Aduh! Malu, super malu!
*Segera aku ambil tas kresek lagi. Dalam diam, kami mengambil tomat-tomat yang berceceran."Tomat segini banyak untuk apa, Mbak? Untuk luluran? Atau, buat berendam?" tanyanya ketika memberikan tomat yang terakhir.
Aku tersenyum dan tertawa kecil. Ternyata orang ini selain tampan juga lucu.
"Mas, mana ada luluran pakai tomat. Ini saya pakai untuk membuat saus tomat. Makanya saya tidak bisa bagi lebih dari setengah kilo. Karena, saya sudah ada pesanan," jelasku.
"Saus tomat? Home made?" tanyanya kaget. Matanya membulat ke arahku. "Kenapa tidak bilang dari tadi, Mbak!" teriaknya. "Saya juga mau buat saus tomat. Kalau begitu, saya beli sekarang ada?" tanyanya dengan girang.
"Ada, tetapi di rumah. Hanya ada lima botol saja," ucapku.
"Kalau begitu saya ambil sekarang, ya!"
"Tapi, Mas. Saya belum selesai."
"Tidak apa-apa. Saya tunggu. Sebentar, ya!" ucapnya dan berjalan menjauh, dia menerima telpon.
Samar-samar dia berbicara tentang tomat dan memberitahu bahwa mendapatkan saus tomat homemade. Maksudnya pasti saus buatanku.
Yah, akhirnya dapat pelanggan baru walaupun dengan cara yang dramatis.***
"Kartika, bulik pergi sama Mang Diman. Kamu tidak ikut kami, kan? Kan sudah ada barengannya," katanya sambil mengedipkan mata mengarahkan ke laki-laki tadi yang masih menerima telpon.
Ternyata bulik memperhatikan apa yang terjadi tadi. Walaupun dia pura-pura tidak tahu.
Dasar! Tidak bantuin malah ngledek."Hati-hati jalan bareng cowok ganteng," godanya sambil menepuk bahuku dan mengedipkan mata.
Dia bergegas ke mobil pickup dengan menenteng tas. Mang Diman sudah siap dengan keranjang tomat yang menumpuk di belakang.
"Mas! Hati-hati bawa ponakanku, ya. Jangan sampai lecet!" teriak Bulik Surti.
Mereka meninggalkan kami, dan tersisa aku dengan laki-laki yang entah siapa namanya.
***
Untung aku memakai celana jeans lebar tiga perempat yang aku padukan dengan kaos putih, jadi naik mobilnya yang tinggi tidak kesusahan. Mobil jeep berlable buatan luar negeri.
"Rumahnya dari pasar terus sampai balai desa. Rumah saya nomor lima sebelah kiri," terangku setelah memasang seat belt.
"Setelah pasar, ya. Kalau begitu, bisa mampir ke pasar dulu? Ada yang harus saya beli," ucapnya sambil mulai menjalankan mobilnya berlahan.
"Tolong baca ini, saya dikasih daftar belanja ini. Orang rumah kasih saya tugas ini. Saya bingung. Apakah di pasar ada semua?" tanyanya sambil menyodorkan kertas yang dia ambil dari dashboard mobil.
Daftar belanjaan yang banyak. Bawang merah, bawang putih, sayur, saus tiram, kecap ikan, ayam, daging dan masih banyak daftar di bawahnya. Aku menoleh ke arahnya yang serius mengemudi mobil. Jalanan berbatu membuatnya ekstra hati-hati, walaupun menggunakan mobil medan.
Istri macam apa yang memberikan daftar belanjaan sebanyak ini.
Siapa dia sebenarnya? Kalau orang asli kampung sini tidak mungkin. Aku belum pernah melihatnya. Mungkin mereka menginap di vila sekitar sini."Ikut saya masuk pasar?" tanyanya setelah kami sampai di parkir pasar. Aku langsung mengiyakan, toh di mobil juga bosan.
"Ini daftarnya," ucapku menyerahkan daftar belanja yang begitu panjang.
"Mbak, bantuin saya, ya. Saya tidak mengerti harus belanja di toko yang mana," katanya terlihat bingung melihat jajaran toko dan lapak sayur yang berderet.
Dia terlihat bengong sambil melihat daftar yang dia pegang dan pasar yang penuh dengan ibu-ibu.
"Sudah! Sini daftarnya. Saya bantu belanja. Masnya siapkan uang saja dan bawa belanjaannya!" ucapku seraya mengambil kertas di tangannya dan bergegas masuk ke pasar. Kalau ngikutin mas nya ini, bisa selesai besuk pagi belanjanya.
Dia mengikutiku dari belakang dan berusaha mengejar mensejajariku. Sepanjang jalan, pedagang melihat kami dengan tatapan keingintahuan. Beberapa terlihat berbisik-bisik.
Wajarlah, mereka tahu benar aku janda baru cerai. Mungkin mereka heran, kok sudah ada laki-laki yang ngintil.
Biasa, orang di sini kalau melihat barang baru suka kepo, apalagi bening seperti yang menjulang di sebelahku ini.
"Mbok Lastri, tolong siapkan yang nomor lima sampai sebelas. Mulai yang bawang putih ini, lo," kataku menyodorkan daftar belanjaan.
"Mbak Kartika, temannya kapan datang?" tanyanya sambil menimbang belanjaan, dia mengarahkan wajahnya ke mas di sampingku ini.
"Mas! Ditanya itu, lo!" ucapku sambil menyenggolnya.
"Sa-saya. Saya sudah dua hari di sini, Bu," jawabnya sambil tersenyum.
"Jangan panggil, Bu. Mbak saja. Wah, sebentar lagi kita kondangan, dong," kata Mbak Lastri sambil tersenyum genit. "Totalnya tujuh puluh delapan ribu," katanya lagi sambil menyodorkan kresek belanjaan. Wajahnya masih terpasang senyum genit dan mata berbinar.
"Mas! Bayar!" teriakku ke mas itu. Dia menyodorkan uang pecahan seratus ribuan.
"Mbk Tika, jangan galak-galak sama Mas Ganteng ini. Nanti, ucul! Aku siap nangkep, lo!" ucapnya sambil tertawa, dia memberi uang kembalian belanjaan.
Dasar Mbak Lastri janda ganjen, setiap ada yang bening tidak tahan untuk menggoda.
*
Kami keliling pasar untuk melengkapi daftar belanjaan yang panjang ini. Dia di belakangku membawa dua tas kresek besar. Untung dia kuat, kalau aku yang membawa pasti tidak sanggup.
Tinggal satu saja yang belum, daging sapi. Kalau sudah siang begini, lapak yang masih ada tinggal lapaknya Mbok Wage. Letaknya di paling belakang pojok pasar. Dia langganan kami.
"Mbak, daging lulur dalam dua kilo!"
Mbok Wage yang masih nyamil gorengan langsung berdiri. Dia menatap kami bergantian, dan melihat mas di sebelahku yang membawa dua tas kresek besar.
"Aduh, Tika ... Tika! Cah bagus seperti ini kok mbok ajak ke pasar to, Nduk! Masnya ini juga, sayang banget ya, sampai ke pasar saja diikuti! Takut hilang, ya!" ucap Mbok Wage nrocos tanpa jeda.
Ucapannya tidak berhenti, justru berlanjut tak karuan. "Memang kalau Cah Bagus gini, harus dikempit kemana-mana. Cepet yo Nduk, kamu dapet gantinya! Daging lulurnya tinggal ini, satu lonjor dua kilo lebih. Diambil semua, ya!" teriaknya lagi.
"Iya, Mbok. Diambil semua!" ucapku tanpa menghiraukan perkataan yang sebelumnya.
Setelah membayar, kami segera berlalu dari hadapannya dengan diiringi tatapan yang entah apa artinya dari para pedagang lainnya.*
"Akhirnya selesai!" ucapku sambil duduk di kursi mobil di sebelah sopir.
"Mas, maaf, ya. Orang di sini memang suka begitu. Kepo!" ucapku mengingat kejadian di pasar tadi. Kasihan orang ini, tidak tahu apa-apa bisa jadi dituduh macam-macam. Jalan dengan janda sepertiku, menjadi musibah.
"Saya yang terima kasih, Mbak. Kalau tidak dibantuin, saya tidak yakin bisa pulang hari ini Mbak, mbaknya kringetan," ucapnya sambil memberikan kotak tissue kepadaku.
Aduh, sudah ganteng, baik dan perhatian lagi. Level ketampanannya langsung naik sekian persen.
Priiit ... !
Kang Bejo tukang parkir pasar menghampiri kami. Dia terlihat kaget melihatku di dalam mobil. Bergantian dia melihatku dan mas disampingku ini.
"Kartika!" teriaknya "Wuih, calon baru, ya!" katanya sambil menaikkan kedua alisnya.
Aku tersenyum kikuk. Mau dijelaskan, bagaimana caranya. Apa perlu ditulis di depan mobil, ya.
Kesal, aku!
"Gratis! Buat calon manten!" teriaknya ketika aku menyodorkan uang parkir.
Aduh!
Bakal orang sekampung salah paham. Aku menepuk jidatku sendiri.Mas di sebelahku malah tertawa terkekeh.
"Susah ya, Mbak. Kalau jadi selebritis!" ucapnya dengan masih tertawa.
*****
"Terima kasih, Sayang. Aku bahagia sekali!" ucapnya dengan menciumku bertubi-tubi. Di meja terlihat kotak yang terbuka dengan stik di tengahnya dengan garis dua berwarna merah di layarnya. Alhamdulillah. * "Kamu bahagia, kan?" tanyanya kembali. Kami sudah tidak duduk berhadapan lagi, kursi dia ganti dengan sofa panjang menghadap pemandangan alam dari lantai dua sambil menunggu pesanan makanan datang. Kami duduk berdampingan dengan tangannya merangkul pundakku. Proteksinya naik satu tingkat, makanan semua atas pesanan Mas Ilham, yang sebelumnya dipastikan di internet bahwa aman untuk ibu hamil. Termasuk minuman yang aku minum. "Lebih dari bahagia, Mas. Hatiku lega sekarang. Selama ini, terus terang aku tertekan," ucapku dengan menurunkan badan sedikit dan menyandarkan kepala di bahunya. "Yang paling lega itu aku." "Kenapa?" "Karena, mereka serius latihan berenangnya. Ini buktinya!" selorohnya sambil tertawa. Aku tersenyum mengingat bagaimana usaha kami untuk tujuan ini. Set
Mas Ilham memandang Pak Lurah, kemudian berganti memandangku. Dibukanya amplop tersebut dan dibaca kertas yang ada di dalamnya. Senyumnya seketika mengembang dan menatapku seperti tak percaya."Iya kalian mendapatkan penghargaan sebagai pemuda yang menginspirasi di tahun ini. Minggu depan, kita bersama-sama ke Pusat!" ucap Pak LurahTernyata kiprah kami terdengar sampai pusat, dan itu kebanggaan tersendiri untuk kami."Baiklah, Pakde Lurah. Kami permisi dulu," permisi kami sebelum meninggalkan Balai Desa.***"Mas Ilham, aku ke cafe yang kita pernah ke sana. Yang ada pisang krispynya," ucapku sambil menggelendot manja di lengannya. Hari ini hari minggu, jadi hanya ada kami berdua di sini. Waktunya, aku bermanja tanpa takut terpergok seseorang."O, yang di cafe itu. Kenapa? Mau napak tilas?" ucapnya berpaling ke arahku dan mencium sekilas pipi ini."Pingin pacaran.""Lho, ini sekarang sudah pacaran. Kurang mesra apa? Minta lebih?" ucapnya merengkuh tubuhku sambil menatapku dengan mata
Hari itu merupakan langkah awal, desa kami untuk berubah. Agrowisata Tomat sudah di buka, dan usaha kami mendapatkan apresiasi dari pemerintah. Dinas Pertanian dan Dinas Pariwisata datang menjadi saksi lahirnya pembaharuan ini. Semua berjalan lancar.Mas Ilham mendatangkan media cetak dan itu sangat tepat untuk promosi.Hanya hitungan minggu, Agrowisata Tomat ramai pengunjung. Kamipun sibuk memaksimalkan fasilitas yang ada. Memperbaiki beberapa sistem yang kurang.Mas Ilham berusaha merinovasi terus menerus sampai mereka pengelola dari desa bisa mandiri. Usaha ini buka tidak ada halangan. Pernah beberapa pengepul tomat datang untuk menyampaikan inspirasi. Mereka kawatir tidak akan mendapatkan tomat lagi dari petani. Pak Lurah dan Mas Ilham langsung turun tangan. Mas Ilham memberikan skema pemasaran tomat, mereka diajari untuk mengembangkan bisnis mereka. Sehingga tidak terjebak dengan usaha yang tanpa pengembangan.Para pengepul akhirnya kembali dengan rasa puas. Dari kejadian ini,
Kami memarkir motor di halaman dan langsung menghampiri Ibu di teras rumah yang tersenyum-senyum."Assalamualaikum, Bu!" ucap Mas Ilham dan mencium tangan Ibu. Tangannya langsung ditariknya ke dalam. Mereka meninggalkanku sendiri di teras, huh! Benar-benar mengesalkan."Nak Ilham pasti lapar, kan. Sudah saya siapkan soto daging. Makan sekarang?" "Sebentar saya ke kamar mandi dulu, Bu. Capek keliling desa!" ucap Mas Ilham dengan tersenyum, dia langsung bergegas pergi. "Tika! Suamimu itu diurus yang benar. Tadi pagi kamu kasih sarapan tidak? Sekarang kalian tinggal berdua saja, kamu jangan semena-mena pada suami. Diperhatikan kebutuhannya. Dulu di rumah Bu Aisyah, Mamanya yang memperhatikan. Sekarang dia tanggung jawabmu!" kata-kata Ibu mulai berentetan panjang sekali. "Sudah, Bu. Tadi pagi kami sarapan roti. Ibu tidak usah kawatir," ucap Mas Ilham setelah keluar dari kamar mandi. "Apa?! Cuma roti? Mana bisa untuk menambah stamina? Sudah sekarang kalian makan!" teriak Ibu. Aku dan
"Terima kasih atas kunjungannya ke Agrowisata Tomat di Desa Panggah Mulyo. Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi, kalau ada umur yang panjang, boleh berjumpa di Agrowisata Tomat ini."Lela menutup simulasi pemandu wisata untuk pembukaan hari besuk. Disambut tepuk tangan Pak Lurah beserta perangkat desa.Walaupun sebagai sekretaris pengelola, dia juga ikut andil di lapangan. Mas Ilham menunjuknya sebagai pelatih dan mengawasi para pemandu. Ternyata kecerewetannya sangat berguna di program ini. Itulah kelebihan Mas Ilham, mengatur dan menempatkan orang sesuai kemampuan dan kemauan seseorang.Semua warga di sini bersiap menyambut hari besuk. Semua ketua RW dan RT mengatur warganya untuk berbenah bersih-bersih desa. Kelompok tani bersiap merapikan lahannya. Tumbuhan tomat dipangkas daun-daun kering dan dahan yang mengganggu. Para pemuda juga sibuk di pos yang sudah di tentukan. Para pelaku UMKM sibuk merapikan lapak dan produknya. Semua satu kampung sibuk, apalagi Pak Lu
“Apa enaknya, tidak ada acara belah duren!" Celetukan itu yang membuat Pak Bambang kehilangan satu gigi depannya. Kejadian itu sempat membuat desa heboh, banyak yang menuding Pak Bambang keterlaluan walaupun di belakang tetap ada kasak kusuk membenarkan perkataannya. Termasuk aku sendiri."Mas Ilham, benar yang diucapkan dia. Seumur hidup kamu tidak mempunyai momen itu. Aku iklas, kalau kamu ingin menikah lagi," ucapku yang memang tidak mungkin memberikan dia sesuatu itu."Gila, kamu! Kau pikir aku kambing, yang asal kawin untuk darah perawan yang hanya sesaat itu!" teriak Mas Ilham."Mas Ilham, aku hanya tidak ingin kamu menyesal. Kenapa kamu marah? Kau pikir aku senang dengan menawarkan ide ini?!" "Dasar istri bodoh! Sini istri bodohku yang membuatku jadi orang bodoh juga," ucapnya merengkuh tubuh ini."Kok kamu ikutan bodoh?""Iya iya, lah. Ganteng gini dapet janda," ucapnya sambil berkelit dari cubitanku."Kartika, menikah itu bukan beralasan janda, perjaka ataupun perawan. Teta