Share

Heru, pemuda dingin

Heru Prasetyo menatap dingin wanita yang saat itu masih terbaring di atas kasur. Sesekali Ia menatap jam tangannya. 

"Kasihan juga Dia, apa Aku panggil Dokter saja?" Heru bicara pada dirinya sendiri.

Ia kemudian bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah Widy yang saat itu bergumam sendiri dalam tidurnya, seperti bermimpi buruk.

"Swwssshhh... swwwasshh,"

Lelaki tinggi itu mengernyitkan dahi, heran dan juga penasaran saat mendengar gumaman tak jelas dari wanita cantik berkulit putih yang saat itu belum juga sadar.

Saking penasarannya, Heru  menundukkan tubuhnya dan mendekatkan telinganya ke arah wajah Widy. Ia ingin mendengar lebih jelas apa yang baru saja Widy ucapkan, tapi ...

Tap!

Belum sempat mendengar apa yang Widy ucapkan, Heru mendapat serangan dadakan dari gadis yang sama sekali bukan tipenya itu.

Tangan Widy tiba-tiba melingkar di lehernya dan menariknya hingga Heru terjatuh, menimpa tubuh gadis itu yang masih menutup matanya.

"Emhh," 

Heru berusaha bangkit, tapi cengkeraman gadis itu begitu kuat

"Ayah! jangan tinggalin Widy! Widy ingin ikut Ayah!" 

Heru tercenung saat mendengar suara gadis itu yang terdengar serak. Ia menoleh ke arah wajah Widy, menatap lekat wajah blasteran Cina-Indo itu dengan seksama.

Bulir bening merembes di ujung matanya dan jatuh. Untuk beberapa saat pemuda dingin itu seperti menemukan sesuatu yang lain dari diri Widy, gadis yang Ia anggap rendah itu.

Heru yang menumpu tubuhnya dengan kedua tangannya itu seperti terhipnotis beberapa saat, tapi begitu gadis itu tiba-tiba membuka mata, moment itu pun menjadi ambyar.

Entah apa yang membuat Widy terjaga, tapi begitu melihat laki-laki itu berada di atasnya, Widy langsung tersentak.

Ia begitu saja melepas tangannya yang melingkar di leher Heru dan mendorong pemuda tampan itu hingga Ia terdorong menjauh.

Beruntung Heru yang bertubuh tegap dengan gampang mengendalikan tubuhnya. Ia menatap tak suka atas perlakuan Widy yang berbuat kasar padanya.

"Nga--ngapain, Ka--Kamu, mau macem-macem, ya!" pekik Widy seraya memeriksa tubuhnya dan bangkit terduduk. Ia lalu bergeser ke kepala ranjang dan menyandar dengan menatap tajam ke arah Heru.

Laki-laki bergodek tipis itu mendengus kesal. Tatapannya sedikitpun tak teralihkan ke tempat lain, Ia malah menekuk kedua tangan di dada.

"Heh, Kamu lupa siapa Kamu? tanpa di lecehkan pun, Kamu yang minta sendiri. Lagian, ngapain Aku macam-macam sama cewek murahan seperti Kamu? buang-buang waktu!" hardik Heru dengan wajah berang.

Degh!

Widy terkesiap. Lidahnya rasa kelu seketika. Untuk beberapa saat Ia lupa, siapa dirinya dan apa profesi yang Ia lakoni selama ini. 

Ucapan menohok Heru--pria berkemeja abu-abu itu menyadarkan ingatannya, bahwa dirinya hanya makhluk hina.

"Kamu jangan terlalu percaya diri, Kamu yang menarikku dan memelukku. Jangan buat modus, Aku bukan lelaki yang mudah tertipu, apalagi dengan wanita bayaran seperti Kamu!"

"Jadi, ingat! pernikahan ini bukan untukku, tapi untuk menuruti kemauan ibuku, tolong jaga jarak, karena Aku sedikit pun tak akan mungkin jatuh cinta dengan wanita malam sepertimu! sumber penyakit kelamin!"

Brak!

Tanpa ba-bi-bu lagi, Heru yang emosinya berada di ubun-ubun itu langsung keluar dan menghempas pintu kasar.

Widy hanya mampu terdiam. Menarik selimut dan menutup tubuhnya hingga sebatas dada.

Terhanyut pada kata-kata Heru yang meremukkan hatinya. Sebuah kenyataan yang tak mungkin di rubah dan tak mampu Ia sangkal, kalau memang segitu hinanya  dan se-rendah itu di mata Heru Prasetyo.

Sementara Heru, dengan wajah kesalnya menjatuhkan tubuhnya begitu saja di sofa ruang tamu yang empuk. 

"Huh, sialan!" dengusnya kesal. Tanpa Heru sangka, mamanya mendengar umpatannya. Wanita yang masih tampak cantik di usia yang tak lagi muda itu rupanya berada di ruangan sebelah.

"Kenapa, Heru? apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" tanyanya seraya duduk di sofa yang sama dengan Heru.

Heru menoleh dengan wajah masamnya. " Apa tidak bisa dengan wanita lain, Ma? Aku rasanya jijik dengan wanita itu," ujarnya dengan suara di tekan.

"Tidak, tidak bisa! Kamu jangan macam-macam, Ru. Mama akan sangat marah jika Kamu menghancurkan rencana ini!" ancam wanita itu.

Heru memalingkan wajahnya yang tampak kesal ke arah lain. Entah kenapa, Ia tak mampu berkata tidak pada wanita yang sudah melahirkannya itu.

Ia ingat bagaimana dulu mamanya itu berjuang keras demi dirinya dan juga adiknya saat Ayahnya belum sukses, dan itu membuat Heru berjanji untuk selalu menuruti apapun mau mamanya itu.

Widyawati lalu berdiri dan menatap ke arah luar, di mana langit berwarna jingga dan matahari yang hampir tenggelam.

"Persiapkan dirimu, karena malam ini juga kalian akan menikah. Mama akan menemui calon istrimu," ujarnya seraya melangkah meninggalkan Heru.

***

Widi menatap takut-takut wanita paruh baya yang baru saja memasuki kamarnya. Wanita itu tersenyum lembut, tapi tak Widi pungkiri, ada sesuatu dibalik senyum yang tersungging itu.

"Kamu jangan takut, Nak. Karena mulai hari ini, Kamu adalah bagian dari kami. Persiapkan dirimu, Aku akan memanggil asisten untuk mendandanimu," ucap wanita itu dan berlalu pergi begitu saja dari hadapan Widi.

***

Heru menurut saja saat dirinya di bawa ke sebuah ruangan di salah satu rumah yang baru beberapa tahun di beli mamanya.

Aroma semerbak melati mendominasi, belum lagi ruangan yang temaram dan hanya dihiasi lilin, tanpa bunga-bunga ataupun kain berwarna-warni yang menghiasi.

Ruangan itu tak beda seperti tempat pemujaan dan berbeda jauh dari suasana pesta pernikahan yang di penuhi pernak-pernik, tak ada semarak sama sekali.

Namun, Heru tak berani protes. Ia yang dijadikan sebagai boneka bagi mamanya itu hanya menatap malas, dan ingin segera mengakhirinya.

Sementara Widi yang telah selesai didandani pun, mau tak mau menurut saat di bawa seorang pelayan menuju salah satu ruangan tertutup.

Matanya mengedar ke segala arah saat memasuki ruangan. Heran. Tempat pernikahan yang harusnya ramai, bercahaya dan penuh ornamen bunga-bunga itu tampak berbeda, hanya ruangan kosong dan temaram yang dihiasi lilin di berbagai tempat. 

Di sana, Ia melihat Heru tengah duduk bersama dengan mamanya. Widy yang saat itu memakai dress hitam pas badan dengan model duyung itu pun duduk disamping Heru sesuai arahan pelayan yang tadi mengantarnya.

Aroma melati yang sangat menyengat mengusik indra penciuman Widi, tapi bukan hanya itu, Heru yang tampak tampan dengan tuxedonya itu pun berhasil mencuri perhatian Widi yang tak sengaja meliriknya.

Namun, gadis itu cepat tersadar saat tatapan Heru melesat ke arahnya. Seketika gadis itu memalingkan wajahnya, karena ingat apa yang di katakan Heru sebelumnya, kalau Ia hanya wanita hina yang terpaksa dinikahi olehnya.

Widy pun hanya terdiam saat suasana itu perlahan mencair saat wanita yang saat itu ada di dekat Heru mulai mengajaknya berbincang.

Tak lama seorang laki-laki berjas datang dan memimpin acara pernikahan. Meski orang itu sempat merasa aneh dengan suasana pernikahan yang terkesan horor, tapi pernikahan berjalan lancar dan Widi sah menjadi istri Heru.

"Kamu mau ke mana, Ru?" tanya Widyawati saat Heru beranjak dari duduknya sembari membuka dasi yang mengikat lehernya.

"Heru mau istirahat, Ma. Heru capek," ucapnya seraya berlalu pergi.

Widyawati lalu mendekat ke arah Widi. "Susul suamimu, dan lakukan tugasmu,"

Wushhh!

Entah apa yang di hembuskan Widyawati saat itu. Asap mengepul keluar dari mulut wanita itu dan menerpa wajah Widi.

Seketika pandangan Widi kosong, dan ....

Heru Prasetyo menatap dingin wanita yang saat itu masih terbaring di atas kasur. Sesekali Ia menatap jam tangannya. 

"Kasihan juga Dia, apa Aku panggil Dokter saja?" Heru bicara pada dirinya sendiri.

Ia kemudian bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah Widy yang saat itu bergumam sendiri dalam tidurnya, seperti bermimpi buruk.

"Swwssshhh... swwwasshh,"

Lelaki tinggi itu mengernyitkan dahi, heran dan juga penasaran saat mendengar gumaman tak jelas dari wanita cantik berkulit putih yang saat itu belum juga sadar.

Saking penasarannya, Heru  menundukkan tubuhnya dan mendekatkan telinganya ke arah wajah Widy. Ia ingin mendengar lebih jelas apa yang baru saja Widy ucapkan, tapi ...

Tap!

Belum sempat mendengar apa yang Widy ucapkan, Heru mendapat serangan dadakan dari gadis yang sama sekali bukan tipenya itu.

Tangan Widy tiba-tiba melingkar di lehernya dan menariknya hingga Heru terjatuh, menimpa tubuh gadis itu yang masih menutup matanya.

"Emhh," 

Heru berusaha bangkit, tapi cengkeraman gadis itu begitu kuat

"Ayah! jangan tinggalin Widy! Widy ingin ikut Ayah!" 

Heru tercenung saat mendengar suara gadis itu yang terdengar serak. Ia menoleh ke arah wajah Widy, menatap lekat wajah blasteran Cina-Indo itu dengan seksama.

Bulir bening merembes di ujung matanya dan jatuh. Untuk beberapa saat pemuda dingin itu seperti menemukan sesuatu yang lain dari diri Widy, gadis yang Ia anggap rendah itu.

Heru yang menumpu tubuhnya dengan kedua tangannya itu seperti terhipnotis beberapa saat, tapi begitu gadis itu tiba-tiba membuka mata, moment itu pun menjadi ambyar.

Entah apa yang membuat Widy terjaga, tapi begitu melihat laki-laki itu berada di atasnya, Widy langsung tersentak.

Ia begitu saja melepas tangannya yang melingkar di leher Heru dan mendorong pemuda tampan itu hingga Ia terdorong menjauh.

Beruntung Heru yang bertubuh tegap dengan gampang mengendalikan tubuhnya. Ia menatap tak suka atas perlakuan Widy yang berbuat kasar padanya.

"Nga--ngapain, Ka--Kamu, mau macem-macem, ya!" pekik Widy seraya memeriksa tubuhnya dan bangkit terduduk. Ia lalu bergeser ke kepala ranjang dan menyandar dengan menatap tajam ke arah Heru.

Laki-laki bergodek tipis itu mendengus kesal. Tatapannya sedikitpun tak teralihkan ke tempat lain, Ia malah menekuk kedua tangan di dada.

"Heh, Kamu lupa siapa Kamu? tanpa di lecehkan pun, Kamu yang minta sendiri. Lagian, ngapain Aku macam-macam sama cewek murahan seperti Kamu? buang-buang waktu!" hardik Heru dengan wajah berang.

Degh!

Widy terkesiap. Lidahnya rasa kelu seketika. Untuk beberapa saat Ia lupa, siapa dirinya dan apa profesi yang Ia lakoni selama ini. 

Ucapan menohok Heru--pria berkemeja abu-abu itu menyadarkan ingatannya, bahwa dirinya hanya makhluk hina.

"Kamu jangan terlalu percaya diri, Kamu yang menarikku dan memelukku. Jangan buat modus, Aku bukan lelaki yang mudah tertipu, apalagi dengan wanita bayaran seperti Kamu!"

"Jadi, ingat! pernikahan ini bukan untukku, tapi untuk menuruti kemauan ibuku, tolong jaga jarak, karena Aku sedikit pun tak akan mungkin jatuh cinta dengan wanita malam sepertimu! sumber penyakit kelamin!"

Brak!

Tanpa ba-bi-bu lagi, Heru yang emosinya berada di ubun-ubun itu langsung keluar dan menghempas pintu kasar.

Widy hanya mampu terdiam. Menarik selimut dan menutup tubuhnya hingga sebatas dada.

Terhanyut pada kata-kata Heru yang meremukkan hatinya. Sebuah kenyataan yang tak mungkin di rubah dan tak mampu Ia sangkal, kalau memang segitu hinanya  dan se-rendah itu di mata Heru Prasetyo.

Sementara Heru, dengan wajah kesalnya menjatuhkan tubuhnya begitu saja di sofa ruang tamu yang empuk. 

"Huh, sialan!" dengusnya kesal. Tanpa Heru sangka, mamanya mendengar umpatannya. Wanita yang masih tampak cantik di usia yang tak lagi muda itu rupanya berada di ruangan sebelah.

"Kenapa, Heru? apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" tanyanya seraya duduk di sofa yang sama dengan Heru.

Heru menoleh dengan wajah masamnya. " Apa tidak bisa dengan wanita lain, Ma? Aku rasanya jijik dengan wanita itu," ujarnya dengan suara di tekan.

"Tidak, tidak bisa! Kamu jangan macam-macam, Ru. Mama akan sangat marah jika Kamu menghancurkan rencana ini!" ancam wanita itu.

Heru memalingkan wajahnya yang tampak kesal ke arah lain. Entah kenapa, Ia tak mampu berkata tidak pada wanita yang sudah melahirkannya itu.

Ia ingat bagaimana dulu mamanya itu berjuang keras demi dirinya dan juga adiknya saat Ayahnya belum sukses, dan itu membuat Heru berjanji untuk selalu menuruti apapun mau mamanya itu.

Widyawati lalu berdiri dan menatap ke arah luar, di mana langit berwarna jingga dan matahari yang hampir tenggelam.

"Persiapkan dirimu, karena malam ini juga kalian akan menikah. Mama akan menemui calon istrimu," ujarnya seraya melangkah meninggalkan Heru.

***

Widi menatap takut-takut wanita paruh baya yang baru saja memasuki kamarnya. Wanita itu tersenyum lembut, tapi tak Widi pungkiri, ada sesuatu dibalik senyum yang tersungging itu.

"Kamu jangan takut, Nak. Karena mulai hari ini, Kamu adalah bagian dari kami. Persiapkan dirimu, Aku akan memanggil asisten untuk mendandanimu," ucap wanita itu dan berlalu pergi begitu saja dari hadapan Widi.

***

Heru menurut saja saat dirinya di bawa ke sebuah ruangan di salah satu rumah yang baru beberapa tahun di beli mamanya.

Aroma semerbak melati mendominasi, belum lagi ruangan yang temaram dan hanya dihiasi lilin, tanpa bunga-bunga ataupun kain berwarna-warni yang menghiasi.

Ruangan itu tak beda seperti tempat pemujaan dan berbeda jauh dari suasana pesta pernikahan yang di penuhi pernak-pernik, tak ada semarak sama sekali.

Namun, Heru tak berani protes. Ia yang dijadikan sebagai boneka bagi mamanya itu hanya menatap malas, dan ingin segera mengakhirinya.

Sementara Widi yang telah selesai didandani pun, mau tak mau menurut saat di bawa seorang pelayan menuju salah satu ruangan tertutup.

Matanya mengedar ke segala arah saat memasuki ruangan. Heran. Tempat pernikahan yang harusnya ramai, bercahaya dan penuh ornamen bunga-bunga itu tampak berbeda, hanya ruangan kosong dan temaram yang dihiasi lilin di berbagai tempat. 

Di sana, Ia melihat Heru tengah duduk bersama dengan mamanya. Widy yang saat itu memakai dress hitam pas badan dengan model duyung itu pun duduk disamping Heru sesuai arahan pelayan yang tadi mengantarnya.

Aroma melati yang sangat menyengat mengusik indra penciuman Widi, tapi bukan hanya itu, Heru yang tampak tampan dengan tuxedonya itu pun berhasil mencuri perhatian Widi yang tak sengaja meliriknya.

Namun, gadis itu cepat tersadar saat tatapan Heru melesat ke arahnya. Seketika gadis itu memalingkan wajahnya, karena ingat apa yang di katakan Heru sebelumnya, kalau Ia hanya wanita hina yang terpaksa dinikahi olehnya.

Widy pun hanya terdiam saat suasana itu perlahan mencair saat wanita yang saat itu ada di dekat Heru mulai mengajaknya berbincang.

Tak lama seorang laki-laki berjas datang dan memimpin acara pernikahan. Meski orang itu sempat merasa aneh dengan suasana pernikahan yang terkesan horor, tapi pernikahan berjalan lancar dan Widi sah menjadi istri Heru.

"Kamu mau ke mana, Ru?" tanya Widyawati saat Heru beranjak dari duduknya sembari membuka dasi yang mengikat lehernya.

"Heru mau istirahat, Ma. Heru capek," ucapnya seraya berlalu pergi.

Widyawati lalu mendekat ke arah Widi. "Susul suamimu, dan lakukan tugasmu,"

Wushhh!

Entah apa yang di hembuskan Widyawati saat itu. Asap mengepul keluar dari mulut wanita itu dan menerpa wajah Widi.

Seketika pandangan Widi kosong, dan ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status