“Aku udah beliin baju tidur, dipake aja.” Amir memberikan tas berwarna coklat pada Ina. “Ada handuk sama peralatan mandi.”Tanpa banyak bicara, Ina menerimanya dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sedangkan Amir memilih untuk duduk di balkon kamar sembari menikmati udara malam. Ia mengambil rokok di saku celananya. Ya, perlu kalian ketahui jika Amir adalah perokok, tetapi tidak sesering orang-orang pada umumnya. Amir hanya merokok jika dia ingin saja atau sedang merasa banyak pikiran. Bahkan bisa dihitung dengan jari berapa banyak dirinya merokok dalam satu bulan. Paling banyak yang dilakukannya selama ini sampai lima batang rokok saja.Alia Sasmitha: HaiBunyi notifikasi membuat Amir dengan gerak cepat menatap layar ponselnya yang menyala. Nama Alia Sasmitha terlihat jelas. Wanita itu mengirim dm padanya. Setelah itu, Amir hanya mengabaikan. Ia tidak memiliki niat untuk membalas, bahkan sekedar membacanya saja. Sangat tidak penting baginya untuk menanggapi hal seperti it
“Gimana ai, udah siap?” Amir masuk ke dalam kamar. Entah sudah berapa kali pria itu kembali masuk hanya untuk mengecek apakah istrinya sudah siap atau belum.Ina menyengir hingga memperhatikan giginya. “Bentar, dikit lagi.”Amir menggelengkan kepalanya, terkekeh kecil. “Udah sejam setengah lebih aku cuma nunggu kamu selesai semuanya.”“Ya harap maklum, ai. Namanya juga perempuan. Tau sendiri kan,” balas Ina membela diri. “Padahal nggak perlu lama-lama dandannya juga udah cantik, kamu itu.” Puji Amir yang bersandar di dinding sembari menatap istrinya.Ina memutar bola matanya, lalu berdiri dan menatap Amir. “Kalo cantik mah, dari dulu juga udah. Nggak perlu diperjelas lagi,” ujarnya percaya diri.“Kamu ini. Udah ayo, keburu telat. Aku nggak enak sama pak bos,” ujar Amir meraih tangan Ina untuk digenggam. Mereka cukup serasi malam ini. Karena memang nyatanya juga mereka selalu saja serasi di mana dan kapan pun itu mereka berada. “Naik motor apa mobil?” tanya Ina saat mereka sudah bera
Selesai bekerja, Amir tidak langsung pulang. Ia berniat untuk mampir terlebih dahulu ke toko bunga yang dekat dengan kantornya bekerja. Ia memang sudah memesan sebuah buket bunga dan juga kejutan kecil lainnya untuk istrinya, karena nanti malam peragaan busana yang memang sudah dipersiapkan oleh istrinya itu akan dimulai malam nanti. “Selamat sore ... selamat datang di Lembayung's Florist. Ada yang bisa Saya bantu?” Amir menatap salah satu pegawai yang menyapanya. “Saya mau mengambil pesanan buket bunga atas nama Amir Habiburrahman.”“Oh, Pak Amir. Silakan, Pak. Buket bunganya sudah siap sesuai dengan keinginan.” Pegawai itu langsung saja mengantarkan Amir untuk melihat pesanannya yang sudah jadi. Di atas meja sebuah buket berukuran sedang bunga mawar merah berjumlah lebih dari 100 tangkai bunga terlihat cantik. Amir menatap puas, lalu menatap pegawainya merasa senang. “Langsung saja saya bayar sisanya.”“Baik, Pak,” ujar si pegawai. “Tiga ratus lima puluh ribu.”Setelah melakukan
“Mau teh, ai?" tanya Ina menawarkan. Sore ini, hujan mengguyur Kota Bogor. Sudah sejak dua jam yang lalu, hujan sudah turun. Amir juga pulang lebih awal dari biasanya, sedangkan Ina memang tidak pergi ke butik. Karena dirinya memang sudah memutuskan untuk mengurangi aktivitas di butik apalagi semalam baru saja ada acara pagelaran busana. Amir yang sedang duduk di teras sembari menikmati rintikan hujan yang sudah mulai gerimis dan tidak sederas tadi menoleh. Ia tersenyum mengangguk. “Boleh, mie rebus pake telor ditambah sama cabe enak nih, ai,” balasnya memberi usulan membuat Ina tersenyum lebar.“Cocok tuh ai, sama hawanya,” ujar Ina bersemangat. “Yaudah aku masak dulu, ya.”Sembari menunggu Ina selesai memasak, Amir kembali sibuk pada tab yang ada di tangan kirinya. Ia sedang membuat desain untuk sebuah resto bergaya tradisional. Di tengah kesibukannya, membuat Amir tidak menyadari jika sebuah mobil memasuki pekarangan rumahnya.Seorang wanita turun dari mobil dengan payung hitamny
Hari ini, Amir berangkat lebih awal dari biasanya. Karena bosnya itu menyuruh para tim yang ada di bawah pimpinannya untuk datang lebih awal karena ada yang mau dibicarakan. “Ai, aku berangkat dulu,” ujarnya berpamitan.Ina yang baru saja membereskan-bereskan meja makan mendongak. Tersenyum hangat, ia berjalan menghampiri Amir untuk mencium tangan suaminya itu. “Iya, ai. Hati-hati ya.”Amir mengusap kepala Ina lembut, mengangguk. “Iya, ai. Assalamualaikum.”“Waalaikumussalam, ai.”Jarak dari rumah ke kantor tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu 20 menit untuk sampai. Kali ini, Amir membawa mobil karena sejak kemarin hujan turun di saat sore hari. Di mana orang-orang pulang bekerja. Jalanan masih sepi, karena dirinya berangkat sedikit lebih pagi dari biasanya. Sesampainya di kantor, Amir berjalan memasuki gedung itu. Saat berpapasan dengan orang maupun yang dikenal atau tidak, ia menyapanya. Selain berprestasi, dirinya memang terkenal ramah di kantor ini. Bahkan saking ramahnya,
Sesuai agenda yang sudah direncanakan. Akhir pekan, Ina dan Amir berniat untuk berkebun di pagi hari. Ada beberapa lahan yang masih kosong di halaman depan dan belakang. Niatnya mereka akan menanam bunga dan sayuran di sana. Mereka juga sudah selesai sarapan. "Mau sekarang, ai?" tanya Amir.Ina yang sedang merebahkan dirinya di sofa, memberi kode Amir. "Bentar deh, masih kekenyangan."Amir terkekeh, mengangguk mengerti. Ia memutuskan untuk menyiapkan semua alat-alat berkebun dan juga bibit, tanaman. "Yaudah istirahat dulu, ai. Aku mau siap-siapin semuanya."10 menit berlalu, Amir sudah selesai menyiapkan semuanya. Ia juga berniat untuk memulai terlebih dulu, daripada menunggu istrinya yang entah mau sampai kapan beristirahat bahkan sebelum memulai. Tapi tidak apa, Amir tidak mempermasalahkannya. Rencananya pada halaman depan pada lahan yang kosong akan mereka tanam bunga. Sedangkan halaman belakang akan ditanam beberapa macam sayur. Amir akan memulai pada halaman depan terlebih dahul
“Tumben panas banget,” ujar Ina menyeka keringatnya. Mereka sudah selesai makan siang dan sekarang melanjutkan untuk berkebun lagi di halaman belakang. “Padahal tadi mendung ya.”“Kalo capek istirahat ya, ai.” Entah sudah ke berapa kali Amir mengatakan untuk istirahat jika Ina merasa capek. Pasalnya Amir sendiri juga khawatir melihat wajah Ina yang sedikit pucat. Ia juga sudah berulang kali untuk menyuruh Ina berhenti saja, tapi istrinya itu tidak mau nurut. Ina memang keras kepala. “Aduh, Pak. Iya-iya, nanti kalo capek aku istirahat,” balas Ina memajukan bibirnya. “Aku masih kuat.”“Muka kamu pucet soalnya,” ujar Amir memberitahu.“Pucet biasa. Tapi aku nggak papa.”“Iya-iya, nggak papa. Intinya kalo capek langsung istirahat,” ujar Amir kembali mengingatkan.Sebenarnya Ina juga merasa sedikit lelah dan pening, tapi ia masih bisa menahannya. Setelah selesai menanam cabai, Ina berniat untuk mengambil minum. Panasnya terik matahari membuatnya sangat merasakan dahaga yang begitu luar bi
Sepertinya hormon Ibu hamil membuat Ina bertingkah seperti anak kecil. Menakutkan sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi. Contohnya saja saat ini, Ina merengek pada Amir untuk menyuruh suaminya itu tidak bekerja. Alasannya karena ada Alia."Ambil cuti, nggak usah kerja." Ina menahan Amir untuk tidak berangkat."Kenapa emangnya aku disuruh cuti?" "Nggak mau kamu ketemu Aliaaa."Amir terkekeh, mengusap kepala Ina dengan gemas. "Tapi besok-besok kalo masuk tetep ketemu, ai. Namanya juga satu tim.""Lagian aku sama dia nggak mungkin ngapa-ngapain kayak yang kamu pikirin. Punya kamu aja lebih dari cukup." Amir menjelaskan istrinya itu penuh cinta. "Iya, percaya. Aku cuma takut kamu tergoda sama dia," ujar Ina cemberut.Amir tidak bisa menyembunyikan tawanya. "Lucu banget sih istriku iniii," ujarnya mencubit pipi Ina yang semakin terlihat chubby dengan gemas.Ina memperlihatkan puppy eyesnya. "Plisss, yaya ambil cuti? Lagian kan kamu jarang banget ambil cuti selama kerja. Pasti Pak Bimo b