cantik sekali, bagaimana rasanya bisa memakai gaun sebagus itu, ya?" Terlalu kagum, perifer saraf yang menghubungkan beberapa bagian organ tubuh telah menggerakan kaki Zoya mendekati salah satu gaun yang berhasil mencuri perhatiannya.

"Gaun ini benar-benar cantik." gumamnya dengan mata berbinar.

"Nak, kamu sudah datang?" Liza yang kebetulan keluar berniat mengambil sesuatu di bawah, terkejut melihat Zoya sudah ada di depan manekin.

"Eh tan, maaf, kalau Zo lancang." Tersenyum canggung merasa sudah tertangkap basah.

"Sudah, tidak perlu sungkan. Anggap saja milik sendiri. Masuk yuk, sebentar lagi Danu juga pasti datang." Senyum di bibir Zoya seketika memudar.

Pria itu?

'Ya Tuhan, bagaimana ini? aku belum siap bertemu lagi dengannya, huaaaa .. ternyata aku sudah memasuki kandang singa!' jeritnya dalam hati.

Semalam memang ia sudah menyiapkan mental, dan yakin itu mental baja yang tidak mudah meleleh saat diharuskan bertemu Danu lagi. Tapi nyatanya, baru mendengar nama pria itu saja, nyalinya sudah seperti kerupuk tersiram kuah bakso.

'Tenang Zo, kamu tidak sendiri, jangan terlalu takut. Ingat, disini ada pawangnya, dia tidak mungkin akan langsung menerkammu,' batinnya meringis. Mengingat bagaimana marahnya pria itu sebelum pergi meninggalkan kafe kemarin.

Sibuk menenangkan diri—Zoya terperanjat mendengar Liza kembali memanggilnya.

"Sayang, ayo masuk, kok masih disitu."

"I-iya tan.." Semakin gugup, Zoya mengepalkan tangan ke depan sambil menghela nafas kasar, lalu berseru lirih, "Semangat!"

"Ayo masuk sayang, jangan sungkat. Inilah ruangan ibu. Kamu silahkan duduk dulu ya, ibu tinggal sebentar. Ada yang perlu ibu sampaikan pada anak-anak di bawah." Tanpa berpikir curiga sedikitpun, Zoya langsung mengangguk patuh begitu melewati pintu, dan tidak lama pintu ditutup dari luar.

Sambil mengamati setiap sudut ruang itu, Zoya berjalan pelan menuju sofa berukuran panjang dan duduk.

"Rapi. Pasti tante Liza orangnya teliti atau mungkin saja perfeksionis," gumamnya dengan pandangan kembali merotasi. Sampai akhirnya menemukan satu benda yang membuat rasa ingin tahunya tergugah. Demi memastikan benda itu, ia pun bergegas mendekatinya.

"Lucu sekali bocah ini, tampan." Tangan kanannya terulur mengangkat pigura kecil yang berada di atas meja kerja Liza. Seketika sudut bibir Zoya terangkat melihat foto balita laki-laki yang tengkurap di atas ranjang. "Pipinya bulat, mirip bakpao," kekehnya gemas.

Setelah puas, Zoya meletakkan kembali figuran itu pada tempatnya. Kini pandangannya beralih pada kaca yang membentang tinggi di depannya, tepatnya berada di belakang meja kerja Liza.

Ia pun segera melangkah lebar—begitu berdiri di depan dinding kaca itu, lagi-lagi Zoya terperangah melihat pemandangan yang ada di bawah sana. "Wah! ternyata ada taman. Kapan-kapan aku akan mengajak Vina dan Melly kesana, pasti mereka senang."

"Bu …"

DEG!!

Tiba-tiba Zoya menegang. Suara itu?

Menyadari siapa pemilik suara yang ada di belakangnya, mata Zoya terpejam, bersamaan dengan jantungnya yang ikut berhenti sedetik. Sebelum akhirnya berpacu kencang hingga nyaris melompat dari tempatnya. Tidak hanya itu, Zoya juga merasa kedua kakinya tertanam di lantai granit. Nafasnya semakin tersendat. Hanya butuh hitungan mundur dari sekarang, berpikir tubuhnya akan segera di lahap singa lapar.

"Siapa kamu!"

Sementara Danu memicingkan mata setelah menutup pintu, mendapati wanita asing di ruangan ibunya, tanpa ada di rmbunya ruangan.

Hening

Tidak ada jawaban, Danu melangkah perlahan.

Semantara Zoya, dirundung kecemasan luar biasa mendengar derap sepatu Danu semakin mendekat. Ingin rasanya melesat keluar melewati dinding kaca. Namun, selaras dengan keraguannya mampu menghancurkan kaca tersebut, atau mungkin dirinya hanya akan terpental ke belakang jika memaksakan diri.

"Maaf, dimana Ibu saya? apakah anda sudah bertemu beliau sebelumnya." Kini Danu sudah berada dua meter di belakang Zoya.

Merasa tidak punya pilihan lain, akhirnya Zoya memutuskan membalik badan, dan ..

"Kamu!" pekik Danu.

"Hehe .. hai om, ki—"

"---ngapain kamu disini!" ketusnya galak, membuat Zoya seketika menelan kasar salivanya. Tapi bukan Zoya namanya jika tidak bisa mengendalikan diri dengan cepat.

"Santai om, jangan tegang dulu dong, belum saatnya, ups. Maksudku, jangan emosi dulu. Duduk yuk, nanti aku jelasin kenapa bisa ada disini." Meski bibirnya bergetar, Zoya berusaha tidak menunjukkan ketakutannya di depan Danu, yang sudah jelas siap menerkam dirinya dalam arti yang sebenarnya. "Ck, gak percaya amat sih. Aku juga kesini karena undangan tante Liza tau!"

Dan benar saja, begitu menyebut nama ibunya, sebelah alis Danu terangkat—dengan tatapan yang belum bersahabat pria itu memilih duduk di sofa tunggal.

Merasa usahanya berhasil—Zoya bergegas ikut duduk di sofa panjang mengambil jarak sejauh mungkin. Tepatnya posisi yang paling dekat dengan pintu. Tetap waspada jika sewaktu-waktu terdesak ia bisa dengan cepat menyelamatkan diri.

Namun ternyata, terjadi keheningan begitu mereka duduk. Zoya sesekali melirik ragu Danu yang terus menatapnya seolah bagian tubuh mana dulu yang akan pria itu koyak—memikirkan itu Zoya bergidik ngeri.

'Sialan. Biar penampilannya aneh, tapi dia punya aura mengintimidasi. Ck, tante Liza kemana sih lama amat perginya.' Zoya mulai gelisah, ternyata berada di ruangan hanya berdua dengan Danu, lebih menakutkan dari yang pernah ia bayangkan.

'Undangan? ibu sengaja ngundangnya? apa jangan-jangan gadis ini yang ibu bicarakan semalam?'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status