Apartemen itu tenang, jauh dari gempita jalan. Di dapur kecil, cerek yang lupa dipindahkan dari kompor mengeluarkan suara lembut; asap tipis menari, lalu hilang seolah tersedot di langit-langit. Kael duduk di ambang jendela, menatap kota yang memantulkan cahaya ke awan, sementara Kinari berdiri tegak di ruang tengah, menatap pendar El’Thyren yang menyerupai bulan yang dibawa turun ke dada. “Jika Harrison seberbahaya itu,” ucap Kinari, suaranya rendah, “kenapa Tharumen tidak turun langsung?” Kael mengalihkan pandang dari luar ke wajahnya. “Kau tahu jawabannya lebih dulu dariku,” katanya pelan. “Dewa waktu tak bisa menginjak bumi tanpa melipat semua cerita yang lebih kecil. Ada hukum lebih tua dari kabut lahir kita: Sumpah Penjaga. Mereka tak boleh menyelesaikan persoalan yang bisa diselesaikan oleh tangan yang diciptakan untuk hidup. Jika Tharumen memotong sendiri simpul ini, simpul lain akan tumbuh dari luka yang ia ciptakan.” Kinari menghela napas. “Jadi kita menjadi pisau yang
Tengah malam. Kota di bawah jendela kantor itu berpendar seperti rangkaian saraf yang menolak tidur. Di balik kaca yang dipelihara setebal perisai, Harrison duduk tegak; kedua tangannya bertaut di atas meja, menciptakan bayangan yang memanjang ke permukaan kayu seperti akar yang sedang mencari air. Jam dinding menunjuk 03:03. Jarum detik bergerak—lalu ragu—lalu patah diam, seolah mengerti ada sesuatu yang memasuki ruangan, bukan dari pintu, juga bukan dari celah udara, melainkan dari ketiadaan yang melipat. “Korupsi itu bukan penyakit,” ujar Harrison, tenangnya menebas sunyi. “Ia adalah bahasa. Kau menguasai bahasa itu, kau menguasai mulut yang mengucapkannya. Dan bila mulut-mulut itu banyak, kota akan berbicara seperti yang kau mau.” Tidak ada sosok untuk diajak bicara. Yang ada hanya cekung ringan pada bayangan sendiri, lengkungan kecil di udara yang membuat lampu di plafon berdesis pelan, lalu meredup setengah nada. Namun kedalaman yang tak terlihat itu menjawab—dengan
Harrison berdiri beberapa saat setelah Kinari dan Kael menghilang dari ruang — lama, seperti orang yang menimbang kaca di hadapannya supaya retaknya tak terlihat. Jendela ruang rapat memantulkan wajahnya berkali-kali; setiap pantulan mengulangi ekspresi yang hampir sama: tenang, tegas, penuh perhitungan. Di luar, kota terus bernapas dengan getaran biasa: pedal, langkah, bisik, klakson—musik yang selama ini ia arahkan agar bernada cocok. Ia menyentuh meja kayu yang semalam hancur oleh pergulatan mereka; bekas goresan itu menjadi peta kecil yang mengingatkannya akan tarikan cerita. Mereka lupa satu hal mendasar: orang seperti Harrison tak pernah benar-benar bertarung dari tempat yang paling keras. Mereka bertarung dari ruang-ruang lunak — kata-kata, bisnis, janji. Ia hanya tersenyum pendek, lalu berkata lirih, hampir seperti berbisik pada kamus nasib: “Menyedihkan.” Perintahnya keluar tanpa gelombang emosi. Ia memanggil dua pengawal ke sisinya — bukan untuk mengeksekusi, tapi unt
Malam berikutnya, mereka bertiga—Kinari, Kael, Lucia—berkumpul di lantai dua gedung kecil itu, di ruangan yang dulu mungkin kantor administrasi. Map bertumpuk seperti tembok, tali rami mengikat berkas, dan di atas meja besi tua, cangkir-cangkir teh memantulkan lampu. “Kau harus tahu lintasan ayahku,” kata Lucia. “Ini bukan pengantar kebencian; ini peta.” Ia bentangkan kertas besar: garis waktu kasar hidup Harrison. Tanda-tanda kecil dilingkari merah—tanggal lelang besar, pertemuan dengan donatur, momen-momen publik yang memotong nasib kota. Di beberapa titik, Lucia menempelkan potret kecil: Harrison bersama anak-anak panti, Harrison menggunting pita, Harrison di atas panggung debat. Di sampingnya, Lucia menulis: pergeseran. “Awalnya, retakan menolongnya menyetel emosi massa,” katanya. “Mengubah marah menjadi letih, letih menjadi ‘ya sudahlah’. Lalu retakan mulai memengaruhi benda: lampu padam di saat yang membuatnya tiba tepat waktu, mikrofon pesaingnya rusak dengan alasan tek
Selepas forum di taman, perempuan berambut gelombang itu menunggu di bawah lampu jalan yang muram. “Namaku Lucia,” katanya, suaranya bening seperti gelas yang baru dicuci. “Ikutlah. Ada sesuatu yang mesti kalian lihat.” Ia menuntun mereka menyusuri gang sempit yang ditumbuhi lumut, melewati kios kopi yang sudah menutup tirai besi, hingga berhenti pada sebuah gedung kecil tiga lantai. Fasadnya kusam, catnya terkelupas, jendelanya dipasangi tirai kain kasar. Kontras sekali dengan elegansi Lucia; seolah-olah ia membawa aroma istana ke rumah singgah para pengungsi. “Ini bukan markas,” katanya, menatap Kinari dan Kael bergantian. “Ini tempat yang aman... Setidaknya untuk sementara.” Di dalam, lampu neon memantulkan cahaya pucat. Tikar gulung difungsikan jadi ranjang; kotak-kotak arsip disusun seperti dinding sementara. Beberapa orang berdiri ketika Lucia masuk. Ada lelaki berjas lusuh yang memegang map berembos lambang kota; ada perempuan paruh baya dengan anak kecil tertidu
Untuk menautkan semua simpul itu, komunitas cosplay menyelenggarakan sebuah forum terbuka di taman—di tempat yang kini sudah jadi pangkalan aman kecil mereka. Di rerumputan mereka menata kursi lipat, kabel kecil menghubungkan proyektor sederhana, dan spanduk bertuliskan “Suara Valis — Untuk Keadilan” berkibar pelan. Kinari dan Kael duduk di salah satu baris paling depan, menenggelam dalam kerumunan yang campur aduk: warga, pengamen, penjual kopi, aktivis, dan banyak dari para cosplayer. Pembicaraan bermula seperti rintik hujan: cerita-cerita kecil tentang janji-janji yang tak ditepati, tentang proyek-proyek yang ‘dibersihkan’ dari daftar, tentang lampu jalan yang rusak namun tak pernah diperbaiki. Namun forum bukan hanya tangisan; ia juga ruang bagi hati untuk memberi makna. Seorang guru membacakan berkas yang mengonfirmasi pemotongan dana sekolah, seorang penjual kain menunjuk ke bukti transfer yang tak pernah masuk, dan seorang pegawai kota yang melepaskan masker menunjukkan ko