Share

4. Sikap Manis Adi

Penulis: Nana Rose
last update Terakhir Diperbarui: 2023-02-21 12:57:18

Adi terkejut membalikkan badan dan tidak sengaja ponsel terlepas dari tangan. Jatuh ke atas lantai dengan posisi layar menghadap ke atas. Rani melirik sedikit tulisan di layar ponsel Adi.

Dalam beberapa detik ponsel sudah tersimpan rapi dan aman di saku celana Adi. Wajah Adi sangat panik dan merah merona. Rani mengerutkan alis dengan pandangan yang tak lepas dari ponsel Adi.

"Mas, telepon dari siapa?" Rani kembali bertanya.

Adi mengusap keringat di dahi diiringi bola mata yang tidak berhenti berputar ke kanan dan kiri. Sibuk memikirkan alasan yang masuk akal.

Rani masih terdiam menunggu jawaban yang paling masuk akal. Tangan dilipat tepat di depan dada. Memasang wajah datar dan lugu khas Rani.

"Mas, kenapa gugup? Ponsel juga sampai jatuh." Rani masih tanpa ekspresi.

"Sayang, aku kaget sekali! Aku lagi serius ngobrol sama klien. Kamu tiba-tiba menepuk pundak ku. Wajar kalau aku sangat kaget karena yang aku tahu gak ada siapa-siapa di belakang ku." Adi menjelaskan panjang lebar dengan satu tarikan napas.

Rani mengangguk perlahan berusaha menerima semua penjelasan Adi. Meskipun berat sekali merasakan perih karena lelah dibohongi.

Adi merangkul Rani kembali menuju ke meja makan. Langkah Rani seperti tidak menapak di atas lantai. Berjalan lemas dan sama sekali tidak bertenaga. Sedikit melirik ke samping lalu kembali menghadap depan. Seluruh tubuh seperti mati rasa tidak bisa merasakan sentuhan Adi.

"Sayang, kamu mau hadiah?" Adi menawarkan banyak pilihan foto perhiasan di galeri ponsel.

Rani salah fokus dengan banyak foto perhiasan yang tersimpan di galeri ponsel milik Adi. Dahi berkerut menjadi bertanya-tanya kenapa banyak sekali foto perhiasan di ponsel sang suami.

"Lihat ini, Sayang! Ini cuma 50 juta. Oh, yang ini cantik sekali cuma 70 juta. Kamu mau yang mana?"  Pandangan Adi berpindah ke wajah ayu Rani.

"Mas, ini mahal sekali! Aku tidak mau kalau beli barang yang terlalu mahal." Rani menjauhkan ponsel Adi dari atas meja.

"Sayang, ini gak seberapa buat aku. Kamu mau yang mana? Besok pagi perhiasan ini sudah ada di meja rias mu," ujar Adi seraya tersenyum.

"Ya Allah, banyak sekali uang yang dimiliki suami ku. Aku tidak heran banyak wanita yang mendekati Mas Adi. Tetapi, aku baru menikah beberapa hari dan menemukan kenyataan yang pahit. Jangan-jangan banyak wanita yang dibelikan perhiasan mahal seperti ini," batin Rani sangat kecewa.

"Kalau tidak mau perhiasan lalu kamu mau apa, istri ku? Berlibur? Atau baju mahal? Rumah? Apa yang kamu minta, Sayang?" Adi mengelus tangan halus Rani.

Netra Rani menutup perlahan dengan helaan napas berat. Adi semakin bingung melihat gelagat Rani. Namun, berulang kali berusaha ditepis.

"Mas, aku hanya minta satu hal saja dari kamu. Apa kamu bisa menuruti permintaanku?" lirih Rani sambil menunduk.

"Pasti bisa! Apa saja yang kamu minta pasti aku belikan," ujar Adi yakin penuh percaya diri.

Rani menoleh ke arah wajah suami. Menatap muka tampan Adi dengan perasaan sakit. Netra Adi berkaca-kaca melihat Rani menitikkan air mata.

"Permintaanku sangat mahal. Bahkan, bisa lebih mahal dari semua perhiasan yang bisa kamu beli. Aku tidak yakin kamu bisa menuruti permintaan ku," ujar Rani seraya membuang muka.

"Jangan khawatir, Rani! Apa yang kamu minta?" Adi masih sangat yakin.

"Aku hanya minta kesetiaan dari kamu, Mas." Air mata Rani kembali terjun deras di wajah.

Adi sangat kaget mendengar permintaan Rani. Seharusnya sebagai seorang suami tidak perlu memasang muka terkejut dan panik. Sebab sudah sepantasnya suami harus selalu setia menjalankan amanah untuk menjaga kepercayaan istri.

"Kenapa? Kamu tidak bisa? Kenapa kamu tidak menjawab, Mas?" Rani sedikit memberi penekanan.

Adi mendekati istri tercinta sambil memeluk erat tubuh kecil nan ramping itu. Rani kaget menerima perlakuan manis dari Adi.

"Aku Mencintai mu lebih dari apapun, Kirani Adriani!" Adi berbisik ke telinga istri tercinta.

"Jangan kau kira aku akan mudah tertipu dengan mulut manis mu, Mas Adi," batin Rani menahan perih.

Adi melepas pelukan sambil mengusap air mata Rani. Melempar senyuman manis ke arah bidadari hatinya. Rani sedikit tersenyum agar Adi tidak menaruh curiga.

"Rani, aku akan setia sama kamu. Seumur hidup ku hanya untuk mu. Bahkan, nyawa ku akan ku pertaruhkan untuk istri ku satu-satu nya," ucap Adi seraya menepuk dada agak kencang.

"Iya, aku percaya sama kamu." Rani mengangguk sambil meneguk air hangat di gelas bening.

Adi ikut meneguk air dengan gelisah. Terdengar suara keras saat menelan air putih. Jantung Adi berdebar kencang dan napas susah diatur.

"Sayang, aku keluar sebentar, ya! Aku mau beli sesuatu buat kamu," ujar Adi seraya berdiri cepat.

Adi mengecup kening Rani lalu berlalu meninggalkan istri tercinta sendiri di meja makan. Hanya anggukan lemas yang Rani tunjukkan. Tak lama kemudian terdengar suara pintu pagar tertutup kencang.

Rani berlari ke dekat jendela ruang tamu. Air mata menetes deras sambil memukul kaca jendela berulang kali hingga tangan terasa sakit.

"Mas, kamu ke mana? Apa kamu sedang bertemu dengan perempuan lain di luar sana?" Rani menutup wajah. Terdengar suara tangisan yang sangat menyayat hati.

Rani terkulai lemas di balik pintu yang menjadi saksi kepedihan nya. Sekilas pintu yang terlihat sangat mahal dan mewah bisa turut merasakan perasaan Rani saat itu. Memejamkan mata sejenak menenangkan pikiran dan hati yang remuk redam.

Selang 30 menit terdengar suara mobil masuk ke dalam halaman rumah. Rani bergegas berdiri lalu berlari ke dalam kamar. Bersandar pada sebuah bantal di belakang punggung nya. Mengatur napas sembari sibuk mengusap air mata.

Adi masuk kedalam kamar dihiasi senyum lebar di wajah nya. Rani masih sibuk melihat layar ponsel dan berpura-pura tidak melihat kedatangan suami.

"Sayang, aku bawa sesuatu. Aku sangat yakin kalau kamu pasti sangat suka." Adi melirik wajah Rani yang masih menunduk.

"Apa itu, Mas?" Rani menyimpan ponsel di bawah bantal.

Adi memberikan buket bunga mawar yang cantik dan sekotak cokelat berbentuk hati. Rani terdiam sejenak lalu dalam sekejap bunga dan cokelat sudah berpindah tangan.

"Kamu suka?"

"Iya, Mas. Terima kasih ya, Mas? Lain kali tidak perlu seperti ini," ujar Rani menahan malu.

"Alhamdulillah, kalau kamu suka. Aku sekalian izin sama kamu, ya? Aku harus lembur di ruang kerja. Banyak kerjaan yang belum selesai. Kamu tidur duluan saja ya, Sayang," kata Adi seraya mencium kening Rani.

"Iya, kalau sudah selesai masuk saja ke dalam kamar. Pintu tidak dikunci dan jangan terlalu malam kerja nya," ujar Rani penuh nasihat ke suami yang baru dinikahi belum ada tiga hari.

Adi menutup pintu perlahan seraya tangan kiri sibuk mengetik tulisan di ponsel. Rani memandang arah pintu hingga bayangan suami nya menghilang.

Rani menghela napas panjang lalu membuang muka. Memijit kepala yang terasa mau pecah. Bunga dan cokelat dilempar ke atas meja. Menutup seluruh tubuh dengan selimut.

"Jam berapa ini?" Pandangan Rani tepat ke jam dinding cukup besar di depan mata.

"Oh, sudah jam 1 pagi. Mas Adi, masih kerja?" Rani menoleh ke samping. Tidak ada bekas atau tanda Adi di sebelah nya.

"Ya Allah, aku sungguh sangat berdosa sebagai seorang istri. Setiap detik selalu merasa curiga ke suami. Apa Mas Adi lagi telponan sama wanita lain? Siapa perempuan itu? Tega sekali berbuat hal kotor di belakang ku," lirih Rani duduk termenung duduk di sudut ranjang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kerah Baju Bernoda Merah   60. Jarang Pulang

    Tidak lama guyuran air hujan turun perlahan. Rani masih betah duduk di tengah terpaan air dingin. Meratapi semua luka dan kepedihan yang tertahan sangat lama.Hanya berharap suami bisa kembali dan rumah tangganya baik-baik saja. Tapi apa? Kenyataannya nihil dan tidak berbuah apapun."Ya Allah, apa tidak bisa rumah tanggaku seperti dulu lagi?" Teriaknya di bawah air hujan yang semakin dingin.Berselang cukup lama memilih masuk ke dalam rumah. Berjalan tertatih merasa sangat hampa dan kosong. "Benar kalau Mas Adi tidak akan pulang lagi. Ini sudah hampir pagi. Sampai kapan aku kuat?"Rani bolak balik dari ruang tamu ke teras depan. Saat galau memikirkan suami yang diharapkan berubah, tapi sia-sia.***Ruangan tidur terlihat sepi dan sunyi. Padahal sinar mentari sudah menembus jendela kamar. Rani masih terlelap di antara bantal dan selimut tebal putih. Nampak wajah letih dan sangat pucat.Namun, tidak ada sosok Adi yang ada di sampingnya. Kosong dan tanpa siapapun di sana. Rani duduk pel

  • Kerah Baju Bernoda Merah   59. Kenapa Berubah Lagi?

    Rani terpaku diam hanya bisa menahan air mata yang sudah mulai memenuhi mata indahnya. Sama sekali tidak membalas pelukan yang detik itu terjadi."Rani?""Ya Allah, apa maksud Mas Adi melakukan semua ini? Apa mungkin suamiku sudah putus dari pacarnya?""Ran, kok diam?" Adi sedikit mengguncang tubuh mungil itu."A-aku gak papa kok, Mas. Kaget aja kamu tiba-tiba meluk aku."Adi tersenyum lalu menurunkan tangan perlahan. Menatap indah wajah istri di depannya. Lalu membalikkan badan melihat penampakan foto pernikahan di dinding kamar. "Kita bahagia ya, Ran?"Rani masih terhanyut dalam kebimbangan dan rasa bingung yang menumpuk di dada saat itu. Kurang memerhatikan omongan suami.Sementara itu Dika masih kaget seraya memegang dada yang berdebar sangat cepat. Berulang kali menyeka keringat dingin yang terus membasahi wajah gantengnya."R-rani, pelukan sama suaminya. Kenapa bisa terjadi?" Dika mencoba mengatur napas dan berpikir lebih jernih lagi. Dahi berkerut dengan irama napas yang memb

  • Kerah Baju Bernoda Merah   58. Sebuah Pelukan

    "Dika, please! Kamu kenapa sih, Dik? Kenapa kamu lihatin aku terus?" Batin Rani sama sekali tidak berkedip.Dika dan Rani terhanyut dalam suasana yang hening dan dada kompak berdebar sangat kencang. Entah apa yang terjadi di antara mereka berdua. Rani sama sekali tidak menyadari dengan status istri detik itu."Rani, aku...aku..."Rani refleks berdehem lumayan kencang lalu menunduk merasa salah tingkah sekali. Sesekali melirik Dika yang lebih dulu memalingkan muka."Dik, a-aku mau pulang sekarang. Bisa antar sekarang atau kamu masih mau di sini?" Rani menoleh ke Dika lalu kembali menunduk."Oh, i-iya. Aku habiskan minumanku dulu terus baru aku antar pulang."Cukup berselang lama mereka hanya diam tanpa berkata atau mengobrol. Pandangan mereka lurus ke depan dan sangat canggung. Padahal kedua sahabat itu biasa bercanda dan ngobrol hingga lupa waktu."Ya Allah, kenapa jadi canggung kayak gini? Dika, juga dari tadi diam." Rani sedikit melirik lalu lihat ke depan lagi."Ran, kita pulang se

  • Kerah Baju Bernoda Merah   57. Masih Bertahan

    Tatapan Adi semakin tajam melihat tingkah Citra yang aneh dan senyum sendiri. Tidak butuh waktu lama merebut ponsel yang ada di dalam tas."Mas, apa-apaan sih kamu! Lihat ini! Semua jadi jatuh berantakan kayak gini!"Pandangan Adi kaget melihat semua barang di dalam tas jatuh tersebar di atas lantai. Citra jongkok perlahan mengambil satu per satu sedikit kasar.Tangan kanan gesit meraih ponsel lalu dimasukkan ke dalam tas. Lalu berganti dengan barang yang lain. Nampak sekali wajah sangat kesal dengan bibir mengerucut sempurna."Mas, kamu kenapa kasar sekali! Semua sampai jatuh kayak gini!""Kamu pikir aku akan minta maaf?"Citra menoleh kesal ke belakang. Bibir bergetar menahan amarah yang sudah memuncak. Adi masih santai memalingkan wajah."Bos, permisi! Saya besok gak masuk kerja! Malas lihat tampang membosankan Anda!" Citra sengaja membenturkan pundak kiri ke pundak kanan bosnya.Adi menarik tangan Citra hingga tersentak ke belakang. Pandangan sama sekali belum pernah dirasakan Cit

  • Kerah Baju Bernoda Merah   56. Masa Pendekatan

    Adi tidak cepat menjawab pertanyaan Citra. Masih diam dengan pikiran yang terlempar ke masa lalu. Dahi berkerut sedikit lelah merasa hampir putus asa."Mas, aku 'kan tanya. Jawab donk!" Citra melipat tangan di depan dada."I-iya, Sayang. Udah ya, semua itu gak penting lagi. Karena mulai sekarang hanya ada kita.""Kamu ini amnesia atau gimana? Istrimu mau ditaruh di mana? Kamu cerai aja gak mau pakai bilang hanya ada kita!" Nada bicara Citra meninggi.Adi mau tidak mau kembali teringat ke masa lalu yang terpaksa harus diingat kembali. Di tengah lamunan Adi ada wanita yang nampak manyun dan sangat kesal.Flashback..."Rani, kamu mau cokelat atau sesuatu yang segar?""Em, gak usah. Aku bisa beli sendiri."Suasana taman sore hari itu cukup ramai. Udara sejuk dan terpaan sinar mentari senja yang menghangatkan badan. Terlihat dua manusia yang sekilas seperti orang yang tidak saling mengenal."Susah sekali mengambil hatimu, Ran. Aku harus gimana lagi?" Batin Adi yang bersandar pada pohon sam

  • Kerah Baju Bernoda Merah   55. Mulut Manis Citra

    Citra hanya bisa menghindar dengan wajah kesal. Berdiri seolah menantang Adi tanpa ada rasa takut. Adi terdiam bengong melihat sikap acuh yang ditunjukkan wanita yang ia cintai.Suasana menjadi asing dan sedikit mencekam saat Citra perlahan melepas cincin. Tatapan Adi menjadi melebar dan tidak percaya semua yang dilihat siang itu."Citra? Mau apa kamu? A-aku gak mau kehilangan kamu, Sayang. Aku mohon p-pakai lagi cincin itu!" Adi berusaha mendekati wanita seksi di depannya.Perkataan Adi seakan hanya menjadi angin lalu saja. Cincin jatuh perlahan ke atas lantai. Netra menutup perlahan seraya membuang muka."Semua sudah selesai!" Citra mundur selangkah lalu membalikkan badan penuh tatapan kecewa."Enggak! Citra! Tunggu! Kamu gak bisa kayak gini! A-aku gak bisa hidup tanpa kamu!" Adi memeluk tubuh mungil dan berisi itu dari belakang.Hati tidak bisa dibohongi. Rasa tidak bisa dipaksakan. Munafik jika tidak merasakan sakit hati. Pria yang diharapkan bisa menjadi suaminya sudah menanam be

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status