Segala keperluan sekolah baru Yanti, telah aku selesaikan. Semua biaya pun sudah kubayarkan tunai. Tinggal membeli perlengkapan saja. Tak jadi masalah buatku.
Pagi ini rencananya aku mau ketemuan lagi ama Ibu panti. Sekalian mengambil persyaratan keperluan sekolah baru Yanti yang masih tertinggal. Karena dipergunakan untuk ujian negara nantinya.
Lalu-lintas tak begitu padat siang ini. Ditemani sopirku, melaju ke rumah beliau. Sekedar buah tangan, kubeli pisang secengkeh dan jeruk mandarin buat oleh-oleh.
"Assalamu'alaikum ...." ucapku.
"W*'alaikumsalam Jeng, kita langsung saja ya. Lha ini apa kok pakai repot segala?" tanya beliau ketika kuulurkan bawaanku tadi.
"Buat teman nonton tivi, Bunda."
"Ibu jadi merepotkan ini."
"Tidak kok, mari kita jalan," ajakku.
"Langsung ke sekolah dulu ya, Jeng."
Mobil pun melaju ke sekolah Yanti sebelumnya. Disambut Kepala Sekolah dan Wali kelasnya, kami berbasa basi sebentar.
"Padahal setahu saya, Yanti bilang tidak ada saudara lho Bu. Jadi saya sempat meminta dia tinggal bersama saya," kata Wali kelasnya.
"Semua memang kesalahan kami sekeluarga, karena kurangnya komunikasi," belaku.
"Yang penting, sekarang Yanti sudah berkumpul bersama keluarganya." Kepala Sekolah turut menimpali.
"Mari kami permisi dulu," pamit Ibu panti bersamaku.
"Jadi sudah beres semua ya Jeng urusan Yanti."
Aku hanya tersenyum lalu kembali melihat ke luar jendela mobil, melintasi arus lalu lintas yang mulai padat merayap.
"Oh ya Jeng, saya tidak meminta biaya yang saya keluarkan selama Yanti tinggal bersama saya. Tetapi, paling tidak saya diberikan kompensasi uang pangkal dulu yang saya keluarkan buat dia. Itu saja," pinta Ibu panti.
Aku mengernyitkan dahi. Bukankah dia bilang, semua pengeluaran panti berasal dari para donatur? Kenapa pula harus aku menggantinya?
"Nanti akan saya bicarakan dengan suami saya, Bu," balasku kemudian karena beliau masih terlihat menatapku.
Kami pun melanjutkan perjalanan kembali ke panti. Setelah menurunkan beliau, aku pun bergegas pamit.
~~~~~
Pagi ini Yanti sudah bersekolah di tempat yang baru. Berangkat naik ojek tetangga karena tak mungkin aku yang mengantarkan lagi. Untung saja sekolahnya searah dengan Firda anakku. Jadi, mereka berdua diantar bersama.
Tentu saja pengeluaran juga bertambah. Namun, aku tidak mempermasahkan hal itu. Sebab masih punya penghasilan sendiri dari hasil jualanku sendiri.
Suamiku baru saja datang dari gudang, dia membawa dua bungkus nasi pecel. Kami pun sarapan berdua. Setelah itu lanjut rutinitas ke toko.
[Bolehkah aku juga tinggal di rumah Tante?] SariSebuah pesan masuk ke layar pintarku. Aku menarik napas panjang setelah membacanya. Bagaimana mungkin menolaknya, sementara dia juga yatim piatu.
"Pesan dari siapa?" tanya suamiku.
"Dari Sari."
"Pesan apa emang? Kok kelihatan begitu mukanya?"
Diambilnya hapeku, lalu dia ikut membaca pesan dari Sari.
"Kalau keberatan ya gak usah diterima. Aku terserah kamu saja."
"Gak pa pa, biarin saja dia tinggal bersama kita. Insya Allah rejeki kita gak akan berkurang."
Kukirim balasan untuk Sari. Supaya nanti malam datang ke rumah. Aku juga berpesan padanya, agar pamit baik-baik pada orang tua yang diikutinya selama ini.
Malamnya Sari pun datang. Agar tidak timbul kesalah pahaman, maka kuminta dia pamit baik-baik sekali lagi dihadapan kami.
Setidaknya aku memastikan pada keluarga angkatnya, jika kami tidak pernah menyuruh Sari, apalagi sampai memaksa dia untuk tinggal bersama kami. Semua murni karena keinginan Sari.
"Assalamualaikum ...."
"W*'alaikumsalam ...." jawab kami bersamaan dari dalam rumah.
"Ma ... ada Pakdhe Harun datang," kata Firda.
"Lho ... Sari kok juga ada di sini?" sela Bang Harun begitu masuk.
"Ya, sekalian mau tinggal di sini juga," kata suamiku.
"Wah, banyak betul tanggunganmu Lif."
"Gak pa pa Bang, Insya Allah akan memperbanyak rejeki kami," kata suamiku.
"Untung Aira juga kerja, jadi ada yang membantumu setidaknya. Kalau aku, ya wassalam, Lif."
Kami semua tertawa bersamaan mendengar penuturan Bang Harun. Kakak suamiku itu, orangnya memang ceplas-ceplos saja kalau bicara.
"Yang penting kalian juga harus ingat lho, ini rumahnya Tante. Setidaknya kalau ada yang gak beres, bantuin. Jangan diam saja," pesan Bang Harun pada Sari dan Yanti.
"Ya Pakdhe, tenang saja." Ujar Sari.
"Kamu juga, jangan bisanya cuma cengar-cengir aja. Apa yang perlu dikerjakan, kerjakan. Jangan nunggu pakai di suruh," lanjut Bang Harun. Kali ini ucapannya ditujukan pada Yanti.
Sementara Yanti sendiri, cuma senyum-senyum tidak jelas kepada kami.
"Ada perlu apa Bang, kok datang malam-malam?" tanyaku.
"Mau nanyain soal mereka berdua saja," tunjuk Bang Harun dengan dagunya pada Yanti dan Sari.
"Kirain ada apa. Abang sudah makan 'kah? Aku masak soto ayam, sana makan di dapur."
"Gak usah. Sudah makan barusan. Ya sudah, aku pamit dulu. Titip mereka berdua ya, Ra."
"Ya ... tenang saja. Aira pasti menyayangi mereka sama seperti anakku sendiri," pungkasku.
Bang Harun lalu pamit pulang. Setelah itu Mas Alif mengajakku beristirahat. Anak-anak masih asik menonton televisi. Tapi aku sudah memperingati, agar jam 10 dimatikan. Dan mereka semua sudah harus tidur. Supaya besok tidak terlambat ke sekolah.
Entah aku tertidur berapa lama, karena teringat belum sholat aku pun terjaga. Ketika hendak mengambil air wudhu, sayup-sayup aku mendengar ada yang masih terbangun.
"Sekarang aku tinggal bersama mereka. Jadi gak lagi susah-susah mikirin uang jajan."
Deg, suara siapa itu? Aku mencoba mengupingnya lagi dari luar kamar putriku yang berseberangan dengan musbolla kecil di rumah kami.
Pikiranku langsung berkelana kemana-mana. Siapa diantara mereka berdua yang masih telponan di tengah malam begini. Sari atau Yanti?
Bergegas kutunaikan salat Isya' dengan sekhusyuk mungkin. Memohon pada Allah, agar menambah rahmat dan keberkahan rejeki yang kami peroleh. Agar yang kami makan, menjadi halal dan berkah. Serta dijauhkan dari hal-hal buruk.
Seusai salat, aku pun beranjak ke kamar. Rupanya masih terdengar sayup-sayup suara yang sedang berbicara.
"Pokoknya, aku juga harus menikmati harta mereka. Toh, Om Alif itu juga adek Bapakku."
Bergegas kudorong paksa pintu kamar Aira, sialnya dikunci dari dalam. Jadi, aku tidak tahu suara siapa itu.
Belum juga hitungan hari, sudah timbul kecurigaan yang tidak-tidak olehku. Ya Allah, semoga saja kedatangan mereka, tak mengurangi kebahagian keluarga kecilku.
Bagaimana pun, aku juga manusia biasa yang masih dikuasai amarah dan keegoisan. Dan semoga Allah memberiku kesabaran yang tiada batasnya. Kuhela napas panjang, agar sesak yang tercipta berkurang.
Aku masih belum beranjak dari depan pintu kamar anakku. Sesaat aku masih terdiam terpaku. Ketika hendak berbalik, kembali sebuah percakapan dari dalam kembali terdengar.
"Untung saja pintunya terkunci, kalau tidak, bisa ketahuan dan diusir aku dari sini."
'Astagfirullah ....'
Siapa sebetulnya yang sedang berbicara itu? Suaranya yang pelan, membuatku tidak bisa membedakan.
Yanti atau Sari?
Sekali lagi jangan lupa dukung author buat berkembang. Tap love dan bintang lima dari kalian, akan selalu author tunggu.
Salam sayang dari author😍Esoknya aku bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Selesai mereka sarapan masing-masing berangkat sekolah, kecuali Sari yang memang tidak bersekolah. Bersama Mbak Romlah, dia turut membantu membersihkan piring-piring bekas sarapan tadi.Sebelum berangkat ke toko, pagi ini aku berencana untuk belanja kain pesanan seragaman untuk acara akad nikah langganan. Sekalian kulakan barang-barang yang telah habis juga. Biar bisa sekalian angkutnya.Kesibukan seharian membuat hari terasa begitu pendek. Tiba-tiba sudah sore lagi, dan waktunya pulang ke rumah.Telepon pintarku berdering."Assalamu'alaikum, Nak." Terdengar suara wanita renta yang melahirkanku dari seberang sana."Wa'alaikumsalam ... iya Bu, ini Aira masih di jalan.""Gak apa-apa, cuma mau bilang. Ibu sudah sampai di rumahmu. Tadi minta antar Mas Rudi naik mobil carterannya.""Owh, syukurlah, kalau gitu. Nanti biar Aira telpon Mas Rudi soal ongkosnya.""Ya ... Ibu cuma mau bilang itu. Ya sudah, Assalamu'alaikum ....""Wa'alaikumsalam
"Sudah dipanasin semua, Mbak?" tanyaku pada Mbak Romlah yang sedang berada di dapur.Setiap pagi, aku mengharuskan anak-anak harus sarapan sebelum pergi ke sekolah. Agar perut mereka terisi, sehingga bisa menerima pelajaran dengan baik. Jika perut mereka keroncongan akan mengakibatkan mereka juga tidak konsentrasi."Sudah Buk ... anak-anak juga sudah sarapan lalu berangkat sekolah dengan bekal dari rumah."Mbak Romlah memberitahu kepadaku. Aku hanya mengangguk lalu mulai membantu mengupas bawang. Tadi pagi-pagi sekali aku sudah ke gudang. Mengecek barang yang perlu dipacking untuk dikirim ke pelanggan.Baru agak menjelang jam delapan balik lagi ke rumah. Memasak sebentar, karena suamiku hanyak cocok makan racikanku."Sari di mana, Mbak?" Aku celingukkan mencari keponakan mas Alif tersebut.Tidak biasanya gadis itu sudah menghilang pagi-pagi begini."Tadi pamit ke rumah Ibu angkatnya Buk, buat ambil baju bentar.""Owh ...."Tanpa sengaja kami bersamaan saling memanggil."Kamu dulu yan
"Ini siapa?" tanya suamiku.Serentak ke-tiga gadis berseragam itu menoleh ke arah suamiku. Yanti terlihat berdiri di dekat tangga dengan tubuh sedikit bergetar karena sorot mata suamiku yang sedang tertuju ke arahnya."Teman saya," jawab Yanti.Situasi tiba-tiba hening. Padahal di ruang keluarga semua sedang berkumpul. Tak terkecuali Mbak Romlah, yang masih belum beranjak pulang."Buk ... Ibuk," panggil Mbak Romlah dari sekat pintu tengah. Aku berjalan menghampirinya. Sepiring sosis goreng yang masih hangat dia berikan kepadaku. Dengan penuh keheranan aku menerimanya. Siapa yang mau makan sosis goreng begitu banyak? Tapi keburu ketiga tamu tadi berpamitan.Pamit pulang, tapi hanya kepada Yanti. Bahkan ketika mereka melewati suamiku, tak sepatah kata pun terlontar sekedar berbasa basi.Masih dengan tatapan penuh keheranan, aku mengiringi kepergian mereka dari rumahku. Bagaimana ada manusia seperti itu? Sekolah di basis agama, tapi akhlaqnya naudzubillah. Aku pun kembali masuk."Enak
[Mama, apa boleh Mbak Yanti ikut berjualan online sepertiku?] FirdaSebuah notifikasi masuk ke layar pintarku, dari Firda. Aku mengernyitkan dahi membaca pesan tersebut. Bukan soal isi pesannya yang membuatku demikian. 'Tapi ... rencana besar apalagi yang akan dibuat oleh anak itu?' Tak kubalas sms dari anakku-Firda. Keesokan sorenya, aku menanyakan pada Yanti dan Sari. Soal mereka yang mau ikutan jualan online. Tidak masalah, yang penting sekolah tetap hal utama. "Jadi kalian mau ikutan jualan online?" "Iya, Te" jawab Sari sendiri. Kulihat ke arah Yanti yang pura-pura tidak mendengar. Sesaat kemudian akhirnya menoleh juga ke arahku. "Kamu juga?" tanyaku pada Yanti. Lagi-lagi dia hanya cengar-cengir. "Boleh jualan online, tapi harus ingat satu hal. Sekolah tetap yang utama. Ingat juga, kalau pembeli belum transfer uang, jangan dikirim dulu. Kecuali, kalian sudah janjian COD." Ketiga gadis itu mengangguk. Bagiku, semua keingintahuan mereka adalah proses kehidupan. "Mulai nant
Setelah mengucapkan terima kasih pada Mama Salsa atas informasi yang diberikan, aku semakin yakin bahwa Yanti benar-benar meminjam uang dari Bu Wati. Ketika aku akhirnya masuk ke rumah, kulihat Yanti sedang asyik berbalas pesan sambil menonton tivi. Firda dan Sari nampaknya sudah naik ke atas untuk tidur. "Nak, Mama mau ada perlu sama kamu." Aku memang memanggilkan diriku Mama kepada mereka semua, agar tidak canggung. Yanti yang sebelumnya tidur-tiduran, bangkit duduk di dekatku. Aku mencoba menatapnya dengan pandangan kasih sayang. "Kamu, apa ada yang ingin disampaikan kepada Mama?" tanyaku sebelum aku meminta penjelasan darinya. "Tidak ada, Bu," jawabnya sambil sesekali berbalas pesan entah dengan siapa. "Kamu itu kalau diajak orang tua bicara, perhatikan!" hardik suamiku yang sedari tadi terlihat diam di sampingku. Yanti hanya mendongak sebentar, lalu menunduk lagi. "Ayah tanya sama kamu. Betul kamu pinjam uang ke Bu Wati?" "Iya," jawabnya singkat. "Buat apa, Nak?" tanyak
Dengan rasa tak sabar, aku pun berusaha mengontrol emosiku terlebih dahulu. Bagaimanapun, dia cuma anak-anak yang masih butuh bimbingan orang tua.Perlahan kudekati Yanti, suamiku tampak tidak senang. Bahkan kedua anak kandungku tampak merespon dengan wajah masam. Hanya Sari yang terlihat seperti orang berpikir keras."Lho Nak, kok kamu bikin status begitu? Siapa memang yang bikin arisan? Apa kamu jadi boreknya?" tanyaku dengan perlahan.Borek itu semacam pemimpin arisan yang tugasnya nanti, apabila ada yang tidak bayar, maka borek tadi yang jadi penanggung jawabnya. "Bukan Bu, teman saya. Cuma bantu promokan saja," alibinya."Kamu juga ikut?" tanyaku lagi.Yanti tampak mengangguk samar-samar. Bahkan ketika aku tekan di status ke-dua yang diunggahnya, ada lagi status yang sama dengan jumlah nominal yang berbeda beda. Ada hingga lima unggahan."Saya ikut tiga."Berani sekali dia ikut arisan, mataku sampai membulat lebar mendengar pengakuannya. Anak sekolah dengan uang saku 15 ribu. Ta
"Eh Yanti! Otakmu di taruhdimana sih?" sahut Sari yang sedari tadi diam memperhatikan."Ya di kepala, Yu! Masa didengkul?" sewotnya pada Sari."Kalau di kepala, gak mungkinloadingnya pentium satu. Bahkan kukira kamu taruh di kakimu. Ya, kaki yang baudan penuh kutu air," tangkis Sari."Awas kamu Yu! Jangan coba-cobangomporin Ibu!""Lho emangnya ngapain juga mestinomporin, Tante?" ucap Sari sambil membulatkan matanya. Keduanya jadi terlibat argumen panas, tanpa peduli aku dan Mas Alif masih ada di sana."Sudah! Sudah! Malah tambahberantem," lerai suamiku itu pada akhirnya."Kamu saya tanya sekali lagi.Masih mau sekolah atau gimana?" tanya suamiku dengan tatapan tajam ke arahYanti."Ya mau sekolah, Yah."Setelah menjawab, Yanti kembalimenunduk tak segarang ketika beradu mulut dengan Sari. Suamiku tampak masihmenatap ke arah Yanti."Kalau mau sekolah, yang benar!Jangan pake bikin acara yang aneh-aneh! Ingat itu ya, Nak?""Iya Yah, akan saya ingat."Yanti nampak beranjak dari d
Pagi ini aku menemui Bu Diah di YP. Islamic Modern tempatku dulu menimba ilmu. Sekaligus mengantar kue yang dipesan beliau beberapa hari lalu. Aku juga ingin sedikit melepas rasa rindu di sekolahku ini dulu. Mengenang masa-masa saat masih berseragam abu-abu.Sekitar pukul 09.30 aku sudah meluncur meluncur keramaian lalu lintas yang begitu padat. Tiba di sana sudah masuk jam istirahat, dengan gegas kuseret langkahku ke ruang guru."Ini Aira, ya?" tanya Pak Bandrio guru ekonomiku dulu di kelas 11. Aku menyalaminya dengan penuh rasa hormat."Kok masih ingat saya, Pak?" tanyaku dengan bangga."Ya pasti Bapak ingat kamu. Sekretaris Bapak yang paling pandai kamu itu," pujinya padaku. Aku merasa tersanjung dibuatnya."Terima kasih banyak, Pak. Berkat didikan Bapak, kini saya bisa seperti ini.""Jangan salah Pak, muridmu itu pengusaha sukses lho biarpun perempuan gitu. Wanita multitalenta," ujar Bu Diah sudah bergabung bersama kami di depan ruang kesiswaan. Aku pun menjawab salim kepada belia