Penasaran, Celeste turun dari tempat tidurnya dan keluar dari kamarnya. Ia melangkah pelan mengikuti arah suara piano yang semakin nyata terdengar.
Disana, Juan kekasihnya tengah memainkan piano dengan penuh penghayatan. Dentingan piano yang lembut dan terasa menyedihkan membuat siapapun yang mendengarnya dapat merasakan apa yang tengah dirasakan pemainnya.
"Juan, apakah kau tengah bersedih?" batin Celeste.
Ia lalu mendekati Juan tanpa suara, ia tak ingin mengganggu konsentrasi pria pujaannya yang tengah asyik bermain piano dalam keremangan malam.
Lama menunggu dengan mata tak lepas dari kekasihnya, Juan akhirnya mengakhiri permainannya dengan nafas terengah-engah. Ia sama sekali tidak menyadari kehadiran Celeste diruangan itu.
TOK! TOK! TOK! Angelo mengetuk pintu kamar Juan, terdengar sahutan dari dalam. Tak lama pintu kamar terbuka dan muncullah Juan yang telah rapi dengan setelan jas berwarna biru navy serta sepatu hitam mengkilat. "Apakah anda sudah siap, tuan Juan?" tanya Angelo sopan. "Ya. Apakah Celeste sudah siap?" Juan balik bertanya. "Nona Celeste sedang menunggu anda di ruang makan untuk sarapan bersama anda sebelum kita berangkat ke pusat," jawab Angelo tersenyum kecil. "Kalau begitu, tunggu apalagi? Kita tidak boleh membiarkan seorang wanita menunggu terlalu lama, Angelo," balas Juan ceria. Keduanya lalu berjalan berdampingan menuruni anak tangga menuju ruang makan yang berada di lanta
Seorang pria bergegas masuk kedalam ruang kerja dimana disana duduk dua orang pria yang sedang bercakap-cakap dengan santai."Permisi, tuan Marchetti," ucap pria itu berdiri tak jauh dari keduanya."Ada apa, Orazio?" tanya pria yang dipanggil Marchetti itu dengan sedikit jengkel."Aku membawa kabar buruk untuk anda. Baru saja aku mendengar kalau keponakan anda, Juan Maximo, akan kembali mengambil haknya sebagai pewaris tunggal tahta Maximo," jelas Orazio, sekretaris pribadi Marchetti."Apa?""Keponakan anda dan rombongannya tengah dalam perjalan menuju Palermo, diperkirakan sekitar 3 jam lagi akan sampai kekediaman Don Maximo," tambah Orazio."Sialan!" desis Marchetti
"Ternyata Dominica Maximo adalah pria yang kejam. Istrinya sendiri ia korbankan demi kelangsungan hidupnya. Benar-benar seorang mafia sejati," puji Luciano dengan senyum licik."Benar, papa pun baru mengetahuinya. Selama ini ia sudah menipuku dan Gianna dengan berperan sebagai suami yang baik," timpal Franco geram."Bagaimana dengan Juan? Apakah dia mengetahui yang sebenarnya dari kematian ibunya, papa?" tanya Luciano penuh dengan rasa ingin tahu."Entahlah. Tapi aku rasa dia mengetahuinya. Sebab tiba-tiba Juan pergi jauh dari ayahnya tanpa sepengetahuan Dominica," jawab Franco berubah murung."Kasihan keponakanku itu, pasti Dominica mati-matian mencari keberadaannya karena merasa tahtanya mulai terancam. Sebab hany
Tak lama mobil rombongan Juan memasuki sebuah jalan yang sepertinya dibuat khusus. Jalan tersebut diberi palang pintu dan dijaga oleh empat pria berpakaian serba hitam. Di belakang palang pintu terdapat sebuah bangunan kecil berukuran 2x2 meter yang ditempati satu pria berpakaian sama.Mereka berhenti sebentar untuk pemeriksaan, setelah mengetahui bahwa yang lewat adalah rombongan Juan mereka diperbolehkan lewat.Celeste memperhatikan semua itu dengan rasa takjub. Ia belum pernah melihat hal seperti ini, bahkan dalam mimpinya sekalipun."Juan, apa ini? Mengapa jalan ini dijaga ketat?" tanya Celeste dengan rasa ingin tahu yang besar."Ini adalah jalan menuju rumah keluarga Maximo, sayang. Rumahku," jawab Juan santai."Ap
Ruang makan kediaman Dominica Maximo siang itu terasa sangat ramai dan penuh gelak tawa. Makanan dan minuman buatan koki rumah yang pernah meraih juara pertama lomba memasak internasional itu tumpah ruah demi memuaskan perjamuan siang itu.Celeste bergelayut manja di lengan kokoh Juan. Kesadarannya perlahan mulai menghilang akibat minuman beralkohol yang sudah cukup banyak ditenggaknya. Celeste memang sangat menyukai minuman keras. Apalagi jika ia sedang banyak pikiran ataupun gugup seperti ini."Sayang, mari aku antar kau beristirahat di kamarku. Kau mulai mabuk," ucap Juan penuh perhatian."Tidak, sayang. Aku masih ingin disini, mengapa kau cepat-cepat menyuruhku beristirahat padahal acaranya baru saja dimulai," tolak Celeste yang tidak merasa dirinya mabuk."Sayang, t
Juan tertegun menatap Celeste, tak menduga wanita pujaannya akan berkata seperti itu."Ap-apa maksudmu, sayang? Apa kau ingin aku menemanimu?" tanya Juan pura-pura tak mengerti."Juan, kau pasti tahu apa yang ku maksud," balas Celeste dengan mata redup."Sayang," ucap Juan lembut seraya menepuk punggung tangan Celeste. "Kita tidak mungkin melakukan hal itu disini.""Mengapa? Bukankah tidak ada orang lain disini? Hanya kita berdua, Juan," desak Celeste yang mulai menarik Juan kearahnya."Benar. Tapi kau juga tahu bukan, kalau di bawah acara perjamuan masih berlangsung. Mereka pasti menyadari kalau aku lama tak kembali," jelas Juan.Ia berusaha memberi pengertian pada kekasihnya itu
Ketiganya duduk berhadapan, raut wajah Dominica dan Angelo terlihat serius sementara Juan yang tidak tahu apa-apa melihat keduanya dengan tatapan tak mengerti."Juan, kau sudah tahu bukan mengapa papa memanggilmu kembali?" tanya Dominica membuka percakapan."Ya, papa," jawab Juan singkat."Angelo baru saja mendapat kabar, kalau pamanmu dan putranya sudah mengetahui kedatanganmu kemari," ucap Dominica."Lalu?" tanya Juan tak mengerti."Kemungkinan dalam waktu dekat, pamanmu akan kemari untuk bertemu denganmu. Dan… aku yakin, mereka akan mengkonfrontasimu," jelas Dominica khawatir.Juan menarik nafas panjang, ia mulai mengerti arah pembicaraan ini. Dirinya saat ini adalah tar
Dominica tersentak oleh sinisnya ucapan Juan. Ya, selamanya dimata Juan ia adalah penyebab meninggalnya Gianna, istrinya. Walau bagaimanapun ia menjelaskan bahwa bukan dirinya yang menyebabkan Gianna tewas, Juan sama sekali tidak mempercayai dirinya.Rasa sakit menyeruak, menusuk bagai ribuan jarum. Dominica memegang dadanya, menahan agar sang putra tidak melihat kesakitan timbul akibat perkataannya."Nak, papa tidak akan membela diri lagi. Kau sekarang sudah dewasa, kau dapat membedakan mana yang benar mana yang tidak. Papa pasrahkan keputusan itu padamu," ucap Dominica dengan hati yang perih.Ia lalu bangkit dengan wajah murung meninggalkan Juan sendirian di ruangan itu. Juan diam-diam menatap punggung sang ayah, timbul sedikit rasa bersalah dalam dirinya karena telah mengatakan hal yang menyakitkan sang aya