Share

Bab 5 - Maukah Kau Bertemu Di Bali?

Aku tidak pernah membalas email Andrea. Panggilan teleponnya pun tidak pernah kuangkat, dia pasti sekarang mengerti bahwa aku masih belum sanggup bicara dengannya. Pengacaraku bilang dia sudah menerima dokumen perceraian enam bulan lalu tetapi hingga kini tidak ada tanggapan darinya.

Diam-diam aku berharap Andrea akan memperlambat prosesnya, walaupun aku tahu cepat atau lambat kami akan berpisah secara resmi, dan akan tiba hari di mana aku bisa menatap matanya dan berbicara.

Tanpa sadar aku menjelajahi Facebook dan mencari berita tentang Adelina Surya lagi. Kali ini aku melihat akun media sosialnya sudah aktif. Adelina tampak bahagia tinggal di London dengan anaknya. Di foto profilnya tampak ia dan Ronan, anaknya, serta Andrea berfoto dengan latar belakang London Eye. Sangat banyak komentar di fotonya yang mendoakan kebahagian keluarga kecil itu.

"Wahh...akhirnya kamu bikin akun FB juga. Ini Adelina dan Andrea yang dari SMA 7 kan? Apa kabar? Sekarang tinggal di London semua ya?

"Wahh… relationship goals banget deh kalian ini, nggak nyangka pacaran dari umur 16 tahun bisa awet sampai sekarang. Anak kalian cakep banget deh."

"Wah, sudah lama nggak dapat kabar kalian. Kabarin dong kalau mudik ke Indonesia, biar kita ngupi-ngupi".

Aku mengerti kenapa Adelina menghilang dan menutup diri selama ini dari teman-teman sekolahnya dulu. Dia tentu tidak ingin mereka tahu apa yang terjadi 8 tahun lalu. Ia menanggung semua rasa malu dan sakit itu sendirian. Andrea pun tidak tahu hingga tahun lalu. Kini setelah Andrea kembali ke sisinya, Adelina akhirnya bisa kembali mengangkat wajah dan menghadapi dunia.

Aku sungguh mengerti dan kasihan kepadanya, aku juga kasihan kepada Andrea, dan aku cukup tahu diri untuk tidak menjadi penghalang kebahagiaan mereka.

Membaca itu semua aku hanya bisa menangis tersedu-sedu dengan membenamkan wajah ke dua telapak tanganku. Aku dulu sering disebut teman-teman sekolahku "the girl who has everything", tetapi saat ini aku merasa sebagai orang paling miskin di dunia.

***

Buku keduaku, Dear Sophia, kembali mendapat pujian dan laku di pasaran. Romantisme zaman perang sangat jarang dikupas di ranah sastra Indonesia dan banyak kritikus yang menganggap novelku membawa angin segar. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, orang-orang mulai mengenaliku di jalan sebagai seorang penulis. Aku cukup terkejut ketika sedang berjalan kaki di Central Park pada suatu sore, serombongan turis Indonesia menyapaku dengan antusias.

"Mbak Ludwina Baskara ya? Sedang mencari inspirasi untuk buku ya, Mbak? Berikutnya Mbak mau nulis novel tentang apa nih?" tanya mereka berebutan.

Aku tertegun karena tidak menyangka di New York yang begini luas ada orang Indonesia yang mengenaliku.

"Eh...kok tahu ini saya?" tanyaku keheranan.

"Lah, tadi kan posting di instagram kalo Mbak Ludwina lagi nyari inspirasi di Central Park." jawab salah seorang di antaranya. Dia membuka instagram di ponselnya dan menunjukkannya kepadaku. "Mbak keren banget deh, tahu-tahu di Belanda, terus di Spanyol, di Jepang, dan sekarang udah di Amerika aja..."

Aha. Aku baru sadar bahwa social media manager-ku senantiasa mengupdate kabarku di berbagai media. Penerbitku yang mempekerjakannya sebagai bagian dari kampanye marketing peluncuran buku keduaku. Aku sudah lama tidak menyentuh media sosial sejak menikah dengan Andrea.

Sebagai pakar internet security dia membuatku sadar betapa berbahayanya membiarkan data pribadiku disimpan oleh perusahaan teknologi, aku sampai lupa bahwa ada akun instagram atas namaku di luar sana.

"Saya nggak lagi nyari inspirasi untuk buku," jawabku ramah, "cuma lagi kangen New York aja. Dulu saya kuliah di Columbia University."

"Ohh...keren banget."

Setelah foto bersama dan aku memberi mereka tanda tangan, rombongan itu pun berlalu dengan ceria. Akhirnya aku menjadi terkenal sebagai penulis. Aku pikir aku akan bahagia, ketika cita-citaku sejak kecil berhasil dicapai, tetapi nyatanya tidak demikian. Aku tetap merasa miskin dan sedih.

Sudah setahun berlalu sejak terakhir kali aku melihat Andrea. Sudah banyak yang terjadi dalam hidup dan karierku. I did think things will get better over time, tapi entah kenapa hatiku tidak juga pulih.

Sebuah email masuk ke ponselku dari Andrea. Hm... ini kan bukan hari Minggu?

"I am invited to speak in a cyber security conference in Bali next month. Would you like to see me?"

(Aku diundang ke konferensi cyber security di Bali bulan depan. Apakah kamu mau ketemu?)

Oh..

Aku ingat 6 bulan lalu Andrea juga minta izin untuk pulang ke Indonesia dan menemuiku. Akhirnya ia sudah bisa ambil cuti. Seperti biasa, aku tidak membalas emailnya dan ia mengerti bahwa aku masih belum mau bertemu.

Aku terharu karena sampai hari ini Andrea tidak berubah, ia menghormati keinginanku dan selalu meminta consent saat ia hendak masuk dalam wilayah privasiku. Aku tidak usah takut ia tiba-tiba akan muncul di depanku saat aku berjalan-jalan di Central Park seperti ini.

Kalau dulu ia menanyakan apakah aku mau bertemu dengannya, kini dia memberi tahu bahwa ia akan di Bali bulan depan. Terlepas dari apakah aku mau menemuinya atau tidak, Andrea tetap akan terbang ke Indonesia. Ini membuat hatiku gelisah.

Would I like to see him? Of course, in a heartbeat.

Should I see him? Could I see him?

Those are the million dollar questions.

Akhirnya aku memutuskan membalas emailnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status