Satu orang prajurit lain datang, menendang temannya sendiri yang baru dibunuh Mergo. Hal itu membuat Mergo terpaksa melepaskan pedangnya. Dia sedikit panik namun akhirnya memungut pedang lain yang tergeletak di tanah.
Tentu pedang itu tak sebagus pedang hitam damaskus kesayangannya. Namun dia tak punya banyak pilihan. Dia mulai nekat, tak lagi berpikir untuk menghemat staminanya. Itupun membuat sebagian prajurit mulai ragu mendekatinya.
“Apa yang kalian takutkan?” bentak Adipati Labdajaya.
“Itu hanya gertakan anjing yang terjepit. Dia pasti sudah kelelahan.”“Cepat bunuh dia!” perintahnya.Mendengar penjelasan Adipati Labdajaya itu, justru membuat para prajurit itu semakin enggan mendekati Mergo. Pikir mereka, jika memang Mergo sudah kelelahan, biarlah prajurit lain saja yang mengambil resiko untuk menyudutkannya.
Anehnya, hampir semua prajurit itu memikirk
Dia masih tak bisa mengabaikan apa yang sudah didengarkannya. Setiap kali dia teringat kata-kata Mergo itu, suara itu kembali menghasutnya untuk segera membunuh Mergo. Sementara itu Mergo semakin panik mengkhawatirkan Rangkahasa yang masih saja tak merespon panggilannya. “Rangkahasa!” teriak Mergo begitu keras, bahkan nampak mulai marah tak bisa menahan kesabarannya.“Sial, sepertinya dia benar-benar tak mendengarkanku,” gumamnya semakin panik, sementara para prajurit itu masih menyibukkannya. Sabdo mulai menyadari keanehan itu, dan tahu hal itu cukup mengganggu ketenangan Mergo. Diapun mengalihkan targetnya ke Rangkahasa, berjalan pelan ke arahnya sembari menyeringai ke arah Mergo. “Hey, Sabdo!” teriak Mergo nampak marah, mulai khawatir dengan apa yang hendak diperbuat oleh Sabdo pada Rangkahasa. Namun keti
Di sebuah curug yang cukup tersembunyi, terdapat sebuah gua kecil yang tertutup oleh derasnya air terjun. Yasa bersama beberapa temannya sudah sampai di tempat persembunyian itu, berdiam diri di sana menunggu kedatangan sahabat yang lainnya. Satu persatu dari mereka datang. Tak seorangpun yang berkata apa-apa. Ini momen paling tragis yang pernah dialami oleh kelompok itu bahkan sejak mereka masih berprofesi sebagai perampok gunung. Seiring waktu, mereka semakin tak bisa mengendalikan diri. Sudah cukup lama tak ada lagi teman mereka yang datang. Hanya ada 9 orang di sana dibandingkan jumlah awal mereka yang hampir mencapai 30 orang. "Bagaimana ini Yasa? Apa kita kembali?" tanya seorang rekannya bernama Lindo Aji. Mereka berdua, bersama Yodha yang berbadan besar, adalah orang yang paling lama bersama Mergo. Empat orang sekawan ini yang dulu menjadi cikal bakal Pera
Setelah itu dia menoleh ke belakang, ke arah satu orang lagi anggota baru itu. Tentu saja itu membuat pemuda itu langsung ketakutan. Yodha pun berbalik ke arahnya, namun ekspresi wajah Yodha masih sangat sulit untuk dibaca. Selama ini dia selalu nampak tenang, entah itu saat bercanda, senang ataupun sedang marah. Pemuda itu benar-benar tak bisa menebak apa yang sedang dipikirkannya. Namun itu justru yang membuat pemuda itu sangat ketakutan, karena satu orang baru saja mati dengan mudahnya. Yodha pun mulai melangkah ke arah pemuda tersebut. "Aku juga penasaran apakah darahmu biru juga," ujarnya sembari berjalan menghampirinya. Pemuda itu mengesot di lantai, mendorong-dorong bokongnya dengan kedua kaki yang sama gemetarannya dengan mulut dan tangannya. Dalam keadaan gemetaran itu, dia mengangkat tangannya ke arah Yodha
Sabdo yang baru pulih dari pingsannya, membuka matanya dengan pandangan yang masih kabur. Dengan tubuh yang masih tergeletak di atas tanah, dia sedikit menegakkan kepalanya melihat keadaan di sekelilingnya.Mayat bergelimpangan ke mana pun dia mengarahkan pandangannya. Tak ada seorangpun yang masih berdiri, kecuali seorang pemuda di depan kuda yang ditunggangi panglimanya.Tiba-tiba, tubuh sang panglima mulai rebah ke arah kanannya, membuat kuda yang ditungganginya kaget dan panik.Teriakan kuda itu menyadarkan Rangkahasa. Dia tersungkur dan menghempaskan pinggulnya di tanah karena kaget oleh kuda yang meringkih keras sembari mengangkat-angkat kakinya.“Apa yang terjadi?” gumamnya dalam hati, nampak sangat kaget dan ketakutan.Sialnya, salah satu kaki Adipati Labdajaya masih tersangkut di pijakan kaki pelana kuda. Tak ayal, tubuh tak berkep
Meski sore belum lama berlalu, namun kondisi hutan di lereng gunung Jompang sudah sangat gelap. Pohon-pohon berkanopi yang lebat itu membuat kawasan hutan yang lebat itu menjadi sangat basah dan dingin.Rangkahasa tengah belari sendirian sembari memegang satu pedang hitam yang masih basah berlumuran darah. Sudah cukup lama dia melarikan diri dari markas Panji Keris Bertuah. Namun anehnya darah yang melumuri pedang itu belum juga mengering.“Pergi! Pergi!!!” teriaknya, sembari terus menebaskan pedang itu berkali-kali.Pedang itu basah bukan oleh darah dari kepala Adipati Labdajaya yang sudah dipenggalnya. Akan tetapi, pedang itu basah berlumuran darah dan daging berlendir dari dedemit hutan yang dibantainya.Saat ini dia masih harus menyelamatkan dirinya dari kejaran para dedemit yang sudah mulai bermunculan.Seiring hari semakin malam, sema
Dua tentakel itu lansung melilit kedua kaki Rangkasa, menariknya dan membuat dirinya langsung tersungkur. Sebuah capit tajam nampak bergerak-gerak di bagian ujung tubuh kelabang raksasa tersebut. Sementara itu, tentakel tersebut terus menyeret Rangkahasa ke arah capit tersebut.“Begitu lebih baik, semua akan selesai dengan cepat jika kau tidak melawan,” ujar siluman kelabang tersebut.Namun Rangkahasa langsung menggunakan pedangnya untuk menebas kedua tentakel berlendir tersebut. Siluman kelabang itu langsung memekik begitu dua tentakel itu putus ditebas oleh Rangkahasa. Kepala-kepala buntung di kaki kelabang raksasa itu ikutan histeris mendengar pekikan siluman tersebut.Begitu dia terlepas, Rangkahasa langsung merangsek, mendorong-dorong tubuhnya dengan kaki berusaha menjauhkan dirinya.“Siapa sudi jadi tapal kaki jelekmu itu,” ujar
Rangkahasa tahu tubuhnya sudah begitu kelelahan. Namun dia juga sadar bahwa ini adalah kesempatan yang terbaik baginya. Dia pun memaksakan dirinya mengambil resiko untuk kembali menyerang siluman kelabang raksasa tersebut. Rangkahasa berlari ke arah pohon beringin besar yang ada di dekatnya. Dia pun melangkah beberapa kali mendaki batang pohon itu dan kemudian melompat ke arah kelabang raksasa tersebut. Dengan begitu nekatnya, dia mengapitkan pahanya begitu dia mendarat di kepala siluman tersebut. “Apa yang kau...” Craassssh!!! Rangkahasa langsung menghujamkan pedangnya pada wajah yang berada di dalam rongga mulut yang besar itu. Dia sama sekali tak memiliki waktu untuk mendengarkan ratapan siluman itu. Dia terus saja menghujamkan pedangnya berkali-kali tanpa ampun. Namun bukan hanya siluman kelabang itu saja yang tersiksa. K
Rangkahasa langsung bertekuk lutut di depan bangkai siluman kelabang yang baru saja dibunuhnya. Tubuh kelabang raksasa itu tak lagi bergerak barang sedikit pun. Sementara itu, nafasnya terdengar begitu lemah dengan ekspresi wajah yang begitu pasrah karena saking lelahnya. “Syukurlah, akhirnya binatang menjijikan itu mati juga. Aku benar-benar sudah tak kuat lagi,” keluhnya nampak semakin tak berdaya. Roh-roh dari potongan kepala itu masih mengambang mengitari Rangkahasa. Mereka nampak berusaha bertahan di sana seperti ingin menyampaikan sesuatu padanya. Namun sebagian dari mereka sudah mulai terurai di udara tanpa sempat mengatakan apa-apa. “Semuda ini sudah menjadi incaran iblis,” ujar salah satu dari mereka, menghampiri Rangkahasa dengan tatapan sendu.“Aku hanya bisa berharap kau bisa menemukan sesuatu yang berarti di tengah kehidupanmu yang