Dalam dunia gelap bernama Varethar, malam bukan sekadar waktu, melainkan kekuasaan. Seraphine Elira Ravelle, seorang gadis yatim piatu dari desa terkutuk, tak pernah menyangka darahnya mengalirkan warisan kuno—keturunan terakhir dari garis kerajaan pengusir kegelapan. Ketika ia dijadikan tumbal dalam ritual pengabdian kepada Raja Malam, Kaelith Nocturne, justru hidupnya dimulai. Kaelith, makhluk abadi yang pernah mencintai seorang manusia—dan dikhianati, melihat Seraphine sebagai ancaman... dan kemungkinan penebusan. Tapi cinta dalam dunia yang memakan cahaya tidak tumbuh dari pelukan. Ia tumbuh dari luka. Dari darah. Dan dari pilihan antara mencintai... atau menghancurkan.
View MoreMereka bilang, ketika bayi menangis pada malam ke-13 bulan darah, itu bukan karena lapar atau takut gelap.
Begitulah Seraphine Elira Ravelle lahir—di tengah hujan bara dan gemuruh doa yang tak dikabulkan. Ibunya mati sebelum sempat menyentuhnya. Ayahnya? Tak pernah diketahui, kecuali dalam bentuk bisikkan-bisikkan curiga dari penduduk Desa Eira yang percaya ia bukan darah manusia, melainkan sisa kutukan dari perang antara terang dan malam.
Seraphine tumbuh seperti bayangan: ada, tapi tak pernah diterima. Gadis kecil dengan rambut gelap seperti arang terbakar dan mata berkilau keperakan—cahaya yang hanya muncul saat malam tersungkur paling dalam. Terlalu sunyi untuk anak seusianya. Terlalu tenang, bahkan saat dicaci maki karena menyentuh air suci tanpa izin. Terlalu hidup, padahal seharusnya mati sejak lama.
“Dia anak kutukan,” begitu kata para biarawati.
Namun Seraphine tahu satu hal yang tak mereka tahu—ia bisa mendengar suara malam.
Malam di Desa Eira bukan hanya kegelapan. Ia seperti makhluk hidup, menyelinap melalui celah-celah rumah reyot, merayap di antara napas manusia, menatap dari balik pohon tua yang melengkung seperti punggung nenek sihir. Suatu malam, saat usianya baru genap tiga belas, Seraphine mendengar suara itu lagi. Kali ini, lebih jelas.
“Sudah waktunya, anak dari bayang-bayang…”
Suara itu dingin, berlapis kabut. Seperti denting kristal yang dibalut kain berkabung. Ia bangkit dari tempat tidurnya yang keras, mengenakan jubah lusuh pemberian Sister Marell dan keluar ke pekarangan.
Langit di atasnya tak berbintang.
“Datanglah. Lihat apa yang telah dipersiapkan untukmu.”
Kakinya berjalan tanpa ragu, seperti sudah tahu ke mana harus pergi. Melintasi ladang-ladang mati, menyeberangi sungai yang membeku padahal bukan musim salju, hingga sampai di hutan yang konon tak pernah bisa dilewati manusia tanpa hilang arah.
Tapi malam itu, pohon-pohon membuka jalannya.
Di tengah hutan, ia melihat lingkaran batu—tua, menjulang, dan meneteskan darah dari pori-porinya. Di sanalah para tetua desa sudah menunggu. Mereka mengenakan topeng tulang dan menyanyikan nyanyian yang membelah udara seperti bilah-bilah silet.
“Seraphine Elira Ravelle,” suara Kepala Tetua menggema. “Darahmu adalah utang. Dan malam telah datang untuk menagih.”
Ia tidak menangis.
“Akan kutagih kembali dunia yang merampas ibuku.”
Mereka mengikatnya dengan rantai dari besi hitam, yang katanya ditempa dari bintang yang jatuh karena berdosa. Ia tidak melawan saat tubuhnya diposisikan di tengah lingkaran. Darah dari pergelangannya menetes ke tanah, dan tanah itu… tertawa.
Langit berguncang. Tanah retak.
Kaelith Nocturne. Raja Malam. Penguasa Varethar. Pemilik Mahkota Berduri.
Ia berjalan seperti bayangan yang dilupakan sejarah, menyatu dengan angin yang membuat kulit membeku. Rambutnya sepanjang luka peperangan, matanya sehitam lubang takdir. Jubahnya berkilau seperti bintang mati—dan setiap langkahnya membuat nyanyian para tetua terhenti.
Ketika matanya bertemu dengan mata Seraphine, dunia diam.
Bukan karena cinta pada pandangan pertama.
Kaelith mendekat, tangannya mengusap leher Seraphine. Bukan dengan kelembutan. Tapi dengan kehati-hatian. Seperti seseorang yang tengah menyentuh senjata lama yang nyaris meledak.
“Kau... bukan manusia biasa,” katanya lirih.
“Kau warisan dosa. Dan mungkin, penebusannya.”
Ia mengangkat tubuh Seraphine yang terkulai, lalu membawanya—menembus langit, menghilang bersama bayangan yang menjerit.
Ketika Seraphine membuka mata, ia berada di istana yang hanya diceritakan dalam dongeng jahat.
Dindingnya terbuat dari tulang naga purba, langit-langitnya dari kristal kegelapan. Udara mengandung bisikan. Dan waktu? Tak berjalan di sana.
Kaelith berdiri di ambang pintu. Tak ada rasa di wajahnya. Hanya rasa ingin tahu yang menusuk seperti belati.
“Apa kau tahu siapa kau sebenarnya, Seraphine?”
Ia tidak menjawab.
“Kau adalah kunci untuk membuka kutukan dunia ini. Kunci untuk menghancurkannya… atau menyelamatkannya.”
Seraphine menatapnya.
“Aku tidak ingin menyelamatkan dunia.”
“Aku ingin membakarnya.”
Kaelith tersenyum. Untuk pertama kalinya dalam seribu tahun.
Dan malam pun menyambut anak barunya.
Kosong itu hidup.Rynor tahu ia tidak boleh menyebutnya “udara,” karena tidak ada yang bisa ia hirup. Tidak boleh disebut “suara,” sebab tidak ada getaran yang bisa ditangkap telinganya. Namun, entah bagaimana, kosong itu berdenyut. Ia bisa merasakannya, seperti jantung raksasa yang tak terlihat, memompa ritme yang bukan darah, bukan energi, melainkan ketiadaan murni.Dan di hadapan mereka, bayangan yang bernafas itu mulai menarik napas pertamanya.Napas yang bukan sekadar hisapan. Ia menyedot lapisan-lapisan realitas, mencabik sisa-sisa dunia, menelan bintang, ingatan, doa, dan bahkan kemungkinan masa depan.Kael berdiri goyah di sebelahnya. Tubuhnya setengah transparan, seperti kaca yang diukir retakan. Namun matanya—mata merah yang selama ini dipenuhi amarah—masih bersinar. “Dia menarik segalanya masuk,” bisiknya, suaranya pecah. “Kalau dihembuskan lagi… tidak ada yang akan tersisa.”Rynor menatap bilah cahayanya yang retak. Retakan itu seperti saraf terbuka, setiap denyutnya menus
Retakan di pupil itu melebar. Dari dalamnya, bukan sekadar wajah yang tak pernah lahir—tetapi sesuatu yang berdenyut. Sebuah jantung. Bukan jantung seperti daging makhluk fana, melainkan segumpal ketiadaan yang memompa kehampaan. Setiap denyutnya membuat semesta di sekitar mereka hancur sepotong demi sepotong, seperti kaca yang retak karena palu tak kasatmata. Rynor terhuyung. Darahnya sendiri berubah jadi cahaya patah, tercerai berai setiap kali jantung itu berdenyut. Kael menggertakkan gigi, menancapkan kakinya yang hampir transparan ke tanah hampa. “Itu… pusatnya. Jantung yang memompa ketidak-ada-an.” Jantung itu berdetak lagi. DUM. Gelombang kehampaan menghantam, membuat tubuh Rynor bergetar hebat hingga bilahnya hampir pecah. Ingatan terakhirnya tentang dirinya sebagai manusia—tangan ayah yang dulu menggandengnya—hancur jadi serpih tak berwujud. Ia terengah, matanya berkaca. “Aku… aku tidak ingat wajahnya lagi…” Kael menoleh cepat, suaranya pecah tapi penuh amarah. “Lupa
Mata itu menatap.Bukan sekadar memandang mereka, melainkan melucuti lapisan demi lapisan keberadaan mereka.Rynor merasakan cahaya di tubuhnya gemetar, bukan karena kelelahan, melainkan karena ditolak oleh realitas itu sendiri. Cahaya—esensi keberadaannya—ditolak.Kael tidak lebih baik. Energi merah di tangannya berdenyut, lalu pecah menjadi percikan sebelum ia paksa padatkan lagi. “Dia ingin membuat kita percaya bahwa kita tidak pernah ada.” Suaranya serak, seperti keluar dari tenggorokan yang diperas.Rynor mengangkat bilah cahayanya yang sudah retak. “Kalau begitu kita jawab… dengan luka yang membuktikan keberadaan kita.”Kael menyeringai meski darah menetes dari sudut bibirnya. “Ya. Luka adalah bukti paling jujur bahwa sesuatu pernah ada.”---Mereka melompat.Seperti dua garis yang menyalib, cahaya putih keperakan dan merah pekat menyatu, menjadi bilah darah-cahaya sekali lagi. Setiap ayunan memotong ratusan makhluk bayangan yang mencoba menghadang. Suara jeritan tak terdengar m
Tangan raksasa itu turun. Bukan sekadar menghantam—ia meremukkan hampa, melumat ruang, dan mengubah keheningan menjadi badai jeritan. Setiap retakan yang lahir memuntahkan cahaya ungu, seperti isi dunia lain yang bocor ke dalam ketiadaan. Namun sebelum gelap itu menelan mereka, Rynor dan Kael sudah bergerak. Cahaya putih keperakan dan merah pekat berpacu, saling menyilang, membentuk pola yang tak pernah mereka latih namun lahir begitu saja—seperti tubuh mereka mengenali ritme musuh lama yang kini jadi sekutu. Sabit cahaya Rynor melesat menebas sisi tangan bayangan, sementara tombak energi Kael menancap lurus ke pusatnya. Ledakan. Tangan itu pecah, tapi bukan hancur—malah berubah jadi ribuan serpihan kecil yang beterbangan, masing-masing membawa wajah yang menjerit tanpa suara. --- Bayangan-cermin mereka muncul lagi. Sosok setengah putih, setengah merah, kini lebih solid. Ia melangkah ringan di atas retakan hampa, seolah gravitasi tunduk kepadanya. Dengan senyum yang memuakkan
Hampa.Bukan hanya ketiadaan ruang, tapi ketiadaan makna. Tidak ada atas, tidak ada bawah. Tidak ada waktu yang bisa diukur, tidak ada arah untuk ditempuh. Hanya kekosongan absolut—dingin, luas, dan tak berujung.Namun di tengah hampa itu, dua cahaya kecil masih menyala.Rynor.Kael.Keduanya berdiri, meski tubuh mereka sudah tidak sepenuhnya milik mereka lagi. Rynor, dengan sisa cahaya yang retak-retak, wajahnya pucat dan matanya setengah kosong. Kael, dengan tubuh berurat merah yang terus mengelupas, kulitnya seperti cangkang yang sudah tidak sanggup menahan isi di dalamnya.Mereka saling menatap, sama-sama tercengang.Sama-sama sadar: spiral yang runtuh seharusnya menjadi akhir. Tapi di sini, mereka belum mati.Lalu terdengar suara.---Bukan gema. Bukan desiran.Suara itu seperti seribu bisikan dari lubang hitam yang bernafas: “Akhir hanyalah awal. Dan kalian… telah membukanya untukku.”Dari kegelapan, sesuatu bergerak.Tidak berbentuk, tidak bernama, tidak bisa dijelaskan. Bayang
Spiral kini tidak lagi sekadar ruang. Ia telah berubah menjadi luka terbuka—menganga, berdenyut, dan bergetar di antara dua kekuatan yang beradu tanpa kompromi. Batu bercahaya runtuh ke jurang, berputar seperti serpihan bintang yang mati.Rynor terhuyung, darah dan cahaya bercampur menetes dari tubuhnya. Setiap tarikan napas seperti pisau yang mengiris paru-parunya. Namun dalam tatapannya, api tekad belum padam. Ia tahu tubuhnya sedang hancur perlahan, tetapi hatinya menolak tunduk.Kael, di seberang, tidak tampak lebih baik. Pusaran orbit merah yang mengelilinginya telah menyusut—bukan karena melemah, melainkan karena energi yang terlalu padat, terlalu padam, seakan setiap butirnya menelan cahaya lain. Retakan di kulitnya semakin dalam, memperlihatkan kilasan gelap seolah tubuhnya sedang menjadi wadah yang tak layak bagi kekuatan itu.Mereka berdua, dalam diam, tahu: yang mereka hadapi bukan hanya lawan. Mereka menghadapi batas tubuh, batas jiwa, bahkan batas arti menjadi manusia.--
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments