Share

Bab 15

Cio San telah selesai membuntal pakaian-pakaiannya. Begitu keluar dari biliknya, Tan Hoat telah berada di depan pintu menantinya. Berbeda dengan beberapa hari akhir-akhir ini, wajah Tan Hoat sudah tidak seketus belakangan ini.

Tan Hoat sambil tersenyum berkata, “Sudah siap? Aku akan mengantarmu ke pondok bambu.”

“Sudah, Gihu. Tapi ‘anak’ ingin berpamitan dengan beberapa orang terlebih dahulu. Bolehkah?”

“Pergilah. Aku menanti di pohon Yang Liu, dekat kolam gedung utama. Jangan lama-lama, takutnya kita telat berangkat dan kemalaman.”

“Terima kasih, Gihu.” Sambil berkata begitu, ia memberi hormat dan segera bergegas.

Pertama-tama, ia mencari Liang-lopek. Orang tua ini memang selalu akrab dengannya. Kesukaan baru Cio San, yaitu belajar masak, memang harus tertunda dulu. Padahal ia senang sekali mempelajari kemampuan baru ini.

Cio San menemukan Liang-lopek sedang beberes di dapur belakang.

“Ah kau.., bagaimana? Sudah bertemu Ciangbunjin? Apa kata beliau?” tanya Liang-lopek.

“Sudah, Lopek. Kata beliau, saya harus ke pondok bambu selama 3 bulan.” Sambil berkata begitu, ia membuat mimik muka yang lucu. Nampaknya hukuman seperti ini lumayan menyenangkan juga bagi Cio San.

“Haha, kau senang ya disuruh menyendiri 3 bulan? Tak ada orang yang mengganggumu disana ‘kan?”

“Iya, Lopek, haha…”

“Kalau bukan orang yang mengganggumu, bisa saja setan gunung yang mengganggumu,” goda Liang-lopek sambil membuat mimik muka seram.

“Asal saya tidak disuruh berlatih silat, nampaknya diganggu setan gunung juga lebih baik,” tawa Cio San.

“Hus..! Jika didengar gurumu, hukumanmu bisa-bisa diganti disuruh belajar silat terus, tidak boleh makan dan tidak boleh tidur.”

Mereka berdua tertawa lagi.

Tiba-tiba Liang-lopek berkata, “Eh, aku punya sesuatu yang bisa kau pakai untuk menemanimu disana.”

“Apa itu, Lopek?”

“Tunggu sebentar.”

Liang-lopek lalu pergi ke biliknya. Tak berapa lama, ia keluar membawa beberapa barang.

“Ini ada sebuah panci kecil. Supaya kau bisa memasak sendiri disana. Memang aku tahu biasanya setiap beberapa hari sekali, ada murid yang mengantarkan makanan bagimu kesana. Tapi kupikir, kau mungkin ingin memasak sendiri sambil mencoba-coba resep yang kuajarkan tadi.”

“Ah, terima kasih, Lopek.” Cio San tertawa senang.

“Ngomong-ngomong tentang resep, ini kukasih juga buku resep khusus. Di dalamnya selain ada resep-resep masakan kuno, juga ada penjelasan tentang bahan-bahan dan tanaman-tanaman khusus.”

“Terima kasih, Lopek. Saya pasti mempelajari buku itu.”

“Nah, ini yang terakhir. Kubawakan juga sebuah khim (sejenis kecapi) kecil untuk menemanimu bernyanyi dengan setan gunung. Hahahaha…”

“Hahaha…, Lopek jangan bergurau. Saya ‘kan tidak bisa bermain khim. Walaupun ayah saya mahir sekali bermain, saya sama sekali belum pernah mencobanya.”

“Kalau ayahmu mahir bermain, pastilah juga itu menurun kepadamu. Coba-coba saja lah...”

“Huh, bisa-bisa nanti waktuku habis kupakai belajar khim dan belajar masak. Pelajaran silat bisa terlupa semua. Bahaya...” Wajah Cio San membuat mimik lucu lagi.

Tiba-tiba ia melanjutkan, “Aha, saya tahu. Lopek sengaja memberikanku barang-barang ini, supaya saya sama sekali tidak belajar silat ‘kan? Supaya jika saya kalah dengan A Pao, saya dipindahkan ke bagian dapur dan jadi anak buah Lopek?”

“Hahahahah….”

Mereka berdua tertawa berbarengan. Ada rasa hangat yang timbul di hati mereka saat bergurau. Memang tidak ada perasaan yang lebih menyenangkan selain berkumpul bersama temanmu dan bergurau bersama. Rasanya seperti semua beban dalam hatimu terlupakan untuk beberapa saat.

“Eh, kau cepatlah berangkat, nanti kemalaman di jalan. Aku akan sering-sering mengunjungimu jika diijinkan oleh gurumu.”

“Kata guru, siapapun boleh mengunjungi saya diatas sana. Tapi saya yang tidak boleh meninggalkan tempat itu.”

“Hmmm, baguslah. Kalau ada waktu senggang, aku akan sering-sering naik kesana. Kau jaga diri baik-baik yah. Belajar masak yang rajin, biar nanti kalau aku kesana, kau yang memasak untukku.”

“Baik, Lopek, terima kasih. Mohon doa restu agar saya berhasil.”

“Baik.. baik..”

Cio San memberi hormat dengan membungkuk serendah mungkin. Ada perasaan haru dalam hati Liang-lopek ketika menerima penghormatan seperti itu. Selama ini, tidak ada murid Bu Tong-pay yang memberi hormat seperti itu kepadanya. Hanya Cio San yang memperlakukannya seperti guru. Itulah kenapa ia sangat menyukai anak kecil yang polos ini.

Setelah memberi salam, Cio San bergegas pergi. Tidak ada wajah ketakutan di dalam hatinya. Mungkin karena ia tidak tahu bagaimana keadaan puncak tertinggi Bu Tong-san yang sebenarnya. Cio San pergi dengan riang tanpa rasa berat dihatinya.

Memandangi punggung anak kecil yang bersemangat itu, Liang-lopek membatin,

“Mudah-mudahan Bu Tong-pay menjadi lebih jaya karena anak ini.”

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status