Di kedalaman Lautan Thalu’mera, Ratu Kinari memimpin dengan kecantikan dan kekuatan langka. Namun dalam gemerlap tahtanya, ia melupakan Janji Tertua. Sumpah leluhur untuk menjaga retakan waktu yang nyaris menghancurkan laut. Ketika kesombongan menutup matanya, waktu mulai melingkar. Makhluk asing merayap dari celah dimensi, dan istananya tenggelam dalam arus yang tak dikenal. Kini, Kinari harus memilih. menjahit kembali luka masa lalu, atau tenggelam sebagai legenda kejatuhan yang abadi.
view moreDi kedalaman Sea Realm, kerajaan abisal bernama Téun'Velatha, Kinari duduk anggun di atas singgasana karang hitam yang mengilap, bermahkotakan mahkota mutiara abadi.
Ia adalah Ratu Lautan Selatan—Thalumera, penguasa tunggal wilayah yang bahkan hiu purba yang bahkan leviathan pun enggan menyentuh tanpa izinnya. Keberadaannya adalah legenda yang dilisankan oleh arus dan dicatat dalam nyanyian paus tua. Di sisinya berdiri Kael—Asisten kepercayaan Kinari dari bangsa Névarûn, makhluk malam lautan terdalam yang setia hanya pada satu jiwa, Kinari. Bersama, mereka telah menundukkan pasukan Khomari, bangsa pelaut dari dunia atas yang sebelumnya dikenal kejam dan tak terkendali. Namun di tangan Kinari, mereka kini berlutut sebagai sekutu, terikat sumpah dengan darah laut dan api dalam upacara di bawah gerhana arus. Riak ombak kecil menggulung ke dalam ruang tahta, membelah sunyi. Tiba-Tiba seorang prajurit kerajaan dengan sirip perak berkilat berenang tergesa, tubuhnya mengguratkan cahaya di sepanjang lorong-lorong kristal air. Ia bersujud rendah, nyaris mencium lantai koral biru tua di bawahnya. Yang Mulia Kinari, napasnya tergagap dalam gelembung suara, seseorang dari permukaan memohon audiensi. Ia membawa sesuatu yang bukan berasal dari dunia kita. Mata Kinari menyipit, dan cahaya kehijauan dari pupilnya menyala seperti obor di kedalaman kelam. Suaranya menggema sampai ke perbatasan arus yang memisahkan dunia mereka dengan suku atas. Biarkan dia masuk,ucapnya—sebuah perintah yang melepaskan gaung petir bawah laut, membangunkan ombak dari tidur panjangnya. Tangannya menggenggam erat Trident Aetheryn, artefak agung warisan leluhur Lautan Selatan. Benda itu bukan sekadar senjata—ia adalah segel kekuasaan yang bisa membelah badai atau menidurkan samudra dengan satu getarannya. Dan dalam genggaman Kinari, Trident itu bergetar pelan, seolah merasakan getaran takdir yang sedang mendekat. Kinari meluruskan punggungnya. Seluruh samudra seakan berdetak selaras dengan nafasnya. Ia bukan sekadar ratu. Ia adalah esensi murni dari laut itu sendiri. Dan tamu itu... siapa pun dia, akan segera memahami seperti apa rasanya berdiri di hadapan dewa yang hidup di dalam ombak. Dari ujung lorong istana bawah laut, keheningan perlahan dilahap oleh bunyi langkah—bukan gemuruh sirip atau hentakan terompet air, melainkan suara yang menyerupai hela napas waktu itu sendiri. Sesosok makhluk melangkah masuk, dan seketika, suhu lautan seolah menurun beberapa derajat. Bahkan arus yang biasanya melayang lembut di sekeliling ruang tahta, kini diam seperti membatu, menunggu dalam hening penuh rasa takut. Dia bukan Khomari. Bahkan bukan bagian dari ras mana pun yang dikenal oleh penghuni Sea Realm. Sosok itu menjulang tinggi jika dibandingkan dengan Thévarin dan Névarûn, kurus, seolah tubuhnya disulam dari bayangan dalam lipatan kedalaman terdalam lautan. Kulitnya pucat keperakan, nyaris transparan, seperti kelopak ubur-ubur kuno yang tersentuh oleh usia ribuan tahun. Matanya kosong—bukan buta, tapi kosong, seakan telah melihat terlalu banyak dan lupa bagaimana caranya memandang. Di antara semua itu, yang paling membuat Kinari tertarik adalah jubahnya. Kainnya berwarna abu kehitaman, tapi bukan karena warna—melainkan karena waktu sendiri enggan menyentuh. Ujung-ujung jubah itu seperti larut, terurai menjadi butiran yang bukan pasir atau air, tapi serpih-serpih ingatan yang melayang dan perlahan lenyap saat disentuh oleh arus. Seolah jubah itu sedang terurai dari realitas. Langkahnya lambat namun pasti, dan setiap tapak seakan menulis ulang alur waktu lantai di bawahnya. Kinari merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan selama memerintah. Tarikan halus yang menantang auranya, tidak karena kekuatan, tetapi karena keberadaan yang bahkan lebih tua dari konsep kekuasaan itu sendiri. Kael, yang biasanya tenang dan tak tergoyahkan, kini berdiri kaku. Matanya yang meredup beralih pada Kinari, seakan bertanya tanpa kata. "Apa itu, Ratu?" Namun Kinari tak merespon. Ia berdiri dari tahtanya perlahan, Trident Aetheryn bergetar pelan di genggamannya. Tanda bahwa laut sendiri tengah gelisah. Makhluk itu—yang kemudian dikenal sebagai Tharumen—berhenti beberapa langkah dari tangga tahta, lalu berbicara. Tetapi yang keluar dari balik wajah abstrak-nya bukanlah suara—melainkan gema. Sebuah gema yang menggeliat di dalam tulang, menyusup ke dalam ingatan, dan memanggil nama-nama yang telah dilupakan dunia. "Aku datang bukan untuk tunduk… Ratu Lautan Selatan. Aku datang untuk mengingatkanmu… akan janji lama yang kau warisi… tapi tak pernah kau ketahui." Hardiknya. Dan pada saat itu, Kinari tahu, makhluk ini bukan dari dunia mereka. Ia adalah sesuatu yang tersisa dari zaman sebelum arus pertama mengalir, sebelum laut memiliki nama, sebelum Trident diciptakan. Sesuatu yang mungkin… lebih tua dari lautan itu sendiri. Ucapan Tharumen menggantung di air seperti kabut halus yang enggan larut. Perkataannya menusuk sunyi, menggetarkan tulang-tulang karang dan membuat ubur-ubur penjaga di sekeliling ruangan mengerutkan cahaya mereka. Namun Kinari hanya memandangnya dengan mata yang kini membara seperti pusaran magma laut dalam. Bahunya tegak, mahkotanya berkilau di antara semburat cahaya bawah laut yang berpendar. Tapi di balik sorot mata itu, ada kegelisahan yang tak ingin diakui. Ia tak tahu apa janji yang disebut oleh sang Tharumen itu. Janji dari leluhurnya. Janji yang diwariskan, namun tak pernah diucap atau diajarkan. Dan bagi seorang ratu seperti Kinari, ketidaktahuan adalah bentuk penghinaan. "Aku adalah Kinari, Darah pertama laut selatan, Penjaga arus dan penguasa atas Kedalaman!" suaranya menggulung seperti badai bawah laut, membelah ruangan hingga pilar-pilar koral bergetar. "Aku tak mengenal namamu, wahai Tharumen, sang hantu waktu. Dan aku tak mengakui janji yang tak pernah kuikat." Tangannya terangkat tinggi, dan Trident Aetheryn memancarkan semburat cahaya kehijauan yang membelah kegelapan ruangan, seperti sambaran petir laut yang menyentuh dasar samudra. Gelembung-gelembung berpendar terbentuk di sekelilingnya, menari seolah hendak menyambut kehendak sang tuan. Dengan hentakan penuh kekuasaan, Kinari menancapkan Trident Aetheryn ke lantai koral tahta. Suaranya menggema hingga ke batas arus, membangunkan kawanan leviathan tidur dan membelah jalur sonar para penjaga bawah laut. Getarannya terasa sampai ke batas dimensi antara laut dan langit. "Di bawah samudra ini, semua tunduk padaku" ujarnya. Suaran sang Ratu menggelegar seperti gemuruh ombak yang pecah di dinding batu abadi. "Jadi kau pun akan tunduk, wahai Tharumen. Entah kau datang dari celah waktu, dari kenangan dunia yang telah mati, atau dari rongga mimpi para dewa yang dilupakan... di hadapanku, kau hanyalah makhluk lain yang harus berlutut." Tharumen tidak bergerak. Wajahnya yang tak bisa ditakar usia tetap datar, namun seberkas senyum tipis—terlalu tipis, terlalu tua untuk disebut ekspresi—muncul di ujung bibirnya. "Kesombongan… adalah hak penguasa yang lupa bahwa laut bukan miliknya, tapi pinjaman dari yang lebih dulu," Gunam Tharumen lirih. Dan pada saat itu, arus di sekeliling ruangan mulai melambat. Butiran waktu—yang biasanya tak kasat mata—muncul, melayang seperti serpihan cahaya yang kehilangan arah. Segalanya menjadi berat, seolah semesta sedang menahan nafasnya sendiri. Trident Aetheryn mendadak bersinar tak terkendali. Tetapi Kinari tetap berdiri tegak, meski seluruh realitas di sekitarnya mulai meretih dalam keasingan. Langkahnya tak goyah. Mahkotanya tetap utuh. Di dadanya, ada sesuatu yang mulai berdesir—rasa yang tak pernah ia kenal, bukan takut… tapi gentar. Dan dalam bisu yang membentang, ada satu hal yang pasti. Apa pun yang menanti di balik lengkung waktu berikutnya… bukanlah sekadar ujian. Tetapi penghakiman.Sunyi.Tak ada ombak, tak ada angin. Hanya permukaan laut yang beriak pelan, memantulkan cahaya bagai cermin retak—masih menyimpan gema samar dari pertempuran yang telah usai.Di sana berdiri Kinari dan Kael, seperti dua bayang yang tercabut dari dunia yang mengenal batas dan waktu.Mereka tidak berbicara. Tidak bergerak. Hanya diam, terperangkap dalam keasingan yang nyaris tidak masuk akal.Tempat itu bukanlah Sea Realm mereka.Melainkan pantulan—atau mungkin residu dari masa yang pernah hidup, lalu dilupakan.Bangunan-bangunan karang di kejauhan tidak lagi menjulang megah. Mereka masih melengkung ganjil, seolah waktu dan gravitasi bertengkar dalam bisu.Udara di sekeliling pun terasa asing. Ada aroma samar—seperti dupa kuno yang terbawa dari kuil purba yang tak lagi dikenal dunia.Kinari menengadah.Langit di atasnya bukan langit yang ia kenali.Di balik warna laut kelam itu, tidak ada matahari, tidak pula bintang.Hanya pusaran samar yang perlahan menutup, seperti kelopak mata lang
Laut yang tadi kacau mulai tenang, dan pusaran waktu di sekitar mereka mulai mengering seperti tinta yang kembali masuk ke pena.Kinari jatuh berlutut, namun senyumnya tipis.Ia menatap ke arah tempat Zhaurekh menghilang. Tidak dengan bangga, tapi damai.Ketika debu kegelapan terakhir dari Zhaurekh menguap bersama hembusan arus waktu, Mirazûl pun ikut memudar.Tidak meledak, tidak menjerit. Ia menghilang seperti bayangan yang tersedot ke balik cermin—diam dan pasrah.Karena ia bukan bayangan Kael, bukan pula ciptaan hasrat buruknya.Namun bentukan semata dari ambisi tak terkendali seorang ratu, yang memaksa kesetiaan tanpa memilih kasih.Dan saat Kinari mengakui sisi rapuhnya, fondasi tempat Mirazûl berpijak pun ikut runtuh.Kael lalu berlari menghampiri sang ratu, wajahnya penuh kelegaan dan kekaguman.“Kau tak menaklukkannya dengan kekuatan,” katanya, “kau meluruhkannya dengan hati.”Kinari hanya tersenyum, lalu memandang jauh ke laut luas, di mana batas antara waktu dan kenyataan m
Udara di sekeliling mereka merapat, seperti selembar kain yang ditarik paksa ke pusat medan. Deburan ombak di bawah tidak lagi mengikuti hukum gravitasi—ia menari ke atas, membentuk pilar spiral yang menjulang seperti ular air. Langit pecah dalam suara retakan halus, seperti tulang rapuh yang diinjak waktu. Trident Aetheryn bersinar kebiruan, dan Kinari melesat, tubuhnya ditarik oleh kekuatan pusaka itu. Kilat laut berpendar di jejak langkah Kinari, membentuk tombak-tombak air yang melesat ke arah Zhaurekh bagaikan doa kemarahan yang terpatri dalam ombak. Namun Zhaurekh hanya mengangkat telapak tangannya, lembut namun mutlak, dan seketika serangan itu berhenti—menggantung di udara. Membentuk kristal bening yang menyimpan bayang kebencian. Kinari terhenti di dalamnya, sejenak terkekang oleh pantulan dirinya sendiri. “Kau memilih melawanku, Kinari?” bisiknya, suaranya seperti desir kabut yang enggan menempel di tanah. “Padahal akulah pantulanmu yang paling jujur.” Tanpa menjaw
Retakan yang menganga di ujung jari Tharumen perlahan menguncup.Bukan seperti pintu yang ditutup, melainkan seperti luka yang dijahit oleh jarum waktu itu sendiri.Dinding istana kembali mengeras, bentuknya stabil, dan arus-arus air kembali mengalir di sekitar takhta. Waktu kembali berdenyut.Di samping tahta, Kael terhuyung lemah.Para penjaga mengerjapkan mata mereka, dan suara desiran koral kembali terdengar.Tapi semuanya tahu… bahwa sesuatu telah berubah.Tharumen menundukkan wajahnya sedikit ke arah Kinari, matanya yang redup kini tak lagi keras, namun tetap membawa berat sejarah tak tertahankan. “Retakan itu belum sempurna. Ia masih muda, belum tumbuh menjadi luka yang memanggil kehampaan.Tapi bila dibiarkan, ia akan menelan seluruh Velâthun Thalé, menyalurkan racun waktu ke dunia atas dan bawah, dan membangunkan apa yang seharusnya tak pernah bangun.”Ia menatap Kinari, yang perlahan mengatur napasnya, jemari tangannya kembali dapat digerakkan.“Kau, keturunan murni Auryn…
Keheningan itu retak.Bukan oleh raungan, bukan oleh dentuman. Tapi oleh bisikan lirih, yang meluncur dari bibir Tharumen seperti embun jatuh ke permukaan cermin purba.“Diam.” Hanya satu kata. Namun gaungnya tidak terpantul di dinding istana—melainkan di tulang-tulang realitas itu sendiri. Lautan bergetar bukan karena suara, tapi karena perintah mutlak yang tak bisa dilawan. Segala sesuatu—dari arus kecil yang menari di sela ganggang, hingga kilau mata mahkota Kinari—membeku dalam satu momen absolut. Suara lenyap. Waktu menyerah. Udara asin pun menjadi kaku, seolah takut untuk bergerak. Penjaga-penjaga istana yang bersenjata tombak mutiara membatu di tempat, pupil mereka tak lagi hidup. Kael ikut membeku dalam posisi setengah membungkuk, bibirnya terbuka seolah hendak menyuarakan protes terakhir. Bahkan gelembung-gelembung air yang biasa naik dari celah koral kini menggantung di tengah ruang, beku, membentuk mozaik waktu yang terhenti. Namun Kinari… …masih sadar. Meski tub
Tharumen sedikit menundukkan kepala, lalu kembali menatap Kinari.Sesuatu dalam sorot matanya berubah—perlahan, namun mencengkeram seperti bayang-bayang yang merayap dari sudut waktu.Sebuah bayangan samar—bukan amarah yang meledak seperti gunung bintang, bukan murka yang menghanguskan dunia.tetapi kekecewaan arkais yang nyaris membatu.Karena dirinya sudah terlalu sering hadir dalam ribuan siklus yang tak lagi dikenang oleh nama,dalam reruntuhan zaman yang bahkan waktu sendiri enggan mencatat narasinya kembali.Sorot mata Tharumen tak menusuk, tapi menembus—menyentuh lapisan-lapisan dalam diri Kinari yang bahkan belum sempat ia pahami.Dan dalam sekejap, Kinari merasakan sesuatu yang lebih mengguncang daripada sebuah celaan—sebuah kilasan sunyi di mana dirinya tampak sebagai bayang-bayang dari harapan yang tak pernah benar-benar tumbuh.Namun telah terlalu lama dipikul.Tharumen menghela napas.Ia telah melihat hal ini sebelumnya—ratu yang terlalu besar untuk takhtanya, dan terlalu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments