Share

Bab 3. Pertanyaan Vian

"Yanti! Kamu dengar tidak? Saya sedang berbicara denganmu!" bentak suamiku.

'Inikah yang dimaksud Ibu panti, tentang kelakuan Yanti yang ganjil itu?' monologku dalam hati.

Sementara kedua anakku telah bergabung bersama kami di meja makan.

Yanti hanya mendongakkan kepalanya, lalu membentuk senyum cengiran kepada suamiku. Helaan napas terdengar darinya. Aku mengangsurkan minum, agar emosinya tidak semakin menjadi.

Kami melanjutkan makan lagi, kali ini tak ada obrolan kecil apa pun. 

~~~

Esoknya aku berangkat ke toko bersama suamiku. Si kecil asyik merajuk minta ikut, tapi setelah dibujuk akhirnya dia lupa. Bisa-bisa,  semua dibikin acak aduk sama Adek Jaya.

Semakin hari, semakin menggemaskan saja melihat tingkahnya. Apalagi kalau sudah bermain puzzle, wow, jangan ditanya betapa kacaunya rumah kami. Untungnya ada Mbak Romlah, asisten rumah tangga yang membantuku menghandle pekerjaan di rumah, kecuali memasak tetap aku lakukan sendiri.

Begitu buka toko, langsung ada pembeli yang memborong beberapa helai baju untuk acara nikahan. Selepas itu, aku lalu ijin ke suamiku untuk turun.

Segera aku menuju toko yang menjual dalaman untuk anak-anak remaja. Bra dan CD masing-masing aku beli satu lusinan untuk Yanti.

Begitu juga dengan baju untuk dipakai sehari-hari. Aku membelikannya 6 pcs, agar bisa untuk berganti-ganti.

Semua kulakukan tanpa pamrih, aku melakukannya karena teringat akan nasibku sendiri. Selepas sekolah dasar, aku sudah ikut Pamanku. Jadi aku tahu bagaimana rasanya, tidak diasuh dengan orang tua.

Tak ada waktu untuk sekedar jalan ke Mall, apalagi untuk meminta uang jajan lebih. Pagi pun sudah pergi mengantar termos es, untuk dititipkan di warung-warung. Setelah itu ke pasar, dengan selembar catatan belanja dari bibiku.

Jika kalian berpikir tinggal dengan keluarga kaya itu enak, maka akan aku jawab tidak enak sama sekali. Biar pun di sana, kamu akan menjumpai semua yang serba ada.

Adakalanya, rindu pelukan Ibu. Secerewet apa pun Ibumu, ketika kalian jauh, maka kamu akan tetap merindukannya. Dia yang lebih mengenal siapa dirimu, karena sejak dalam rahimnya, napasmu adalah bagian terpenting dalam kehidupannya.

Kini, aku memberlakukan sama kepada setiap anak asuhku. Tidak banyak, hanya ada yang aku asuh karena Bapaknya lumpuh. Ada juga yang memang yatim-piatu, tapi mereka tetap tinggal bersama keluarga mereka sebelumnya. Hanya di tiap-tiap waktu tertentu, mereka datang karena aku memintanya mengambil yang menjadi hak mereka.

Aku juga membiasakan mereka menyebutku Ibu atau Mama seperti anak-anak kandungku sendiri. Memberi pendidikan yang layak dan prasarana kebutuhan sekolah mereka. Walau pun tak mahal, tapi aku berusaha memberikan yang terbaik.

Sekarang ada Yanti yang telah tinggal di rumahku. Aku tetap membagi tugas untuk semua kegiatan di rumah. Anakku sendiri juga aku ajarkan untuk turut membantu pekerjaan di rumah, meski pun ada Mbak Romlah yang aku gaji sebagai ART. 

~~~

Sore itu, terlihat semua sudah berkumpul di ruang keluarga. Makan sore pun sudah tersaji lengkap dengan lauknya. Mbak Romlah kemudian pamit pulang.

Setelah makan malam, masih ada jeda sebelum maghrib. Kami bercengkerama sambil nonton televisi. Ulah anakku yang kecil, membuat kami semua tak lepas dari tawa.

Aku teringat bingkisan yang kubeli untuk Yanti. Lalu menyuruh Vian untuk mengambilkannya. 

 Kuberikan bingkisan itu kepada Yanti. Gadis itu menerimanya serta membawanya ke atas. Vian masih berdiri di sampingku sambil tersenyum. Aku mengacak sayang kepalanya. 

"Nanti, kalau Mama ada rejeki. Mama belikan hadiah ya," janjiku padanya.

"Tapi, Ma ...." ujarnya menggantung.

"Ada apa?" aku bertanya balik pada anak tengahku itu.

"Kok, Mbak Yanti gak bilang terima kasih ya ama Mama?" herannya.

Deg. Aku baru menyadari ucapan Vian, setelah Yanti tadi ke atas tanpa sepatah kata pun.

"Mungkin, Mbak Yanti lupa Nak." Terangku pada Vian, agar tidak berpikir macam-macam.

Tapi dalam hatiku, sedikit ikut tercubit akan ucapan Vian tadi. Semoga saja dia tidak sengaja melakukannya, gumamku dalam hati.

~~~~

Setelah makan, kami asyik bercengkerama di ruang keluarga. Suamiku tampak tengah asyik menonton ILC, anak-anak sendiri sibuk dengan tugas masing-masing yang di dapat dari sekolah.

Dari depan terdengar suara mengucap salam. Setelah Firda membukakan pintu, seorang gadis tampak besertanya masuk ke dalam rumah.

"Te ....." tegurnya sambil tangannya meraih jemariku untuk disalaminya. Juga menyalami tangan suamiku.

"Sama siapa, Sar?" tanyaku pada gadis yang tak lain Sari kakak Yanti.

"Sendirian," jawabnya.

"Dari mana malam begini kok masih keluar?" 

"Dari kerja, Te. Sengaja mampir karena di W* sama Yanti suruh ke sini."

"Berarti selama ini kalian saling berkomunikasi?"

"Ya, Te."

"Kalian sudah tahu soal Bapakmu?" tanyaku hati-hati.

Sari hanya menganggukkan kepala. Bahunya lalu naik turun perlahan, dengan isakan yang perlahan. Nelangsa juga aku melihatnya. Sementara kulihat Yanti hanya tersenyum-senyum tidak jelas melihat kakaknya yang menangis.

Ada sedikit tanya dihati. Apa dia tidak bersedih ditinggal Bapaknya. Sementara Sari terlihat begitu menyedihkan. Bisa jadi karena Sari sedikit banyak pernah tinggal dengan Bang Hendro, jadi ikatan emosinya lebih dalam. Sementara Yanti memang sejak kecil tinggal bersama nenek dari Aminah, Ibunya.

"Kalau boleh, Sari ingin melihat makam Bapak, Te?" pintanya dengan suara bergetar. Suamiku pun turut mengalihkan perhatian begitu mendengar permintaan Sari.

Dari sudut kasur lantai yang kugelar di ruang keluarga, Yanti hanya cengar-cengir. Bahkan, dia tampak asyik ngobrol sendiri dengan Firda sulungku.

"Ya sudah, nanti pas tujuh hari Bapakmu. Kalian bisa turut kami."

"Berarti kurang berapa hari lagi, Te? Biar aku bisa ijin sama Bosku," tuturnya lagi.

"Minggu besok, Nak. Apa kamu lembur?" tanyaku memastikan. Tampak Sari menggeleng.

"Ya sudah jangan lupa kalau gitu."

"La kamu sekarang tinggal di mana, Sar?" tanyaku lagi teringat aku belum tahu di mana dia tinggal sekarang.

"Tetap ikut orang yang dulu itu, Te. Tetapi, sekarang di gang seruni."

Sebelumya Sari diambil oleh Bang Hendro dari nenek istri pertamnya. Dia diajak tinggal bersama Bariyah setelah mereka menikah. Entah sebab apa, Bang Hendro lalu menitipkan Sari padaku. Waktu itu dia masih umur 12 tahun.

Selama hampir enam bulan dia ikut aku. Dengan dalih mau dipondokkan, Bang Hendro mengambil Sari dari kami. Aku pun tak berhak melarang. Selentingan yang kudengar, Sari bukannya mondok. Tetapi dia dipekerjakan di rumah tangga. 

Lama tak terdengar berita, Bang Hendro ke rumah meminta tolong pada suamiku untuk ikut mencari Sari. Sari kabur, tapi majikannya tidak tahu kabur kemana.

Selama pencarian, suamiku pun turut mengancam majikan tersebut agar membantunya mencari juga. Semuanya serba teka-teki. Untungnya Bang Harun memberitahu melihat Sari ikut keluarga yang sekarang ditinggalinya.

Sempat kami samperin sambil menitipkan keponakan kami. Namun hanya sebentar saja, lalu terdengar kabar, Sari mengambil kabel charger milik orang itu. Kumala, si pemilik rumah marah-marah kepada Sari. Lalu mengabari, agar kami menjemput Sari dari rumahnya. Aku pun menjemputnya dan menampung di rumahku.

Lagi, saudara Sari dari Ibunya datang ke rumah kami. Mereka bilang mau mengajak Sari untuk bekerja di pabrik. Dengan persetujuan Bang Hendro, aku melepas Sari. Sungguh tidak dapat dibayangkan, hidup berpindah dari tangan satu ke tangan yang lain.

Begitu jalan yang dilaluinya. Lamunanku terputus karena suamiku menyuruh Sari untuk makan.

"Makan dulu sana Sar, itu di meja makan." Tunjukku padanya.

"Kalau memang mau nginep di sini juga boleh. Tapi jangan lupa ijin Ibu asuhmu," kataku mengingatkan.

"Iya Te," jawabnya lalu beranjak ke ruang makan.

Aku menatap tubuh ringkih yang berbalut jaket jeans kumal. Dibutuhkan ketegaran, untuk menjadi dia. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status