[Mama, apa boleh Mbak Yanti ikut berjualan online sepertiku?] Firda
Sebuah notifikasi masuk ke layar pintarku, dari Firda. Aku mengernyitkan dahi membaca pesan tersebut. Bukan soal isi pesannya yang membuatku demikian.'Tapi ... rencana besar apalagi yang akan dibuat oleh anak itu?'
Tak kubalas sms dari anakku-Firda. Keesokan sorenya, aku menanyakan pada Yanti dan Sari. Soal mereka yang mau ikutan jualan online. Tidak masalah, yang penting sekolah tetap hal utama.
"Jadi kalian mau ikutan jualan online?"
"Iya, Te" jawab Sari sendiri.
Kulihat ke arah Yanti yang pura-pura tidak mendengar. Sesaat kemudian akhirnya menoleh juga ke arahku.
"Kamu juga?" tanyaku pada Yanti. Lagi-lagi dia hanya cengar-cengir.
"Boleh jualan online, tapi harus ingat satu hal. Sekolah tetap yang utama. Ingat juga, kalau pembeli belum transfer uang, jangan dikirim dulu. Kecuali, kalian sudah janjian COD."
Ketiga gadis itu mengangguk. Bagiku, semua keingintahuan mereka adalah proses kehidupan.
"Mulai nanti ada belajar ngaji di rumah."
"Gurunya siapa, Ma?" tanya Vian antusias.
"Orangnya sudah tua apa masih muda, Ma? tanya Firda.
"Lihat saja nanti, yang pasti Mama ingin kalian bersungguh-sungguh belajar mengajinya. Agar nanti, bisa jadi pegangan hidup. Pandai pun kalau tidak berakhlak tiada guna," tuturku pada mereka.
Semoga dengan memperdalam Al-Qur'an, mereka akan semakin mensyukuri nikmat-Nya.
~~~~~
Terdengar sayup-sayup suara anak-anak mengaji dari lantai atas. Sungguh suatu kebahagiaan bagi orang tua. Memiliki anak-anak yang salih dan salihah.
Selain belajar tajwid, mereka juga diajarkan makhraj(ketepatan ucapan ). Jadi tidak asal bunyi saja, tetapi ada aturan-aturan pelafalannya.
Selama hampir dua minggu, lidah mereka mulai menguasai bacaan huruf dengan tepat. Ustad Karim juga sangat sabar membimbing anak-anak kami. Mereka juga diajarkan tata cara salat yang benar. Tak lupa pula pelajaran soal adab anak kepada yang lebih tua.
Masya Allah sekali hasilnya. Kami selaku orang tua, sangat terharu melihat anak-anak yang mulai lancar membaca Al-Qur'an.
Selesai mengaji, biasanya anak-anak belajar sebentar, untuk sekedar mengingat kembali pelajaran tadi siang. Kulihat Firda masih asyik membuat kliping macam-macam obat keras, karena memang dia sekolah di farmasi. Vian juga terlihat sedang menyusun buku untuk besok.
Aku membersihkan bekas makan malam kami dibantu Sari, karena cuma dia yang tidak bersekolah. Rencananya, mau ambil paket A saja. Biar Sari juga tidak ketinggalan pelajaran.
Sari terlihat sedang mencuci piring-piring kotor, aku beranjak ke atas membereskan tumpukan cucian yang belum diselesaikan Mbak Romlah.
Ketika akan menaruh sprei di lemari, tanpa sengaja mata ini menoleh ke arah Sari yang masih sibuk di wastafel. Namun, kali ini Yanti turut berdiri di samping Sari. Yang mengejutkanku, Yanti nampak memukul-mukul kepala Sari dengan centong nasi. Sementara Sari tak terlihat sama sekali melawan. Dia terus saja mencuci piring.
"Rasakan ini, Yu!" kata Yanti dengan terus memukul kepala Sari.
Aku sengaja berdiam diri agak jauh dari mereka, karena ingin tahu ada apa sebenarnya? Bahkan kulihat Yanti tampak semakin mencaci-maki Sari, anehnya Sari tetap terdiam. Hanya terlihat bahunya yang berguncang, mungkin menangis.
Ketika Yanti menoleh ke belakang, aku pura-pura berjalan memunggui mereka, ke arah lemari es. Yanti nampak menghampiriku, tapi aku pura-pura sedang mencari sesuatu.
"Ibu mau ambil, apa?"tanyanya dengan wajah innoncent-nya.
Ah, kalau tidak melihat sendiri kejadian lima detik yang lalu, mungkin mata ini bisa tertipu oleh wajahnya yang sok kalem menurutku.
Tiba-tiba menguap begitu saja rasa simpatiku padanya, tetapi aku masih bersikap wajar di depannya. Seperti tidak terjadi apa-apa.
"Mau nyari jamur, tapi lupa ditaruh di tepak yang sebelah mana?" jawabku sambil membongkar susunan tepak sayurku.
Tampak Yanti ikut sibuk membantu mencari. Aku melirik sekilas ke arahnya. Menghela napas berat, bagaimana bisa dia terlihat setenang ini. Setelah dengan seenaknya, tangan halus itu memukul-mukul kepala Sari.
"Sepertinya habis, tapi Mama lupa," kataku.
Aku beranjak dari dapur, niatku ke depan sekedar duduk santai di depan rumah menemani mas Alif yang sedang ngobrol bersama pak Husni, tetangga sebelah rumah.
"Mbak Aira!" seru Bu Wati yang terkenal sebagai tukang cicil barang dan uang di kampung kami.
"Eh, Bu Wati, dari mana, Bu?" Sekedar berbasa-basi.
"Dari ambil tagihan," sahutnya gak ada manis-manisnya.
"Owh ...."
"Saya ke sini sengaja, ada perlunya sama Mbak Aira."
"Oh ... ada apa, ya, Bu?" tanyaku heran. Tumben sekali dia ada perlu denganku.
'Ada hal apa sampai dia mendatangiku?'
"Mau minta uang saya, yang dipinjam sama Ponakan Ibu yang cantik, itu?" ucapnya mengagetkan.
Sontak saja mataku membulat mendengar penjelasannya. Keponakan yang mana ini maksudnya? Karena di rumah ada dua orang keponakan dari Mas Alif.
Lagian, masa iya, mereka ada urusan dengan bu Wati. Aku yang sudah lama tinggal di sini saja, enggan berurusan dengannya.
'Bagaimana mungkin, salah satu di antara mereka bisa berurusan dengan bu Wati?'
"Kemarin ponakan Mbak Aira itu ke rumah, pinjam uang dua ratus ribu. Bilangnya malam mau di balikin, eh sampai sekarang belum juga dibayar," cerocosnya.
Suamiku yang sedang berbincang dengan pak Husni, sontak turut menoleh mendengar ucapan bu Wati yang cukup keras itu. Pak Husni pun, terlihat geleng-geleng kepala.
"Buat apa, ponakan saya pinjam ke Ibu?"
"Bilangnya sih, buat bayar sepatu pesanan orang," gitu.
Berbagai pertanyaan berseliweran di kepala tanpa menemukan jawab. Aku tahu betul karakter bu Wati seperti apa, meskipun tidak pernah berkumpul dengannya tiap hari.
Bagi orang seperti bu Wati, uang adalah segalanya. Dia rela bekerja sampai malam pun, demi mengambil bunga dari uang yang diutangkan kepada mereka, yang tidak lagi memiliki tempat meminjam, selain dirinya. Meskipun dengan bunga yang mencekik.
Aku merogoh saku daster, kebetulan memang karena kebiasaan mengantongi uang. Kuulurkan dua lembar warna pink ke bu Wati. Namun, tangannya menepis pelan jemariku.
"Ngembaliinnya, ya, dua ratus lima puluh ribu dong, Mbak. Mana ada yang gratis zaman, gini. Kencing aja, bayar dua ribu."
Dahiku semakin berkerut mendengar penjelasannya. Rentenir banget orang ini. Pinjam juga baru semalem dua ratus ribu, kenapa sudah berbunga jadi dua ratus lima puluh ribu? Benar-benar tepok jidat karena ulahnya.
"Bu, kenapa kemarin dipinjami? Kok tidak konfirmasi ke saya dulu? Lagian, semalem saja bunganya sampai lima puluh ribu," omelku ga mau kalah.
"Eh ... Mbak Aira ini. Sudah dipinjami keponakannya, gak terima kasih. Malah saya diomeli. Lagian, kemarin saya sudah bilang soal denda itu sama keponakannya, Mbak. Lima puluh ribu itu denda Mbak, bukan bunga," cerocosnya.
"Kalau gitu, Bu Wati tagih saja sendiri ke anaknya. Jangan minta istri saya!" hardik Mas Alif yang ikut tersulut amarah.
Bu Wati langsung menyambar uang yang masih di tanganku. Lalu bergegas pergi, menstater motornya. Sambil mulutnya tak henti mengumpat kami.
"Dasar orang kaya bohongan! Lagaknya aja yes, bayar hutang kok pakai nawar!" makinya sambil berlalu.
Aku mengelus dada melihat kejadian tersebut. Pak Husni juga terlihat tidak senang, melihat tingkah bu Wati tadi.
"Kenapa langsung dibayar, Dek? Kok ga ditanyain dulu ke anak-anak."
Aku menghela napas dalam, tak mungkin bu Wati itu sampai berani nagih, kalau tidak pinjam uang miliknya.
Gegas aku beranjak masuk ke dalam rumah, tetapi belum sampai menyentuh pintu gerbang rumah, seseorang menegurku.
"Mbak Aira, untung ada di luar ini. Mau aku kasih tahu," tegur Mama Salsa tetangga belakang rumah.
"Eh, ada apa?" tanyaku penasaran.
"Kemarin siang, aku lihat si Yanti kok ada di rumah, Bu Wati. Apa ... Mbak ada suruh dia, gitu?"
Setelah mengucapkan terima kasih pada Mama Salsa atas informasi yang diberikan, aku semakin yakin bahwa Yanti benar-benar meminjam uang dari Bu Wati. Ketika aku akhirnya masuk ke rumah, kulihat Yanti sedang asyik berbalas pesan sambil menonton tivi. Firda dan Sari nampaknya sudah naik ke atas untuk tidur. "Nak, Mama mau ada perlu sama kamu." Aku memang memanggilkan diriku Mama kepada mereka semua, agar tidak canggung. Yanti yang sebelumnya tidur-tiduran, bangkit duduk di dekatku. Aku mencoba menatapnya dengan pandangan kasih sayang. "Kamu, apa ada yang ingin disampaikan kepada Mama?" tanyaku sebelum aku meminta penjelasan darinya. "Tidak ada, Bu," jawabnya sambil sesekali berbalas pesan entah dengan siapa. "Kamu itu kalau diajak orang tua bicara, perhatikan!" hardik suamiku yang sedari tadi terlihat diam di sampingku. Yanti hanya mendongak sebentar, lalu menunduk lagi. "Ayah tanya sama kamu. Betul kamu pinjam uang ke Bu Wati?" "Iya," jawabnya singkat. "Buat apa, Nak?" tanyak
Dengan rasa tak sabar, aku pun berusaha mengontrol emosiku terlebih dahulu. Bagaimanapun, dia cuma anak-anak yang masih butuh bimbingan orang tua.Perlahan kudekati Yanti, suamiku tampak tidak senang. Bahkan kedua anak kandungku tampak merespon dengan wajah masam. Hanya Sari yang terlihat seperti orang berpikir keras."Lho Nak, kok kamu bikin status begitu? Siapa memang yang bikin arisan? Apa kamu jadi boreknya?" tanyaku dengan perlahan.Borek itu semacam pemimpin arisan yang tugasnya nanti, apabila ada yang tidak bayar, maka borek tadi yang jadi penanggung jawabnya. "Bukan Bu, teman saya. Cuma bantu promokan saja," alibinya."Kamu juga ikut?" tanyaku lagi.Yanti tampak mengangguk samar-samar. Bahkan ketika aku tekan di status ke-dua yang diunggahnya, ada lagi status yang sama dengan jumlah nominal yang berbeda beda. Ada hingga lima unggahan."Saya ikut tiga."Berani sekali dia ikut arisan, mataku sampai membulat lebar mendengar pengakuannya. Anak sekolah dengan uang saku 15 ribu. Ta
"Eh Yanti! Otakmu di taruhdimana sih?" sahut Sari yang sedari tadi diam memperhatikan."Ya di kepala, Yu! Masa didengkul?" sewotnya pada Sari."Kalau di kepala, gak mungkinloadingnya pentium satu. Bahkan kukira kamu taruh di kakimu. Ya, kaki yang baudan penuh kutu air," tangkis Sari."Awas kamu Yu! Jangan coba-cobangomporin Ibu!""Lho emangnya ngapain juga mestinomporin, Tante?" ucap Sari sambil membulatkan matanya. Keduanya jadi terlibat argumen panas, tanpa peduli aku dan Mas Alif masih ada di sana."Sudah! Sudah! Malah tambahberantem," lerai suamiku itu pada akhirnya."Kamu saya tanya sekali lagi.Masih mau sekolah atau gimana?" tanya suamiku dengan tatapan tajam ke arahYanti."Ya mau sekolah, Yah."Setelah menjawab, Yanti kembalimenunduk tak segarang ketika beradu mulut dengan Sari. Suamiku tampak masihmenatap ke arah Yanti."Kalau mau sekolah, yang benar!Jangan pake bikin acara yang aneh-aneh! Ingat itu ya, Nak?""Iya Yah, akan saya ingat."Yanti nampak beranjak dari d
Pagi ini aku menemui Bu Diah di YP. Islamic Modern tempatku dulu menimba ilmu. Sekaligus mengantar kue yang dipesan beliau beberapa hari lalu. Aku juga ingin sedikit melepas rasa rindu di sekolahku ini dulu. Mengenang masa-masa saat masih berseragam abu-abu.Sekitar pukul 09.30 aku sudah meluncur meluncur keramaian lalu lintas yang begitu padat. Tiba di sana sudah masuk jam istirahat, dengan gegas kuseret langkahku ke ruang guru."Ini Aira, ya?" tanya Pak Bandrio guru ekonomiku dulu di kelas 11. Aku menyalaminya dengan penuh rasa hormat."Kok masih ingat saya, Pak?" tanyaku dengan bangga."Ya pasti Bapak ingat kamu. Sekretaris Bapak yang paling pandai kamu itu," pujinya padaku. Aku merasa tersanjung dibuatnya."Terima kasih banyak, Pak. Berkat didikan Bapak, kini saya bisa seperti ini.""Jangan salah Pak, muridmu itu pengusaha sukses lho biarpun perempuan gitu. Wanita multitalenta," ujar Bu Diah sudah bergabung bersama kami di depan ruang kesiswaan. Aku pun menjawab salim kepada belia
"Panggil saja Bu, saya ingin dengar apa alasan anak itu. Takutnya kalau kita rencanakan malah dia berkelit lagi," selaku."Tapi tunggu bentar. Sekarang ada pelajaran Pak Hadi, khawatir ada ulangan di kelas Yanti," ujar Bu Kus selaku TU.Aku berdiri dengan tubuh gemetaran. Bukannya apa, aku takut tidak dapat menahan emosiku saja. Sebab dari tadi rasanya sudah ingin kugigit anak itu!Nampak beliau sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Sejenak kemudian terlihat sudah selesai."Aman, ga ada ulangan kok," terang Bu Kus.Bu Diah beranjak keluar ruangan. Aku diajak Bu Kus masuk ke ruang yang bersekatan dengan ruang depan."Kamu tunggu di sini, bentar. Nanti Ibu kasih kode buat keluar, ok?""Siap!" jawabku tidak sabar, sambil menghempaskan bokongku yang sudah terasa panas.Terdengar langkah orang datang masuk ke dalam ruangan. Aku yakin sekali jika itu Yanti. Sebab tak lama kemudian terdengar suara bu Kus yang sedang menginterogasi."Yanti, kapan yang mau bayar kurangan uang pembanguna
POV YANTIAku masih berusia dua tahun kala itu, Bunda meninggal karena seringnya mengkonsumsi obat pengurus badan. Saking pinginnya beliau langsing, hingga beliau berbuat demikian. Bunda mengambil jalan pintas tersebut.Ayahku yang sering bermain-main dengan perempuan cantik. Membuat Bundaku terobsesi untuk kurus. Sayangnya hal itu malah merenggut jiwanya. Begitu yang kudengar dari cerita orang-orang di sekitarku.Namaku Sri Damayanti sedang kakakku Sari Kusumaningrum, kami hanya dua bersaudara. Ketika Bunda meninggal usia Yu Sari sudah lima tahun. Dia mengingat betul paras Bunda yang tidak pernah aku kenali. Aku hanya dapat mengenali wanita itu, pada foto yang sudah memudar warnanya.Kata Yu Sari, Bunda sangat menyayangi kami berdua. Kami dimanjakan bak puteri dalam negeri dongeng. Semua yang kami inginkan diberikannya tanpa menunggu waktu yang lama.Setelah Bunda meninggal, kami berdua diboyong Nenek untuk dirawat di desa. Namun tak lama kemudian, Ayah menjemput Yu Sari turut bersam
"Neneeeekkk! Aku dirampok!" teriakku dengan scream-jerit mengundang semua orang untuk melihat ke luar rumah."Ada apa, Yan? Dirampok di mana?" tanyanya denga tergopoh, sambil menjinjing jarik usang yang memudar memudar Jika tika tidak dalam keadaan bersandiwara, pasti aku akan tertawa ngakak karena melihat ulah Nenek yang sangat lucu. Sayangnya sedang akting."Sudah, gak pa pa, Yang penting kamu selamat," ucap Nenek memelukku.Dalam hati, sempat terbersit untuk mengatakan keinginan ikut Yu Sari ke kota. Namun, melihat tubuh renta dan mata yang mulai merabun itu, aku jadi tidak tega.Sampai suatu siang, sebuan nomer tertera melakukan panggilan masuk ke handphoneku. Sebuah nomer tanpa nama, tetapi tetap kuangkat karena rasa penasaran yang mendominasi."Assalamu'alaikum....""Wa'alaikumsalam....""Apa yang benar dengan Yanti ini?""Ya benar, dari mana ya?" tanya dengan antusias."Hai Mbak, ini Ibu Panti Kasih Sayang.""Jadi gimana? Apa kamu jadi tinggal bersama kami?""I-iya, Bu. Mau sa
'Kamu dimana Yu?'Aku masih celingukan mencari Yu Sari. Barangkali saja dia repot di dalam, hingga tidak menyadari kalau aku sudah datang.Satu per satu kamar yang berjajar, membuatku melongokkan kepala ke dalam. Sekedar melihat, mungkin Yu Sari ada di dalam. Hingga sebuah suara mengagetkanku."Mbak ... dipanggil Ibu Mira ke depan."Aku menoleh ke asal suara itu, bocah laki cilik yang tadi memperhatikanku. Aku pun bergegas ke depan."Yanti, Ibu mau minta tolong belikan tas plastik kecil di warung sebelah," perintah Bu Mira sambil memberiku selembar uang lima ribuan. Aku pun memenuhi perintahnya. Kutengok kanan kiri untuk mencari keberadaan warung tersebut. Tak lama netraku menangkap warung bernuansa biru yang terletak di sebelah kanan, empat rumah dari panti.Aku melangkahkan kaki menuju warung tersebut. Ketika sampai di warung itu, sang pemilik mengawasiku dengan seksama."Mau beli apa?" tanya Ibu pemilik warung."Plastik kecil putih, Bu.""Kamu anak panti baru ya?" tanya Ibu tadi s