Share

Bab 7. Mungkinkah Mereka Salah Asuhan?

Penulis: Noeroel Arifin
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-14 08:04:09

"Ini siapa?" tanya suamiku.

Serentak ke-tiga gadis berseragam itu menoleh ke arah suamiku. 

Yanti terlihat berdiri di dekat tangga dengan tubuh sedikit bergetar karena sorot mata suamiku yang sedang tertuju ke arahnya.

"Teman saya," jawab Yanti.

Situasi tiba-tiba hening. Padahal di ruang keluarga semua sedang berkumpul. Tak terkecuali Mbak Romlah, yang masih belum beranjak pulang.

"Buk ... Ibuk," panggil Mbak Romlah dari sekat pintu tengah. 

Aku berjalan menghampirinya. Sepiring sosis goreng yang masih hangat dia berikan kepadaku. 

Dengan penuh keheranan aku menerimanya. Siapa yang mau makan sosis goreng begitu banyak? Tapi keburu ketiga tamu tadi berpamitan.

Pamit pulang, tapi hanya kepada Yanti. Bahkan ketika mereka melewati suamiku, tak sepatah kata pun terlontar sekedar berbasa basi.

Masih dengan tatapan penuh keheranan, aku mengiringi kepergian mereka dari rumahku. Bagaimana ada manusia seperti itu? Sekolah di basis agama, tapi akhlaqnya naudzubillah. Aku pun kembali masuk.

"Enak, masih hangat," ucap Vian sambil mencomot sosis goreng yang aku letakkan dekat meja printer.

"Buk Lah mau ya?" tawarnya pada Ibuku.

"Ibuk ga makan daging, Dek." Jawab Ibuku. 

Beliau memang tidak makan daging sejenis sapi maupun kambing. Jangankan makan, melihat mentahnya saja sudah pingsan duluan. Entah mengapa bisa demikian. 

Suamiku terlihat terdiam sambil terus mengawasi anak-anak.

"Siapa tadi yang minta sosis goreng?" tanyaku pada mereka semua.

"Dek Vian, Te." Jawab Yanti.

"Jangan asal tuduh kamu, Mbak. Kamu lho lancang minta goreng sama Mbak Romlah. Apalagi ga pakai izin Mama dulu," sanggah Vian ke arah Yanti.

"Di rumah ini gak boleh makan sosis, tanpa izin kata Mama. Sebab banyak pengawetnya. Kalau makan pun harus sama-sama. Ga boleh semaunya," terang Vian lagi.

"Yanti sini, Nak," panggil suamiku.

Yanti pun mendekat ke arah suamiku, ikut duduk di depannya.

"Lain kali kalau ajak teman ke rumah ijin Ibu dulu. Jangan asal saja seperti itu."

Yanti hanya mengangguk tanpa berani menatap mata suamiku. Dia memilin ke-lima jemarinya.

"Apa kamu tidak bilang pada mereka, kalau kamu di sini ikut kami?" tanya suamiku lagi. Yanti hanya terdiam dengan bahasa tubuh yang terlihat acuh.

"Lain kali jangan diulang ya. Terus, jangan main perintah ke Mbak Romlah buat masak ini itu," cecar suamiku lagi.

"Iya."

"Kemarin temanmu juga yang habisin makanan persediaan kita?" 

Yanti hanya menunduk tanpa mengucap sepatah kata pun. 

"Pas temannya datang, aku sudah ingatkan Yanti agar temannya jangan lancang masuk ke dapur Om, tapi Yanti malah memusuhiku," sela Sari. 

"Bahkan sampai aku tertidur, temannya masih asyik makan-makan di dapur," lanjut Sari lagi.

Yanti pun hanya tertunduk. Kali ini jarinya sibuk memilin ujung bajunya. Entah bagaimana bisa gadis cantik ini berkepribadian seperti itu.

"Jangankan kamu yang hanya keponakan Om, Firda ama Vian aja yang anak kami. Kalau mau bawa temannya harus ijin dulu. Apalagi sampai lancang ikut makan serta membungkusnya untuk dibawa pulang. Sudah keterlaluan itu!"

Sesaat Yanti menatap iris mata suamiku dengan pandangan tidak senang. Lalu tatapannya beralih ke Mbak Romlah yang kebetulan mau pamit denganku.

'Ada apa sebenarnya dengan kejiwaan gadis itu?'

Apa karena bukan dididik oleh orang tua sendiri, jadi dia bersikap kurang ajar seperti itu. Hal yang membingungkan bagiku, masih bisa-bisanya dia tersenyum menyeringai, padahal jelas sudah suamiku sedang marah kepadanya.

Gadis itu seperti orang yang mati akal. Bahkan terkesan sakit jiwa, kataku. Pasti ada yang salah dalam pola asuhnya selama ini. 

'Jangan-jangan benar kata Ibu panti.'

"Pakeeeettt ...." teriar kurir dari luar. 

Firda keluar mengambilnya. Sebuah bungkusan kotak sedang dalam dekapannya.

"Punya siapa, Nak?" tanyaku.

"Paket punyaku, pesanan kaos teman-teman yang Mama bantu trasferankan kemarin," katanya sambil membongkar bungkusan tersebut.

"Hati-hati kalau jualan online, kalau belum kasih uang, jangan dipesankan barangnya," ingatku pada Firda.

Gadis sulungku itu memang enerjik orangnya. Biar masih sekolah, tapi dia juga berjualan online. Tetapi tetap kami mengawasinya, takut salah jalan.

Untuk sesaat suasana terjeda. 

"Om minta tolong ya Nak, ingat-ingat pesan Om tadi," pesan suamiku pada Yanti dan Sari.

Adzan Maghrib pun berkumandang. Kami pun bersegera untuk sholat jama'ah.

~~~~~

"Sepertinya anak-anak itu perlu dipanggilkan guru ngaji, Dek. Kira-kira kamu setuju 'kah?"

"Ya setuju lah, Mas. Buat bekal mereka dan kita nantinya."

"Biar ada bekal ilmu akhlaq juga buat mereka. Agar jangan sampai salah jalan."

Kutuang secangkir air madu, lalu kuberikan pada suamiku. Sulit sekali mata ini terpejam, padahal seharian tadi toko begitu rame. Sehingga membuat raga ini terasa capek.

"Nanti aku akan minta tolong Mas Bagyo, untuk mencarikan guru ngaji privat. Biar anak-anak lebih enak belajarnya."

"Kamu yang atur saja gimana baiknya," pasrah suamiku.

"Aku merasa Yanti itu perlu bimbingan khusus, Mas. Dia itu ...."

"Tidak wajar. Begitukan maksudmu, Dek?"

Aku mengangguk mengiyakan ucapan suamiku. Kulihat Mas Alif masih menyesap minuman dalam cangkirnya hingga habis tak tersisa.

"Mau lagi airnya?" tanyaku. Dia hanya menggeleng lalu meletakkan cangkir pada tempatnya semula.

"Bukan hanya kamu yang merasa demikian, aku juga merasa begitu. Sepertinya mereka salah asuh."

"Salah asuh bagaimana maksudnya, Mas?" tanyaku bingung.

"Ya, karena banyaknya orang yang ikut mengasuh dia sejak kecil. Jadi dia memiliki kecenderungan sikap yang berbeda-beda. Bahkan aku merasa gadis itu ada kelainan."

'Deg'

Kurasa suamiku juga berpikiran sama denganku. Karena keganjilan yang sering diperlihatkan Yanti kepada kami.

"Kalau Sari, lain lagi ceritanya. Dia tumbuh jadi gadis yang tegar. Ini pun tercipta, juga bisa karena faktor lingkungan. Terutama keadaan."

"Terus kita harus bersikap bagaimana seharusnya?" tanyaku dengan bego.

"Entahlah, aku juga tidak tahu. Karena kita juga tidak bisa mengawasi mereka hingga full time."

"Yang pasti, kita harus tetap memberikan kasih sayang buat mereka. Dalam bentuk perhatian dan juga nasehat tentunya," sambung suamiku.

Aku mencoba merenungkan semua perkataan suamiku. Ada benarnya juga. Karena mereka berdua tumbuh tanpa dampingan kedua orang tua.

Apalagi Yanti yang sejak kecil ikut neneknya. Tentu berbeda pola asuh dengan anak yang tinggal bersama kedua orang tua.

Karena yang kutahu, kasih sayang itu tidak bisa digantikan oleh banyaknya materi atau pun ditebus dengan cara memanjakan keinginan mereka.

Kasih sayang juga tidak bisa didelegasikan pada orang lain. Karena adanya rasa keterikatan antara si pemberi dan penerima. 

Satu-satunya jalan, kedua belah pihak harus bisa saling memiliki rasa terikat tadi.

[Mama, apa boleh Mbak Yanti ikut berjualan online sepertiku?] Firda

Sebuah notifikasi masuk ke layar pintarku. Aku mengernyitkan dahi membaca pesan tersebut. Bukan soal isi pesannya yang membuatku demikian.

'Tapi ... rencana besar apalagi yang akan dibuat oleh anak itu?'

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami   Bab 62. Haruskah Rumah Sakit Jiwa?

    "Harusnya langsung rumah sakit jiwa saja," ujar Alif datar. Semua yang ada di ruangan itu terlihat membolakan matanya, tanpa terkecuali Aira."Apa? Rumah Sakit Jiwa? Apa tidak bisa di tempat lain gitu, Mas? Misalnya di Panti Rehabilitasi dulu? Kok langsung ke ...." Serentetan pertanyaan dan kecemasan Aira ungkapkan kepada suaminya itu. Terlihat sekali wanita dengan wajah kalem itu mengkhawatirkan beberapa hal. Alif menanggapi kecemasan istrinya dengan senyuman, lelaki itu terlihat begitu datar menanggapi pertanyaan Aira."Semuanya juga belum pasti, Dek. Tapi tidak menutup kemungkinan demikian. Nanti setelah ditangani Dokter Heru, baru dapat kepastiannya bagaimana.""Kalau begitu, sekarang saja Mas yang hubungi Dokter Heru. Aku juga ingin tahu, bagaiamana tanggapan beliau.""Baiklah ....."Tak lama kemudian terlihat Alif sudah menghubungi dokter Heru, dokter kenalannya yang kebetulan memiliki background sebagai dokter syaraf.●Selepas Subuh, Aira bersama suaminya menuju klinik Dok

  • Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami   Bab 61. Langsung Rumah Sakit Jiwa

    "Jadi bagaimana, Ra?" tanya Murni tanpa malu.Aira tampak masih bergeming, sementara raut wajah Alif kini memerah. Lelaki dengan wajah tampan itu, tiba-tiba berdiri di hadapan kedua tamunya."Silakan kalian keluar dari rumah ini! Pintunya ada di sana, jangan pernah kembali ke sini lagi!" tegas Alif sambil menudingkan telunjuknya ke arah pintu keluar.Sesaat kedua tamunya terkesiap, tak menyangka reaksi yang akan mereka hadapi bisa seperti ini. Ikhsan tampak terlihat geram melihat ulah Murni. Tangannya terlihat mengepal seakan ingin meninju mulut lancang wanita berbibir tebal itu."Ma-maaf Lif, kalau ucapan istriku yang tak tahu diri ini membuat kalian tersinggung. Terima kasih sudah membantu kami sebelumnya. Masalah yang tadi diomongkan Murni, tolong abaikan saja. Saya mohon dengan sangat padamu. Jika tidak pada kalian, pada siapa lagi kami akan meminta tolong," rengek Ikhsan merendah dengan kedua tangannya yang menangkup di dada.Sesaat Alif memperhatikan Ikhsan, Aira nampak menyuruh

  • Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami   Bab 60. POV MURNI (Mendatangi Rumah Aira Kembali)

    Baru saja kaki ini menjejak masuk ke dalam rumah. Sella bilang kalau ada telepon, entah dari siapa. Segera saja kuambil ponselku yang sedari tadi tengah kucharger.Setelah kuaktifkan, ada beberapa panggilan dari Kak Tika. Tiba-tiba saja, firasatku mengatakan ada yang tidak beres."Kamu kemana saja Murni? Dari tadi aku telpon kok gak diangkat?"Tanpa salam, Kak Tika memberondongku dengan berbagai pertanyaan."Dari belanja ikan, Kak. Tadi ponselku sengaja kutinggal karena baterainya habis. Ada apa, Kak? Kok sepertinya penting banget?"Hening sesaat tak ada jawaban dari Kak Tika, hanya terdengar helaan napas panjangnya."Ponakanmu, si Yanti. Sepertinya dia perlu kita bawa ke rumah sakit.""Lho, memangnya Yanti sakit apa? Habis jatuh apa bagaimana?""Bukan, sepertinya dia sedikit terguncang.""Astaghfirrullah ... Kakak apa tidak salah?""Tidak, secepatnya aku akan bawa dia ke rumah sakit. Mumpung belum terlambat, Mur.""Ya sudah, nanti aku akan izin Mas Ikhsan dulu untuk balik ke kampung.

  • Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami   Bab 59. Mau Menyalahkan Siapa?

    Tika dan Yanti telah kembali ke kampung. Begitu tiba di rumah kediaman mendiang Ibunya, Tika segera ke rumah paman Asrul untuk memberitahu kejadian yang mereka alami.Siang itu, di teras paman Asrul. Tika bercerita panjang lebar tentang perihal yang menimpa Yanti."Jadi begitu Paman, mau tidak mau, kita harus berlapang dada menerima kejadian ini.""Yanti bagaimana, Tik? Apa anak itu baik-baik saja?" "Malah sekarang dia tampil lebih ceria, Yanti juga terlihat senyum-senyum di depan ponselnya. Sepertinya, dia sudah punya gandengan baru, Paman.""Kamu gak salah menilai 'kan, Tik?" "Ah, Paman ini. Salah menilai dari mana? La wong, Yantinya juga sering telponan sama manggil-manggil sayang gitu.""Ya sudah, asal bukan senyum-senyum yang lain saja."Tika sedikit bingung mendengar perkataan pamannya itu. Dahinya sampai mengerut, mencoba mencerna kalimat tersebut. Setelah berterima kasih pada pamannya, karena telah merawat Sari selama dia di kota, Tika pun pamit untuk pulang ke rumahnya.Bar

  • Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami   Bab 58. Kumala Meminta Balik Uangnya

    "Jadi kamu sudah memanfaatkan anak saya?!" Rena menatap tajam gadis di depannya itu dengan murka.Sementara Yanti pura-pura tidak memperhatikan Rena, yang terus menatapnya dengan kemarahan. Kedua bibinya turut seperti yang Yanti lakukan. Benar-benar keluarga kompak."Kalian menunggu saya usir atau pergi sendiri?" lanjut Rena lagi. Gadis itu melirik ke arah Anwar, lalu berpindah ke Imam dan Pak RT. Sedetik kemudian, kakinya menghentak diiringi tubuhnya yang berlalu dari hadapan keluarga Anwar diikuti kedua bibinya."Benar-benar keterlaluan mereka," gerutu Rena.Belum juga sampai meninggalkan tempat itu, di depan sana sudah ramai orang saling menjerit. Rena diiringi Imam, Anwar dan Pak RT berlari ke depan. Di luar pagar, terlihat Kumala tengah mencengkeram kepala Yanti. Badan gadis itu sampai terhuyung mengikuti gerakan Kumala yang menyeret tubuhnya hingga di depan rumahnya."Sekalian saja kita selesaikan sekarang. Cepat kembalikan uang saya! Kalau tidak, kamu akan lihat sendiri perl

  • Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami   Bab 57. Permintaan Yanti

    Namun, Murni dan Tika dapat mendengar ucapan Rena dengan seksama."Jangan mengancam kami! Sebaiknya panggil Anwar juga. Biar semua jelas dan terang benderang," gerutu Tika tak mau kalah.Rena pura-pura tidak menanggapi permintaan mereka. Sementara, Imam terlihat hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan tamunya itu berseteru dengan istrinya."Ngapain lagi kamu ke sini?!" teriak Anwar yang muncul tiba-tiba di teras. Terlihat sekali kekesalan dan luapan kemarahannya begitu melihat Yanti. Rambutnya yang acak-acakan karena baru bangun tidur, hanya disugarnya kasar dengan kelima jarinya."Nak Anwar kamu tidak bisa begitu?" ucap Murni seperti dilembut-lembutkan nadanya.Bibir Rena berjingjat sebelah, demi melihat adegan itu. Seakan tidak terima dengan apa yang dilakukan tamunya tersebut.Yanti nampak berjalan menghampiri Anwar."Sayang, kamu masih marah padaku? Pliiis, ma'afin aku ya. Aku janji bakal berubah. Seperti yang kamu inginkan," rayunya pada Anwar. Tangannya dengan tanpa malu be

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status