Share

Bab 15

Penulis: Norman Tjio
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-18 09:41:17

Cio San telah selesai membuntal pakaian-pakaiannya. Begitu keluar dari biliknya, Tan Hoat telah berada di depan pintu menantinya. Berbeda dengan beberapa hari akhir-akhir ini, wajah Tan Hoat sudah tidak seketus belakangan ini.

Tan Hoat sambil tersenyum berkata, “Sudah siap? Aku akan mengantarmu ke pondok bambu.”

“Sudah, Gihu. Tapi ‘anak’ ingin berpamitan dengan beberapa orang terlebih dahulu. Bolehkah?”

“Pergilah. Aku menanti di pohon Yang Liu, dekat kolam gedung utama. Jangan lama-lama, takutnya kita telat berangkat dan kemalaman.”

“Terima kasih, Gihu.” Sambil berkata begitu, ia memberi hormat dan segera bergegas.

Pertama-tama, ia mencari Liang-lopek. Orang tua ini memang selalu akrab dengannya. Kesukaan baru Cio San, yaitu belajar masak, memang harus tertunda dulu. Padahal ia senang sekali mempelajari kemampuan baru ini.

Cio San menemukan Liang-lopek sedang beberes di dapur belakang.

“Ah kau.., bagaimana? Sudah bertemu Ciangbunjin? Apa kata beliau?” tanya Liang-lopek.

“Sudah, Lopek. Kata beliau, saya harus ke pondok bambu selama 3 bulan.” Sambil berkata begitu, ia membuat mimik muka yang lucu. Nampaknya hukuman seperti ini lumayan menyenangkan juga bagi Cio San.

“Haha, kau senang ya disuruh menyendiri 3 bulan? Tak ada orang yang mengganggumu disana ‘kan?”

“Iya, Lopek, haha…”

“Kalau bukan orang yang mengganggumu, bisa saja setan gunung yang mengganggumu,” goda Liang-lopek sambil membuat mimik muka seram.

“Asal saya tidak disuruh berlatih silat, nampaknya diganggu setan gunung juga lebih baik,” tawa Cio San.

“Hus..! Jika didengar gurumu, hukumanmu bisa-bisa diganti disuruh belajar silat terus, tidak boleh makan dan tidak boleh tidur.”

Mereka berdua tertawa lagi.

Tiba-tiba Liang-lopek berkata, “Eh, aku punya sesuatu yang bisa kau pakai untuk menemanimu disana.”

“Apa itu, Lopek?”

“Tunggu sebentar.”

Liang-lopek lalu pergi ke biliknya. Tak berapa lama, ia keluar membawa beberapa barang.

“Ini ada sebuah panci kecil. Supaya kau bisa memasak sendiri disana. Memang aku tahu biasanya setiap beberapa hari sekali, ada murid yang mengantarkan makanan bagimu kesana. Tapi kupikir, kau mungkin ingin memasak sendiri sambil mencoba-coba resep yang kuajarkan tadi.”

“Ah, terima kasih, Lopek.” Cio San tertawa senang.

“Ngomong-ngomong tentang resep, ini kukasih juga buku resep khusus. Di dalamnya selain ada resep-resep masakan kuno, juga ada penjelasan tentang bahan-bahan dan tanaman-tanaman khusus.”

“Terima kasih, Lopek. Saya pasti mempelajari buku itu.”

“Nah, ini yang terakhir. Kubawakan juga sebuah khim (sejenis kecapi) kecil untuk menemanimu bernyanyi dengan setan gunung. Hahahaha…”

“Hahaha…, Lopek jangan bergurau. Saya ‘kan tidak bisa bermain khim. Walaupun ayah saya mahir sekali bermain, saya sama sekali belum pernah mencobanya.”

“Kalau ayahmu mahir bermain, pastilah juga itu menurun kepadamu. Coba-coba saja lah...”

“Huh, bisa-bisa nanti waktuku habis kupakai belajar khim dan belajar masak. Pelajaran silat bisa terlupa semua. Bahaya...” Wajah Cio San membuat mimik lucu lagi.

Tiba-tiba ia melanjutkan, “Aha, saya tahu. Lopek sengaja memberikanku barang-barang ini, supaya saya sama sekali tidak belajar silat ‘kan? Supaya jika saya kalah dengan A Pao, saya dipindahkan ke bagian dapur dan jadi anak buah Lopek?”

“Hahahahah….”

Mereka berdua tertawa berbarengan. Ada rasa hangat yang timbul di hati mereka saat bergurau. Memang tidak ada perasaan yang lebih menyenangkan selain berkumpul bersama temanmu dan bergurau bersama. Rasanya seperti semua beban dalam hatimu terlupakan untuk beberapa saat.

“Eh, kau cepatlah berangkat, nanti kemalaman di jalan. Aku akan sering-sering mengunjungimu jika diijinkan oleh gurumu.”

“Kata guru, siapapun boleh mengunjungi saya diatas sana. Tapi saya yang tidak boleh meninggalkan tempat itu.”

“Hmmm, baguslah. Kalau ada waktu senggang, aku akan sering-sering naik kesana. Kau jaga diri baik-baik yah. Belajar masak yang rajin, biar nanti kalau aku kesana, kau yang memasak untukku.”

“Baik, Lopek, terima kasih. Mohon doa restu agar saya berhasil.”

“Baik.. baik..”

Cio San memberi hormat dengan membungkuk serendah mungkin. Ada perasaan haru dalam hati Liang-lopek ketika menerima penghormatan seperti itu. Selama ini, tidak ada murid Bu Tong-pay yang memberi hormat seperti itu kepadanya. Hanya Cio San yang memperlakukannya seperti guru. Itulah kenapa ia sangat menyukai anak kecil yang polos ini.

Setelah memberi salam, Cio San bergegas pergi. Tidak ada wajah ketakutan di dalam hatinya. Mungkin karena ia tidak tahu bagaimana keadaan puncak tertinggi Bu Tong-san yang sebenarnya. Cio San pergi dengan riang tanpa rasa berat dihatinya.

Memandangi punggung anak kecil yang bersemangat itu, Liang-lopek membatin,

“Mudah-mudahan Bu Tong-pay menjadi lebih jaya karena anak ini.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kisah Para Penggetar Langit   Penutup Kisah - TAMAT

    PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 253

    Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 252

    Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 251

    Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 250

    Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 249

    Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status