Home / Pendekar / Kisah Para Penggetar Langit / Asmara Pedang (Cerpen Gratis)

Share

Asmara Pedang (Cerpen Gratis)

Author: Norman Tjio
last update Last Updated: 2023-01-07 12:10:49

ASMARA PEDANG

Norman Tjio

Pedang hampir menembus tenggorokannya. Feng Ling menutup mata. Sehebat apapun ilmunya, ia tidak dapat menandingi si Pedang Tanpa Batas, kekasihnya sendiri. Segala kenangan masa lalu bersamanya terbayang di depan mata.

Konon katanya, saat seseorang akan mati, maka segala kilasan perjalanan hidupnya akan muncul di depan mata. Tetapi yang lewat kini hanyalah kenangan dan perasaan cintanya kepada si Pedang Tanpa Batas.

Feng Ling telah pasrah dengan kematiannya. Tetapi ternyata kematian itu datang begitu lama. Saat Feng Ling membuka mata, dilihatnya pedang sang kekasih telah terhenti hanya seujung kuku dari tenggorokannya.

Di dunia ini, hanya sang Pedang Tanpa Batas yang mampu menghentikan serangan sendiri seperti itu. Sekejap pedang bergerak, sekejap juga pedang itu terhenti. Itulah kenapa lelaki itu dijuluki Pedang Tanpa Batas. Karena kemampuan pedangnya seolah tanpa batas.

Pedang telah kembali ke sarungnya. Lelaki itu berbalik badan, lalu pergi tanpa berkata apapun.

Rambutnya yang panjang sampai ke punggung tidak dikuncirnya. Berkibar tertiup angin yang dingin.

Salju masih turun tipis-tipis di puncak gunung Taishan.

“Bagus. Pergilah. Seperti yang selalu kau lakukan. Pergi tanpa berkata apapun!” teriak Feng Ling. Suaranya serak seperti telah habis seluruhnya.

Lelaki itu tetap berjalan. Ia tidak mau menoleh.

“Jika kau tidak mau membunuhku, maka aku akan bunuh diri,” Feng Ling mengambil pedangnya yang tadi telah terjatuh di tanah. Sekali gerak ia telah menebas lehernya sendiri.

Tetapi sekali lagi, pedang terhenti tepat seujung kuku di depan lehernya. Karena tiba-tiba sang Pedang Tanpa Batas sudah berada di depannya dan telah menghalau gerakan tangannya.

Kedua tangan saling berpegangan, bersentuhan. “Kenapa kau melakukan ini?” tanya si lelaki.

“Jika tidak hidup denganmu, untuk apa aku hidup?” jawab Feng Ling. Desah nafasnya lembut mewangi. Menerpa wajah lelaki itu dengan penuh kehangatan.

“Lalu kenapa kau mencoba membunuhku tadi?”

“Karena jika kau tidak hidup denganku, aku pun tidak ingin kau hidup.”

Apabila orang lain yang mengucapkan kalimat ini, maka tentu akan terdengar menakutkan. Tetapi saat Feng Ling yang mengucapkannya, entah kenapa kalimat ini terdengar begitu indah, begitu memilukan.

Begitu syahdu.

“Apakah kau ingin mengkhianati guru?” tanya lelaki itu singkat.

“Guru telah menjodohkanku dengan Pangeran 12. Sedangkan kau pun telah dijodohkan guru dengan nona Yang Liu. Tetapi semua perjodohan itu kan bukan keinginan kita,” bantah Feng Ling.

“Terlalu besar jasa-jasa guru kepada kita. Maka keinginan guru, menjadi keinginan kita pula,” tukas lelaki itu.

“Aku adalah wanita yang telah dewasa. Apakah aku tidak boleh memiliki keinginanku sendiri?”

“Terlambat kau berkata seperti ini.”

“Ya. Aku memang hanya bisa mengatakan hal ini di hadapan makam guru,” ada sedikit penyesalan di hatinya.

“Guru telah berjanji kepada orang lain. Maka kita harus menjaga janji itu.”

Tangan mereka berdua masih berpegangan.

Antara budi dan cinta, maka manakah yang harus dipilih?

Hidup sebagai manusia, ataukah hidup sebagai pendekar?

Feng Ling memejamkan matanya. Air mata menetes di pipinya yang putih merona merah.

Semenjak kecil ia adalah seorang yatim piatu. Gurunya mengambilnya sebagai murid dan memperlakukannya begitu baik seperti anak sendiri. Satu kali pun gurunya belum pernah meminta apa- apa dari dirinya. Hanya pesan terakhir dari sang guru untuk menikah dengan Pangeran 12.

Hanya itu saja.

Tetapi permintaan itu baginya lebih berat daripada langit dan bumi. Apabila saat itu gurunya meminta nyawanya, tentu ia akan memberikannya dengan sukarela.

Bagi seorang wanita, terkadang cinta menjadi jauh lebih berharga ketimbang kehidupan itu sendiri.

Pangeran 12 adalah seorang lelaki yang tampan rupawan, baik hatinya. Lembut perilakunya. Tetapi cinta Feng Ling hanyalah kepada kakak seperguruannya yang gagah, dingin, angkuh, namun penuh dengan daya tarik yang aneh.

Feng Ling sendiri tidak dapat mengerti perasaannya.

Ia tidak tahu bahwa hampir seluruh perempuan memang lebih tertarik kepada jenis lelaki seperti Pedang Tanpa Batas. Penuh rahasia, penuh tantangan.

Feng Ling kini tidak tahu harus berbuat apa, bersikap bagaimana. Setinggi apapun ilmu silat seorang pendekar, ia adalah manusia yang memiliki perasaan. Perasaan seorang wanita.

Dari kejauhan terlihat sebuah kereta mendekat. Kereta kecil yang sederhana.

Siapa pula orang yang berkereta di tengah salju seperti ini? Di tempat seperti ini pula?

Kereta telah tiba dan kini berhenti. Sang kusir terlihat begitu letih. Tetapi wajahnya menampakkan senyuman lega. Sepertinya ia telah sampai pada tujuan yang dicarinya.

Pintu kereta terbuka.

Pangeran 12 keluar dan turun dari kereta yang sederhana itu.

“Ling Er (panggilan untuk orang kesayangan) mari kita pulang. Besok adalah hari pernikahan kita. Apakah kau lupa?” suara pangeran itu dalam namun lembut. Senyumnya pun ramah.

Seumpama di dunia ini ada orang yang begitu tenang, begitu rela calon istrinya berduaan dan berpelukan

dengan lelaki yang merupakan mantan kekasihnya, di hari sebelum mereka menikah, tentulah hanya pangeran ini seorang.

Tangannya mengambang ke depan, seolah ingin menyambut gadis itu kembali pulang.

Jika kau menjadi Feng Ling, apa yang kau lakukan?

Gadis itu hanya bisa memejamkan matanya. Ia harus mengambil keputusan.

Salju semakin deras. Dingin semakin menderai.

Akhirnya ia menarik tangannya. Melepaskan pelukannya.

Ia memang perempuan.

Tetapi ia adalah seorang pendekar perempuan. Seorang pendekar hidup mengutamakan budi. Bukan perasaan.

Ia akhirnya mengerti.

Pangeran 12 menyambut tangannya. Dengan senyum yang penuh pengertian, ia tidak berkata apa-apa. Dibantunya calon istrinya itu masuk ke dalam kereta.

Ia sendiri pun masuk ke dalam kereta. Tetapi sebelum masuk, ia menoleh kepada Pedang Tanpa Batas.

Mereka saling menatap dan saling tersenyum.

Dua orang laki-laki yang saling bisa mengerti keadaan masing-masing.

Kereta pun pergi menjauh. Jauh sekali.

Menyisakan    seorang    laki-laki     yang    termenung sendirian di tengah salju yang mulai membadai.

Di kejauhan dari arah yang berbeda, terlihat sebuah sosok datang mendekat.

Seorang wanita. Nona Yang Liu.

Yang Liu berarti pohon willow.

Ia memang terlihat seperti pohon willow yang penuh keanggunan.

“Kau sudah berhasil ya?” senyum nona itu.

Pedang Tanpa Batas hanya mengangguk kepada calon istrinya.

“Bagaimanapun, kau toh harus melepasnya pergi dengan pangeran itu. Hal itu merupakan yang terbaik baginya.”

“Ya. Daripada ia menikah denganku. Hidupnya tidak akan bahagia. Karena hidupku hanya kupersembahkan untuk pembalasan dendam. Setiap perjalanan hidupku nanti akan berlumuran darah. Ia lebih pantas hidup bahagia di dalam istana,” kata sang lelaki.

Yang Liu tersenyum penuh pengertian.

Lelaki itu menyambung lagi, “Dan aku hanya bisa berterima kasih kepadamu telah bisa mengerti keadaanku.”

Nona Yang Liu yang cantik menukas, “Aku harus bisa mengerti. Karena hanya kaulah yang mampu membunuh orang yang paling kubenci. Orang yang membunuh kekasihku. Asalkan kau bersedia membunuhnya, aku bersedia menikah denganmu walaupun kau tidak cinta kepadaku.”

Pedang Tanpa Batas tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya memandang ke depan.

Kini kekasih yang dicintainya telah mendapatkan kehidupan yang layak, kehidupan yang tenang dan membahagiakan.

Perjalanannya untuk membunuh begitu banyak orang akan segera dimulai.

***

Arjosari, 15 April 2021, jam 12 siang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sijini Go
Lanjutin, Bang Norman.....
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kisah Para Penggetar Langit   Penutup Kisah - TAMAT

    PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 253

    Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 252

    Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 251

    Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 250

    Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 249

    Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 248

    Pedang masih di tangan Bwee Hua. Padahal saat mereka masuk tadi, tak seorang pun yang diperbolehkan membawa senjata.Pedang itu terhunus ke depan.Tapi gadis itu tidak bergerak.Begitu pula ibunya yang berdiri membelakanginya. Di hadapan sang ibu, berdiri seorang laki-laki gagah dengan rambut riap-riap. Tangan laki-laki itu buntung sebelah.“Kau akan melawanku dengan keadaan seperti itu?” tanya perempuan tua itu.“Aku telah menanti sejak puluhan tahun yang lalu,” jawab laki-laki itu.“Bagus. Keturunan Suma memang tidak memalukan.”Lalu perempuan tua itu bergerak.Kecepatan yang tak mungkin diikuti dengan mata manusia biasa.Tapi pemuda bermarga Suma itu bukan manusia biasa. Orang mengenalnya sebagai ‘Dewa Pedang Berambut Merah’, Ang Hoat Kiam Sian.Dan ‘dewa’ adalah ‘dewa’.Ia hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan sudah cukup.Jika kau adalah ‘Dewa Pedang’ maka kau hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan yang tidak mungkin seorang pun mau percaya jika diceritakan.Tidak ad

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 247

    Apa yang terjadi di puncak Thay San telah tersiar ke seluruh dunia. Beng Liong, pemuda belia dari Bu Tong-pay keluar sebagai pemenangnya. Semua orang mengakui, walaupun masih sangat muda, ia sangat pantas memikul tanggung jawab sebagai Ketua Dunia Persilatan.Selama ini, Bu Lim Bengcu selalu dijabat oleh kalangan sepuh. Baru 2 kali, jabatan ini dipegang oleh anak muda. Pertama kali sekitar 50an tahun yang lalu. Hebatnya lagi, kedua-duanya adalah pemuda Bu Tong-pay.Harapan besar kini berada di pundak Beng Liong. Ia diharapkan mampu menuntaskan tugas-tugas berat yang cukup rumit. Salah satunya adalah tugas melawan gangguan dan serangan tentara Mongol di ujung perbatasan. Belum lagi urusan pembunuhan-pembunuhan yang harus ia selesaikan setuntas-tuntasnya. Orang-orang butuh kejelasan, apakah memang Cio San berada di balik semua ini.Hari ini, tepat 30 hari sejak pertandingan di puncak Thay San. Kotaraja ramai dan penuh sesak manusia. Hari ini adalah hari pelantikan Bu Lim Bengcu. Hampir

  • Kisah Para Penggetar Langit   246

    Segala kemegahan dan keramaian itu pun berangsur-angsur memudar. Bu Lim Beng Cu telah terpilih, banyak orang menunjukan wajah puas. Sebagian lagi belum bisa melupakan kejadian dahsyat saat Cio San menghadapi ribuan orang di atas gunung itu.Masing-masing kemudian kembali pulang. Ada yang bersedih karena kehilangan saudara dan teman di gunung ini. Ada yang bahagia karena hasilnya memuaskan. Ada pula yang semakin bersemangat untuk memperdalam ilmu silatnya. Satu hal yang pasti, tidak ada satu pun yang bisa melupakan kejadian dahsyat di gunung itu.Beng Liong tentu saja tidak lupa. Walaupun hatinya gembira telah menyelesaikan tugas ini, tentu saja ia bersedih pula atas semua kejadian yang telah berlangsung. Segera setelah pertandingan selesai dan ia memulihkan tenaganya, ia bersama rombongan Bu Tong-pay segera mencari jalan menuju ke dasar jurang. Di tengah jalan pun mereka bertemu dengan dengan rombongan Siau Lim-pay dan Go Bi-pay yang rupanya memiliki maksud dan tujuan yang sama: menge

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status