LOGINAnna berniat menggoda seorang pria tampan di bar, tetapi pria itu tiba-tiba memanggilnya “Paula” dan hampir menciumnya. Keesokan harinya, Anna terkejut mengetahui bahwa pria itu adalah Mark Christopher Lawrence—CEO Lawrence Company, bos barunya. Ketika Lily, putri kecil Mark, mulai memanggilnya “Mommy”, Mark yang sangat arogan memaksa Anna bersandiwara demi membahagiakan Lily, membuat Anna terseret masuk ke dalam kehidupan ganda, menjadi sekretaris Mark sekaligus pengganti Paula, istri Mark yang menghilang dua tahun lalu.
View MoreUsai mendapat kabar bahwa aku diterima kerja, aku berpesta dan minum-minum. Tapi ternyata, itu membawaku pada malapetaka tak terduga.
Tiga gelas wiski sudah tandas, dan aku tahu aku sudah melewati batasku. Tiap kali terpengaruh alkohol, aku tidak bisa mengontrol diri dan selalu bertingkah sesuka hati. “Anna, kau mau ke mana?” tanya Jane, sahabatku. Aku hanya menunjuk toilet yang ada di ujung. Jane kemudian mengingatkanku, “Kau mabuk. Jangan berbuat yang aneh-aneh!” Saat berjalan sedikit gontai, mataku terkunci pada sosok yang sangat menarik di depan sana. Seorang pria tampan berdasi merah marun, duduk sendirian, memancarkan aura dingin yang pekat. Aura itu membuatku lupa pada peringatan Jane, bahkan lupa pada niatku untuk ke toilet. Pikiranku yang dipengaruhi alkohol hanya bisa membatin satu hal, "Dia idamanku." "Hai," sapaku dengan suara serak yang sengaja kubuat menggoda. Pria itu sudah mengangkat gelas kacanya, namun gerakannya terhenti. Dia mengangkat pandangan, dan saat itulah mata kami bertemu. Dia membeku. Kedua mata birunya yang tajam perlahan melebar. Dia tidak membalas sapaanku. Sebaliknya, dia berbisik dengan suaranya yang tercekat penuh kerinduan. "Paula?" Aku yang masih punya setengah kesadaran, hanya bisa mengerjap bingung. Siapa Paula? Sebelum aku sempat buka mulut, dia sudah bangkit. Tangannya terulur, nyaris gemetar, menyentuh pipiku. Tindakannya itu membuatku terkesiap, membeku di tempat. Sentuhannya hangat, tapi sarat akan kehilangan. "Kau kembali...," gumamnya lagi, ibu jarinya mengusap pelan tulang pipiku. Jantungku berdebar tak karuan. Tiba-tiba, dia terhenti. Matanya terpaku lekat pada mataku. Dia menundukkan wajahnya dan mendekat. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat menerpa kulitku, beraroma wiski. Aku menahan napas. Matanya yang tadi berkabut dan penuh kerinduan, kini menatapku lekat, seolah dia baru saja sadar siapa aku. Tepat saat bibirnya nyaris menyentuh bibirku, sesuatu seperti menahannya. "Kau bukan dia,” ucap pria itu. Dalam sekejap, kehangatan yang terpancar darinya lenyap. Cara tatapannya berubah, kini penuh ... rasa jijik? Atau mungkin kecewa. Dia menarik tangannya dari wajahku seolah baru saja menyentuh bara api, lantas mendesis, “Ah, lupakan.” Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik, menyambar jasnya dari sofa, dan berjalan cepat keluar dari bar. Aku masih mematung bingung di sudut sofa. Pipiku pun masih terasa hangat bekas sentuhan tangannya. *** "Siapkan mentalmu, Anna!" Suara Margaret, resepsionis Lawrence Company, membuyarkan lamunanku. Ini hari pertamaku. Kepalaku masih berdenyut pusing, akibat alkohol yang kuminum semalam. "Memangnya kenapa?" tanyaku, berusaha fokus. "Tuan Lawrence," bisik Margaret. "CEO kita. Dia sudah memecat tujuh sekretaris dalam dua tahun terakhir. Kau yang kedelapan jika dia memecat lagi. Dia itu killer. Terlalu keras, banyak menuntut, dan berhati dingin. Jadi, kuatkan dirimu untuk menghadapinya." Jantungku yang tadinya berdebar pelan, kini mulai gugup. Tujuh sekretaris dalam dua tahun? Itu tidak normal. Margaret mengantarku ke lantai 35 gedung Lawrence Company, lantai para eksekutif perusahaan pengembangan teknologi itu. Begitu pintu lift terbuka, suasana yang terpancar di lantai itu langsung terasa kaku. Dia menunjukkan meja kubikalku, tepat di depan ruangan terbesar di ujung koridor, ruang sang CEO. Kuperhatikan, pintu kayu mahoni ruangan CEO itu terukir nama: Mark Christopher Lawrence. Tepat sedetik kemudian, aku mendengar suara sapaan yang tak jauh di belakangku. "Selamat pagi, Tuan Lawrence," sapa beberapa karyawan, serempak dan tegang. Suara-suara itu membuatku otomatis berbalik, tanganku refleks merapikan rok pensilku yang sebenarnya tidak kusut, dan mengangkat kepala dengan senyum profesional nomor satu yang sudah kusiapkan sejak di lift. Senyumku mati di wajah. Celaka. Seluruh darah di tubuhku langsung surut ke kaki. Perutku melilit seketika, dan aku bersumpah telingaku berdenging. Tubuhku menegang kaku, sampai rasanya sulit bernapas. Yang barusan disebut Tuan Lawrence oleh orang-orang adalah pria itu. Pria di bar semalam. Pria yang menatapku seolah aku adalah hantu, lalu menyebutku “Paula”. Pria yang... astaga... pria yang menyentuh wajahku dengan tatapan rindu gila, lalu sedetik kemudian mendorongku seolah aku menjijikkan dan pergi begitu saja. Dia adalah Mark Christopher Lawrence. CEO Lawrence Company. Bos killer yang Margaret bilang sudah memecat tujuh sekretaris. Ya Tuhan. Ini canggung sekali. Jantungku bukan hanya terasa akan melompat keluar, rasanya sudah meledak di dalam dadaku. Aku hanya berdiri di sana seperti orang bodoh, senyum konyolku yang tadi sudah kusiapkan pasti terlihat seperti ringisan orang kesakitan. Apa dia akan mengenaliku? Apa dia ingat kejadian semalam? Apa dia ingat dia hampir menciumku? Lebih penting lagi, apa dia akan langsung memecatku di hari pertama? Aku ingin sekali bersembunyi di bawah meja kubikalku. Aku tidak tahu harus apa. Haruskah aku menyapanya? Atau lebih baik aku pura-pura tidak melihat, menunduk, dan berharap dia tidak menyadari keberadaanku? Sialan. Kenapa juga aku harus mabuk dan berniat menggodanya semalam? Aku bisa merasakan pipiku memanas. Aku yakin wajahku sudah semerah dasi yang dia kenakan di bar. Aku memaksakan diri menelan ludah, lantas menunduk kecil. "Selamat pagi, Tuan." “Pagi.” Mark Christopher Lawrence merespons sapaanku, tapi hanya satu kata yang datar, bahkan dia tidak melirikku sama sekali! Dia menatap lurus ke depan, wajahnya sedingin es, seolah aku adalah debu tak terlihat di lantai marmer. Mark melenggang lurus melewati mejaku dan aku pun terduduk kembali di kursi, lemas. Dia... dia tidak mengenaliku? Atau dia pura-pura tidak kenal? Belum sempat aku menarik napas, telepon di mejaku berdering nyaring. Aku mengangkatnya dengan tangan yang sedikit gemetar. [Segera siapkan laporan keuangan bulan lalu yang tersimpan di arsip digital!] Suara bariton yang dingin dan tajam itu menusuk telingaku. Itu suara bosku. “Ba-baik, Tuan.” Sungguh, ini adalah hari pertama yang mendebarkan! Memasuki hari kedua, ketiga, dan keempat, jantungku terus berdebar setiap kali mendengar pintu ruangan Mark terbuka. Aku masih tegang tiap kali harus bicara dengannya, cemas jika dia tiba-tiba mengungkit kejadian di bar dan menendangku keluar. Tepat jam setengah satu siang, ketika dia menyuruhku mausk ke ruangannya, aku menarik napas panjang sebelum masuk ke ruangan Mark. Mark tidak berpaling dari iPad-nya saat aku berdiri kaku di depan mejanya. “Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” “Lily putriku, pengasuhnya berhenti pagi ini,” katanya datar, masih menatap layar. “Aku ada rapat dewan sebentar lagi. Kau jemput dia di sekolah. Sekarang.” Aku mengerjap. “Maaf, Tuan?” Mark akhirnya mengangkat kepalanya. Tatapan biru tajamnya menusukku. “Apa ada yang tidak jelas, Anastasia Walter? Kubilang, jemput putriku.” Aku belum merespons, tetapi dia langsung menyebutkan nama sebuah sekolah elite di Manhattan dan berlanjut berkata, “David, asistenku, akan menunggumu di sana. Kau bisa pergi sekarang.” Ini jelas di luar job desk seorang sekretaris CEO. Gaji yang mereka tawarkan memang fantastis, tapi aku tidak tahu kalau pekerjaanku akan mencakup tugas pribadi sang CEO juga. Perjalanan ke sekolah itu memakan waktu hampir tiga puluh menit. Sekolahnya megah, lebih mirip istana kecil daripada tempat belajar. Di gerbang depan, aku melihat seorang pria tinggi berpakaian serba hitam, wajahnya kaku seperti batu. Dia pasti David. Di sebelahnya, berdiri seorang gadis kecil berambut pirang, mengenakan seragam sekolah yang rapi. Dia menunduk, memainkan tali ransel pink-nya dengan tenang, tampak mungil dan kesepian. Itu pasti Lily. Aku menghampiri mereka dengan sedikit gugup, menyiapkan senyum ceria sebelum menyapa putri bosku. "Halo!” sapaku pada gadis kecil itu. Aku berlutut menyejajarkan tingginya setelah dia mendongak untuk menatapku. "Kau pasti Lily, ‘kan? Aku Anna. Aku sekretaris baru ayah—" Kalimatku terputus, karena tiba-tiba dia langsung maju menubrukku. Kedua lengan mungilnya memeluk leherku erat, saking eratnya sampai aku nyaris kehilangan keseimbangan. Aku tercenung bingung, pun juga terkejut. Dapat kurasakan tubuh mungil Lily yang menempel denganku gemetar. Dengan suaranya yang menyayat hati, Lily berbisik di telingaku, “Ibu?” Dia menarik diri sedikit, menangkup wajahku dengan kedua tangan mungilnya. Matanya yang lugu dipenuhi air mata yang siap tumpah. “Ibu... Kau kembali untukku?” *** Bersambung .....Setelah sempat mengobrol berdua dengan Inez kemarin—meski bagiku cenderung seperti mendengar hinaan halusnya terhadap Paula daripada mengobrol—aku semakin tidak bisa berhenti memikirkan tentang Paula.Masih kuingat ucapan David kepada Mark yang kudengar di Florida waktu itu, bahwa Paula ada di Berlin. Masih kupertanyakan pula, kalau wanita itu masih hidup, mengapa dia menghilang dua tahun terakhir? Lalu, apa yang sebenarnya Lily ketahui sebelum ibunya itu menghilang?Dan dalam sekejap, semua pertanyaan itu tersingkir dari pikiranku, digantikan oleh pertanyaan tentang Paula dan William Harold.Aku tahu, di dunia ini, nama William Harold bisa saja dimiliki oleh ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang lainnya.Tapi bagaimana kalau ternyata William Harold yang disebut ibunya Mark adalah William Harold yang pernah kudengar disebut oleh ibuku?“Tidak mungkin... memang apa hubungan ibu dengannya?”Saking kencangnya bisikan di kepalaku, aku tak sadar bahwa kalimat barusan bukan kuungkapkan dala
“Kau tidak seperti menantuku yang kukenal,” ucap Inez. “Kau... berbeda dari sebelumnya.”Aku terjebak kebisuan. Tak tahu harus bagaimana sekarang.Mark di sampingku berdeham pelan. Dia meletakkan sendok dan garpunya, lantas menengahi, “Bisakah Ibu tidak berbicara seperti itu di depan Lily?”Dia menoleh sekilas pada Lily dan melanjutkan, “Lily butuh keadaan yang nyaman, Ibu.”Inez mengembuskan napas panjang. Setelah menenggak sedikit air putihnya, dia melanjutkan sarapannya dan tak membahas persoalan tadi lagi.Aku hampir pura-pura pingsan agar bisa keluar dari ketegangan tadi.Sarapan selesai tepat pukul setengah sembilan. Aku membawa Lily ke kamar untuk menggantikan bajunya yang tadi ketumpahan susu.Lily menyentuh rambut panjangku saat aku sedang merapikan ikatan rambutnya. Selepas memiringkan kepala, Lily bertanya, “Kenapa rambut Ibu warna cokelat?”Aku terdiam.“Bukankah seharusnya rambut Ibu sama denganku? Rambut kita seharusnya mirip, Ibu.”Seulas senyum kutunjukkan padanya. Kub
Untuk pertama kalinya, aku bertemu dengan kedua orang tua Mark, bahkan makan satu meja dengan mereka.Ini sangat canggung—setidaknya bagiku—karena setelah mendapatkan sikap tak ramah dari Inez, posisi dudukku kini justru persis berhadapan dengannya, saling berseberangan.“Apakah Kakek dan Nenek akan berlama-lama di sini?” tanya Lily di sela memakan panekuknya.Kuharap tidak. Sungguh. Kuharap mereka tidak berlama-lama.“Hanya hari ini, Sayangku,” jawab Inez. “Nanti malam, kami akan berangkat ke Florida.”Aku membatin bersyukur.“Kemarin, aku bersama ayah dan ibu baru saja pergi ke Florida,” ungkap Lily antusias.Kuyakin Inez sebenarnya sudah tahu, tetapi menyambut antusias cucunya, dia menunjukkan ekspresi terperangah. “Benarkah?”“Benar, Nenek. Aku bermain di pantai bersama ayah dan ibu, lalu membuat istana pasir yang besaaar sekali,” tutur Lily sembari merentangkan kedua lengannya. “Aku juga menemani ayah bekerja. Karena ibu bilang, ayah pergi ke Florida untuk bisnis.”“Kenapa kau ti
“Aku ingin seperti Dee Dee, Ibu.” Lily menggenggam rambutnya menjadi dua bagian, lantas melanjutkan, “Diikat dua seperti ini.”“Dee Dee? Hm... baiklah. Biar Ibu coba,” jawabku.Dengan tubuhnya yang sudah terbalut gaun putih bermotif bunga, Lily duduk tenang di kursi bermain berbentuk stroberi di kamarnya, menungguku untuk menata rambutnya seperti yang ia inginkan.Rambut Lily sudah pirang, seperti Dee Dee dalam kartun Dexter’s Laboratory, sehingga tak sulit bagiku untuk menatanya semirip mungkin dengan model ikat dua.“Sudah selesai!” ucapku beberapa menit kemudian.Lily beranjak dari duduknya, bergegas menghampiri cermin di sisi kamar. Senyumnya merekah lebar begitu melihat rambut pirangnya yang panjang sudah terikat.Dia berputar-putar di depan cermin, membiarkan bagian bawah gaunnya mengembang terkena angin, lantas mengagumi penampilannya sendiri pagi ini.Tak lama kemudian, pintu kamar Lily terbuka, Mark muncul.Lily langsung mendekati Mark dan melapor penuh semangat pada ayahnya
Aku ketiduran di kamar Lily, terbangun karena mendengar bel di depan penthouse dibunyikan.Saat kulihat jam dinding berbentuk kepala Hello Kitty di sisi kamar, kudapati kalau sekarang sudah pukul setengah satu malam.Lily tetap nyenyak dalam tidurnya. Dia pasti lelah setelah menunggu kepulangan ayahnya sampai ketiduran bersamaku beberapa jam yang lalu.Aku bergegas keluar dari kamar Lily, lantas membukakan pintu depan.“Mark? David?” Aku mengernyit kaget melihat keberadaan kedua pria itu di depan pintu.Entah apa yang terjadi pada Mark, tetapi bosku itu tampak setengah sadar dan dirangkul oleh David.“Nona Lily sudah tidur, ‘kan? Aku tidak langsung masuk karena khawatir dia belum tidur,” ujar David, melirik ke arah Mark yang dia rangkul, mengisyaratkan kalau dia tak mau Lily melihat kondisi ayahnya saat ini.Aku mengangguk cepat, lalu memegangi lengan Mark dan membantu menuntunnya untuk masuk.“Apa yang terjadi?” tanyaku cemas.“Tuan Lawrence minum terlalu banyak setelah makan malam d
Sudah lima hari berlalu sejak aku, Mark, dan Lily kembali ke New York setelah tiga hari kami berada di Florida.Lily semakin ceria pasca kami pulang. Tingkah manisnya yang penuh semangat, membuatku merasa cukup lega, karena tampaknya dia tak lagi memikirkan mimpi buruknya yang membuatnya histeris waktu itu.Sore ini sebelum pulang dari Lawrence Company, karena Mark harus pergi menemui rekan bisnisnya, aku mampir ke supermarket dan membeli beberapa kotak stroberi untuk Lily, agar Lily tidak murung menantikan kepulangan ayahnya.Gadis kecil itu sangat menyukai stroberi. Apa pun yang ia makan dan minum, jika bisa memiliki rasa stroberi, maka ia akan melahapnya.Tak heran jika di luar warna-warni kamar tidur Lily, ada kursi stroberi besar kesayangan Lily di antara minimalis dan elegannya interior penthouse Mark.“Selamat datang, Ibu!” sapa Lily begitu dia melihatku pulang.Aku tersenyum hangat pada gadis kecil itu. “Apa kau pergi les piano hari ini? David yang mengantar dan menjemputmu, ‘
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments