Share

Rahasia mulai terungkap

Saat wanita itu keluar dari kamar, asisten  rumah tangganya lari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya, asistennya itu menatapnya dengan penuh kekhawatiran.

"Ada apa Widarsih? kenapa kamu terlihat ketakutan seperti itu?" Tanya Widyawati--ibunya Heru saat asisten rumah tangganya itu berhenti tepat hanya berjarak beberapa meter darinya.

"Mohon maaf Ndoro, calon istri Tuan Heru sampai saat ini belum juga sadar, saya takut terjadi apa-apa pada wanita itu Ndoro," tutur wanita berumur 35 tahunan itu dengan lembut. Ia berusaha sesopan mungkin pada wanita penguasa rumah mewah itu.

Widyawati tampak biasa saja. Wajahnya datar seolah ia sudah mengetahui apa yang akan terjadi pada gadis itu.

"Oh, sebentar lagi juga dia akan sadar, kamu jangan terlalu khawatir. Tugasmu itu adalah mengurusi rumah dan dapur, bukan mengurusi calon istri Heru Prasetyo, anakku," jawabnya seraya menautkan dua tangannya dan meletakkan di perutnya. Gaya Ayu seorang ningrat seperti wanita-wanita kuno Jawa zaman dulu.

Heru yang sejak tadi berada di belakang ibunya itu lantas melangkah mendekati ibunya. 

"Apa mau kita bawa ke dokter saja ibu, atau kita panggil dokter untuk datang kemari. Bagaimana jika nanti malam saat acara pernikahan wanita itu malah sakit dan pernikahan itu di batalkan?" Ucap Heru yang langsung mendapat sorotan tajam dari ibunya.

"Ibu sudah bilang, sebentar lagi wanita itu pasti siuman. Pernikahan itu harus dilaksanakan, tidak boleh tertunda satu jam pun,"

Heru menelan ludah yang terasa menyangkut di kerongkongan. Terus terang ia takut jika melihat wajah ibunya yang berubah serius seperti itu.

Wanita itu hanya menyunggingkan senyum misterius dan melangkah meninggalkan Heru. Ia berjalan menuju kamar di mana Widi sedang tidak sadarkan diri, diikuti dengan Widarsih di belakangnya.

"Tinggalkan aku berdua saja dengan gadis itu, jangan ada yang berani mendekat atau mendengarkan percakapanku bersamanya, jika itu terjadi kalian semua akan aku pecat!" 

Wanita yang rambutnya disanggul itu lantas menggangguk dan mohon diri dari hadapan Widyawati. Ia lalu memutar tubuh dan pergi ke arah dapur. Mengikuti ucapan si empunya rumah. Takut jika nanti ia akan dipecat jika melanggar apa yang baru saja diucapkan.

Widyawati membalikkan tubuhnya dan menatap lama pintu besar berbahan kayu jati dengan ukiran daun di hadapannya itu. Ia menarik dua sudut bibirnya. Senyum misterius berkembang di wajah cantiknya.

"Selamat datang, Gendis, Ibu rasanya sudah tak sabar untuk bertemu denganmu, Nak," desisnya sebelum membuka pintu besar itu.

***

"Bangunlah Widi, ini bukan tempatmu, segeralah pergi dari sini!"

Suara seseorang begitu kencang di telingaku. Aku pun berusaha keras membuka mataku.

Kurasakan tubuh ini begitu ringan, dan saat mata ini terbuka ...

"A--aku di mana?" lirihku saat mata ini terbuka perlahan. Mata ini sempat menyipit karena sinar yang sangat menyilaukan.

"A--Ayah? Ayah kenapa di sini?" ucapku dengan suara terbata, rasanya tak percaya jika sosok yang telah lama pergi itu datang menemuiku. Wajahnya tampak sangat khawatir, Aku berusaha bangun, tapi tubuh ini terasa amat kaku dan sulit di gerakkan.

"Pergilah Widi, pergilah dari tempat ini selagi mampu. Maafkan Ayah yang sudah menyusahkanmu dan membawamu dalam lingkaran setan ini. Pergilah Widi, pergilah secepatnya,"

"Ayah!" 

Aku hanya mampu memanggil namanya dan memohon agar Ia tidak pergi saat melihat kilatan cahaya menerpa tubuhnya dan dalam hitungan detik semua gelap.

***

Widyawati menatap gadis yang tertidur itu cukup lama. Ia hanya memperhatikan dari jauh bagaimana rupa gadis yang sudah Ia incar sejak lama.

"Kau akan menggantikan posisi anak gadisku, menjadi dayang-dayang Ratu. Aku akan membawa anakku kembali dan kau yang akan berada di istana Ratu," desis wanita itu. 

Ia pun berbalik dan menutup pintu kamar dengan pelan. Takut penghuni rumah lain terganggu.

Widyawati menatap sekitar sebelum Ia melangkah tergesa. Setelah di rasa aman, wanita itu melangkah dengan cepat menuju kamarnya, di mana Heru sudah tak lagi ada.

Ia mengunci pintu kamar dan menatap ke arah rak buku tempat Ia meletakkan buku-buku kesukaannya.

Krekk!

Pelan-pelan Ia mendorong ujung rak buku, benda itu bergerak dan menimbulkan derit yang membuat ngilu.

Widya mengulas senyum bahagia, menatap pintu rahasia yang kini berada di hadapannya. Ia kemudian mengangkat tangan dan mengulurkan tangannya. Memasukkan kunci dan membuka pintu rahasia yang selama ini Ia biarkan berdebu.

"Ibu datang, Nak, bersabarlah," lirihnya.

Widyawati lalu mulai melangkah masuk. Ruangan gelap dan sinup serta berhawa lembab itu membuat Ia sedikit sesak dan sulit bernapas. Aroma pengap semakin menyiksanya.

Klek!

Tangan Widya mencari sakelar dan berhasil menghidupkan lampu lima watt yang menyinari meski remang-remang.

Kaki jenjangnya mulai menuruni anak tangga yang  berdebu. Ia pun harus berhati-hati menghindari laba-laba dan kecoa yang jadi penghuni ruangan rahasia itu.

Widyawati tampak biasa dan tak sedikitpun gentar saat melihat sisa sajen yang telah kering di sudut ruangan.

Ia sempat menghentikan langkah saat matanya tertumpu pada salah satu benda yang teronggok di tengah ruangan.

Peti mati berwarna putih yang sudah usang dan mulai digerogoti rayap, pertanda sudah terlalu lama ditinggalkan.

Widya melangkah pelan dengan hati yang teriris, mengingat kebodohannya dulu, memulai perjanjian goib yang Ia pikir akan merubah hidupnya menjadi lebih baik, tapi kenyataannya malah membawanya dalam penyesalan yang teramat dalam.

Bagaimana Ia menjerumuskan anak perempuan satu-satunya sebagai tumbal wajib yang harus Ia berikan sebagai pembuka perjanjian goib pesugihan dengan Nyai Damarwasih, penunggu Alas Roban. Ratu dari segala demit penunggu hutan Roban yang bisa memberinya banyak harta.

Sampai saat ini, Heru Prasetyo--anak laki-laki satu-satunya itu tak tahu prihal kematian adik kandungnya, Gendis yang selama ini di simpan baik-baik oleh Widya. Heru hanya tahu jika adiknya itu menempuh pendidikan di luar negeri. Heru yang super sibuk awalnya tak curiga, tapi setelah bertahun adiknya tidak pulang, dan tak pernah membalas semua chatnya, Heru mulai penasaran. Apa gerangan yang membuat adiknya berubah.

Netra Widya berembun. Bibirnya mengerucut menahan pilu yang menyelimuti hatinya.

Ia menggeser tutup peti dan aroma tak sedap menguar dari dalam peti.

Tangisnya tumpah saat itu juga kala melihat tubuh kaku tertidur dengan wajah yang seperti tersiksa.

Siapa mengira, mayat dalam peti adalah anak perempuannya yang mati menjadi tumbal bertahun-tahun yang lalu?

Tubuh itu masih utuh karena perjanjian goib dengan Ratu Demit Alas Roban. 

Suatu saat nanti, Gendis akan kembali bangkit dari kematiannya jika bertukar nyawa dengan istri kakak laki-lakinya, wanita yang punya paras hampir serupa dengannya.

Itulah alasan mengapa Widya bersikeras menikahkan Heru dengan Gisella Widy, wanita pekerja seks komersial yang Ia rasa hidupnya tidak berguna dan jadi sampah masyarakat.

Mempunyai paras yang hampir serupa. Mampukah Widi lari dari Widya yang ingin menjadikannya tumbal? lantas, apakah Heru akan jatuh cinta padanya?

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status