Langit malam mulai menyapa, seperti malam-malam sebelumnya Devit tetap mengajar mengaji anak-anak tetangganya. Salsa datang dengan menunduk.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaykumusalam. Eh ada anak Papa. Sini masuk, Cha." Devit menyambut tangan Salsa yang hendak salim. Salsa tersenyum lucu.
"Bunda mana, Cha?" tanya Devit sambil berbisik, saat Salsa telah duduk di pangkuannya.
"Bunda di kamal, mata Mama sakit."
"Oh ya, sakit kenapa?" tanya Devit cukup kaget.
"Mata Bunda besal dan melah," ucap Salsa lagi, sambil membolak balik halaman iqro'nya.
"Caca baca halaman belapa cih, Caca lupa telus, sepelti nenek, titun!" celoteh Salsa.
"Pikun Sayang, bukan titun." Devit membetulkan ucapan Salsa sambil mengulum senyum.
"Caca lucu ih kayak Bunda." Devit mencubit gemas pipi Salsa.
Salsa mulai membaca halaman enam pada iqro'nya. Saat itu, satu persatu murid yang lain mulai berdatangan. Acara pengajian dibuka Devit dengan
Juwi hari ini pergi ke pasar tradisional, membeli beberapa bahan makanan untuk sepekan ke depan. Sambil sesekali melihat-lihat perabotan baru, untuk mengisi rumahnya bersama Devit.Rumah yang sedang direnovasi dua hari lagi selesai dan Devit meminta Juwi untuk mulai hunting barang-barang kebutuhan rumah tangga. Seperti hari ini Juwi mampir ke toko gorden, melihat-lihat motif, bahan dan harganya. Juwi sangat gembira, karena Devit mempercayakan isi rumah dengan selera Juwi, Juwi mengulum senyum saat mengingat percakapan mereka tadi malam.Flashback"Tukang rumah telpon Abang tadi, De. Katanya rumah kita sudah rapi dua hari lagi," ucap Devit saat malam ini mereka tengah duduk di ruang depan kontrakan Devit, sambil menyantap jagung rebus."Alhamdulillah, trus Bang. Kita nanti pindah ke sana?""Iyalah sayang, masa Abang di sana kamu di sini, siapa yang Abang peluk kalau malam?" Devit menatap Juwi sayang.Juwi terkekeh. "Kasian ibu tin
Sarah masuk ke dalam rumahnya sambil bersungut dan menghentak-hentakkan kedua kakinya. Setelah mengantar Mamanya pulang, lalu Sarah pulang ke rumah suaminya. Jono memperhatikan sikap Sarah yang belakangan ini menjadi sangat pemarah. Sangat jutek dan selalu mengesalkan dirinya. Sarah masuk ke dalam kamar dengan membanting pintu kamar, tepat disaat Jono akan masuk.Dugh!Kepala Jono terbentur pintu yang terbuat dari kayu jati tersebut. Jono meringis mengusap keningnya yang sepertinya benjol."Harusnya kamu gak perlu ikut campur urusanku!" ucap Sarah sengit pada Jono yang tengah melepas baju kerjanya. Hari ini ia sangat lelah, di kampus, di kantor dan sekarang di rumah."Aku suamimu, apa kamu lupa?" sahut Jono tegas."Saya tidak menyangka sudah menikahi wanita lebay seperti kamu," lanjut Jono lagi sambil masuk ke dalam kamar mandi, Sarah yang kesal dengan ucapan Jono, melemparkan sendal kamarnya ke arah pintu kamar mandi yang tertutup.&nbs
Bu Nurmala membuang pandangannya, keluar dari warung dengan tubuh sedikit gemetar. Pria paruh baya itu masih menatapnya dengan penuh kerinduan. Kemudian lelaki paruh baya itu memutar tubuhnya untuk menyusul Bu Nurmala yang hendak masuk ke dalam rumah. Secepat kilat Bu Nurmala menutup pintu rumahnya lalu menguncinya. Bu Nurmala mengusap peluhnya yang bercucuran."Nur, buka pintunya!" ucap pria tersebut sambil menggedor kencang. Bu Nurmala bergeming, berjalan ke meja makan, menuangkan air ke dalam gelas, mencoba menetralisir rasa gugup dan takut yang bersamaan. Tandas air satu gelas menyusuri tenggorokannya. Namun tetap saja dadanya masih berdebar.Tok..tok..tok..Sang pria masih menggedor pintunya, malah semakin kencang."Pergi! Saya tidak ada urusan denganmu!" teriak Bu Nurmala dari dalam rumahnya."Kalau kamu tidak buka, saya akan buat keributan di sini!" ancam sang pria tidak mau kalah, satu persatu tetangga yang melewati rumah Juwi, menata
"Nur, sendal," bisik Pak Aryo saat mereka tengah diperhatikan beberapa warga yang keheranan."Bodo! Nyeker aja sana!" sahut Bu Nurmala, merasa sangat kesal dengan mantan suaminya ini. Pak Aryo melebarkan senyumnya, pada tetangga yang melewatinya. Lelaki matang, berusia lima puluh empat tahun, dengan memakai kemeja biru dan celana jeans biru tua, berjalan tanpa alas kaki siang bolong, menuju rumah Bu RT. Di depannya sudah berjalan Bu Nurmala dengan wajah ditekuk. Lelaki itu sedikit berjingkat, menahan panas aspal jalan, serta meringis perih karena tidak memakai alas kaki."Jadi seperti itu ceritanya. Baiklah, tapi menurut saya, Bapak harus menikahi Ibu Nur kembali. Karena pernikahan Bapak dan Ibu terjadi sudah belasan tahun yang lalu. Bahkan Bu Nur telah menikah lagi, dengan almarhum Bapak Ahmad Maulana." Pak RT memutuskan, setelah mendengar cerita keduanya."Alhamdulillah, kalau bisa saya maunya sekarang, Pak," sahut Pak Aryo dengan tampang tak ber
Ibu Dewi sudah beberapa kali melakukan panggilan ke telepon suaminya. Namun tidak pernah tersambung. Wajahnya cemas dan dadanya sedikit berdebar. Ke mana suaminya? sudah tiga hari keluar kota tanpa bisa dihubungi. Tidak maksud hatinya untuk curiga yang bukan-bukan, hanya saja ia takut suaminya kecelakaan atau terluka. Sarah tengah memainkan ponselnya, membalas pesan Jono yang menanyakan dia sekarang ada dimana?."Suami sok perhatian," gumam Sarah, dengan enggan membalas pesan suaminya. Sarah melihat mama yang sedari tadi gelisah, bolak balik sambil memegang ponsel."Ada apa sih, Ma? Mondar-mandir terus.""Papa kamu tidak bisa dihubungi, Sar," ucap Bu Dewi dengan nada khawatir. Kini meletakkan punggungnya bersandar di sofa, tepat di sebelah Sarah."Dari kapan tidak bisa dihubunginya?""Sejak papa kamu berangkat, cuma menelepon sekali setelah itu tidak tersambung. ""Mama yakin Papa ga punya rahasia?"Bu Dewi menggelen
Bu Nurmala memandang kartu tipis pemberian suaminya tadi sore, sehabis taraweh di rumah yang dipimpin oleh Devit. Juwi dan Devit sudah kembali ke kontrakannya, rencana pindah ke rumah Devit yang baru selesai renovasi pun diundur, mengingat masih dalam suasana puasa, Devit dan Juwi memutuskan mereka akan pindah rumah, setelah lebaran saja.Hitung -hitung sekalian menemani Bu Nurmala agar tidak terlalu kesepian."Nenek, Caca bobo sama Nenek boleh ga?" suara Salsa di depan pintu kamar Bu Nurmala, gadis kecil itu tersenyum sambil memeluk bonek beruang besarnya. Bu Nurmala ikut tersenyum."Boleh, sini, temani Nenek." Bu Nurmala mengajak Salsa masuk ke kamarnya."Bunda mana?" tanya Bu Nurmala."Bunda sama papa lagi mau distusi.""Distusi apa sih, Nek?" wajah lucu Salsa sangat menggemaskan."Oh, Bunda sama papa Devit sedang membicarakan sesuatu yang penting, anak kecil seperti Salsa tidak mengerti. Jadi Salsa di rumah saja sama Nenek ya," te
Alarm itu berbunyi dua kali, namun sepasang anak manusia yang tengah tidur berpelukan itu, seakan enggan untuk bangun. Keduanya sangat terlelap setelah melakukan perjalanan cukup panjang di atas ranjang."Juwi ... bangun!" suara Bu Nur membangunkan Juwi dan Devit. Mengetuk pintunya beberapa kali. Namun masih tidak ada sahutan."Juwi, Devit, sahur!"Kali ini Bu Nur menggedornya dengan cukup kencang."Huh, dasar! Diskusi apaan sampai susah bangun sahur gini?" gerutu Bu Nur masih terus menggedor kontrakan Devit.CeklekJuwi menggosokkan kedua matanya sambil menguap."Ada apa, Bu? Malam-malam berisik," tanya Juwi masih setengah sadar."Sahur Neng, udah jam empat, ini mau shubuh!" Bu Nur memutar bola mata malasnya."Astaghfirulloh, sahur ya Bu? Ya Allah, Juwi lupa." Juwi menepuk jidatnya. Kenapa ia bisa lupa kalau sekarang bulan puasa?.Bu Nur menggeleng-gelengkan kepalanya."Cepat, nanti lauknya keburu di
"Papa sendalnya mana?" tanya Bu Dewi dengan alis bertaut. Merasa sangat aneh saat melihat suaminya turun dari mobil sambil nyeker. Pak Aryo hanya menyeringai saat mendengar pertanyaan istrinya."Ini, tadi Papa numpang sholat ashar, eh pas selesai, Papa lihat sendalnya tinggal sebelah," sahut Pak Aryo sambil berjalan ke arah kran air untuk mencuci kakinya sebelum masuk ke dalam rumah."Buka puasa apa kita hari ini, Ma?""Ada kolak pisang, mie goreng sama es timun serut," sahut Bu Dewi sambil tersenyum pada suaminya."Oh, oke. Papa mandi dulu." Pak Aryo masuk ke dalam kamarnya."Eh, iya ini." Pak Aryo mengeluarkan bungkusan plastik bening, berisi risol, tahu, dan lontong isi."Papa beli di mana?" tanya Bu Dewi sambil menerima bungkusan tersebut dan melihat isinya."Tadi pas setelah sholat ashar, Papa lihat kayaknya enak, ya udah Papa minta bungkusin," terang Pak Aryo sembari menutup pintu kamarnya.****"Ibu, Papa ma