Setelah membersihkan badanku, aku memilih langsung menuju ruang keluarga. Tak ingin melewatkan waktu bertanya karena ini terlihat sangat serius. Sampai-sampai Bunda beralasan sakit untuk memintaku pulang.“Sudah cantik anak Bunda. Bunda sampai pangling melihatmu tadi saat baru datang, Sayang,” puji Bunda padaku.Aku masih bersikap sedikit kalem, rasa kecewa membuatku harus memberi mereka pelajaran. Memaksaku pulang dengan alasan sakit sungguh tak bisa dibenarkan.“Yah, Mantra sebenarnya lelah hayati dan ingin istirahat di kamar. Namun, rasanya ada yang mengganjal pikiran Mantra kali ini. Mumpung semuanya berkumpul, Mantra ingin menjelaskan sesuatu dan bertanya sesuatu.” “Khair, panggil semua adik dan kakakmu,” ucap Eyang.Tak menunggu lama, Ayah, Radit, Aldi, Gala, Khair, Yana dan datang. Hanya Alga, Nino dan Oji yang tak ikut karena Nino dan Oji sedang mengantar istrinya pulang ke rumah sedangkan Alga usianya belum layak mendengar pembicaraan penting ini. Dia masih bersama Aldo di
"Kak Bagas? Bukannya ponselnya ada pada Simbok? Apa sudah diretas kembali?" kelakarku. Aku memilih mencari tempat sepi untuk mengangkat panggilan Kak Bagas."Ra, kenapa kamu nggak kabari Kakak kalau mau pulang lebih awal? Bukankah kita sudah sepakat pulang ke rumahmu bersama?" cecar Kak Bagas. Bukannya menjawab pertanyaanku, Kak Bagas justru memberondongku dengan berbagai pertanyaan."Memang begitu? Maaf, Kak, Dara lupa, habisnya buru-buru sudah dijemput para adik-adik.”“Iyakah? Adik atau kekasih yang Kakak tidak tahu?” Aku tertawa menahan rasa lucunya mendengar nada panik bercampur cemburu.“Apaan sih? Dara itu punya adik sembilan, umurnya juga jaraknya dekat-dekat. Dara yakin, kak Bagas dengar dari tetangga kalau Dara dijemput bujang ganteng-ganteng. Ngaku nggak?”Panggilan berubah menjadi video call. “Jangan bohong, Ra. Kakak nggak suka dibohongi,” ucapnya.“Ya ampun Kakak, buat apa Dara bohong. Nanti aku kasih liat fotonya, aku sent deh jika perlu sekalian sama keluarga besar Dar
“Mantra pergi dulu, Bun. Ayo, Ga.” Aku menaiki motor berboncengan dengan Gala. Dia adikku yang kelima dan merupakan lelaki yang mendekati kata sempurna. Ganteng, pendiam, putih, anaknya selalu rapi dan suka akan kebersihan. Mungkin gen keturunan Bunda kebanyakan turun ke Gala daripada aku.Perjalanan semakin terik, udara dan polusi mulai tak nyaman di hidung mungilku ini. Keringat juga sudah mulai membanjiri, ah .. demi motor dan ponsel aku rela seperti ini. Jarak yang dilalui masih lumayan jauh, tetapi aku sudah gerah duluan.“Mampir dulu ke warung makan ya, Gal? Kita istirahat dulu. Ngga baik naik motor kalau badan udah letih,” ajakku.“Ya, Mbak. Tapi setengah jam lagi kita pasti sampai,” ucap Gala. “Ya, tapi Mbak haus pengen minum.”Akhirnya Gala mengalah dan menurutiku beristirahat. Jarak Jakarta Bogor sebenarnya tak lama bagi mereka yang sudah terbiasa pulang pergi. hanya saja, aku sudah lama tak melewati rute ini sehingga aku sedikit nyeri pinggang saat kembali ke kota asalku
Kalau tahu Desi ada di apartemen Pak Zidan, aku tadi langsung saja ke sana. Tiga jam aku menunggu bu kos pulang dan akhirnya kejelasan Desi tinggal, kami ketahui juga.“Jadi langsung ke apartemen, Mbak?” tanya Gala.“Ya, sudah seharusnya seperti itu. Ya kali kita pulang ke rumah.”“Mbak tahu apartemennya?” tanya Gala seperti tak yakin dengan wajahku.“Hm, Mbak pernah tinggal di sana anaconda. Kuylah, dah hampir gelap ini.”Akibat insiden di kosan tadi, aku jadi harus kesorean membawa pulang semua barangku. Niat hati ingin satu hari di Jakarta sepertinya urung aku lakukan. Karena resiko jika memaksa pulang jika hari sudah malam. Begal mengancam di setiap sudut jalan yang sepi dan aku tidak mau ambil resiko terburuknya.Jarak kosan dan apartemen lumayan jauh. Pengamanan di sana juga lumayan ketat, patilah nanti aku akan sangat direpotkan dengan kegaduhan lagi mengingat KTP dan identitas lainnya tak ada yang aku miliki. Nomor Desi juga sudah tak dapat dihubungi membuat aku kesusahan sen
Hati yang terlanjur gugup dan takut, membuatku berkeringat. Desi yang tadi ngoceh bak petasan lebaran, sepertinya tak lelah merepetkan suaranya dan aku menjawab seperlunya."Mbak jadi aneh ya? Biasanya kalau Desi ajak ngoceh Mbak jadi pemandunya. Paling nggak ikut ngegibah bareng. Ini seperti bukan Mbak Mantra yang Desi kenal," sungut Desi."Maunya aku ngapain? Ini di rumah orang loh. Dah, diem jangan berisik!" ujarku.Aku melihat Mami dan Papi Boz Zidan keluar dengan wajah bahagianya. "Wah, ini toh yang dimaksud calon mantu Mami. Cantik sekali, Mami kira kamu bakalan bawa si Mantra. Dah ganti?"Pak Zidan berdehem pelan."Tante, gimana kabarnya? Lama tidak berjumpa," sahutku setaya mencium tangannya takdim."Loh sudah pernah ketemu toh?" tanya Mami."Mami lupa atau gimana? Dia itu Mantra, sekarang memang sudah kurusan," sahut Pak Zidan. "Oh Mantra udah ganti casing toh. Sampai pangling Mami.""Selamat berjumpa kembali, Mantra. Mari kita ngobrol," ajak papinya Pal Zidan."Bagaimana k
.Menyiapkan mental untuk jujur itu memang sulit. Ya, aku sadar aku bukanlah wanita yang sempurna dan aku sadar jika aku harus memilih salah satunya."Mbak Mantra …."Suara Kania yang cempreng memanggilku untuk segera keluar makan malam. Di rumah sebesar ini, aku merasa tak nyaman. Padahal orangtua Zidan sangatlah baik, tapi aku tidak bisa sesantai biasanya. Mungkin karena aku hendak jujur. Ya, jujurly, aku gugup."Ya."Aku beranjak setelah membetulkan baju yang aku kenakan. Desi yang sedari tadi bersama Kania, membiarkanku di kamar sendiri dan alhasil aku turun ke bawah sendiri."Tra …."Kali ini sosok yang pernah membuatku baver dan salting ada di depanku. Ya, Rangga, dia lelaki yang aku kira bisa menjadi pendamping namun sekarang hanya jadi tokoh figuran. Ngenes …."Eh, Mas Rangga," sapaku."Ini seriusan kamu? Aku sampai pangling loh. Cantik beut dah, makanya Kakak sampai jatuh cinta. Yuk kita makan malam, Mami Papi dan nunggu di bawah." Rangga merangkulku dan mengajakku turun. Dia
."Mampir dulu, Pak?" tawarku saat baru sampai di depan pintu rumahnya."Sudah malam. Nggak enak, Tra. Ya sudah, kamu hati-hati. Maaf atas segala salahku padamu, semoga kamu memiliki jodoh yang tepat.""Aamiin, makasih doanya. Pak Zidan dan Mas Rangga juga, hati-hati di jalan. Semoga di jalan ketemu jodoh yang pas sesuai keinginan," kelakarku."Jodoh di malam hari begini? Yang ada kuntilanak, Tra," sahut Rangga, spontan membuatku terkekeh."Jodoh nggak kenal waktu, Pak. Yang kenal waktu hanya sholat lima waktu saja. Good bye and see you tomorrow."Aku membuka pintu mobil namun Pak Zidan meraih tanganku."Tunggu, Tra."Pak Zidan meraih sesuatu di saku celananya dan meletakkan pada tanganku."Tadinya mau aku pakaikan di tanganmu. Hanya saja, kamu menolakku. Namun, aku berharap kamu mau menyimpannya sebagai kenang-kenangan dariku. Jika tidak menganggapku, setidaknya terimalah ini sebagai hadiah terakhirku.""Ish! Ngeri ih! Pakai hadiah terakhir, ada lagi juga nggak apa. Tapi ini apa, Pak?
Siapa."Aku jemput ya, Tra?"Pesan dari Bagas ternyata masuk setengah jam yang lalu saat aku masih mandi. Pukul jam 7 dia sudah mengirimi pesan membuat batinku bertanya-tanya. Apa dia tak tidur semalam karena mau bertemu denganku? Wah, pede sekali aku ye."Berani?" Baru saja hendak aku sent, sebuah mobil berhenti di depan rumahku. Aku yakin, itu bukan anggota keluargaku.Aku intip dari dalam kamar, ternyata Bagas yang keluar dari mobil dengan membawa buah tangan."Assalamualaikum," salamnya yang masih terdengar olehku. Terdengar pula sahutan dari Bunda di luar. Tadi beliau memang sedang menyapu halaman. Aku merasa grogi. Kusisir kembali rambut lurusku dan menyemprotkan parfum babyswal kesukaanku.Bismillah. Semoga hari ini aku benar-benar dapat kabar baik. Kasihan adik-adikku, menungguku menikah selama ini."Mbak, ada Mas Bagas tuh!" Gala memanggilku dari luar kamar."Ya."Aku segera keluar dari kamar, meski harus dengan menetralkan detak jantung yang tak karuan. Kuhembuskan napas pe