Waktu makan siang pun datang. Cio San membantu A Liang menata piring-piring dan masakan. Mereka juga dibantu oleh beberapa murid Bu Tong lain. Maklum, jumlah seluruh murid Bu Tong ada sekitar 1000an lebih.
Letak meja-meja di ruang makan Bu Tong diatur berdasarkan tingkatan. Setiap tingkatan mempunyai posisi sendiri-sendiri. Begitu juga posisi meja para anggota ‘15 Naga Muda’. Cio San pun makan di situ juga. Cuma bedanya, kalau seluruh anggota ‘Naga Muda’ makan dengan riang dan bertegur sapa, Cio San makan dengan diam dan sepi. Memang, tidak ada orang yang menganggapnya ada. Apalagi mengajaknya berbicara.
Hanya Beng Liong yang mau duduk di dekatnya dan berbicara padanya. Beng Liong ini adalah anggota ‘15 Naga Muda’ yang paling tua umurnya. Sekitar 18 tahun. Dia ini juga adalah anggota yang paling berbakat, paling tampan, dan paling gagah. Semua orang suka padanya. Ia punya tutur-kata yang sangat sopan dan halus. Ia juga ramah dan sama sekali tidak sombong. Walaupun ilmunya paling hebat di antara para ‘Naga Muda’, dia tidak pernah semena-mena pada orang lain. Malahan, dia paling sering mengajarkan dan memberi petunjuk kepada murid lain yang belum lancar penguasaan silatnya.
Asal-usul Beng Liong sendiri pun sebenarnya hampir sama dengan Cio San. Inilah mungkin yang membuat kedua orang ini lumayan akrab. Beng Liong berasal dari keluarga yang sangat kaya raya. Ia tinggal di sebuah provinsi yang dekat dengan perbatasan luar tembok besar. Karena bisnis yang semakin surut, keluarganya memutuskan untuk pindah ke daerah ibukota.
Apa nyana, di tengah jalan mereka diserang perampok. Seluruh keluarganya mati, ayah-ibunya serta beberapa orang ibu tirinya. Ayahnya memang punya beberapa istri. Untunglah Beng Liong tidak ikut terbunuh. Pada saat-saat akhir, ia ditolong oleh salah seorang pendekar Bu Tong yang turun gunung.
Kisah hidup Beng Liong yang hampir sama dengan Cio San ini membuat kedekatan mereka bahkan seperti kakak-adik. Orang-orang yang mengerjai Cio San, tidak akan berani melakukannya jika ada Beng Liong. Sayangnya, Beng Liong jarang sekali melakukan kegiatan bersama-sama dengan Cio San. Ini karena ilmu dan kemajuan Beng Liong yang pesat, sehingga ia bahkan sudah dilatih oleh Tetua-tetua Bu Tong angkatan ke-2. Tempat latihannya berbeda dengan Cio San. Beng Liong berlatih di bagian atas kuil, tempat para Tetua. Cio San malah berlatih di bagian paling bawah kuil, karena ilmunya jauh tertinggal.
Kini kedua orang anak muda itu sedang makan dan bercakap-cakap.
“Eh Cio San, aku dengar, katanya kau sudah berhasil menguasai Thay Kek Kun jurus ke-8?” tanya Beng Liong.
“Ah. Tidak, Liong-heng (Kakak Liong). Hanya kebetulan saja,” jawab Cio San pelan.
“Bagaimana ceritanya itu?” tanya Beng Liong tertarik.
“Aku hanya iseng-iseng sekenanya bergerak melatih pernafasan tingkat 5. Tahu-tahu tubuhku bergerak sendiri dan ada tenaga yang timbul dalam tubuhku. Untung kemudian Tan-suhu datang dan memberi petunjuk. Kalau tidak, mungkin aku bisa terkena luka dalam karena terserang tenagaku sendiri.”
“Hmmmm, apa benar? Kau beruntung sekali, Sute (Adik Seperguruan),” tukas Beng Liong.
“Eh, Suheng (Kakak Seperguruan) dengar dari siapa cerita ini? Apakan dari Tan-suhu?” tanya Cio San.
“Aku mendengar dari murid-murid lain. Kebetulan mereka melihat kejadian tadi pagi,” jawab Beng Liong. Lanjutnya lagi, “Sayang aku tidak melihat sendiri. Padahal menarik juga. Mungkin aku bisa belajar banyak.”
“Liong-heng ini suka bercanda. Mana mungkin aku bisa mengajari Liong-heng? Harusnya Liong-heng lah yang mengajari aku.”
“Ah, ilmu itu datang dari mana saja. Jiwa dan hati harus terbuka, baru bisa memahami ilmu silat yang sungguh dalam dan luas bagai samudera,” kata Beng Liong.
“Iya, Liong-heng. Terima kasih petunjuknya,” Cio San memang sangat menghormati kakak seperguruannya itu.
“Hey, ayo cepat habiskan makan kita, nanti aku terlambat berlatih. Hari ini aku harus bisa menguasai Thay Kek Kun jurus pertama,” seru Beng Liong.
“Ah, kakak sudah mulai belajar Thay Kek Kun? Hebat.. hebat... Para ‘Naga Muda’ yang lain saja, baru belajar pernafasan tingkat 12...,” Cio San bertanya dengan kagum.
“Iya. Syukurlah para guru mau sabar mengajariku... Hey, ayo cepat makan. Aku dengar kau nanti dipanggil oleh Ciangbunjin...”
“Iya...” Cio San menjawab sambil menunduk.
“Aku sudah dengar cerita kemarin. Sabar saja. Semua pasti ada hikmah kalau kau mau memahaminya.”
Ucapan Beng Liong ini sebenarnya pantas diucapkan orang tua. Tapi memang Beng Liong ini selalu jauh lebih maju dalam hal apa saja.
“Terima kasih, Liong-heng.” Sambil tersenyum Cio San menghabiskan makannya.
Setelah makan, kedua orang sahabat ini berpisah lagi. Beng Liong meneruskan latihannya. Padahal jadwal setelah makan siang adalah jam istirahat siang bagi murid-murid Bu Tong. Tapi semangat dan kecintaan Beng Liong pada ilmu silat, membuatnya merasa rugi menghabiskan waktu tanpa belajar silat.
Murid-murid yang lain, memilih beristirahat. Ada yang duduk sambil bercengkerama berkelompok, ada yang memilih tidur-tiduran, ada juga yang mengulang-ulang pelajaran silatnya tadi pagi. Cio San memilih pergi mandi membersihkan diri di sebuah sungai kecil yang mengalir di belakang kuil.
Kegiatannya tadi membantu Liang-lopek membuat tubuhnya berkeringat dan bahkan bau asap. Jika nanti bertemu Ciangbunjin dengan keadaan seperti ini, ia takut dianggap tidak tahu aturan.
Setelah menceburkan diri beberapa lama disungai, Cio San sudah berganti pakaian. Ia memilih pakaian yang jarang dipakainya. Jika bertemu dengan Lau Tian Liong, memang ada perasaan tunduk dalam hati Cio San.
Apalagi pertemuan nanti, sepertinya membahas hukuman yang harus ia lalui. Cio San mencoba mengeraskan dan menguatkan hatinya. Sebagai laki-laki, ia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Ia memilih untuk tidak menceritakan semua perbuatan dan perlakuan murid-murid lain terhadap dirinya.
Walaupun ia sering merasa disepelekan, bahkan keberadaannya itu sering dianggap tidak ada oleh orang lain, bolehlah menyakiti hatinya. Tapi jika itu harus dia pakai sebagai alasan supaya tidak usah dihukum, maka ia merasa dirinya adalah seorang pengecut.
Anak laki-laki seumur Cio San, memang sedang senang-senangnya menunjukkan kelaki-lakiannya. Umur seperti ini memang beranjak dari usia anak-anak memasuki usia remaja. Masa dimana seorang anak kecil merasa ia sudah ‘dewasa’. Padahal sebenarnya remaja sungguh tak jauh beda dengan anak-anak. Malahan orang dewasa pun juga tak jarang masih sama dengan anak-anak.
Cio San kini berjalan dari sungai menuju biliknya. Sering ia berpapasan dengan beberapa murid Bu Tong. Sekedar bertegur dan bertukar senyum. Masih banyak juga ternyata yang ramah-ramah. Tapi orang-orang ini memang tidak begitu kenal dengan Cio San.
Yang paling tidak menyenangkan itu, jika kau disepelekan dan tidak diacuhkan sahabat-sahabatmu. Kalau kau tidak diacuhkan oleh orang-orang yang tidak mengenalmu, maka boleh dibilang semua orang di dunia ini mengalaminya.
Itulah yang dirasakan Cio San selama ini. Beberapa orang yang dianggap sahabatnya, malah tidak menganggapnya sama sekali. Makan bersama tidak diajak, keluar bermain tidak diajak, berlatih bersama pun tidak diajak. Mengobrol pun kadang mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati.
Bagusnya Cio San, ia tidak menyalahkan siapa-siapa kecuali dirinya sendiri. Memang dalam hati, sejak lama ia sudah ingin memperbaiki dirinya. Menunjukkan kepada orang-orang bahwa dia itu bukan ‘anak bawang’. Bukan pecundang yang hanya bisa ditertawakan. Mungkin inilah satu-satunya alasan Cio San ingin bertahan disini. Membuktikan pada orang-orang bahwa dia bisa menjadi ‘sesuatu’.
Berpikir seperti ini, membuat Cio San semakin bersemangat.
Ia kini sedang berada di biliknya. Berbaring terlentang diatas dipan dengan berbantalkan kedua telapak tangannya. Posisi seperti ini memang posisi kesukaannya.
Tak berapa lama, terdengar suara, “Cio San, ayo naik ke ruang ketua.”
Suara itu kecil saja. Tidak keras, namun terdengar jelas. Cio San lekas bangkit dan keluar. Ia tidak melihat siapa-siapa di dekat situ. Tanpa menunggu lebih lama, ia berlari mendaki tangga menuju ruang ketua. Ada jarak sekitar seratus tombak. Gihunya, Tan Hoat, ternyata sudah menunggu di depan pintu ketua. Rupanya ilmu mengirimkan suara gurunya itu sudah sangat hebat, sehingga bisa mengirimkan suara dengan jelas dari jarak sebegitu jauhnya.
“Ayo masuk. Ciangbunjin sudah menunggu,” kata gihunya.
Cio San mengangguk. Ia lalu memberi salam kepada gihunya itu. Lalu mengucap salam kepada Lau-ciangbunjin.
“Teecu, Cio San, anggota dari ‘15 Naga Muda’, memberi salam kepada Ciangbunjin. Semoga Thian (langit) selalu memberi kesehatan dan kebaikan,” kata Cio San dari luar pintu.
Dari dalam, terdengar suara sang Ciangbunjin, “Masuklah, Cio San.”
PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per
Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora
Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit
Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin
Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag
Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding