Share

6. Buaya Pasar

Author: Ajeng padmi
last update Last Updated: 2024-12-02 17:51:21

Nirmala tersenyum senang donat yang ia buat kemarin hampir habis  hanya masih tersisa tiga buah, meski niatnya membuat donat hanya ingin sedikit mengalihkan rasa kesalnya tapi ternyata dia membuat kebanyakan, hah memang tidak ada baik-baiknya menyimpan rasa marah. Dia sadar bagaimanapun semua hal telah ada yang mengatur, jodoh, maut dan rejeki, sekeras apapun dia berusaha tak akan mampu mengubah apapun jika memang Bisma bukan jodohnya.  

Yah saat pikirannya sedikit tenang dia akan menelaah perasaannya sendiri, membolak balik pikirannya sendiri. Dia memang bukan pribadi yang terbuka dengan seseorang, menjadi anak pertama sekaligus menjadi yatim piatu di usia yang sangat muda membuatnya harus mengemban tugas yang berat sebagai kepala keluarga. Meski Nia bukan anak manja yang hanya bisa bergantung padanya, tapi sekali lagi dia anak sulung dan hanya Nia yang dia punya sekarang jadi dia harus bisa mengcover semua masalah yang mereka hadapi, termasuk masalah hatinya. 

Nirmala tahu Nia sangat mengkhawatirkannya, dan dia tidak mau menambah beban adiknya.

“Sudah selesai belanjanya, Mas? Ayo pulang sudah siang.” 

“Iya sebentar nunggu kembalian.” Nirmala melirik sekilas pemuda yang dari tadi menggodanya, seorang wanita cantik menghampirinya, sejenak Nirmala tertegun meski tadi menggodanya habis-habisan pemuda ini bersikap manis dan lembut pada wanita yang memanggilnya, dan terlihat jelas wanita itu lebih tua.

“Kenalkan, mbak ini ibu saya. Bu Larasati.” 

Eh Ibu?Agak kaget juga Nirmala saat tiba-tiba pemuda itu memintanya berkenalan dengan ibunya, rileks La. mungkin mau pesan kue. Jangan baper dia masih anak-anak.  

“Ini yang namanya nak Nirmala tho,” kata ibu itu dengan senyum ramah. 

“Maaf, Ibu kenal saya?” Nirmala berusaha mengingat-ingat wanita cantik di depannya apa mereka memang pernah bertemu.

“Bertemu langsung sih belum tapi, adikmu Nia sering cerita tentang kamu sampai meski saya belum pernah bertemu serasa kenal dekat.” Nirmala meringis Nia memang kadang suka keterlaluan , entah apa saja yang dia ceritakan tentang dirinya.

“Semoga Nia tidak menceritakan hal aneh tentang saya.” Nirmala tersenyum tak enak.

“Hahaha Nia cerita kalau kakaknya pintar membuat kue, saya sering beli di sini, ini anak lanang saya maunya cuma kue buatan nak Nirmala.”

“Iya, Bu terima kasih.”

“Tuhkan bener kita memang jodoh, kue saja saya sukanya buatan Nirmala.” Nirmala memandang malas pada pemuda di depannya kalau saja tidak ada ibunya yang ramah, sudah dia jejalkan semua donat. Tadi saja manggil mbak sekarang panggil nama saja nggak sopan, kenal saja tidak kok bilang jodoh mau jadi buaya pasar dia.

“Hust kamu itu Dit … jangan buat nak Nirmala malu.”

“Kok malu sih, Bu kan saya bicara terus terang ini bukan gombal tapi dari hati saya yang paling dalam.” Sang ibu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan takjub mungkin sudah hafal dengan watak anaknya. 

“Nia kemana kok tumben nak Nirmala yang jualan?” tanya  bu Lastri berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Nia ke depan bu memberikan kue pesanan pelanggan.” Nirmala memberikan dua lembar uang dua ribuan pada pemuda itu sebagai kembalian. 

“Ok terima kasih, Nirmala. Uang kembaliannya akan saya tabung buat beli maskawin buat kamu nanti semoga cepat terkumpul.”  Nirmala sampai ternganga tak habis pikir dengan pemuda di depannya.

“Dit kamu apaan sih.” Bu Lastri menabok lengan anaknya gemas “maaf ya Nirmala anak ini memang suka bercanda, kapan-kapan ibu akan pesan kue ke kamu, sekalian ibu pingin tau cara membuat kue. Boleh ibu minta nomer telpon kamu?” Nirmala tersenyum menyebutkan sederatan angka, bu Lastri dengan sigap mengeluarkan ponselnya dan mencatat nomer itu. “itu nomer ibu disimpan ya.” 

“Yah aku nggak bawa ponsel, nomer baru lagi nggak hafal. Ibu ada nomerku yang baru?” kedua wanita itu memandang sang pemuda dengan bingung.

“Nggak punya, nomer kamu sudah ibu hapus, lagian nomer setiap hari ganti.”

“Ibu masak nggak punya nomer anaknya.”

“Lah nomermu itu banyak, ibu pusing tiap telpon nomernya ganti?”

“Banyak cewek-cewek yang telpon, bu makanya aku ganti. Ya udah deh nanti aku minta nomer Nirmala ke ibu nanti aku kirim pesan.” 

“Hah … buat apa kamu minta nomer Nirmala mau belajar buat kue juga? Kurang sibuk kamu?”

“Siapa tau aku kangen bisa langsung telpon… ah sakit, Bu.” Pemuda itu meringis kesakitan saat telinga dijewer sang ibu, ibunya ini meski lembut jewerannya sakit juga. “kangen kuenya maksud aku bu. Duh merah kuping aku.” 

“Maaf ya La. Ya sudah ibu permisi dulu. Ayo, Dit pulang.” 

“Iya, Bu … ini mau pulang.”

Nirmala hanya geleng-geleng kepala, jarang-jarang pemuda ganteng, bening, kinclong sepertinya mau  repot-repot ke pasar menemani ibunya, pemuda itu pasti sayang banget sama ibunya, pasti juga nantinya akan sayang pada istrinya, eh … dia mikir apa sih kenapa jadi memuji-muji pemuda tengil itu.

Sepertinya efek patah hati membuatnya berpikir melantur.

Sudahlah.

Lagipula apa tadi setiap hari nomer ganti, dia nyambi jadi juragan pulsa mungkin. Tuh kan kenapa dia jadi mikirin pemuda itu. Bisma saja yang kalem dan pendiam bisa cepat pindah ke lain hati apalagi pemuda tengil seperti dia. 

Sudahlah jangan ingat Bisma. Jangan ingat pemuda itu. Laki-laki itu buaya fokus saja dengan dagangannya.

“Kenapa, mbak pusing kok geleng-geleng kepala, kalau sakit mbak pulang saja.” Nia yang baru datang mendekati kakaknya dengan penasaran, tadi pagi kakaknya baik-baik saja apa efek patah hati membuatnya sakit, apalagi akhir-akhir ini kakaknya jarang makan. Dia hanya memasak tanpa memakan hasil masakannya.

“Mbak nggak papa, sudah diambil pesanannya?” 

“Sudah, mbak beneran nggak papa biar Nia saja yang belanja nanti atau kita beli masakan matang saja.”

“Nggak papa Nia beneran, mbak cuma kesal saja dengan buaya pasar tadi.”

“Hah … di pasar ada buayanya? Dimana? Kok Nia belum pernah ketemu.” 

Dari mulai hari pertama jualan di pasar sampai hari ini Nia belum pernah bertemu buaya di pasar jangankan bertemu dengar ceritanya saja belum pernah, apa kakaknya salah mengira ketemu cicak atau kadal jadi buaya. Ya ampun apa kakaknya sedang berhalusinasi efek patah hatinya.

“Bukan Ni, bukan buaya yang besar itu.” Nirmala jadi bingung sendiri kenapa juga dia menanyakan pemuda itu pada Nia. 

“Lah buaya bagaimana maksud mbak.” 

“Laki-laki yang tadi kesini cari lapis legit.” Nia melongo lalu tertawa saat tau maksud kakaknya.

“Oalah yang guwanteng itu tadi ya mbak, kenapa mbak naksir? kalau mas Bisma mah lewat kalau dibandingin sama dia … ups… maaf, mbak.” Nia merutuki mulut cablaknya bergaul sekian lama dengan orang pasar membuat rem mulutnya blong.

 “Tck … bukan itu mulutnya itu lho kok lemes banget, ibunya tadi juga kesini minta nomerku juga, katanya mau pesan kue.”

“Hah… nomer pribadi mbak terus  dikasih?” 

“Iyalah wong katanya mau pesan kue.” Nia menyipitkan matanya, tumben Nirmala mau memberikan nomernya pada orang yang tak dikenal. Untuk kepentingan usaha mereka ada nomer tersendiri yang mereka sediakan. Apa kakaknya benar-benar tertarik pada pemuda itu, tapi usianya bahkan di bawah Nia. Nia tau kakaknya sedang labil sekarang jangan sampai itu dimanfaatkan orang tak bertanggung jawab. 

Yah Nirmala memang cantik, wajahnya yang imut membuat orang banyak salah mengira tentang umurnya, bahkan tak jarang banyak orang yang mengira Nirmala adik Nia.

“Tadi mbak sempat kenalan nama ibunya bu Lastri, katanya kamu sering cerita tentang mbak, bener Ni?”

“Eh bu Lastri ya,  iya beliau sering beli kue disini, kayaknya dia pingin banget bisa buat kue tapi nggak punya waktu untuk ikut kayak kelas membuat kue, jadi dia tanya-tanya Nia ini buat sendiri apa tidak, terus Nia cerita deh kalau yang buat mbak Mala.” Nia memang mengenal baik bu Lastri, wanita paruh baya yang cantik dan ramah.

 Bu Lastri sering beli lapis legit dan jajan lain di lapak Nia, anaknya yang laki-laki penggemar berat lapis legit di sini tapi ini kali pertama anak bu Lastri sendiri yang beli.

“Iya dia ingin lihat mbak buat kue katanya.”

“Iya mungkin pingin buat lapis legit untuk anaknya, siapa namanya?” Nia memandang Nirmala dengan wajah menggoda.

“Hah nama siapa?”

“Ya anaknya bu Lastri kan tadi, mbak kenalan sama ibunya masak nggak kenalan sama anaknya juga?”

“Nggaklah buat apa, wong dia cuma nyebut nama ibunya.”

“Jadi yang ngenalin tadi laki-laki itu, seharusnya mbak tanya juga namanya?”

“Hih buat apa? Nggak ada urusan juga.” Nia hanya menggeleng pasrah kakaknya memang polos, dan kadang tidak peka dengan sinyal yang dikirimkan laki-laki, kemarin-kemarin sih Nia masih bisa mengerti karena masih punya pacar sekarang kan sudah enggak, sepertinya Nia harus turun tangan.

Tapi apa laki-laki itu serius dia masih terlalu muda untuk Nirmala …ah kenapa dia yang jadi pusing, biarlah semua mengalir seperti air.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   111. Yang Dinanti

    “Mama minta kita program bayi tabung.” Radit yang baru saja melipat sarungnya menoleh pada Nirmala yang masih berbalut mukena. “Untuk apa?” tanya Radit. Nirmala menghela napas, waktu setelah sholat subuh dia pilih karena hanya waktu itu yang selalu memungkinkan mereka untuk bersama, Radit yang kadang pulang sangat malam atau bahkan dini hari dan Nirmala yang sudah terlelap membuat tak ada waktu untuk sekedar bercakap-cakap. “Kok untuk apa? sudah lama kita belum punya anak? Memangnya mas tidak mau punya anak,” kata Nirmala kesal. Untuk bicara masalah ini dia sudah berlatih sepanjang malam tadi. Sejujurnya Nirmala juga tidak suka dengan ide itu, tapi dia sadar beberapa tahun menikah belum juga punya anak dan usianya juga bertambah tua. “Aku sudah akan punya anak.” “Hah!” kepala yang semula tertunduk penuh rasa bersalah langsung terangkat, matanya melebar. R

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   110. Ibu Mertua

    Nirmala memasuki rumah mertuanya sore ini, pagi tadi Bu Lastri meneleponnya dan memintanya untuk ke mari.Mempunyai anak-anak yang telah beranjak dewasa membuat Bu Lastri kesepian itulah alasan beliau selalu meminta Nirmala datang ke rumahnya, meski wanita itu tak jarang juga memiliki kesibukan sendiri sehingga tak bisa memenuhi permintaan mertuanya.Berbeda untuk kali ini Bu Lastri tak mau mendengar apapun alasan Nirmala, bahkan menelepon berkali-kali untuk memastikan Nirmala bisa datang, saat ditanya ada apa beliau hanya mengatakan ada hal penting yang ingin dia katakan, membuat Nirmala sedikit was-was, apalagi hubungannya dengan Radit akhir-akhir ini agak merenggang.Radit yang lebih mementingkan pekerjaannya membuat Nirmala selalu snewen setiap hari, mereka paling hanya bertemu saat pagi hari, itu pun Radit akan buru-buru balik lagi ke rumah sakit. Tak ada lagi acara berbincang santai, atau pun membicarakan hal-hal konyol yang membuat me

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   109. Berjarak

    Seminggu sudah Radit dibuat sibuk dengan pekerjaan di rumah sakit, suaminya itu bahkan setiap hari pulang diatas jam dua belas malam dan akan berangkat lagi jam lima pagi. Mereka bahkan sudah jarang berkomunikasi bahkan lewat pesan singkat sekalipun. Kalau ditanya apa Nirmala tidak protes, jawabanya adalah sesering dia membuat kue. Tapi jawaban Radit tetap saja memintanya menunggu dengan alasan banyak pasienlah , atau akan ada seminar disuatu tempat, yang membuat Nirmala pusing sendiri dan akhirnya hanya membiarkan saja Radit dengan segala kesibukannya. Di rumah pun komunikasi mereka hanya seputaran Radit yang menanyakan baju ganti untuknya dan bekal sarapan di tiap pagi karena laki-laki itu tak akan sempat makan di rumah. Nirmala yang mengantar suaminya pergi kerja hanya menatap malas saat Radit berkata akan mengusahakan pulang secepatnya. Bukannya dia tak percaya lagi pada sang suami tapi sudah banyak k

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   108. Php

    Nirmala meregangkan tubuhnya yang meringkuk di atas ranjang. Dia menoleh ke samping, tak ada sosok yang selama dua tahun ini menemani tidurnya. "Apa tadi malam aku mimpi? tapi kok terasa nyata?" Nirmala segera memeriksa bagian samping ranjang, tidak terlalu dingin dan agak kusut, berarti tadi malam dia tidak mimpi lalu di mana sekarang suaminya? Apa sudah berangkat kerja, sepagi ini?Wanita itu bergerak malas, matanya masih sangat mengantuk, tadi malam dia menangis lama sekali, entah kenapa akhir-akhir ini dia berubah menjadi cengeng, matanya sudah pasti akan terlihat bengkak. Dengan malas Nirmala memaksakan diri untuk bangun, dia harus mengompres mukanya, akan banyak pertanyaan kalau dia muncul dengan wajah seperti itu.Benar saja matanya sebesar bola pimpong, dengan sebal dia menekan-nekan matanya dengan handuk hangat berharap matanya akan kembali seperti sedia kala. Nirmala keluar dari kamar d

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   107. Maaf

    Berpuluh-puluh pesan telah dia kirim tapi tak satupun yang diabalas oleh sang suami bahkan dibaca pun tidak. Nirmala sudah menyerah dengan langkah lemas dia memberekan semua, tak diperdulikannya perutnya yang sejak tadi belum terisi. Sekarang dia hanya ingin tidur dan melupakan semuanya. Jam dinding bahkan sudah menunjukkan pukul sebelas malam, mungkin sang suami sebentar lagi akan pulang tapi Nirmala sudah tak perduli. Dia terlanjur kecewa. Selama satu jam dia hanya berguling ke kanan dan ke kiri di atas ranjang. Di kejauhan terdengar sirine yang berbunyi menandakan hari telah berganti. Nirmala semakin gelisah. Tidak biasanya Radit pulang selarut ini apa dia baik-baik saja? Apa perlu dia menyusul ke rumah sakit tempatnya bekerja? cuma jalan kaki sepuluh menit juga.Tapi Nirmala juga takut ini sudah tengah malam, kalau Radit sedang sibuk dengan pasiennya bagaimana? Dia akan sangat menganggu nanti. Hatinya berdebar tak nyaman akhi

  • Kesandung Cinta Dokter Brondong   106. Tak Sampai

    Sejak pagi hari Nirmala sudah berkutat dengan berbagai macam bahan yang akan dia gunakan untuk membuat sebuah kue tart spesial.  Dia sengaja membuat kue di rumahnya sendiri tidak di rumah yang dia tempati bersama Radit. Lagi pula dengan dia membuat kue di rumahnya ada Rina dan pegawai yang lain yang bisa membantu. Hari ini memang bertepatan dengan hari ulang tahun pernikahannya dengan Radit yang berusia dua tahun, tak ada perayaan khusus memang dia hanya ingin makan malam bersama sang suami, berdua saja, untuk itu dia sudah memastikan berkali-kali pada Radit harus pulang kerja sebelum makan malam dan suaminya itu menyanggupi. Semoga saja memang terlaksana, sejak pembicaraan mereka beberapa hari memang belum ada perubahan sama sekali Radit tetap saja pulang sampai larut malam lalu pagi-pagi buta pergi lagi. Nirmala hanya perlu menunggu waktu satu bulan yang dijanjikan Radit.“Seneng banget yang mau makan malam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status