Rasa lapar, haus, kantuk, serta beban mental yang dialami Rangkahasa sudah mencapai titik kritisnya. Tak ada yang bisa dimakannya. Tak ada juga terdengar olehnya suara gericik air sungai di sekitarnya. Dia juga membutuhkan istirahat seperti halnya dia butuh makan dan minum.
Hanya saja, dia tak mungkin langsung saja tidur di sana. Kawasan itu masih nampak gelap karena lebatnya hutan. Masih terlalu beresiko baginya untuk bersikap abai dengan keadaan di sekelilingnya.
Setelah cukup lama berjalan tertatih, akhirnya Rangkahasa menemukan satu pohon pisang yang kebetulan sudah berbuah cukup ranum. Dia pun mencoba menggapainya, namun tak tergapai. Rangkahasa begitu kelelahan untuk melompat, sehingga dia memilih untuk menebas pohon itu dengan pedangnya.
“Entah kenapa, pedang ini terasa semakin berat saja,” gumamnya sesaat sebelum mencoba menebas pohon pisang tersebut.
Kar
Rangkahasa kembali mendekati gadis tersebut. Dia tahu tempat itu masih terlalu berbahaya untuk meninggalkan seorang gadis pingsan begitu saja.Dia mengambil salah satu kain panjang yang dibawa oleh gadis tersebut, dan kemudian menggunakannya untuk melilitkan pedang damaskus itu di pinggangnya.“Semoga saja tubuhnya tak terlalu berat,” gumamnya, sembari mengencangkan lilitan kain tersebut.Dia mulai menyelipkan tangannya ke bawah tubuh gadis tersebut. Setelah itu Rangkahasa berusaha untuk mengangkatnya. Cukup sulit baginya untuk mengangkat gadis tersebut. Bahkan ketika dia berhasil berdiri, tubuhnya nampak sempoyongan.Dengan pelan Rangkahasa berjalan menuju ke arah rumah yang terlihat olehnya di balik rumpun bambu tersebut. Dia semakin kesulitan ketika harus menapaki jalan yang cukup miring.Ketika sampai di perkarangan rumah tersebut, Rang
Namun setelah itu Rangkahasa hanya diam saja. Dia sama sekali tak bergerak, tak juga nampak sadar. Laki-laki paruh baya itu mencoba menggoyangnya sedikit dengan kakinya. Tak ada reaksi sama sekali dari Rangkahasa. Begitu pelan laki-laki paruh baya itu mendekatinya dan kemudian mengambil pedang milik Rangkahasa. Baru kemudian dia memeriksa keadaan remaja tersebut. “Bu, anak ini terluka,” jelasnya. “Bagaimana, Pak? Apa kita rawat saja?” tanya istrinya. “Yang jelas dia bukan dedemit, cuma remaja biasa,” balas si suami sebelum menitipkan pedangnya serta pedang Rangkahasa pada istrinya tersebut. Lalu laki-laki itu mengangkat tubuh Rangkahasa, berniat membawanya masuk ke dalam rumahnya. Namun istrinya nampak ragu dengan keputusannya. “Bapak mau membawanya ke dalam rumah? Bagaimana jika Lastri melihatnya terus pingsan lagi?” tanya si istri sedikit ragu. Laki-laki itu menoleh ke arah dua bangunan kayu lainnya, lumbung ternak dan dapurnya. Sedikit ragu sesaat, dia pun membawa Rangkahasa
Sudah seharian Rangkahasa belum juga sadarkan diri. Anak gadis bernama Lastri itu sesekali mengintip ke dapur karena penasaran. Dia sudah memastikan sebelumnya kalau Rangkahasa bukanlah setan atau dedemit. Tapi dia tetap saja kembali datang mengintip beberapa kali ke sana. Ibunya yang sedang sibuk memeras parutan kelapa tentu sudah menyadari tingkah gadis itu sedari tadi. Dia nampak tersenyum sedikit jenaka melihat kelakuan Lastri yang aneh tersebut. Namun dia mengerti juga kondisi Lastri yang sudah begitu lama tak bertemu orang lain selain dia dan suaminya. Dia pun menoleh, memergoki Lastri yang berdiri di balik jendela dan membuat gadis itu sedikit salah tingkah. “Kenapa kamu berdiri di situ? Ke sinilah, bantu Ibu di dapur,” serunya. Lastri pun masuk ke dapur, masih mencuri-curi pandang penasaran ke arah Rangkahasa. Setelah itu dia duduk di dekat ibunya, sama s
Malamnya Rangkahasa ikut makan bersama Waradana dan keluarganya. Dia terlihat sangat sungkan, membuatnya bertingkah kikuk dan serba salah. Namun Waradana mengalihkan perhatian Rangkahasa dengan obrolan ringan untuk membuatnya merasa nyaman. “Jadi, dari mana kamu berasal?” tanya Waradana. “Dari desa Talang Asri,” jawab Rangkahasa. “Desa Talang Asri? Bukankah itu desa di perbatasan bagian timur Kerajaan Cakradwipa?” tanya Waradana beretorika. “Benarkah? Aku tak begitu ingat,” balas Rangkahasa nampak bingung dan kikuk. Reaksi bingung Rangkasaha sedikit membuat Waradana penasaran. Begitu juga dengan Arsih. Sementara Lastri masih saja menundukkan pandangan, tak jelas apa yang sedang dipikirkannya. “Sudah lebih dari tujuh tahun aku tidak ke sana,” lanjut Rangkahasa
Sebelum tidur, Lastri mendatangi Rangkahasa yang saat ini masih berada di dapur. Dia datang membawakan makanan untuknya. “Maafkan aku soal kejadian tadi. Karena kamu muntah, aku khawatir perutmu masih kosong. Aku membawakanmu makanan, takut nanti kamu merasa kelaparan malam-malam.” Lastri yang masih merasa tidak enak langsung memilih ke luar. Namun dia berbalik dan sedikit menoleh sesaat ke arah Rangkahasa, hanya sesaat, sebelum akhirnya benar-benar pergi. Esok paginya, Rangkahasa terbangun oleh kegaduhan yang terdengar dari luar. Begitu dia mengintip dari celah di dinding papan, Rangkahasa melihat Lastri sedang berlatih pedang bersama ayahnya. Karena penasaran, dia pun keluar dan kemudian duduk bersandar di dinding dapur sembari memperhatikan mereka dari kejauhan. “Sudah bangun saja, Rangkahasa?” tegur Arsih dengan pertanyaa
Sudah satu minggu Rangkahasa menetap di rumah Waradana. Sementara tujuh orang teman-temannya dari Panji Keris Bertuah masih sibuk mencari dirinya dan juga Mergo di sisi lain gunung Jompang. Saat ini mereka mengamati keadaan Benteng Watukalis dari kejauhan di sebuah lereng bukit. Memang cukup jauh mereka mengamatinya, karena mereka tak berani mendekati tempat tersebut. Saat ini, Benteng Watukalis kembali menerima serangan pasukan dari Kerajaan Gamawuruh. “Ngotot juga mereka kembali menyerang setelah apa yang terjadi di peperangan sebelumnya,” tutur Yudhi. “Apa kau bisa mengenali mereka?” tanya Yasa. “Dari bendera yang mereka bawa, jelas-jelas itu prajurit dari Kerajaan Gamawuruh. Tapi ada yang aneh,” papar Yudhi berkomentar. Laki-laki bernama Yudhi ini terkenal memiliki daya pengamatan yang terbaik di antara ket
Beberapa saat kemudian, reaksi Yasa kembali berubah, nampak mencoba memantapkan diri. Tatapan matanya memperlihatkan seseorang yang sudah siap dengan resiko terburuk sekalipun. “Bima, kamu kembalilah dan bawa Yodha ke sini. Kita membutuhkannya. Sementara itu bilang pada Yudhi dan Basran untuk terus mengawasi di sana,” seru Yasa. Bima mengangguk sekali dengan tegas dan langsung bergerak menuju lereng bukit di kaki gunung Jompang ke tempat rekannya yang lain. Apa rencanamu, Yasa?” tanya Lindo Aji. “Kita akan menyelinap ke sana. Jika memang Sabdo membawa Mergo dan Rangkahasa ke sana, besar kemungkinan mereka di tahan dalam penjara,” jelas Yasa. “Kalian masih ingat lokasinya, kan?” lanjutnya bertanya memastikan. “Apa tidak terlalu ramai jika kita menyelinap berlima?” Lindo Aji kembali bertanya.
Dua prajurit menghadangnya dan langsung menebaskan pedang mereka. Lindo Aji merunduk beberapa kali menghindari sabetan pedang mereka sembari menyayat tendon otot di bagian bawah ketiak salah satu dari mereka. Dia langsung berputar setelah itu dan satu belatinya menyerempet leher dari prajurit lainnya. Satu prajurit mati, sementara yang satunya lagi melepaskan pedang karena tak lagi bisa menggunakan satu lengannya. Sesaat kemudian, Lindo Aji langsung kembali melompat mundur menghindari beberapa tombak yang dilempar ke arahnya. “Siapa orang ini? Gerakannya terlalu sulit ditebak,” teriak prajurit lain setelah melemparkan tombaknya. “Tak usah pikirkan itu, mereka hanya bertiga,” teriak yang lainnya. Ketika Lindo Aji hendak kembali maju, Yodha menahan bahunya. “Ingat, tujuan kita hanya untuk m